Laman

Wednesday, May 30, 2012

Tuhan dan Sains Modern (Part 10): Posisi Tuhan dalam Multijagad

Berikut adalah bagian kesepuluh dari sebuah makalah panjang yang ditulis seorang teman untuk bahan diskusi lintas disiplin dengan tema Tuhan dan masa modern. Bagian ini membahas alam semesta dan tuhan

Multijagad bukannya tanpa kritik dari dalam sains itu sendiri. Schmidhuber (2002) mengkritik kalau kriteria menentukan apakah sebuah jagad matematis dapat eksis atau tidak berdasarkan probabilitasnya, memerlukan pengetahuan atas segala struktur matematis yang mungkin ada. Sayangnya hingga kini kita tidak tahu seberapa banyak struktur matematis yang bisa konsisten ini. Akibatnya, kita hanya dapat mengatakan sebuah struktur matematis pasti ada tetapi tidak dapat memastikan berapa besar kemungkinannya untuk ada.

Kritik lain diberikan oleh Page (2007) yang menyebutkan kemungkinan adanya struktur matematis puncak. Dengan adanya struktur matematis puncak, maka komposisi dasar alam semesta pada akhirnya adalah sebuah jagad raya tunggal, bukannya multijagad. Jagad raya tunggal ini tentunya menyangkut banyak jagad raya (tingkat 1 hingga 3) tetapi makna puncaknya adalah ada sebuah jagad raya terbesar dan merupakan realitas puncak. Jika merujuk pada Gambar 10, maka pada suatu saat, matematika akan memiliki suatu struktur segalanya, sama halnya dengan fisika yang mengejar sebuah teori segalanya.

Kritik manapun pada multijagad tampaknya membawa pada matinya konsepsi Tuhan tradisional. Cita-cita agama-agama besar untuk menyatukan kembali sains dengan agama seperti di masa Eropa pra-renaisans kecil kemungkinannya. Apa yang dapat dilakukan sekarang tampaknya berusaha mensejajarkan saja antara sains dan agama ataupun setidaknya menginjeksi sains ke dalam agama, bukan sebaliknya. Sains tampak akan selalu bersikukuh dengan argumentasi antropis dan ketiadaan agen pencipta alam semesta ataupun multijagad.

Di lihat dari epistemologi, ini berarti sains tidak akan pernah menemukan Tuhan yang diinginkan oleh agama. Begitu pula, Tuhan versi agama hanya dapat ada dalam pengetahuan berbasis wahyu dalam agama. Walau begitu, kesuksesan sains yang besar di masa kini memunculkan kecemburuan epistemologis dari agama. Alih-alih menempatkan wahyu sebagai sumber utama pengetahuan, dimana sains seharusnya dibenarkan oleh wahyu, kaum agama modern cenderung menempatkan sains di atas wahyu (lihat Gambar 11). Ambil contoh Harun Yahya (2003) yang memberikan sains kekuasaan untuk memverifikasi wahyu.

Tuhan mungkin tidak mati, tapi ia berevolusi di masa modern. Tuhan versi modern adalah Tuhan pencipta tanpa keMaha-kuasaan. Dalam multijagad tak terhingga banyaknya, pasti ada tak terhitung jagad raya yang diciptakan oleh suatu agen cerdas. Tidak perlu jauh-jauh, di laboratorium modern di berbagai lokasi di bumi ini, beberapa tim ilmuan sedang berlomba-lomba menciptakan bentuk kehidupan baru dari zat mati (Cooper et al, 2011; Pasparakis dan Alexander, 2008; Doi, et al, 2008; Lartigue et al, 2009). Beberapa bahkan mendaku suatu saat kita mampu menciptakan alam semesta sendiri di laboratorium (Sakai et al, 2006: Kim, Maeda, dan Sakai, 1996). Para pelaku sains yang menolak Tuhan dalam ilmunya namun tidak menolak untuk menjadi Tuhan.

Tentunya ada pula ilmuan yang memikirkan hal sebaliknya: jangan-jangan kita juga diciptakan oleh ilmuan dari alam semesta yang lebih tinggi. Whitworth (2008) dan Bostrom (2003) berspekulasi kalau alam semesta kita sebenarnya sebuah program komputer seperti halnya dunia yang dihuni manusia dalam film Matrix. Di jagad raya yang lebih tinggi, bisa jadi seorang programmer komputer (Tuhan) merancang alam semesta yang sekarang kita tinggali dan kita tak lain semata program-program komputer yang sadar seperti robot. Sebuah SAS buatan dengan lingkungan buatan yang mengikuti skenario rancangan sang programmer.

Jika Tuhan adalah sesuatu yang tak berubah, konsekuensi dari kesempurnaan seperti diwacanakan Lovejoy (1936) dalam rantai besar keberadaannya, maka bisa jadi multijagad matematis menggantikan Tuhan, atau multijagad matematis itu sendiri lah Tuhan.
Lihat Part 11

Referensi;
Bostrom, N. 2003. Are You Living in a Computer Simulation? Philosophical Quarterly, 53, 211, 243-255
Cooper, G.J.T., Philip J. Kitson, Ross Winter, Michele Zagnoni, De-Liang Long, Leroy Cronin. 2011. Modular Redox-Active Inorganic Chemical Cells: iCHELLs. Angewandte Chemie International Edition
Doi, Y., Chiba, J., Morikawa, T., Inouye, M. 2008. Artificial DNA made exclusively of Nonnatural Type of Nonnatural Bases. Journal of the American Chemical Society, 130, 27, 8762-8768
Kim, Y., Maeda, K., Sakai, N. 1996. Monopole-Bubble in Early Universe. Nuclear Physics B 481, 453-478
Lartigue, C., Vashee, S., et al. 2009. Creating Bacterial Strains from Genome that have been Cloned and Engineered in Yeast. Science, 325, 5948, 1693-1696
Lovejoy, A.O. 1936. The Great Chain of Being. Cambridge: Harvard University Press.
Page, D.N. 2007. Predictions and Test of Multiverse Theories. in B. J. Carr, ed., Universe or Multiverse? Cambridge: Cambridge University Press. pp. 401-419
Pasparakis, G., Alexander, C. 2008. Sweet-talking Double Hydrophilic Block Copolymer Vesicles. Angewandte Chemie International Edition.
Sakai, Nobuyuki; Nakao, Ken-ichi; Ishihara, Hideki; Kobayashi, Makoto. 2006. The Universe out of a Monopole in the Laboratory? Physical Review D, 024026
Schmidhuber, J. 2002. Algorithmic Theories of Everything. International Journal of Foundations of Computer Science 13(4):587-612
Whitworth, B. 2008. The Physical World as a Virtual Reality. Eprint arXiv:0801.0337
Yahya, H. 2003. Keajaiban pada Atom. Bandung: Dzikra.

Sumber: FaktaIlmiah.com

No comments:

Post a Comment