Laman

Tuesday, October 23, 2012

Realitas yang Meluas dan Kembali Kepada Diri Sendiri

Oleh: Atmonadi

"Kemudian Dia (Allah) beristawa ke langit, sedangkan langit masih berupa asap (gas),” (Surat Fushilat ayat 11).
“Tidaklah orang-orang kafir tahu bahwasanya langit dan bumi itu dahulu keduanya bersatu, kemudian Kami pisahkan antara keduanya,” (Surat Al Anbiya ayat 30).
Bagaimanakan manusia memahami realitas mulai sejak menyadari simbologi-simbologi elementernya yaitu suatu titik?

Sejak konsep dasar, dimana seluruh ide awal mula dinyatakan dan diekspansikan oleh pikiran manusia, maka terjadi evolusi pemikiran dimana realitas terurai secara parabolik dengan simbologika.

Misalnya, dari titik menjadi garis dan lingkaran merupakan ide dasar yang dapat disimbolikkan dari satu titik, menjadi himpunan titik, dan kemudian melengkung menjadi lingkaran.

Gagasan parabolik ini merupakan produk realitas yang dilihat secara inderawi oleh mata dan pirantinya yang berbentuk cembung. Bagaimana realitas sesungguhnya?

Dari berkas cahaya, pikiran mengikuti pola optis yang dicerna mata. Karena itu, kita melihat pemandangan yang melengkung. Ketika gagasan ini di metaforakan dengan geometri, bilangan dan huruf maka ungkapannya adalah:

“Tidaklah orang-orang kafir tahu bahwasanya langit dan bumi itu dahulu keduanya bersatu, kemudian Kami pisahkan antara keduanya,” (Surat Al Anbiya ayat 30).

Bagian yang mendatar adalah kiasan untuk Bumi sebagai realitas yang habis bagi. Realitas ini tak lain adalah realitas apel Adam yang nyata dimana jika apel dibagi dua maka terdapat ½ dan ½ apel.

Sedangkan yang melengkung adalah langit dengan pemandangan yang seluas-luasnya, dengan karakter halusinatif, yang tidak lain adalah Apel Adam yang bisa dibelah sebanyak-banyaknya. Ini merupakan bagian maya, halusinatif yang menjadi gambaran tentang hawa nafsu manusia.

Contoh nyata dari hawa nafsu adalah ilmu pengetahuan yang bisa berkembang seluas-luasnya, alias bilangan 10 dan 2 alias basis dijital.

Namun pemandangan ini bersifat terbatas karena kita hanya dapat memahami sebatas bilangan dan huruf. Dan tentu saja implementasinya juga terbatas serta terkendala oleh daya dukung sistem kehidupan kita di Bumi.

Semua kemudian menjadi metafora untuk mengurangi keterbatasan kita yang sifatnya berkaitan dengan keadaan fisik makhluk yang dapat musnah alias fana.

Dari konsep metafora, kemudian hubungan-hubungan langit dan bumi dimodelkan secara matematis dan fisika sampai fisika astronomis. Hasil akhirnya adalah teori kosmologis yang sekarang kita kenal mulai dari big-bang, ekspansi semesta, black hole, white hole dll.

Ketika pemandangan makro ini diintegrasikan kembali maka teori kuantum muncul. Teori kuantum sebenarnya muncul dari gagasan awal dimana sebuah titik bisa melakukan pemisahan dengan karakteristik fisik berbeda yaitu sebagai garis. Bagian yang meluas, sebenarnya tidak meluas ke arah luar namun kembali ke titik awal, sampai akhirnya garis melengkung bertemu, yang awal dan akhirnya bersatu, kepala bagaikan menggigit ekor. Itulah batasan yang kita kenal sebagai QS 57:3 dan Kondisi Tanpa Tapal Batas dari asumsi Hawking dan Hartle ketika menguraikan konsepsi imajinal alam semesta muncul dari ketiadaan.
Dialah yang Awal dan yang akhir yang Zhahir dan yang Bathin; dan Dia Maha mengetahui segala sesuatu. (QS 57:3).

No comments:

Post a Comment