Laman

Sunday, November 18, 2012

Ilmu Pengetahuan dan Agama

Oleh: Ayatullah Murtadha Muthahhari

Hubungan antara Ilmu Pengetahuan dan Agama

Telah kita kaji hubungan antara sisi manusiawi manusia dan sisi hewaninya. Dengan kata lain, hubungan antara kehidupan budaya serta spiritual manusia dan kehidupan materialnya. Kini sudah jelas bahwa sisi manusiawi manusia itu eksistensinya independen dan bukanlah sekadar cermin kehidupan hewaninya. Juga sudah jelas bahwa ilmu pengetahuan dan agama merupakan dua bagian pokok dari sisi manusiawi manusia. Kini marilah kita telaah keterkaitan yang terjadi atau yang dapat terjadi antara dua segi dari sisi manusiawi manusia itu.

Di dunia Kristiani, sayangnya, bagian-bagian tertentu dari Perjanjian Lama mengajukan gagasan, bahwa terjadi kontradiksi antara ilmu pengetahuan dan agama. Dasar dari gagasan ini—yang sangat merugikan ilmu pengetahuan dan agama—adalah Kitab Kejadian, Perjanjian Lama.

Dalam meriwayatkan “Kisah Adam dan Pohon Terlarang”. Kitab Kejadian, Bab II, ayat 16-17 mengatakan:

Dan Tuhan Allah memberikan perintah kepada lelaki itu, dengan mengatakan, “Dari setiap pohon di surga, engkau boleh leluasa makan (buahnya). Namun untuk pohon pengetahuan tentang baik dan buruk, engkau tidak boleh makan (buahnya). Karena kalau engkau makan (buah) dari pohon itu, engkau pasti akan mad.”

Dalam Bab II, ayat 1-7 dikatakan:

Kini naganya lebih canggih ketimbang binatang buas sawah yang diciptakan Tuhan Allah. Dan dia berkata kepada wanita itu, “Ya, Tuhan telah berfirman, engkau tak boleh makan dari setiap pohon di surga?” Dan wanita itu berkata kepada sang naga, “Kita boleh makan buah dari pohon-pohon di surga. Namun untuk buah dari pohon yang ada di tengah-tengah surga, Tuhan telah ber­firman, engkau tidak boleh makan buah itu, juga tak boleh menyentuhnya, agar engkau tidak mati.” Dan sang naga berkata kepada sang wanita, “Tentu saja engkau dilarang, karena Tuhan tahu bahwa begitu engkau makan (buah itu), maka kedua matamu akan terbuka, dan engkau pun akan seperti dewa, tahu mana yang baik dan mana yang buruk.” Dan ketika sang wanita tahu bahwa pohon itu baik untuk makanan, dan bahwa pohon itu menyedapkan pandangan matanya, dan sebuah pohon yang dibutuhkan untuk membuat orang jadi arif, wanita itu pun memetik buah dari pohon itu, kemudian memakannya, dan juga memberikan kepada suaminya, dan sang suami pun memakannya. Dan mata mereka pun terbuka, dan mereka mendapati diri mereka telanjang. Lalu mereka menjahit daun-daun ara untuk pakaian mereka.

Dalam ayat 22-23 dalam Bab yang sama dikatakan:

Dan Tuhan Allah berfirman, “Lihatlah, lelaki itu menjadi seperti Kami, tahu yang baik dan yang buruk. Dan kini, jangan sampai dia mengulurkan tangannya, lalu memetik (buah) dari pohon kehidupan, kemudian makan (buah itu), dan hidup abadi.”[1]

Menurut konsepsi tentang manusia, Tuhan, ilmu pengetahuan dan kedurhakaan ini, Tuhan tidak mau kalau manusia sampai tahu yang baik dan yang buruk. Pohon Terlarang adalah pohon pengetahuan. Manusia baru dapat memiliki pengetahuan kalau dia menentang perintah Tuhan (tidak menaati ajaran agama dan para nabi). Namun karena alasan itulah manusia terusir dari surga Tuhan.

