Laman

Monday, April 30, 2012

~ MEMAHAMI RAHASIA RUANG & WAKTU (2) ~


Oleh Agus Mustofa

Struktur 'Langit Di dalam Langit' yang Menakjubkan

Kurva tiga dimensi berbentuk globe, yang saya jelaskan di note sebelumnya, saya kira lumayan baik untuk menggambarkan hubungan antara dimensi ruang dan waktu alam semesta. Dengan globe itu kita bisa memperoleh gambaran bahwa kurva waktu berbentuk lengkung, sebagaimana kurva ruang yang juga berbentuk lengkung.

Pertanyaan yang muncul kemudian adalah: kemanakah melengkungnya kurva di permukaan bola yang berdimensi dua itu? Seandainya alam semesta ini hanya berdimensi dua, berupa lembaran (bukan ruang angkasa yang bervolume), maka lembaran permukaan globe itu tidak akan bisa melengkung membentuk bola. Bentuk bola hanya terjadi di ruang tiga dimensi. Sedangkan bentuk lembaran terjadi di ruang dua dimensi.

Maka, agar sebuah lembaran bisa dilengkungkan ia harus berada di dalam ruang berdimensi lebih tinggi. Sehingga menjadilah sebuah bola yang bervolume, yang dibentuk dari lembaran berdimensi dua yang dilengkungkan. Pada bola yang berdimensi tiga alias bervolume itulah terkandung permukaan bola yang berdimensi dua berbentuk lembaran tiada bertepi.

Sekarang, tolong Anda jawab pertanyaan ini: apakah permukaan bola memiliki tepi? Bayangkanlah, jika Anda berjalan di atas permukaan globe itu ke arah depan terus menerus, apakah Anda akan bertemu tepinya? Tentu saja tidak. Karena, jika diteruskan, perjalanan Anda itu akan mengelililingi globe dan kembali ke tempat Anda berangkat semula. Terbuktilah, bahwa permukaan bola yang melengkung dan berdimensi dua itu tidak memiliki tepi. Namun tetap terbatas. Permukaan bola itu memiliki batas luasan. Kita bisa menghitung besar luasan permukaan globe itu dengan rumus luas bola =  4 x pi x R^2.

Maka kita menyebut permukaan bola itu sebagai ruang berdimensi dua yang tak punya tepi, tetapi terbatas. Ruang berdimensi dua itu berada di dalam ruang berdimensi tiga, yakni volume bola, dan juga volume ruangan di luar bola. Dengan bahasa awam dikatakan, permukaan bola yang melengkung tak bertepi itu terendam di dalam ruangan dimana ia berada. Baik yang ada di dalam bola maupun yang ada di luarnya.

Perhatikanlah. Ternyata ruang dua dimensi terendam di dalam ruang tiga dimensi. Atau dengan kata lain, bisa juga dikatakan ruang tiga dimensi sebenarnya tersusun dari ruang dua dimensi. Dan ruang dua dimensi pun tersusun dari ruang satu dimensi. Secara awam bisa saya katakan, bahwa sebuah luasan yang berdimensi dua sebenarnya terbentuk dari garis-garis berdimensi satu yang jumlahnya tak berhingga. Karena jika Anda menggambar garis sebanyak-banyaknya secara berimpitan kumpulan garis itu akan membentuk luasan. Sebagaimana pula, kalau Anda menggambar titik-titik secara berimpitan dalam jumlah tak berhingga, akan membentuk sepotong garis.

Sebuah bola yang berdimensi tiga terbentuk dan tersusun dari lembaran-lembaran berdimensi dua dalam jumlah tak berhingga. Lembaran berdimensi dua itu tersusun dari garis-garis berdimensi satu yang jumlahnya juga tak berhingga. Dan garis-garis itu terusun dari titik-titik tak bedimensi yang jumlahnya tak berhingga. Sebuah titik tak berdimensi boleh juga disebut sebagai ‘ketiadaan’. Ada simbolnya, tetapi tak ada kuantitasnya. Seperti angka nol, ada simbolnya tetapi tak ada isinya. Jadi segala yang ada ini sebenarnya tersusun dari 'ketiadaan'.

