Laman

Wednesday, October 5, 2016

Apakah Multiverse Betul-betul Eksis?

Oleh: George F.R. Ellis

(Sumber: Scientific American, Agustus 2011, hal 38-43)


Bukti eksistensi alam-alam semesta paralel yang sangat berbeda dari alam semesta kita mungkin masih di luar domain sains.

MultiverseSelama dekade terakhir, sebuah klaim luar biasa telah memikat para kosmolog: alam semesta mengembang yang kita saksikan di sekeliling kita bukanlah satu-satunya; miliaran alam semesta lain ada di luar sana. Bukan satu universe—yang ada multiverse. Dalam artikel-artikel Scientific American dan buku-buku seperti karangan terakhir Brian Green, The Hidden Reality, para ilmuwan terkemuka sudah membahas revolusi super-Copernican. Dalam pandangan ini, bukan hanya bahwa planet kita adalah salah satu dari sekian banyak planet, tapi juga bahkan keseluruhan alam semesta kita tidak signifikan pada skala kosmik segala sesuatu. Ia cuma satu dari banyak alam semesta tak terhitung, masing-masing mengerjakan urusannya sendiri.

Kata “multiverse” memiliki makna-makna berlainan. Astronom mampu melihat ke jarak sekitar 42 miliar tahun-cahaya, horizon visual kosmik kita. Kita tak punya alasan untuk menyangka alam semesta berhenti sampai di situ. Di baliknya boleh jadi banyak—bahkan tak terhingga—domain yang sangat mirip dengan yang kita saksikan. Masing-masing memiliki distribusi materi awal berlainan, tapi hukum fisika yang sama beroperasi di semuanya. Hampir semua kosmolog hari ini (termasuk saya) menerima tipe multiverse ini, yang Max Tegmark sebut “level 1”. Tapi sebagian beranjak lebih jauh. Mereka mengemukakan jenis-jenis alam semesta amat berbeda, dengan fisika berbeda, sejarah berbeda, barangkali jumlah dimensi ruang berbeda. Sebagian besar hampa, walaupun sebagian lain disesaki kehidupan. Pendukung utama multiverse “level 2” ini adalah Alexander Vilenkin, yang melukis sebuah gambar dramatis berupa set alam semesta tak terhingga dengan jumlah galaksi tak terhingga, jumlah planet tak terhingga, dan jumlah orang tak terhingga dengan nama Anda dan sedang membaca artikel ini.

Klaim-klaim serupa telah dilontarkan sejak zaman purba oleh banyak kebudayaan. Yang baru adalah penegasan bahwa multiverse merupakan teori ilmiah, dengan segala implikasi matematika yang keras dan dapat diuji secara eksperimen. Saya skeptis terhadap klaim ini. Saya tidak percaya eksistensi alam-alam semesta lain itu telah terbukti—atau bisa terbukti. Para pendukung multiverse, selain memperluas konsepsi kita akan realitas fisik, secara implisit sedang mendefinisikan ulang apa yang dimaksud dengan “sains”.