Menurut konsepsi ini, semua isyarat buruk merupakan isyarat ilmu pengetahuan, dan nalar merupakan iblis sang pemberi isyarat. Sebaliknya, dari Al-Qur’an Suci kita menjadi mengetahui bahwa Allah mengajarkan semua nama (realitas) kepada Adam, dan kemudian menyuruh para malaikat untuk sujud kepada Adam. Iblis mendapat kutukan karena tak mau sujud kepada khalifah Allah (Adam) yang mengetahui realitas. Hadis-hadis Nabi menyebutkan bahwa Pohon Terlarang adalah pohon keserakahan, kekikiran dan hal-hal seperti itu, yaitu hal-hal yang berhubungan dengan sisi hewani Adam, bukan berhubungan dengan sisi manusiawi Adam. Iblis selalu mengisyaratkan hal-hal yang bertentangan dengan akal dan hal-hal yang dapat memenuhi hasrat rendah (hawa nafsu). Yang mencerminkan iblis di dalam diri manusia adalah hasrat seksual, bukan akal. Beda dengan semua ini, yang kita temukan dalam Kitab Kejadian sungguh-sungguh sangat mengherankan.

Konsepsi ini telah membagi sejarah budaya Eropa selama 1500 tahun yang baru lalu menjadi dua periode, yaitu “Zaman Agama” dan “Zaman Ilmu Pengetahuan”, dan telah menempatkan ilmu pengetahuan dan agama saling bertentangan satu sama lain.

Sebaliknya, sejarah budaya Islam dibagi menjadi “Periode Kemajuan Ilmu Pengetahuan dan Agama” dan Teriode Ketika Ilmu Pengetahuan dan Agama Mengalami Kemunduran”. Kaum Muslim hendaknya menjauhkan diri dari konsepsi yang salah ini, sebuah konsepsi yang membuat ilmu pengetahuan, agama dan ras manusia mengalami kerugian yang tak dapat ditutup. Kaum Muslim juga jangan secara membuta menganggap kontradiksi antara ilmu pengetahuan dan agama sebagai fakta yang tak terbantahkan.

Bagaimana kalau kita melakukan studi analisis terhadap masalah ini, kemudian kita lihat apakah kedua segi dari sisi manusiawi manusia ini hanya ada pada periode atau zaman tertentu, dan apakah manusia pada setiap zaman nasibnya adalah hanya menjadi setengah manusia, dan selalu menderita akibat keburukan yang terjadi karena kebodohan atau karena kedurhakaan.

Seperti akan kita ketahui, setiap agama tentunya didasarkan pada pola pikir tertentu dan konsepsi khusus tentang kosmos (jagat raya). Tak syak lagi, banyak konsepsi dan interpretasi tentang dunia, meskipun boleh jadi menjadi dasar dari agama, tidak dapat diterima karena tidak sesuai dengan prinsip rasional dan prinsip ilmu pengetahuan. Karena itu, pertanyaannya adalah apakah ada konsepsi tentang dunia dan interpretasi tentang kehidupan yang rasional dan sekaligus sesuai dengan infrastruktur sebuah agama yang sangat pada tempatnya?

Jika ternyata konsepsi seperti itu memang ada, maka tak ada alasan kenapa manusia sampai dianggap untuk selamanya ditakdirkan mengalami nasib buruk akibat kebodohan atau kedurhakaan.

Hubungan antara ilmu pengetahuan dan agama dapat dibahas dari dua sudut pandang. Sudut pandang yang pertama adalah kita lihat apakah ada sebuah agama yang konsepsinya melahirkan keimanan dan sekaligus rasional, atau semua gagasan yang ilmiah itu bertentangan dengan agama, tidak memberikan harapan dan tidak melahirkan optimisme. Pertanyaan ini akan dibahas nanti dalam “Konsepsi Tentang Kosmos”.

