Laman

Wednesday, October 17, 2012

Iman Pada Teori Fisika: Tafsir Multijagad Mekanika Kuantum

Berikut adalah sumbangan dari teman. Aslinya tulisan ini diterbitkan dalam buletin komunitas Verstehn Bandung edisi ke-sepuluh

Untuk memahami alam semesta dan segala mekanismenya, manusia mengembangkan teori-teori fisika.  Teori fisika memberikan penjelasan berdasarkan rasio empiris yang dimiliki manusia.

Pada dasarnya, teori fisika terdiri dari dua unsur, yaitu bagian formal dan bagian interpretif (Everett, 1973:133). Bagian formal mencakup struktur yang murni logika matematika. Struktur ini disebut pula model matematika. Manusia mengabstraksi alam menjadi seperangkat persamaan-persamaan dan aturan logika untuk memanipulasi persamaan tersebut. Sebuah konsep yang ditarik dari alam dibentuk menjadi simbol dan direkayasa sesuai aturan berpikir jernih sehingga diperoleh konsekuensi-konsekuensi. Bagian interpretif mencakup seperangkat asosiasi antara model matematika dengan pengalaman duniawi. Artinya, konsekuensi yang didapatkan dari aturan bernalar kemudian di kembalikan ke alam untuk diuji kebenarannya. Aturan ini berbentuk semantik yang mengkaitkan bahasa teori formal dengan bahasa hidup sehari-hari (Frank, 1946:3-4). Tulisan ini akan menunjukkan kalau terdapat beberapa teori dalam fisika pada dasarnya dibangun bukan oleh pembuktian tersebut, namun berdasarkan keimanan. Lebih lanjut, juga ditunjukkan kalau setidaknya dalam kasus tafsir multijagad, teori yang dipercaya secara dogmatis tersebut berhasil ditunjukkan, secara tidak langsung, berdasarkan perkembangan teknologi kemudian.

A. Mitos Lenyapnya Mitos dalam Sains

Mitos merupakan sebuah penjelasan sementara yang dianggap menjadi penjelasan pasti atas sesuatu. Sementara diartikan sebagai sebuah penjelasan yang tidak memiliki bukti. Apabila ada bukti, maka penjelasan sementara akan digantikan dengan penjelasan yang objektif dan bersifat permanen. Penjelasan tersebut mengangkat mitos menjadi faktual, jika mitos tersebut terbukti benar. Sebaliknya, ketika mitos tersebut terbukti salah, mitos baru muncul sampai ada mitos yang terbukti benar.

Mengatakan kalau pelangi merupakan turunnya bidadari dari langit adalah mitos, karena setelah diperiksa, ternyata tidak ada bidadari di ujung pelangi. Mitos bidadari dan pelangi berangkat dari pengalaman penutur mitos, mungkin ia membayangkan para bidadari memiliki selendang aneka warna dan berada di langit, sehingga ketika pelangi terlihat menyentuk langit, dapat diasosiasikan kalau bidadari turun dari langit dan selendangnya membekas menjadi aneka warna. Orang kemudian memunculkan mitos baru berdasarkan pengalamannya, katakanlah bahwa pelangi adalah hasil pembiasan cahaya. Mitos ini diuji dalam realitas kembali dan ternyata benar, pembiasan cahaya menghasilkan pelangi. Mitos tersebut menjadi sebuah fakta.

Sains sendiri dapat dipahami sebagai ilmu dan sebagai proses. Sebagai ilmu, teori yang belum terbukti benar atau salah merupakan bagian dari sains. Ia menjadi bagian penjelasan umum yang sementara atas sebuah fenomena alam. Sebagai proses, teori yang belum terbukti benar atau salah bukan merupakan bagian dari sains. Ia dapat dipahami sebagai mitos pula, hingga sains membuktikannya benar atau tidak. Karena sains pada intinya bukan lagi dipandang sebagai koleksi pengetahuan umum namun dipandang sebagai sebuah semangat untuk menggunakan nalar (baik deduktif rasional maupun induktif empiris) maka teori di masa sekarang dapat disebut sebagai mitos, dalam artian teori yang belum terbukti kebenarannya.

B. Antara Realitas dan Teori sebagai Mitos

Sebuah teori memiliki seperangkat proposisi atau pernyataan yang membangun teori tersebut. Sebagai contoh, teori gerak Newton terdiri dari empat proposisi: tiga proposisi yang terkenal sebagai hukum gerak Newton dan satu proposisi tentang hukum gravitasi. Keempat proposisi ini semua terbukti benar dan menjadi pendukung kuat kebenaran teori gerak Newton sebagai teori yang ilmiah.