Apa yang saya ceritakan di atas adalah dalam rangka menerangkan struktur langit, alias alam semesta yang berbentuk lengkung itu. Bahwa, karena ruang alam semesta yang berdimensi tiga ini berbentuk lengkung, maka alam semesta membutuhkan ruang berdimensi lebih tinggi untuk mewadahi kelengkungannya. Ruang berdimensi empat itulah langit kedua, yang mewadahi melengkungnya langit pertama.

Untuk memudahkan penjelasan, proyeksikanlah langit berdimensi tiga ini sebagai sebentuk garis. Proyeksi adalah sebuah cara untuk menurunkan derajat dimensi. Sebagai contoh, badan Anda yang tiga dimensi jika disorot dengan lampu proyektor ke dinding akan menjadi bayangan yang berdimensi dua. Dan bayangan yang berdimensi dua itu jika diproyeksikan lagi akan menjadi sebuah garis. Maka, ambillah hasil proyeksi berupa garis itu sebagai cara untuk memudahkan penjelasan. Bahwa sepotong garis bisa kita gunakan untuk mewakili ruang tiga dimensi alam semesta.

Maka, kalau Anda melengkungkan sepotong garis yang berdimensi tiga (langit pertama) itu sampai ujungnya bertemu dengan ujung lainnya, ia akan membentuk lingkaran. Nah, lingkaran itu adalah ruang berdimensi lebih tinggi, yakni berdimensi empat (langit kedua). Karena, ingat, garis yang menyusun lingkaran itu adalah ruang berdimensi tiga.

Dan jika kita lanjutkan, lingkaran itu kita jejer bertumpukan dalam arah melengkung, maka Anda akan memperoleh terowongan berbentuk donat. Lingkaran-lingkarannya membentuk kulit donat, yang dilengkungkan sampai bertemu ujung donat yang satu dengan ujung lainnya. Itulah langit ketiga yang berdimensi lima. Sebentuk donat yang mewadahi kelengkungan langit pertama berupa garis tiga dimensi, dan langit kedua berupa lingkaran empat dimensi.

Jika proyeksi dimensi alam semesta ini dilanjutkan sampai ke langit ke tujuh yang berdimensi sembilan, dengan cara menjejer donat-donat itu sehingga membentuk ruangan berdimensi lebih tinggi, kita akan memperoleh alam semesta berbentuk pensil atau terompet yang di salah satu ujungnya mengecil, dan di ujung lainnya membesar, disebabkan oleh dimensi waktu bergerak dari T=0 sampai tak berhingga. T = nol menyebabkan ujung pensil atau terompet yang lancip, dan T = tak berhingga membentuk ujung terompet yang membuka.

Yang lebih menarik, sebenarnya adalah struktur dimensi di dalam dimensi itu. Bahwa alam semesta ini ternyata memiliki dimensi-dimensi lebih tinggi yang belum kita pahami sepenuhnya, tetapi memberikan indikasi sangat kuat disebabkan oleh melengkungnya ruang dan waktu. Al Qur’an menyebutnya sebagai langit berlapis tujuh. Yang paling dekat dan paling kecil berdimensi tiga disebut sebagai langit dunia. Yang lebih besar, mewadahi langit dunia adalah langit kedua yang berdimensi empat. Yang lebih tinggi lagi adalah langit ketiga yang berdimensi lima. Dan seterusnya, sampai langit ke tujuh yang berdimensi sembilan. Di langit ke tujuh inilah Rasulullah pernah melihat masa depan alam semesta, dalam bentuk kehidupan surga. Yakni, saat menjalani Isra’ Mi’raj.

Kenapa bisa melihat masa depan? Karena beliau berada di langit berdimensi paling tinggi. Sebagaimana saya jelaskan di depan, bahwa langit yang lebih rendah itu bisa di-bypass dari ruangan berdimensi lebih tinggi. Sebagaimana analogi globe, bahwa permukaan di balik globe bisa dilihat dari permukaan seberangnya, lewat ruang tiga dimensi di dalam globe itu.

