Laman

Thursday, October 13, 2016

Memutuskan Batas Realitas

Oleh: Anil Ananthaswamy

18 Desember 2015
(Sumber: plus.maths.org)


Artikel ini pertama kali dimuat di situs komunitas FQXi. FQXi adalah mitra kami dalam proyek informasi tentang informasi. Klik di sini untuk membaca artikel lain terkait konsep “it from bit” milik John Wheeler.

David Wolpert (Santa Fe Institute)

David Wolpert (Santa Fe Institute)David Wolpert biasa menyindir saat berkata bahwa teorinya menempatkan batas pada agama-agama. “Tak boleh ada dua tuhan/dewa, yang dua-duanya mampu mengamati segala sesuatu secara sempurna, atau yang dua-duanya mampu mewujudkan apapun yang mereka mau,” tuturnya. Bahkan, tak boleh ada dua tuhan yang dua-duanya memiliki ingatan sempurna. Ringkasnya, secara matematis mustahil terdapat alam semesta politeistik beserta tuhan-tuhan maha tahu.

Pernyataan demikian (dilontarkan sambil membuat “isyarat kutipan serius di udara”) adalah konsekuensi dari batas-batas yang Wolpert peroleh berdasarkan kemampuan “perangkat inferensi” (mesin yang mampu mengamati dan/atau mengendalikan dunia di sekelilingnya). Alih-alih menganalisa beragam kumpulan dewa, Wolpert tertarik dengan pembatasan matematis informasi yang dapat dimiliki sebuah perangkat mengenai suatu sistem dan implikasi pembatasan ini terhadap hukum fisika. Dia menemukan batasan yang mirip sekali dengan batasan-batasan yang sudah lama dikenal oleh fisikawan dari teori quantum, contohnya Prinsip Ketidakpastian Heisenberg. Temuan Wolpert bisa membantu fisikawan memahami pangkal kekaburan masyhur di alam quantum tersebut. Ini boleh jadi timbul akibat pembatasan formal pada apa-apa yang dapat diketahui.

Ketertarikan Wolpert terhadap pertanyaan-pertanyaan mendasar dimulai ketika dia menempuh PhD fisika di Universitas California, Santa Barbara. “Mungkin setiap orang, selaku mahasiswa pascasarjana fisika, berangan-angan kelak akan memecahkan theory of everything final,” kata Wolpert, yang kini bekerja di Santa Fe Institute, New Mexico.

Pada 1998, sewaktu masih mahasiswa pascasarjana, Wolpert menghadiri lokakarya tentang sistem kompleks, di Santa Fe, di mana dia bertemu John Wheeler, fisikawan ulung dari Universitas Princeton, yang telah memperjuangkan ide pengaitan informasi dengan quantum. Dalam otobiografinya yang baru diterbitkan, Wheeler berkata, “Saya usulkan, mungkin kita takkan pernah memahami barang aneh ini, quantum ini, sampai kita paham bagaimana informasi mendasari realitas.” Terlepas dari kedudukan hebatnya sebagai fisikawan, Wheeler tertarik pada apa yang hendak dikatakan Wolpert. “Saya agak kaget, dia mau berjalan-jalan dan ingin tahu lebih banyak apa yang saya, seorang mahasiswa pascasarjana, pikirkan tentang semua ini,” ungkap Wolpert.

Perangkat Inferensi
Wolpert tak ingat persis apa yang dikatakannya kepada Wheeler—tapi kemungkinan besar tentang upaya awalnya untuk memahami bagaimana kita dapat membuat prediksi mengenai realitas fisik. Wolpert sadar, upaya apapun untuk “mengetahui” realitas [pasti] melibatkan pengamatan kuantitas fisikal, pengingatan harga-harga kuantitas bersangkutan di masa lampau, dan/atau peramalan atau pengendalian harga mereka di masa depan. Dia mendapati bahwa semua proses ini—beraneka cara untuk memperoleh “informasi semantik” tentang status alam semesta—mempunyai beberapa fitur matematis yang sama. Dia menyebut perangkat yang menerapkan fitur-fitur itu sebagai “perangkat inferensi” (lihat artikel di sini).

