Laman

Sunday, June 3, 2018

MAHKOTA SUFI: Agama Cinta

Oleh: Idries Shah 

Seseorang pergi ke pintu Sang Kekasih dan
mengetuknya.
Sebuah suara bertanya, "Siapa itu?"
Ia menjawab, "Ini, aku."
Suara tersebut berkata, "Tidak ada ruang untuk Aku dan Dirimu."
Pintu itu tertutup.
Setelah setahun menyendiri dan mengembara, ia kembali dan mengetuknya.
Sebuah suara dari dalam bertanya, "Siapa itu?"
Orang itu menjawab, "Ini, Engkau."
Pintu pun terbuka untuknya.
(Jalaluddin Rumi) 

Sufisme sering disebut "agama cinta". Tanpa melihat penampilan lahiriah madzhab-madzhab mereka, para Sufi telah menjadikan tema ini sebagai persoalan esensial. Analogi cinta manusia sebagai refleksi dari kebenaran sejati, begitu sering dinyatakan dalam puisi Sufi dan seringkali ditafsirkan secara harfiah oleh orang-orang non-Sufi. Ketika Rumi mengatakan, "Di mana pun engkau berada, apa pun kondisimu, berusahalah menjadi pecinta," ia tidak berbicara cinta sebagai suatu tujuan dalam dirinya sendiri, juga tidak berbicara cinta manusia sebagai kemungkinan terakhir dari potensi manusia.

Kemerosotan (makna) cinta ideal Sufi di Barat tampak berkembang luas setelah hilangnya pemahaman linguistik tentang pengelompokan-pengelompokan kata yang dipakai oleh para guru Sufi untuk menyampaikan kenyataan bahwa idea mereka tentang cinta adalah jauh lebih mendalam dari sekadar fantasi yang dangkal. Karena menyebar dari Spanyol dan Prancis Selatan ke Eropa Barat dan mengalami suatu perubahan bahasa yang telah menghilangkan kandungan maknanya yang efektif, ajaran tentang cinta telah kehilangan karakteristik esensialnya. Untuk menangkap kembali sifat komprehensif dari tema khas Sufi ini bagi pembaca Barat, kita harus melihat perkembangan para troubador.

Satu aspek puisi cinta yang muncul di Spanyol Islam, yaitu aspek tentang pengagungan kewanitaan, dengan cepat dialihkan oleh Gereja ke dalam idealisasi Perawan Maria sebagaimana telah dicatat para sejarawan. Perkembangan ini terlihat pada kumpulan puisi yang disusun oleh Alfonso the Sage dari sumber-sumber Saracen (Spanyol Islam). Seorang pakar tentang masalah ini mengabadikan momen tersebut dengan merujuk kepada Pengagungan Perawan Suci Maria (Cantigas de Santa Maria): "Persoalan tersebut --pengagungan terhadap Perawan Suci Maria-- merupakan perkembangan logis dari idealisasi para troubador terhadap istri-istri tuan tanah mereka, sementara puisi-puisi troubador dari segi materi, bentuk dan gayanya berkaitan erat dengan idealisme dan puisi Arab yang ditulis di Spanyol."1

Profesor Hitti dan lain-lainnya benar-benar merasa yakin terhadap asal-usul Arab dari para troubador: "Para troubador ... menyerupai para penyanyi Arab, bukan saja dari segi sentimen dan karakternya tetapi juga dari segi bentuk-bentuk nyanyian mereka. Judul-judul tertentu yang diberikan para penyanyi Provencal (di Prancis) pada lagu-lagu mereka hanyalah merupakan terjemahan-terjemahan dari judul-judul Arabnya."2

Asal-usul kata troubador dari kata roman yang berarti "menemukan" merupakan asal-usul kedua. Mereka disebut "para penemu" dalam pengertian bahwa makna ini merupakan naturalisasi terdekat yang bisa diterapkan pada istilah aslinya dari bahasa Arab, sementara ia sendiri merupakan suatu permainan di antara dua kata. Pertama adalah kata RBB (biola alto), yang digunakan oleh para penyanyi Sufi dan dipakai oleh Khayyam maupun Rumi sendiri sebagaimana yang telah ditunjukkan oleh Profesor Nicholson.3 Kata kedua adalah akar kata TRB. Kata ketiga adalah akar kata RB --yang secara harfiah, jika diubah menjadi RaBBat, berarti "perempuan, nyonya rumah, berhala perempuan."