Sudut pandang kedua yang menjadi landasan dalam membahas hubungan antara agama dan ilmu pengetahuan adalah pertanyaan tentang bagaimana keduanya ini berpengaruh pada manusia. Apakah ilmu pengetahuan membawa kita ke satu hal, dan agama membawa kita kepada sesuatu yang bertentangan dengan satu hal itu? Apakah ilmu pengetahuan mau membentuk (karakter) kita dengan satu cara dan agama dengan cara lain? Atau apakah agama dan ilmu pengetahuan saling mengisi, ikut berperan dalam menciptakan keharmonisan kita semua? Baiklah, kita lihat sumbangan ilmu pengetahuan untuk kita dan sumbangan agama untuk kita.

Ilmu pengetahuan memberikan kepada kita cahaya dan kekuatan. Agama memberi kita cinta, harapan dan kehangatan. Ilmu pe­ngetahuan membantu menciptakan peralatan dan mempercepat laju kemajuan. Agama menetapkan maksud upaya manusia dan sekaligus mengarahkan upaya tersebut. Ilmu pengetahuan membawa revolusi lahiriah (material). Agama membawa revolusi batiniah (spiritual). Ilmu pengetahuan menjadikan dunia ini dunia manusia. Agama menjadikan kehidupan sebagai kehidupan manusia. Ilmu pengetahuan melatih temperamen (watak) manusia. Agama membuat manusia mengalami pembaruan. Ilmu pengetahuan dan agama sama-sama memberikan kekuatan kepada manusia. Namun, kekuatan yang diberikan oleh agama adalah berkesinambungan, sedangkan kekuatan yang diberikan oleh ilmu pengetahuan terputus-putus. Ilmu pengetahuan itu indah, begitu pula agama. Ilmu pengetahuan memperindah akal dan pikiran. Agama memperindah jiwa dan perasaan. Ilmu pengetahuan dan agama sama-sama membuat manusia merasa nyaman. Ilmu pengetahuan melindungi manusia terhadap penyakit, banjir, gempa bumi dan badai. Agama melindungi manusia terhadap keresahan, kesepian, rasa tidak aman dan pikiran picik. Ilmu pengetahuan mengharmoniskan dunia dengan manusia, agama menyelaraskan manusia dengan dirinya. Kebutuhan manusia akan ilmu pengetahuan maupun agama telah menarik perhadan kaum pemikir religius maupun pemikir sekular.

Dr. Muhammad Iqbal berkata:

“Dewasa ini manusia membutuhkan tiga hal: Pertama, interpretasi spiritual tentang alam semesta. Kedua, kemerdekaan spiritual. Ketiga, prinsip-prinsip pokok yang memiliki makna universal yang mengarahkan evolusi masyarakat manusia dengan berbasiskan rohani.”

Dari sini, Eropa modern membangun sebuah sistem yang realistis, namun pengalaman memperlihatkan bahwa kebenaran yang diungkapkan dengan menggunakan akal saja tidak mampu memberikan semangat yang terdapat dalam keyakinan yang hidup, dan semangat ini ternyata hanya dapat diperoleh dengan pengetahuan personal yang diberikan oleh faktor supranatural (wahyu). Inilah sebabnya mengapa akal semata tidak begitu berpengaruh pada manusia, sementara agama selalu meninggikan derajat orang dan mengubah masyarakat. Idealisme Eropa tak pernah menjadi faktor yang hidup dalam kehidupan Eropa, dan hasilnya adalah sebuah ego yang sesat, yang melakukan upaya melalui demokrasi yang saling tidak bertoleransi. Satu-satunya fungsi demokrasi seperti ini adalah mengeksploitasi kaum miskin untuk kepentingan kaum kaya.