Dalam pandangan hubungan antara teori sebagai mitos dan realitas senyatanya, filsafat sains memiliki dua aliran besar, yaitu positivisme ekstrim dan positivisme moderat. Keduanya merupakan positivis karena menekankan pada nalar dan logika dalam mencari fakta dan untuk menerima teori (Psillos, 2007:184).

Positivisme ekstrim atau positivisme garis keras memandang proposisi-proposisi yang menyusun sebuah teori, seluruhnya harus dianggap mitos dan dibuktikan kebenarannya (Barrett, 2011). Dengan kata lain, sebuah teori yang ilmiah haruslah teori yang isomorfisme yaitu  memiliki korespondensi satu-satu dengan realitas. Positivisme moderat sebaliknya, cukup beberapa proposisi saja dalam sebuah teori yang perlu dibuktikan dan proposisi lainnya cukup diimani saja sebagai bagian yang tak dapat lepas dari perangkat teori yang telah terbukti sebagian kebenarannya tersebut (Frank, 1955:291-2). Teori ilmiah dalam perspektif positivisme moderat cukup bersifat homomorfisme yaitu sebagian saja yang berkorespondensi dengan realitas (Everett, 1973:133). Dalam wacana positivisme moderat, maka sains akan penuh dengan teori-teori tidak sempurna dalam pandangan positivisme garis keras. Sementara itu, bagi positivisme moderat sendiri, desakan agar seluruh proposisi sebuah teori sains dibuktikan akan memiskinkan sains karena beberapa teori yang telah dipandang ampuh walaupun masih terjelaskan parsial, akan diusir keluar dari sains.

C. Wacana Teori Segalanya

Bagi penganut positivisme garis keras, teori segalanya adalah sebuah utopia. Teori segalanya adalah teori yang dimaksudkan untuk menjelaskan segalanya. Hal ini adalah konsekuensi logis dari penyempurnaan teori terus menerus. Sebagai contoh, katakanlah suatu teori mengandung 3 proposisi dan ketiga proposisi ini telah menjadi sebuah kepastian, maka teori ini menjadi kokoh. Ketika ada fenomena baru yang tak dapat dijelaskan teori ini, maka dibangun teori baru yang menyempurnakan dengan menambahkan, katakanlah satu proposisi, sehingga menjadi teori dengan 4 proposisi. Hal ini terus berlanjut sehingga sebuah teori baru muncul dari teori-teori lama dengan menambahkan proposisi-proposisinya. Anggap alam semesta dapat dijelaskan oleh sebuah teori dengan 40 proposisi, maka suatu saat, akumulasi dari proposisi-proposisi teori 
pada akhirnya akan mencapai kesempurnaan dengan 40 proposisi ini, dan tercapailah akhir dari sains.

Dikatakan sebagai akhir dari sains karena telah tidak ada lagi proses penemuan induktif empiris. Yang tersisa adalah penemuan deduktif yang tidak lagi mampu diartikan sebagai penemuan, karena pada dasarnya hanya menarik dari satu teori utama, yaitu teori segalanya.

Masalahnya sekarang adalah kita tidak tahu berapa banyak proposisi yang dapat dimiliki oleh sebuah teori segalanya. Ilmuan di abad ke-19 misalnya, percaya kalau teori Newton adalah teori segalanya dengan keempat proposisinya. Karena ia dianggap sebagai teori segalanya maka ialah realitas yang sesungguhnya (Everett, 1973:134), dalam artian aturan matematis yang tersemantikkan dalam dunia pengalaman manusia.

Tetapi setelah Einstein menemukan teori relativitasnya, teori Newton menjadi tidak selengkap relativitas Einstein. Kekuasaan teori relativitaspun tak lama ketika teori mekanika kuantum dirumuskan. Akibatnya teori segalanya harus mencakup proposisi-proposisi yang mewadahi teori relativitas Einstein dan mekanika kuantum sekaligus.

Kemudian bagaimana jika teori segalanya memiliki 6 juta proposisi didalamnya, apakah ini berarti teori tersebut tidak akan pernah dicapai manusia kapanpun. Dan jika tercapaipun, akankah teori tersebut terpahami oleh manusia? Bagaimana bentuk semantiknya?

Aliran positivisme moderat memandang teori segalanya mungkin tak akan pernah tercapai secara mutlak karena beberapa bagian dari teori tersebut akan berada di luar pengalaman manusia. Tak mungkin dapat lagi beberapa proposisinya diuji secara empiris karena untuk itu dibutuhkan pengetahuan menyeluruh mengenai alam semesta. Tidak ada cara untuk memverifikasi kalau suatu teori segalanya sepenuhnya benar, semata karena totalitas seluruh pengalaman tidak akan pernah terakses oleh kita (Everett, 1973:134).