Sebagaimana berkali-kali ditunjukkkan dalam buku ini, nama-nama Sufi untuk kelompok-kelompok khusus tanpa kecuali dipilih dengan memperhatikan dan mempertimbangkan secermat mungkin hal-hal yang menyenangkan dari situasi puitis. Kita harus ingat bahwa bagian kata ador (troub-ador) hanyalah akhiran (bahasa) Spanyol untuk menunjukkan agent (pelaku), dan bukan bagian konsep asal.

Dengan mengikuti asal-usul dari akar-akar kata RB dan TRB, jika digunakan untuk menggambarkan kegiatan-kegiatan dari sekelompok orang, kita akan menemukan sepuluh kata turunan utama:
  1. TaraBaB = memberi parfum, membesarkan anak.
  2. RaBBa = mengumpulkan, memerintah rakyat, menguasai.
  3. TaRaBBaB = mengklaim kepenguasaan.
  4. RaBB = Penguasa, Tuhan, tuan tanah.
  5. RaBBat = perempuan, nyonya rumah, berhala perempuan.
  6. RiBaB = perjanjian, sahabat, sepersepuluh bagian yang diberikan.
  7. MaRaB = pengumpul, tempat tinggal, tempat pertemuan.
  8. MaRaBBaB = memelihara, manisan.
  9. MuTriB = musisi, anggota pendukung Sufi, guru, pembimbing.4
  10. RaBaB = biola alto, sebutan bagi penyanyi Sufi yang digunakan oleh Rumi, Khayyam, dan lain-lain.
Oleh sebab itu, dilihat dari penggunaan Sufistik, kita tidak berurusan dengan suatu fenomena nyanyian Arab, tetapi dengan upaya-upaya dari sekelompok guru Sufi dimana tema cinta merupakan suatu bagian dari keseluruhan. Meskipun idealisasi perempuan atau biola tidak penting, tetapi ia merupakan aspek-aspek parsial dari keseluruhan tersebut.

Ajaran-ajaran dari sekolah-sekolah Sufi mengandung semua unsur yang terangkum dalam nama khusus troubador itu. Para Sufi berkumpul bersama pada suatu tempat pertemuan, sebagian tinggal di "biara-biara" (RaBAT), yang sampai saat ini masih dikenang untuk nama-nama tempat di Spanyol seperti Arrabida, Rabida, Rapita, Rabeda. Mereka menyebut diri mereka sendiri dan (mereka) disebut "para pecinta" dan juga "para tuan." Meskipun disebut "para tuan", mereka juga disebut "para budak cinta", sebagaimana yang sering mereka tekankan. Mereka memainkan biola, dan menggunakan kata sandi tertentu yang memuat dua kata alternatif untuk "manisan" dan "kekasih" dalam menekankan atau mengingat-ingat bahwa nama kelompok tersebut mempunyai beberapa makna yang berbeda, tetapi tetap terkait ungkapan tersebut. Secara kasar ungkapan itu bisa diterjemahkan dengan "menjadi kekasih (RB) dan melewati kesulitan (RB)". Mereka berbicara tentang ketuhanan sebagai perempuan, berhala, nyonya rumah. Ibnu Arabi ("guru terbesar" para Sufi dari Spanyol), menggunakan tamsil ini sampai pada tingkatan sedemikian rupa sehingga ia dituduh melakukan penghujatan (terhadap akidah ortodoks Islam).