Singkatnya
Gagasan alam semesta paralel melompat dari halaman-halaman fiksi ke dalam jurnal-jurnal ilmiah di tahun 1990-an.
Banyak ilmuwan mengklaim megajutaan alam semesta lain, masing-masing dengan hukum fisikanya sendiri, terdapat di luar sana, di luar horizon visual kita. Mereka secara kolektif dikenal sebagai multiverse.
Masalahnya, tak ada observasi astronomis yang pernah melihat alam-alam semesta lain tersebut. Paling banter, argumennya tak langsung. Sekalipun multiverse eksis, ini menyisakan misteri-misteri alam yang tak terjelaskan.
Di Atas Horizon
Orang-orang yang memeluk konsepsi luas multiverse memiliki beraneka proposal tentang bagaimana perkembangbiakan alam-alam semesta seperti itu bisa timbul dan di mana mereka semua berada. Mereka mungkin terletak di kawasan-kawasan ruang jauh di luar ruang kita, sebagaimana dipertimbangkan oleh model inflasi balau (chaotic inflation model) buatan Alan H. Guth, Andrei Linde, dan lainnya [lihat “Alam Semesta Berinflasi yang Mereproduksi Diri”, tulisan Andrei Linde, Scientific American, November 1994]. Mereka mungkin eksis di masa berbeda-beda, sebagaimana diusulkan dalam model alam semesta siklik buatan Paul J. Steinhardt dan Neil Turok [lihat “Mitos Permulaan Waktu”, tulisan Gabriele Veneziano, Scientific American, Mei 2004]. Mereka mungkin eksis di ruang yang sama dengan kita tapi di cabang fungsi gelombang quantum berbeda, sebagaimana dianjurkan oleh David Deutsch [lihat “The Quantum Physics of Time Travel”, tulisan David Deutsch dan Michael Lockwood, Scientific American, Maret 1994]. Mereka mungkin tak punya lokasi, sama sekali terputus dari ruangwaktu kita, sebagaimana dinyatakan oleh Tegmark dan Dennis Sciama [lihat “Alam-alam Semesta Paralel”, tulisan Max Tegmark, Scientific American, Mei 2003].

Di antara opsi-opsi ini, yang paling diterima luas adalah inflasi balau, dan saya akan berkonsentrasi padanya. Namun, sebagian besar ulasan saya juga berlaku pada proposal-proposal lain. Idenya: angkasa luar adalah kehampaan yang mengembang abadi, di dalamnya efek-efek quantum terus-menerus menelurkan alam semesta baru seperti anak kecil yang meniup gelembung. Konsep inflasi berawal pada 1980-an, dan fisikawan sudah menguraikannya berdasarkan teori alam paling komprehensif: teori string. Teori string memperkenankan gelembung-gelembung terlihat sangat berbeda dari satu sama lain. Praktisnya, masing-masing memulai kehidupan tak hanya dengan distribusi materi sembarang tapi juga dengan tipe-tipe materi sembarang. Alam semesta kita mengandung partikel-partikel seperti elektron dan quark yang berinteraksi melalui gaya-gaya semisal elektromagnetisme; alam-alam semesta lain mungkin memiliki tipe-tipe partikel dan gaya sangat berbeda—dengan kata lain, hukum fisika lokal berbeda. Set hukum lokal utuh yang diperkenankan dikenal sebagai lanskap. Dalam beberapa penafsiran teori string, lanskap ini luas sekali, memastikan dahsyatnya keanekaragaman alam-alam semesta.

Banyak fisikawan yang membahas multiverse, terutama penganjur lanskap string, tidak banyak peduli dengan alam-alam semesta paralel itu sendiri. Bagi mereka, keberatan terhadap konsep multiverse tidaklah penting. Teori-teori mereka hidup atau mati berdasarkan konsistensi internal dan, diharapkan, pada akhirnya uji laboratorium. Mereka mengambil konteks multiverse untuk teori mereka tanpa mengkhawatirkan bagaimana nantinya—yang mana menjadi perhatian kosmolog.

Level Multiverse

Bagi kosmolog, persoalan dasar dalam proposal-proposal multiverse adalah keberadaan horizon visual kosmik. Horizon adalah batas sejauh mana kita dapat melihat, sebab sinyal-sinyal yang berjalan ke arah kita dengan kecepatan cahaya (kecepatan terhingga) tidak sempat menjangkau kita dari jauh, sejak permulaan alam semesta. Semua alam semesta paralel terletak di luar horizon kita dan tetap di luar kemampuan kita untuk melihatnya, sekarang atau selamanya, tak peduli seberapa hebat teknologi berevolusi. Bahkan, mereka terlampau jauh untuk memiliki pengaruh terhadap alam semesta kita. Itulah sebabnya klaim-klaim yang dibuat pecandu multiverse tak bisa dibuktikan secara langsung.