D. Tafsir Mekanika Gelombang Murni

Teori relativitas telah begitu rumitnya dan tak kalah rumitnya mekanika kuantum. Dalam upaya mencapai teori segalanya, ilmuan semestinya memahami bagaimana teori relativitas dan teori kuantum dapat disatukan.

Teori kuantum khususnya, memiliki tiga penafsiran: (1) tafsiran standar von Neumann-Dirac, (2) tafsiran Kopenhagen, dan (3) tafsiran mekanika gelombang murni (Barrett, 2011). Dari ketiga tafsiran ini, yang umum diterima sekarang adalah tafsiran mekanika gelombang murni dari Hugh Everett III. Lebih jauh, tafsiran ini juga yang paling sederhana.

Teori multijagad berangkat dari pemahaman kuantum kalau keadaan alam semesta merupakan bentuk sebuah benda matematis yang disebut fungsi gelombang. Dimensi waktu membuat keadaan alam semesta ini berevolusi. Dalam mekanika kuantum sendiri, keadaan partikel bersifat acak dan tidak pasti. Walau begitu, fungsi gelombang berevolusi dengan cara yang deterministik (Tegmark, 2005).

Penafsiran Everett meramalkan kalau keacakan yang muncul pada dasarnya adalah determinisme. Jika seseorang diajak pergi makan malam dan orang tersebut merespon ajakan tersebut, dunia membelah menjadi dua (atau berapapun banyaknya pilihan yang ada) yaitu dunia dengan orang yang memutuskan untuk menerima dan dunia dengan orang yang memutuskan untuk menolak.
Ilustrasi yang lebih matematis adalah sebagai berikut. Jika peluang mata dadu 3 muncul adalah 1/6, dan ternyata setelah dikocok keluar mata dadu 2, maka berdasarkan teori Everett, mata dadu 3 juga keluar, hanya di alam semesta lain yang membelah. Tidak ada alasan jika kemungkinan 1/6 keluar menjadi 1 atau 0 setelah dadu digulirkan. Ketika dadu digulirkan, maka alam semesta kita bercabang menjadi enam alam semesta, masing-masing dengan mata dadunya sendiri (1 hingga 6). Kita hidup di dunia dimana dadu menunjukkan 2, dan ada kita yang lain sebanyak lima orang yang mengalami mata dadu lainnya, sehingga seluruh kemungkinan yang bisa ada, menjadi ada. Seluruh potensi mewujud dalam cabang-cabang alam semesta. Kita tidak sadar kalau diri dan seluruh alam kita tersalin menjadi alam semesta baru dengan sejarah masa depan yang berbeda (de Witt, 2003).

Tafsiran Everett terasa janggal ditinjau dari manapun. Tafsiran Everett bersifat tidak intuitif bagi realitas. Disinilah penjelasan mengejutkan Everett, seluruh potensi yang ada dari fungsi gelombang sebenarnya mewujud, tetapi di alam semesta lain. Lebih mengejutkan lagi, alam semesta ini pertama kali ada saat itu juga.

Tindakan pengamatan menjadikan sebuah fungsi gelombang membelah menjadi begitu banyak dunia, masing-masing dengan realitas sama nyatanya dengan realitas yang kita alami. Dari sini, disebutlah teori Everett sebagai teori multijagad. Ada tak terhingga jagad, setiap saat membelah dan membelah dengan berbagai realitas alternatif. Ada jagad raya dimana dinosaurus menjadi presiden dan ada jagad raya dimana tidak satupun manusia ada di dalamnya.

Dalam sudut pandang katak di permukaan bumi, mungkin kita menganggapnya aneh. Tegmark (2005) menjelaskan kita untuk mencoba mengambil sudut pandang elang yang berada di luar multijagad. Bagi pandangan elang, hanya ada satu fungsi gelombang. Hanya ada satu alam semesta yang sebenar-benarnya semesta (fisikawan lebih senang menyebutnya ruang Hilbert). Alam semesta membelah di mana-mana dan bercabang-cabang ke sana kemari akibat kesadaran. Kapanpun terjadi pengambilan keputusan, sebuah keadaan kuantum di otak membagi dunia berdasarkan pilihan yang ada. Ketika anda membaca tulisan ini dan memutuskan membaca paragraf selanjutnya, ada dunia baru dimana anda membaca tulisan ini tapi tidak memutuskan membaca paragraf selanjutnya.

Teori multijagad begitu anehnya sehingga kita dapat langsung menggolongkannya sebagai mitos. Tapi bahkan mitospun tak seaneh ini. Tetapi beberapa filsuf dan ilmuan setuju kalau teori multijagad punya beberapa bukti, dan bukti ini dapat menjadikan penganut positivisme moderat memegangnya sebagai landasan kalau teori multijagad adalah teori yang ilmiah.