Bahkan, jika seseorang memiliki akses untuk menembus kedalaman globe itu, ia akan bisa muncul di permukaan seberang secara tiba-tiba tanpa harus berjalan melingkari permukaan globe. Inilah yang dalam pengetahuan modern disebut sebagai jalur lubang cacing alias wormhole, dimana seseorang bisa ‘lenyap’ - berpindah tempat -  dengan cara menerobos dimensi lebih tinggi.

Meskipun dewasa ini masih dalam skala partikel, penelitian tentang wormhole dan teleportasi ini semakin intens dan akan semakin gamblang ke masa depan. Ini sekaligus akan memberikan penegasan tentang adanya ruang-ruang berdimensi tinggi, selain ruang tiga dimensi yang kita tempati. Dimana langit dunia yang diperkirakan memiliki diameter 30 miliar tahun cahaya ini, sebenarnya hanya sebuah ‘ruangan kecil’ di dalam ruangan langit yang lebih besar yang mewadahinya.

Setiap pertambahan dimensi akan memunculkan perbandingan tak berhingga besarnya. Ibarat, jajaran titik-titik tak berhingga yang menyusun sepotong garis. Atau, jajaran garis berjumlah tak berhingga yang menyusun luasan. Atau, tumpukan tak berhingga luasan yang menyusun volume. Maka, manusia hanyalah sebutir debu di ruang langit pertama berdimensi tiga ini. Padahal, langit pertama ini cuma debu di dalam langit kedua. Dan langit keduanya pun hanya bagaikan debu di dalam langit ketiga. Dan seterusnya, debu bagi langit keempat, kelima, keenam, dan ketujuh.

Puncaknya, langit ketujuh yang berdimensi sembilan itu pun hanyalah sebutir debu atau lebih kecil lagi di dalam Dzat Allah Yang Maha Besar. Yang kebesarannya telah meliputi seluruh ruang dan waktu ciptaan-Nya. Yang wujud-Nya tak akan pernah terbayangkan oleh pikiran manusia. Karena, hanya untuk membayangkan ruang dan waktu sebagai ciptaan-Nya saja pun kita sudah kedodoran. Apalagi Dia Sang Maha Suci dan Maha Agung, yang di ‘tangan-Nya’ tergenggam seluruh realitas jagad semesta.

QS. Nuh (71): 15
Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah menciptakan tujuh langit bertingkat-tingkat?

QS. Al Mulk (67): 3
Yang telah menciptakan tujuh langit berlapis-lapis, kamu sekali-kali tidak melihat pada ciptaan Tuhan Yang Maha Pemurah sesuatu yang tidak seimbang. Maka lihatlah berulang-ulang, adakah kamu lihat sesuatu yang tidak seimbang?

QS. Al Israa’ (17): 44
Langit yang tujuh, bumi dan semua yang ada di dalamnya bertasbih kepada Allah. Dan tak ada suatupun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya, tetapi kamu sekalian tidak mengerti tasbih mereka. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penyantun lagi Maha Pengampun.

QS. Az Zumar (39): 67
Dan mereka tidak mengagungkan Allah dengan pengagungan yang semestinya padahal bumi seluruhnya dalam genggaman-Nya pada hari kiamat dan langit digulung dengan tangan kanan-Nya. Maha Suci Tuhan dan Maha Tinggi Dia dari apa yang mereka persekutukan.

Wallahu a’lam bishshawab..

~ Salam Merenungi Misteri Alam Semesta ~

3 comments:

  1. bahkan ilmu matematika pun tidak mempunyai rumus akan hal ini... luar biasa...

    salam,

    les privat matematika

    ReplyDelete
  2. Di artikel kedua ini saya mulai memahami dan akan saya lanjutkan ke artikel ke - 3 .

    Salam,

    Dimas Riski Putranto

    ReplyDelete