Kata para pendukungnya, kita dapat menyebutkan secara luas apa yang terjadi pada jarak 1.000 kali horizon kosmik kita, 10100 kali, 101.000.000 kali, suatu ketakterhinggaan—semuanya dari data yang kita peroleh dalam horizon. Ini ekstrapolasi luar biasa. Mungkin saja alam semesta [berbentuk] tertutup pada skala amat besar, dan tak ada ketakterhinggaan di luar sana. Mungkin saja semua materi di alam semesta berakhir di suatu tempat, dan selebihnya hanya ruang hampa terus-menerus. Mungkin ruang dan waktu berujung di suatu singularitas yang membatasi alam semesta. Kita hanya tidak tahu apa yang terjadi, sebab kita tak punya dan takkan punya informasi tentang kawasan-kawasan ini.

Tujuh Argumen Meragukan
Sebagian besar pendukung multiverse adalah ilmuwan yang hati-hati, cukup sadar akan masalah ini, tapi beranggapan kita masih dapat membuat taksiran terpelajar tentang apa yang sedang berlangsung di luar sana. Argumen mereka secara luas terbagi ke dalam tujuh jenis, masing-masing menghadapi masalah.

Ruang tak memiliki ujung. Beberapa orang membantah bahwa ruang membentang keluar horizon kosmik kita dan ada banyak domain lain di luar apa yang kita saksikan. Jika tipe terbatas multiverse ini eksis, kita dapat mengekstrapolasi apa yang kita lihat sampai ke domain-domain di luar horizon, dengan ketidakpastian bertambah-tambah mengenai kawasan-kawasan jauh tersebut. Dengan begitu kita mudah membayangkan tipe-tipe variasi yang lebih rinci, termasuk fisik alternatif yang berlangsung di tempat-tempat yang tak mampu kita lihat. Tapi persoalan dalam tipe ekstrapolasi ini, mulai dari yang diketahui sampai yang tak diketahui, adalah bahwa tak seorangpun dapat membuktikan Anda keliru. Bagaimana bisa ilmuwan menetapkan apakah gambaran kawasan ruangwaktu yang tak teramati ini logis atau tidak? Mungkinkah alam-alam semesta lain memiliki distribusi materi awal berbeda, atau mungkinkah mereka juga memiliki harga konstanta fisikal fundamental berbeda, contohnya yang menetapkan kekuatan gaya nuklir? Anda bisa mendapatkan salah satunya, tergantung asumsi Anda.

Fisika memprediksi domain-domain lain. Proposal teori-teori terpadu memprediksi entitas semisal medan skalar, kerabat medan-medan lain yang mengisi ruang seperti halnya medan magnet. Medan-medan seperti ini pasti mendorong inflasi kosmik dan menciptakan alam-alam semesta tanpa akhir. Teori-teori ini memiliki landasan teoritis yang baik, tapi sifat medan-medan yang dihipotesiskan ini tidak diketahui, dan para pelaku eksperimen masih harus menunjukkan eksistensinya, apalagi mengukur atribut-atributnya. Yang krusial, fisikawan belum membuktikan bahwa dinamika medan-medan ini menyebabkan hukum-hukum fisika berbeda beroperasi di gelembung-gelembung alam semesta berbeda.

Teori yang memprediksi ketakterhinggaan jumlah alam semesta telah lulus uji observasi penting. Radiasi gelombang mikro kosmik latar menyingkap tampilan alam semesta di akhir era perluasan awalnya yang membara. Pola-pola di dalamnya mengindikasikan alam semesta kita memang mengalami periode inflasi. Tapi tidak semua tipe inflasi berlangsung selamanya dan menciptakan gelembung alam semesta dalam jumlah tak terhingga. Observasi tidak memilih tipe inflasi yang disyaratkan dari tipe-tipe lainnya. Beberapa kosmolog seperti Steinhardt bahkan berargumen bahwa inflasi abadi akan menghasilkan pola-pola berbeda pada radiasi latar daripada yang kita saksikan sekarang [lihat “The Inflation Debate”, tulisan Paul J. Steinhardt, Scientific American, April 2011]. Linde dan yang lainnya membantah. Siapa yang benar? Semua tergantung pada asumsi Anda tentang fisika medan inflasi.