Percayalah, Eropa dewasa ini paling merintangi jalan kemajuan akhlak manusia. Sebaliknya, dasar dari gagasan-gagasan tinggi kaum Muslim ini adalah wahyu. Wahyu ini, yang berbicara dari lubuk hati kehidupan yang paling dalam, menginternalisasi (menjadikan dirinya sebagai bagian dari karakter manusia dengan cara manusia mempelajarinya atau menerimanya secara tak sadar—pen.) aspek-aspek lahiriahnya sendiri. Bagi kaum Muslim, basis spiritual dari kehidupan merupakan masalah keyakinan. Demi keyakinan inilah seorang Muslim yang kurang tercerahkan pun dapat mempertaruhkan jiwanya. “Reconstruction of Religious Thought in Islam” (Rekonstruksi Pemikiran Religius dalam Islam).

Will Durant, penulis terkenal “History of Civilization” (Sejarah Peradaban), meskipun dia bukan orang yang religius, berkata:

“Beda dunia kuno atau dunia purba dengan dunia mesin baru hanya pada sarana, bukan pada tujuan. Bagaimana menurut Anda jika ternyata ciri pokok seluruh kemajuan kita adalah peningkatan metode dan sarana, bukan perbaikan tujuan dan sasaran?”[2]

Dia juga mengatakan: “Harta itu membosankan, akal dan kearifan hanyalah sebuah cahaya redup yang dingin. Hanya dengan cintalah, kelembutan yang tak terlukiskan dapat menghangatkan hati.”[3]

Kini kurang lebih disadari bahwa saintisisme (murni pendidikan ilmiah) tidak mencetak manusia seutuhnya. Saintisisme melahirkan setengah manusia. Pendidikan seperti ini hanya menghasilkan bahan baku untuk manusia, bukan manusia jadi. Yang dapat dihasilkan pendidikan seperti ini adalah manusia unilateral, sehat dan kuat, namun bukan manusia multilateral dan bajik. Semua orang kini menyadari bahwa zaman murni ilmu pengetahuan sudah berakhir. Masyarakat sekarang terancam dengan terjadinya kekosongan idealistis. Sebagian orang bemiaksud mengisi kekosongan ini dengan murni filsafat, sebagian lainnya merujuk kepada sastra, seni dan ilmu-ilmu humanitarian (ilmu-ilmu yang mempromosikan kesejahteraan manusia—pen.).

Di negeri kami (Iran—pen.) ada usulan agar kekosongan tersebut diisi dengan sastra yang penuh kebajikan, khususnya sastra sufi karya Maulawi, Sa’di dan Hafiz. Para pendukung rencana ini lupa bahwa sastra ini sendiri mendapat ilham dan agama dan dan semangat agama yang penuh kebajikan, semangat yang menjadikan agama menarik perhatian, yaitu semangat Islam. Kalau tidak, mengapa sastra modern, meski ada klaim lantang bahwa sastra modern itu humanistis, begitu hambar, tak ada roh dan daya tariknya. Sesungguhnya kandungan manusiawi dalam sastra sufi kami, merupakan hasil dan konsepsi Islami sastra tersebut tentang alam semesta dan manusia. Seandainya roh Islam dikeluarkan dari mahakarya-mahakarya ini, maka yang tersisa hanyalah kerangkanya saja.

Will Durant termasuk orang yang menyadari adanya kekosongan itu. Menurutnya, hendaknya sastra, filsafat dan seni mengisi kekosongan itu. Dia berkata:

“Kerusakan atau kerugian yang dialami oleh sekolah dan perguruan tinggi kita, sebagian besar adalah akibat teori pendidikannya Spencer.[4] Definisi Spencer mengenai pendidikan adalah bahwa pendidikan membuat manusia menjadi selaras dengan lingkungannya. Definisi ini tak ada rohnya, dan mekanis sifatnya, serta lahir dari filsafat keunggulan mekanika. Setiap otak dan jiwa yang kreatif menentang definisi ini. Akibatnya adalah sekolah dan perguruan tinggi kita hanya diisi dengan ilmu-ilmu teoretis dan mekanis, sehingga tak ada mata pelajaran sastra, sejarah, filsafat dan seni, karena mata pelajaran seperti ini dianggap tak ada gunanya. Yang dapat dicetak oleh suatu pendidikan yang murni ilmu pengetahuan hanyalah alat. Pendidikan seperti ini membuat manusia tak mengenal keindahan dan tak mengenal kearifan. Akan lebih baik bagi dunia seandainya saja Spencer tidak menulis buku.”[5]

Sangat mengejutkan, meskipun Will Durant menganggap kekosongan ini pertama-tama sebagai kekosongan idealistis yang terjadi akibat pemikiran yang salah dan akibat tak ada kepercayaan kepada tujuan manusia, namun dia masih saja berpendapat bahwa problem ini dapat dipecahkan dengan sesuatu yang non-material, sekalipun mungkin imajinatif belaka. Menurutnya, menyibukkan din dengan sejarah, seni, keindahan, puisi dan musik dapat mengisi sebuah kekosongan. Kekosongan ini ada karena manusia memiliki naluri mencari ideal dan kesempurnaan.

Dapatkah Ilmu Pengetahuan dan Agama Saling Menggantikan Tempat Masing-masing?

Telah kita ketahui bahwa antara agama dan ilmu pengetahuan tak ada pertentangan. Yang terjadi justru keduanya saling mengisi. Sekarang timbul satu pertanyaan lagi: Mungkinkah keduanya mengisi tempat masing-masing?

Pertanyaan ini tidak perlu dijawab secara terperinci, karena kita sudah tahu peran masing-masing (agama dan ilmu pengetahuan). Jelaslah bahwa ilmu pengetahuan tak dapat menggantikan peran agama, karena agama memberikan kasih sayang, harapan, cahaya dan kekuatan. Agama meninggikan nilai keinginan kita, di samping membantu kita mewujudkan tujuan kita, menyingkirkan unsur egoisme dan individualisme jauhjauh dari keinginan dan ideal kita, dan meletakkan keinginan dan ideal kita itu di atas fondasi cinta dan hubungan moral serta spiritual. Selain menjadi alat bagi kita, pada dasarnya agama mengubah hakikat kita. Begitu pula, agama juga tak dapat menggantikan peran ilmu pengetahuan. Melalui ilmu pengetahuan kita dapat mengenal alam, kita dapat mengetahui hukum alam, dan kita pun dapat mengenal siapa diri kita sendiri.

Pengalaman sejarah menunjukkan bahwa akibat dari memisahkan antara ilmu pengetahuan dan agama, telah terjadi kerugian yang tak dapat ditutup. Agama haras dipahami dengan memperhatikan ilmu pengetahuan, sehingga tidak terjadi pembauran agama dengan mitos. Agama tanpa ilmu pengetahuan berakhir dengan kemandekan dan prasangka buta, dan tak dapat mencapai tujuan. Kalau tak ada ilmu pengetahuan, agama menjadi alat bagi orang-orang pandai yang munafik. Kasus kaum Khawarij pada zamah awal Islam dapat kita lihat sebagai satu contoh kemungkinan ini. Contoh lainnya yang beragam bentuknya telah kita lihat, yaitu pada periode-periode selanjutnya, dan masih kita saksikan.

Ilmu pengetahuan tanpa agama adalah seperti sebilah pedang tajam di tangan pemabuk yang kejam. Juga ibarat lampu di tangan pencuri, yang digunakan untuk membantu si pencuri mencuri barang yang berharga di tengah malam. Itulah sebabnya sama sekali tak ada bedanya antara watak dan perilaku orang tak beriman dewasa ini yang berilmu pengetahuan dan orang tak beriman pada masa dahulu yang tidak berilmu pengetahuan. Lantas, apa bedanya antara Churchill, Johnson, Nixon dan Stalin dewasa ini dengan Fir’aun, Jenghis Khan dan Attila pada zaman dahulu?

