Lewat
 wawancara mendalam pada 275 ilmuan alam dan sosial di 
universitas-universitas terkenal, para peneliti Rice menemukan kalau 72 
dari para ilmuan tersebut mengatakan bahwa mereka memiliki spiritualitas
 yang konsisten dengan sains, walaupun mereka tidak beragama secara 
formal.
“Hasil kami menunjukkan kalau 
para ilmuan memandang agama dan spiritualitas sebagai konstruk yang 
berbeda secara kualitatif,” kata Elaine Howard Ecklund, asisten profesor
 sosiologi di Rice dan penulis perdana studi ini. “Para ilmuan ateis 
spiritual ini mencari makna kebenaran lewat spiritualitas – yang 
dibangkitkan lewat dan konsisten dengan pekerjaan mereka sebagai 
ilmuan.”
“Ada
 spiritualitas diantara ilmuan yang paling sekuler sekalipun,” kata 
Ecklund. “Spiritualitas ada dalam pemikiran ilmuan baik yang religius 
maupun ateis. Hal ini menantang gagasan kalau ilmuan, dan kelompok lain 
yang dipandang sekuler mengabaikan pertanyaan seperti “Mengapa saya ada 
di sini?” Mereka juga memiliki pertanyaan dasar manusia ini dan ingin 
mencari maknanya.”
Ecklund menulis 
studi ini bersama dengan Elizabeth Long, professor dan kepala jurusan 
sosiologi di Rice. Dalam analisis mereka pada 275 wawancara, mereka 
menemukan kalau kata sifat yang paling sering digunakan ilmuan untuk 
menyatakan agama mencakup “terorganisir, bermasyarakat, kesatuan dan 
kolektif.” Kumpulan kata yang digunakan untuk spiritualitas mencakup 
“individual, personal dan dikonstruksi secara personal.” Semua responden
 yang menggunakan istilah kolektif atau individual menisbahkan istilah 
kolektif pada agama dan istilah individual pada spiritualitas.
“Sementara
 data menunjukkan kalau spiritualitas terutama merupakan perjuangan 
individual bagi ilmuan akademis, ia bukanlah individualis dalam artian 
klasik yaitu membuat mereka lebih terfokus pada diri sendiri,” kata 
Ecklund, direktur Program Agama dan Kehidupan Masyarakat di Rice. “Dalam
 artian benda-benda, menjadi spiritual memotivasi mereka untuk membantu 
orang lain dan mengarahkan kembali cara mereka memikirkan tentang dan 
bekerja sebagai ilmuan.”
Ecklund dan 
Long mencatat kalau ilmuan spiritual melihat batasan antara diri mereka 
dengan kolega non spiritualnya karena spiritualitas mereka memfasilitasi
 keterlibatan dengan dunia di sekitarnya. Keterlibatan demikian, menurut
 para ilmuan spiritual, membangkitkan pendekatan berbeda pada penelitian
 dan pengajaran: Sementara koleganya yang nonspiritual berfokus pada 
penelitian mereka sendiri dengan mengorbankan interaksi dengan 
mahasiswa, para ilmuan spiritual merasa spiritualitas menyediakan alasan
 yang tidak dapat dirundingkan untuk memastikan kalau mereka membantu 
mahasiswa yang berjuang untuk berhasil.
Sumber: 
Referensi jurnal:
E. H. Ecklund, E. Long. Scientists and Spirituality. Sociology of Religion, 2011; DOI: 10.1093/socrel/srr003
  
Sumber: FaktaIlmiah.com 

No comments:
Post a Comment