Konstanta-konstanta fundamental disetel halus untuk kehidupan. Satu fakta mengagumkan tentang alam semesta kita adalah bahwa konstanta fisikal memiliki harga yang tepat untuk memperkenankan struktur-struktur kompleks, termasuk makhluk hidup. Steven Weinberg, Martin Rees, Leonard Susskind, dan lainnya berpendapat multiverse eksotis menyediakan penjelasan rapi untuk kebetulan ini: jika semua harga potensial terdapat pada kumpulan alam semesta yang cukup banyak, maka alam semesta yang mampu menopang kehidupan pasti akan ditemukan di suatu tempat. Penalaran ini telah diterapkan, terutama untuk menjelaskan densitas dark energy yang sedang mempercepat perluasan alam semesta hari ini. Saya sependapat multiverse merupakan penjelasan valid potensial untuk harga densitas ini; inilah satu-satunya opsi ilmiah yang kita punya sekarang. Apalagi, kebanyakan analisa terhadap isu ini berasumsi persamaan-persamaan dasar fisika adalah sama di semua tempat, hanya berbeda konstantanya—tapi jika kita menganggap serius multiverse, semestinya ini tidak terjadi [lihat “Looking for Life in the Multiverse”, tulisan Alejandro Jenkins dan Gilad Perez, Scientific American, Januari 2010].

Konstanta-konstanta fundamental cocok dengan prediksi multiverse. Argumen ini menyaring argumen sebelumnya dengan menyatakan alam semesta tidak lebih disetel halus untuk kehidupan daripada seharusnya. Para pendukung menaksir probabilitas berbagai harga densitas dark energy. Semakin tinggi harganya, semakin probabel ia, tapi semakin tidak ramah alam semesta untuk kehidupan. Harga yang kita amati semestinya tepat berada di garis batas ketidaklayakhunian, tapi rupanya tidak demikian [lihat ilustrasi di bawah]. Di mana argumen tersandung, di situ kita tak dapat menerapkan argumen probabilitas jika tak ada multiverse untuk diterapkan konsep probabilitas. Jadi argumen ini mengasumsikan hasil yang dikehendaki sebelum dimulai; sederhananya ini tak dapat diterapkan jika hanya satu alam semesta yang eksis secara fisik. Probabilitas adalah pemeriksaan terhadap konsistensi proposal multiverse, bukan bukti eksistensinya.

Dark Energy & Multiverse

Teori string memprediksi keanekaragaman alam semesta
. Teori string beranjak dari sebagai teori yang menjelaskan segala sesuatu menjadi teori di mana hampir segalanya mungkin. Dalam bentuknya yang sekarang, ia memprediksi bahwa banyak atribut esensial alam semesta kita murni kebetulan. Jika alam semesta kita adalah satu-satunya jenis, maka atribut-atribut tersebut tak dapat dijelaskan. Bagaimana bisa kita memahami, misalnya, fakta bahwa fisika memiliki atribut-atribut amat terbatas yang memungkinkan eksisnya kehidupan? Jika alam semesta kita salah satu dari banyak, atribut-atribut itu menjadi masuk akal. Tak ada yang memilih/mengkhususkan mereka. Mereka hanyalah alam-alam semesta yang timbul di kawasan ruang kita. Andai kita hidup di tempat lain, kita akan menjumpai atribut berbeda, jika kita memang bisa eksis di sana (di kebanyakan tempat, kehidupan mustahil berlangsung). Tapi teori string bukanlah teori yang sudah dicoba-dan-diuji, ia bahkan bukan teori yang lengkap. Andai kita punya bukti bahwa teori string benar, prediksi-prediksi teoritisnya bisa menjadi argumen sah dan berlandaskan eksperimen untuk mendukung multiverse. Tapi kenyataannya tak ada bukti demikian.