Teori multijagad berangkat dari asumsi kalau evolusi waktu fungsi gelombang bersifat uniter. Walaupun alam semesta tidak diketahui apakah memiliki fungsi gelombang uniter, tetapi komponen-komponen mikro telah menunjukkan fungsi gelombang uniter. Fungsi gelombang uniter bukan hanya terbukti pada level atom namun bahkan level molekul buckyball 60 dan serat optik sepanjang satu kilometer. Secara teori, korespondensi AdS/CFT yang dikembangkan teori string (sebuah kandidat teori segalanya) menunjukkan kalau gravitasi kuantum bersifat uniter pula. Atas dasar ini, lubang hitam tidak merusak informasi tapi mengirimkannya entah kemana.

Konsekuensinya adalah tidak terhingga alam semesta. Ketika big bang terjadi, tak terhingga kemungkinan kombinasi nilai fisika yang berpotensi. Dalam teori Everett, seluruh kombinasi tersebut mewujud. Kita kebetulan saja berada di satu alam semesta yang memiliki kombinasi tertentu yang seolah terpilih acak (atau teliti – tergantung ideologi anda).

Walau begitu, jumlah alam semesta seiring bertambahnya waktu tidak bertambah. Tegmark (2005) menghitung ada 10 pangkat 10 pangkat 118 buah alam semesta pada suhu dibawah 100 juta kelvin pada level kuantum. Dari pandangan burung, fungsi gelombang hanya ada satu tapi ketika dilihat lebih dekat, terdapat cabang-cabang saling berpisah dan bertemu yang jumlahnya sebanyak bilangan di atas. Realitas yang anda rasakan mengenai berjalannya waktu adalah pergeseran dari satu cabang ke cabang lainnya terus menerus tanpa akhir. Ketika anda membaca ini, anda berada di alam semesta A. Sekarang anda membaca kalimat ini, anda telah berada di alam semesta B. Alam semesta B memiliki pengamat (yaitu anda) sama seperti alam semesta A, tetapi anda dan salinan anda memiliki sejarah berbeda.

E. Penutup

Agama sering dikritik sebagai sebuah keyakinan berlandaskan keimanan yaitu percaya begitu saja. Apakah keberadaan bukti menjadi keimanan lemah atau kuat bukanlah pertanyaan dalam artikel ini, namun keimanan memang dapat ada walaupun tanpa bukti atas apa yang diyakini. Sains setidaknya berdasarkan keimanan bagi para positivis moderat. Keimanan dalam sains terletak pada ketiadaan bukti atas proposisi-proposisi teori. Ketiadaan bukti ini memang ada yang bersifat sementara seperti proposisi dalam teori relativitas khusus yang pada akhirnya terbukti benar. Tetapi ada pula proposisi yang tak akan pernah dapat terbuktikan seperti proposisi yang diajukan tafsiran mekanika gelombang murni fisika kuantum. Tidak ada cara untuk mengetahui apakah alam semesta kita ini tunggal atau jamak, karena setiap usaha untuk mengambil keputusan (misalnya eksperimen untuk mengukur keberadaan alam semesta jamak) akan menjadikan alam semesta itu jamak dan kita terpaksa mendeteksi satu keadaan padahal ingin mendeteksi seluruh keadaan. Katak tidak dapat menjadi elang walau bagaimanapun caranya. Karenanya, sains harus bertopang pada keimanan pula.

Referensi
Barrett, J.A. [2011]: ‘On the Faithful Interpretation of Pure Wave Mechanics’, British Journal for the Philosophy of Science, 0(2011), 1-17.
de Witt, B. [2003]: ‘The Everett interpretation of quantum mechanics’, Barrow, J. D., Davies, P. C. W., & Harper, C. L (eds), Science and Ultimate Reality: From Quantum to Cosmos, Cambridge: Cambridge Univ. Press.
Everett, H. III [1973]: ‘The Theory of the Universal Wave Function’, B. S. DeWitt and R. N. Graham (eds), The Many-Worlds Interpretation of Quantum Mechanics, Princeton, NJ: Princeton University Press, pp. 3–140.
Frank, P. [1946]: Foundations of Physics, International Encyclopedia of Unified Science, Volume 1, no. 7, Chicago: University of Chicago Press.
Frank, P. [1955]: Modern Science and Its Philosophy, New York: George Braziller.
Psillos, S. [2007]: Philosophy of Science A-Z. Edinburgh: Edinburgh University Press.
Tegmark, M. [2005]: The Multiverse Hierarchy. B. Carr (ed), Universe or Multiverse? Cambridge: Cambridge University Press.

Sumber: FaktaIlmiah.com


No comments:

Post a Comment