Apakah ada awan di langit? Anda mungkin mengira tahu jawabannya, tapi bisakah Anda mengetahui jawaban orang lain terhadap pertanyaan yang sama? (Gambar oleh Chatennoir - CC0)

Apakah ada awan di langit? 
Anda mungkin mengira tahu jawabannya, 
tapi bisakah Anda mengetahui jawaban orang lain 
terhadap pertanyaan yang sama? (Gambar oleh ChatennoirCC0
 
Perangkat inferensi adalah mesin fisik yang mematuhi kaidah normal matematika dan logika. Satu-satunya pembatasan apriori untuk mereka adalah mereka berada di alam semesta fisik yang sama dengan sistem yang mereka ingin mereka ketahui. Dalam model Wolpert, agar perangkat inferensi tahu sesuatu tentang status sebuah sistem, mereka harus mampu menjawab YA atau TIDAK secara tepat terhadap pertanyaan biner mengenai status sistem tersebut. Pertanyaannya bisa sesederhana: apakah ada awan di langit? Jika jawabannya selalu tepat, tak peduli bagaimana status aktual awan di langit, maka perangkat tersebut tahu apakah memang ada awan di langit.

Wolpert membuktikan, mustahil suatu perangkat inferensi (perangkat A) mengetahui jawabannya sendiri terhadap pertanyaan sembarang sekaligus mengetahui jawaban perangkat B terhadap pertanyaan yang sama. Hal sama berlaku untuk B. Pembatasan ini berlaku tanpa peduli seperti apa hukum fisika sesungguhnya—batasan ini berlaku di alam semesta apapun.

Yang mengagetkan, saat pembatasan ini dan pembatasan serupa diekspresikan dalam konteks sebaran probabilitas, mereka menawarkan pertalian mempesona dengan mekanika quantum, teori yang mengatur alam atom dan memberlakukan hukum yang menyiksa rasa logika keseharian kita. Contoh, menurut prinsip ketidakpastian Heisenberg, mustahil mengukur sepasang atribut partikel quantum—katakanlah posisi dan momentumnya—secara bersamaan. Secara formal, ini mirip sekali dengan pembatasan pada seberapa akurat perangkat inferensi A dan B dapat mengetahui status satu sama lain secara bersamaan.

Untuk memahami pertalian antara perangkat inferensi dan aturan quantum ini, asumsikan dua perangkat, A dan B, sama-sama diberi pertanyaan tentang status satu sama lain, seperti sebelumnya. Tapi ketimbang menganalisa apakah jawaban yang diberikan oleh A dan B selalu tepat, kalkulasikan, “Berapa probabilitas bahwa A adalah tepat?” dan “Berapa probabilitas bahwa B adalah tepat?”

Kita dapat membawa analisa jenis ini selangkah lebih jauh dan mengkalkulasi harga potensial terbaik untuk probabilitas A tahu jawaban B dan B tahu jawaban A, secara bersamaan. “Anda dapat membuktikan bahwa produk probabilitasnya mematuhi prinsip yang sangat mirip dengan ketidakpastian mekanika quantum,” tukas Wolpert.

Dengan kata lain, terdapat batasan pada seberapa baik A bisa tahu jawaban B dan B bisa tahu jawaban A secara bersamaan (bayangkan saja A dan B sebagai tuhan, maka Anda punya argumen yang menentang alam semesta politeistik).

Fisikawan Philippe Binder dari Universitas Hawaii, Hilo, menyebut penelitian Wolpert “sangat bagus dan mendasar”. Menulis di jurnal Nature tak lama setelah Wolpert mempublikasikan penelitiannya tentang perangkat inferensi, Binder menyatakan temuan Wolpert “membanting pintu” pada determinisme sains, sebagaimana pertama kali diartikulasikan oleh Pierre Simon Laplace di abad 19.