Semua yang dapat terjadi, terjadi. Dalam berusaha menjelaskan kenapa alam mematuhi hukum tertentu dan bukan yang lainnya, sebagian fisikawan dan filsuf berspekulasi bahwa alam tak pernah memilih seperti itu: semua hukum yang terbayangkan berlaku di suatu tempat. Idenya sebagian terinspirasi dari mekanika quantum, yang, seperti diungkapkan Murray Gellmann, berpandangan bahwa segala yang tidak dilarang berarti diwajibkan. Sebuah partikel mengambil semua jalur yang ia bisa, dan apa yang kita saksikan adalah rerata tertimbang (weighted average) dari semua kemungkinan itu. Barangkali hal yang sama berlaku pada alam semesta secara keseluruhan, mengimplikasikan multiverse. Tapi para astronom tidak punya peluang sedikitpun untuk mengamati keserbaragaman kemungkinan ini. Bahkan, kita tidak tahu apa saja kemungkinan tersebut. Kita cuma bisa mempertimbangkan proposal ini terlepas dari adanya prinsip atau kerangka pengorganisir yang tak terverifikasi yang memutuskan apa yang diperbolehkan dan apa yang tidak—contoh, bahwa semua kemungkinan struktur matematis pasti terwujud di suatu domain fisikal (sebagaimana diusulkan Tegmark). Tapi kita tak tahu jenis-jenis eksistensi seperti apa yang dibawakan prinsip ini, terlepas bahwa ia harus mencakup dunia yang kita saksikan. Dan kita tak punya cara untuk memverifikasi eksistensi atau sifat pengorganisir pengatur demikian. Dalam beberapa hal, ini memang proposal menarik, tapi usulan penerapannya pada realitas hanyalah spekulasi.

Ketiadaan Bukti
Walaupun argumen-argumen teoritis ini tidak memadai, kosmolog juga telah menganjurkan beragam uji empiris untuk alam semesta paralel. Radiasi gelombang mikro kosmik latar mungkin memuat jejak gelembung-gelembung alam semesta lain jika, misalnya, alam semesta kita pernah bertubrukan dengan gelembung sejenis lain yang diimplikasikan oleh skenario inflasi balau. Radiasi latar mungkin juga mengandung sisa alam-alam semesta yang eksis sebelum big bang dalam siklus alam semesta tanpa akhir. Ini memang sarana kita mendapatkan bukti nyata alam semesta lain. Sebagian kosmolog bahkan mengklaim telah melihat sisa-sisa demikian. Namun klaim-klaim observasional ini dibantah keras, dan banyak multiverse yang potensial secara hipotesis tidak akan menghasilkan bukti semacam ini. Jadi para pelaku observasi hanya bisa menguji beberapa golongan model multiverse dengan cara ini.

Uji observasi kedua adalah mencari perbedaan pada satu konstanta fundamental atau lebih, yang akan menguatkan premis bahwa hukum fisika bagaimanapun tidak kekal. Beberapa astronom mengklaim sudah menemukan perbedaan demikian [lihat “Konstanta yang Tak Konstan”, tulisan John D. Barrow dan John K. Webb, Scientific American, Juni 2005]. Akan tetapi, sebagian besar menganggap bukti ini meragukan.

Uji ketiga adalah mengukur bentuk alam semesta teramati: apakah ia spheris (melengkung positif), hiperbolik (melengkung negatif), atau “flat” (tak melengkung)? Skenario-skenario multiverse umumnya memprediksi alam semesta tidak spheris, sebab sebuah bola menutup dirinya sendiri (tidak ada ujung—penj), hanya memungkinkan volume terhingga. Sayangnya, uji ini tidak bersih dari cacat. Alam semesta di luar horizon kita bisa saja memiliki bentuk yang berbeda dari bagian di wilayah teramati; selain itu, tidak semua teori multiverse mengesampingkan geometri spheris.