Dapatlah dikatakan bahwa karena ilmu pengetahuan adalah cahaya dan juga kekuatan, maka penerapannya pada dunia mate­rial ini tidaklah khusus. Ilmu pengetahuan mencerahkan dunia spiritual kita juga, dan konsekuensinya memberikan kekuatan bagi kita untuk mengubah dunia spiritual kita. Karena itu, ilmu pengetahuan dapat membentuk dunia dan manusia juga. Ilmu pengetahuan dapat menunaikan tugasnya sendiri, yaitu mem­bentuk dunia dan juga tugas agama, yaitu membentuk manusia. Jawabannya adalah bahwa semua ini memang benar, namun masalah pokoknya adalah bahwa ilmu pengetahuan adalah alat yang penggunaannya tergantung kepada kehendak manusia. Apa saja yang dilakukan oleh manusia, dengan bantuan ilmu pengetahuan dia dapat melakukannya dengan lebih baik. Itulah sebabnya kami katakan bahwa ilmu pengetahuan membantu kita mencapai tujuan dan melintasi jalan yang kita pilih.

Jadi, alat digunakan untuk mencapai tujuan yang sudah ditetapkan sebelumnya. Sekarang pertanyaannya adalah, dengan dasar apa tujuan itu ditetapkan? Seperti kita ketahui, pada dasarnya manusia adalah binatang. Sisi manusiawinya merupakan kualitas (kemampuan) yang diupayakannya. Dengan kata lain, kemampuan-kemampuan manusiawi yang dimiliki oleh manusia perlu ditumbuh-kembangkan secara bertahap dengan agama. Pada dasarnya manusia berjalan menuju tujuan egoistis dan hewaninya. Tujuan ini material dan individualistis sifatnya. Untuk mencapai tujuan ini, manusia memanfaatkan alat yang ada pada dirinya. Karena itu, dia membutuhkan kekuatan pendorong. Kekuatan pendorong ini bukan tujuannya dan juga bukan alatnya. Dia membutuhkan kekuatan yang dapat meledakkannya dari dalam, dan mengubah kemampuan terpendamnya menjadi tindakan nyata. Dia membutuhkan kekuatan yang dapat mewujudkan revolusi dalam hati nuraninya dan memberinya orientasi baru. Tugas ini tidak dapat dilaksanakan dengan pengetahuan tentang hukum yang mengatur manusia dan alam beserta isinya. Namun tugas ini baru dapat dilaksanakan jika dalam jiwa manusia tertanam kesucian dan arti penting nilai-nilai tertentu. Untuk tujuan ini manusia harus memiliki beberapa kecenderungan yang mulia. Kecenderungan seperti ini ada karena cara pikir dan konsepsi tertentu tentang alam semesta dan manusia. Cara pikir dan konsepsi ini, serta muatan dimensi dan bukti cara pikir dan konsepsi tersebut, tidak dapat diperoleh di laboratorium dan, seperti akan kami jelaskan, berada di luar jangkauan ilniu pe­ngetahuan.

Sejarah masa lalu dan sekarang telah memperlihatkan betapa buruk akibat yang ditimbulkan oleh pemisahan antara ilmu pengetahuan dan agama. Kalau ada agama namun tak ada ilmu pengetahuan, maka arah upaya kaum humanitarian adalah sesuatu yang tidak banyak membawa hasil atau tidak membawa hasil yang baik. Upaya ini sering menjadi sumber prasangka dan obskurantisme (sikap yang menentang ilmu pengetahuan dan pencerahan—pen.), dan terkadang hasilnya adalah konflik yang membahayakan.

Kalau ilmu pengetahuan ada namun agama tidak ada, seperti yang terjadi pada sebagian masyarakat modern, maka segenap kekuatan ilmu pengetahuan digunakan untuk tujuan menumpuk harta sendiri, memperbesar kekuasaan sendiri, dan untuk memuaskan nafsu berkuasa dan nafsu mengeksploitasi.