Memusnahkan Jin
Laplace memperkenalkan gagasan “jin” super cerdas hipotetis yang mampu meramal status mendatang alam semesta jika ia punya pengetahuan lengkap tentang status mutakhirnya. Tapi, dengan kerangka Wolpert, kita dapat mengumpamakan avatar mutakhir jin tersebut sebagai perangkat inferensi, sedangkan avatar mendatangnya harus dianggap sebagai perangkat inferensi lain. (Ini karena status alam semesta berubah dari satu momen ke momen lain dan perangkat inferensi hanya bisa didefinisikan dalam konteks satu status tertentu.) Penelitian Wolpert menunjukkan, avatar mutakhir tidak bisa mengetahui pengetahuan avatar mendatang tentang status alam semesta secara pasti dan mutlak. Dengan kata lain, jin Laplace tidak bisa memprediksi tanpa ketidakpastian. (Ini berlaku sekalipun kita mengasumsikan alam semesta yang klasik, terhingga, non-balau, sebagaimana Laplace dahulu.)

Penelitian ini mempunyai implikasi terhadap kemampuan kita dalam menghasilkan jenis theory of everything yang Wolpert dambakan semasa mahasiswa pascasarjana. Sebagaimana Binder uraikan dalam esainya, penelitian Wolpert mengisyaratkan bahwa “keseluruhan Alam Semesta fisik tidak dapat dipahami penuh oleh sistem inferensi apapun yang eksis di dalamnya”—termasuk manusia tertentu. Jadi, paling banter kita berharap memperoleh “theory of almost everything”.

Pierre Simon Laplace
(1749-1827)
Pierre Simon Laplace (1749-1827)Anggota FQXi, Paul Davies, dari Arizona State University, Tempe, Arizona, berkata bahwa Wolpert mengatasi persoalan bagaimana sebuah bagian dari alam semesta dapat memahami kesatuannya. “Ini setingkat lebih dalam menuju sifat realitas,” ujar Davies.

Kini Wolpert memanfaatkan hibah FQXi $50.000 untuk menyelidiki apakah pertalian mempesona antara perangkat inferensi dan prinsip ketidakpastian mekanika quantum dapat diperketat dan bahkan diperluas. Jika bisa, itu akan membantu fisikawan memahami pangkal salah satu prinsip dasar yang mengatur realitas.

Perangkat inferensi juga dapat membantu menguak tautan antara teori “informasi sintaksis” milik Claude Shannon dan termodinamika. Contoh terbaik hubungan tersebut adalah prinsip Landauer—dari nama fisikawan Rolf
Landauer—yang menyatakan Anda tak bisa menyetel ulang satupun bit informasi (entah itu satu 0 atau satu 1) tanpa melepas panas/kalor. Dalam penelitian terpisah, Wolpert memperluas karya tersebut lebih dari sekadar menghapus satu bit, melainkan satu proses stokastik sembarang yang memperkembangkan sebuah sistem ke depan dalam [aliran] waktu. Nah, dia ingin tahu apakah temuan ini ada sangkut-pautnya dengan penelitian perangkat inferensi, yang melibatkan informasi semantik ketimbang sintaksis. “Pada akhirnya informasi harus melibatkan keduanya,” kata Wolpert.

Tapi Tuhan monoteistis sekalipun mungkin harus menerima beberapa pembatasan bila menyangkut informasi demikian. Dengan sindirannya, Wolpert berkata Tuhan bisa memulai alam semesta, tapi tak bisa mengintervensi kefungsiannya sesudah itu. “Atau, setelah seorang lain memulai alam semesta, Anda bisa mengintervensi, tapi Anda tidak bisa melakukan dua-duanya,” kata Wolpert. Deisme diperkenankan, katanya, tapi bukan Tuhan Ibrahimik tradisional.

Sumber: Sainstory





No comments:

Post a Comment