Uji yang lebih baik adalah topologi alam semesta: apakah ia membungkus seperti donat atau kue pretzel? Jika ya, maka ukurannya terhingga, yang tentu saja menyanggah banyak versi inflasi dan, khususnya, skenario multiverse berbasis inflasi balau. Bentuk semacam ini akan menghasilkan pola berulang di langit, seperti lingkaran-lingkaran raksasa pada radiasi gelombang mikro kosmik latar [lihat “Apakah Ruang Terhingga?”, tulisan Jean-Pierre Luminet, Glenn D. Starkman, dan Jeffrey R. Weeks, Scientific American, April 1999]. Para pelaku observasi sudah mencari dan gagal menemukan pola-pola demikian. Tapi hasil nihil ini tidak boleh dianggap sebagai poin yang mendukung multiverse.

Terakhir, fisikawan mungkin berharap untuk membuktikan atau membantah sebagian teori yang memprediksi multiverse. Mereka mungkin menemukan bukti observasi yang menentang versi-versi inflasi balau atau menemukan inkonsistensi matematis atau empiris yang memaksa mereka meninggalkan lanskap teori string. Skenario ini akan meruntuhkan banyak motivasi untuk mendukung ide multiverse, walaupun tidak menyingkirkan konsep tersebut sama sekali.

Terlalu Fleksibel
Setelah mempertimbangkan segalanya, bukti pendukung multiverse tidaklah meyakinkan. Alasan dasarnya adalah fleskibilitas ekstrim proposal tersebut: ia hanya konsep ketimbang teori tetap. Kebanyakan proposal melibatkan potongan-potongan ide berlainan bukan keseluruhan yang koheren. Mekanisme dasar inflasi abadi sendiri tidak membuat fisika berbeda di setiap domain di sebuah multiverse; untuk itu, ia perlu digandengkan dengan teori spekulatif lain. Walaupun mereka dapat dipasangkan, tak ada yang mutlak darinya.

Langkah kunci dalam menjustifikasi multiverse adalah ekstrapolasi hal-hal yang diketahui sampai yang tidak diketahui, yang dapat diuji sampai yang tak dapat diuji. Anda akan mendapat jawaban berlainan tergantung pada apa yang Anda pilih untuk diekstrapolasi. Karena teori-teori yang melibatkan multiverse dapat menjelaskan nyaris segalanya, observasi apapun bisa diakomodasi oleh suatu varian multiverse. Praktisnya, beragam “bukti” ini menganjurkan agar kita menerima penjelasan teoritis ketimbang bersikeras dengan uji observasi. Tapi uji demikian sampai sekarang telah menjadi persyaratan penting dalam upaya ilmiah, dan kita meninggalkannya dengan resiko sendiri. Jika kita melemahkan persyaratan data kuat, maka kita melemahkan landasan inti untuk keberhasilan sains selama berabad-abad terakhir.

Nah, memang benar penjelasan terpadu dan memuaskan tentang serangkaian fenomena memuat bobot lebih besar daripada campur-aduk argumen-argumen terpisah untuk fenomena yang sama. Jika penjelasan terpadu menerima eksistensi entitas tak teramati seperti alam semesta paralel, mungkin kita terpaksa akan menerima entitas-entitas tersebut. Tapi isu kunci di sini adalah berapa banyak entitas tak terverifikasi yang diperlukan. Rincinya, apa kita sedang menghipotesiskan lebih banyak atau lebih sedikit [entitas] daripada jumlah fenomena yang mesti dijelaskan? Dalam kasus multiverse, kita memperkirakan eksistensi entitas tak teramati dalam jumlah banyak—bahkan mungkin tak terhingga—hanya untuk menjelaskan satu alam semesta yang eksis. Ini hampir tidak selaras dengan kritik filsuf Inggris abad 14, William dari Ockham, bahwa “entitas-entitas tidak boleh dilipatgandakan melebihi kebutuhan”.