Dua atau tiga abad yang baru lalu dapat dipandang sebagai periode mendewakan ilmu pengetahuan dan mengabaikan agama. Banyak intelektual mengira bahwa segenap problem yang dihadapi manusia dapat dipecahkan dengan ilmu pengetahuan, namun pengalaman telah membuktikan sebaliknya. Dewasa ini semua intelektual sepakat bahwa manusia membutuhkan agama. Meskipun agama itu tidak religius, namun yang jelas di luar ilmu pengetahuan. Sekalipun pandangan Bertrand Russel, materialistis, namun dia mengakui bahwa: “Kerja yang semata-mata bertujuan memperoleh pendapatan, maka kerja seperti itu tak akan membawa hasil yang baik. Untuk tujuan ini harus diadopsi profesi yang menanamkan pada individu sebuah agama, sebuah tujuan dan sebuah sasaran.”[6]

Dewasa ini kaum materialis merasa terpaksa mengklaim diri sebagai kaum yang secara filosofis materialis dan secara moral idealis. Dengan kata lain, mereka mengatakan bahwa mereka adalah kaum materialis dari sudut pandang teoretis, dan kaum spiritualis dari sudut pandang praktis dan idealistis. Bagaimanapun juga, problemnya tetap: mana mungkin seorang manusia secara teoretis materialis dan secara praktis spiritualis? Pertanyaan ini harus dijawab oleh kaum materialis sendiri.

George Sarton, ilmuwan dunia yang termasyhur, penulis buku yang terkenal, “History of Science” (Sejarah Ilmu Pengetahuan), ketika menguraikan ketidakberdayaan ilmu pengetahuan mewujudkan hubungan antar umat manusia, dan ketika menegaskan kebutuhan mendesak akan kekuatan agama, berkata:

“Di bidang-bidang tertentu, ilmu pengetahuan berhasil membuat kemajuan yang hebat. Namun di bidang-bidang lain yang berkaitan dengan hubungan antar umat manusia, misalnya bidang politik nasional dan internasional, kita masih menertawakan diri kita.”

George Sarton mengakui bahwa kayakinan yang dibutuhkan oleh manusia adalah keyakinan yang religius. Menurutnya, ke­butuhan ini merupakan satu di antara tiga serangkai yang dibutuh­kan oleh manusia: seni, agama dan ilmu pengetahuan. Katanya,

“Seni mengungkapkan keindahan. Seni adalah kenikmatan hidup. Agama berarti kasih sayang. Agama adalah musik kehidupan. Ilmu pengetahuan berarti kebenaran dan akal. Ilmu pengetahuan adalah had nurani umat manusia. Kita membutuhkan ketiganya: seni, agama dan ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan mutlak diperlukan, meskipun tidak pernah memadai.” (George Sarton, Six Wings: Men of Science in the Renaissance, hal. 218. London, 1958)

[1] Petikan dari The Holy Bible, 1611 M. The British and Foreign Bible Society, London.

[2] The Pleasures of Philosophy, h. 240.

[3] The Pleasures of Philosophy, h. 114 (New York, 1953).

[4] Filosof Inggris abad ke-19 yang termasyhur.

[5] The Pleasures of Philosophy, h. 168,169 (New York, 1953).

[6] Bertrand Russell, Marriage and Morals, h. 102 (London, 1929).

Sumber: TEOSOPHY

1 comment:

  1. ada yang salah di sini. bible tidak menentang pengetahuan. malahan bible mendukung. yang tidak tahu adalah mereka yang tidak mempelajari bible dengan sungguh-sungguh. Amsal 1:7, 1:7 Takut akan TUHAN adalah permulaan pengetahuan, tetapi orang bodoh menghina hikmat dan didikan...

    ReplyDelete