Para pendukung multiverse membuat satu argumen final: tak ada alternatif yang baik. Betapapun bencinya ilmuwan menemukan perkembangbiakan dunia-dunia paralel, jika itu memang penjelasan terbaik, kita terpaksa akan menerimanya; sebaliknya, jika kita harus melepas ide multiverse, kita perlu alternatif yang layak. Eksplorasi alternatif-alternatif ini tergantung pada jenis penjelasan yang mau kita terima. Fisikawan selalu mengharapkan hukum alam yang mutlak—bahwa segalanya (eksistensi, alam semesta, kehidupan, dll–penj) menjadi seperti ini karena tak ada pilihan lain—tapi kita belum mampu membuktikan kebenarannya. Opsi-opsi lain juga ada. Alam semesta mungkin adalah kebetulan murni—ia begini sebagaimana seharusnya. Atau segalanya, kurang-lebih, dimaksudkan supaya seperti ini—tujuan atau maksud, entah bagaimana, mendasari eksistensi. Sains tidak mampu memutuskan mana yang benar, sebab ini merupakan isu metafisika.

Para ilmuwan mengusulkan multiverse sebagai cara memecahkan isu-isu mendalam tentang sifat eksistensi, tapi proposal ini menyisakan isu-isu pokok yang tak terpecahkan. Semua isu yang timbul berkenaan dengan universe timbul kembali dalam urusan multiverse. Jika multiverse memang eksis, apa ia menjadi ada karena keharusan, untung-untungan, ataukah tujuan? Itulah pertanyaan metafisika yang tak mampu dijawab teori fisika, baik untuk universe ataupun multiverse.

Demi memperoleh kemajuan, kita harus berpegang pada ide bahwa uji empiris adalah inti sains. Kita perlu suatu jenis hubungan sebab-akibat dengan entitas apapun yang kita usulkan; kalau tidak, takkan ada batasan. Mata rantainya boleh jadi tidak langsung. Jika sebuah entitas tidak dapat diamati tapi esensial untuk atribut entitas-entitas lain yang sudah terverifikasi, ia boleh dianggap terverifikasi. Akan tetapi beban pembuktiannya sangat esensial bagi jejaring penjelasan tersebut. Tantangan yang saya lemparkan kepada para pendukung multiverse adalah: bisakah Anda membuktikan bahwa alam-alam semesta paralel yang tak terlihat sangat vital untuk menjelaskan dunia yang kita lihat? Dan apakah mata rantainya esensial dan tak terelakkan?

Betapapun skeptis, saya menganggap perenungan multiverse adalah kesempatan luar biasa untuk menghayati sifat sains dan sifat tertinggi eksistensi: kenapa kita di sini. Ini membawa pada pengertian baru dan menarik dan dengan demikian merupakan program riset produktif. Dalam menatap konsep ini, kita perlu pikiran terbuka, tapi jangan terlalu terbuka. Ini jalur sulit untuk ditempuh. Alam-alam semesta paralel mungkin eksis, mungkin tidak eksis; buktinya belum ada. Kita harus hidup dengan ketidakpastian ini. Tak ada yang salah dengan spekulasi filsafat berbasis sains, seperti proposal-proposal multiverse sekarang. Tapi kita mesti menamainya sebagaimana seharusnya.

Penulis
George F.R. Ellis adalah kosmolog dan profesor matematika kehormatan di Universitas Cape Town, Afrika Selatan. Dia salah seorang pakar terkemuka dunia di bidang teori relativitas umum Einstein dan menulis buku perintis bersama Stephen Hawking berjudul The Large Scale Structure of Space-time (Cambridge University Press, 1975).

Untuk Digali Lebih Jauh
  • Issues in the Philosophy of Cosmology. George F.R. Ellis dalam Philosophy of Physics. Disunting oleh Jeremy Butterfield dan John Earman. Elsevier, 2006. http://arxiv.org/abs/astro-ph/0602280
  • Universe or Multiverse?. Disunting oleh Bernard Carr. Cambridge University Press, 2009.
  • The Hidden Reality: Parallel Universes and the Deep Laws of the Cosmos. Brian Greene. Knopf, 2011.
  • Higher Speculations: Grand Theories and Failed Revolutions in Physics and Cosmology. Helge Kragh. Oxford University Press, 2011.
Scientific American Online
Multiverse: ya atau tidak? Baca perdebatannya dan suarakan pilihan Anda di ScientificAmerican.com/aug11/multiverse

Sumber: SainStory

No comments:

Post a Comment