Para troubador merupakan asal-usul dari suatu gerakan Sufi yang pada mulanya berkisar pada nama mereka dan melekat padanya setelah berbagai seginya dilupakan. Orang-orang Arab memerintah Spanyol sejak awal abad kedelapan, dan kemunculan sekolah-sekolah Sufi tercatat selama abad kesembilan. Para penyair dari Provencal pertama menulis karya-karyanya pada akhir abad kesebelas. Meskipun telah menipiskan suatu bentuk dari aliran Sufi, kesesuaian antara cita rasa seni troubador dan bahan Sufi asli tetap tercatat bahkan oleh orang-orang yang tidak memiliki pengetahuan khusus tentang hubungan batin tersebut. Emerson menyejajarkan penyair besar cinta Sufi, yaitu Hafizh dengan para troubador dan menegaskan esensi sejati dari puisi mereka, "Bacalah Hafizh dan trouveres (para troubador), buktikan buku-buku yang oleh semua orang-orang jenius dianggap sebagai bahan mentah dan sebagai penangkal puisi dangkal dan palsu."

Sebenarnya ada sesuatu yang lebih mendalam selain penampilan superfisial dari para troubador yang dicatat oleh Robert Graves dalam The Mite Goddess (Dewi-dewi Putih). Karena menulis pada suatu waktu ketika ia belum menyelidiki Sufisme sama sekali, ia menyadari bahwa telah terjadi suatu proses yang bekerja pada puisi yang telah mengubah makna dan tujuan aslinya.

"Fantasi memainkan suatu peran kecil dalam perkembangan mitos-mitos Yunani, Latin dan Palestina, atau mitos-mitos Celtic sampai para troubador Normandia-Prancis mengubahnya menjadi roman-roman ksatriaan yang bertanggung jawab. Roman-roman itu semuanya merupakan catatan-catatan yang mengerikan tentang kebiasaan-kebiasaan dan peristiwa-peristiwa keagamaan kuno, dan cukup bisa diandalkan sebagai catatan sejarah jika bahasanya dipahami dan melakukan perbaikan atas kesalahan transkripsi, kesalahpahaman atau ritual yang sudah tidak dipraktikkan, serta perubahan-perubahan sengaja yang dimaksudkan untuk alasan-alasan moral dan politik."5

Untuk mengarahkan diri kita sendiri, untuk merasakan suasana dari masa tersebut ketika pemikiran Sufi melalui puisi dan musik telah menyediakan semacam ragi bagi pemikiran Barat yang masih melekat kepada kita, kita bisa merujuk kepada Michelet, seorang ahli zaman Pertengahan Prancis.6

"Kegelapan skolastik Kristiani telah diganti oleh cahaya dan kehangatan dari kehidupan Saracen, disamping kemerosotan kekuatan militernya," katanya. Gambaran yang yang diberikannya kepada kita itu jelas sekali memperlihatkan pengaruh Sufi, bukan pemikiran "Arab". Bagian ini mungkin seluruhnya dimaksudkan untuk tujuan ini. Seperti Emerson dan Graves, keberadaannya itu juga menggarisbawahi pandangan intuitif Michelet terhadap suatu proses yang mendasari para penyair merasakan dorongan Sufi pada diri Hafizh dan para troubador.

Sebagai contoh, ia menceritakan kepada kita bahwa Dante dan St. Thomas Aquinas memandang setan dengan salah satu dari dua cara --cara Kristiani, "pikiran aneh dan kasar ... seperti keadaannya pada masa-masa awalnya, ketika Yesus masih mampu menggiringnya memasuki kawanan babi." Cara lain (cara Sufi) adalah memandang setan sebagai "seorang pemikir yang pelik, teolog skolastik, ahli hukum yang suka membual". Pandangan terakhir ini selalu ditekankan oleh para Sufi: "Carilah Setan yang sesungguhnya dalam diri sofis skolastik, atau ulama yang pandai berkelit --ia adalah lawan kebenaran."

Kecenderungan kedua yang ditekankan oleh Michelet sebagai suatu penegasan Islam bagi Barat --suatu kesadaran baru tentang cinta, kasih sayang, seni, warna, kegairahan hati-- begitu kuat dengan ditandai gagasan dan aktivitas-aktvitas Sufi, bukan oleh kalangan skolastik kaku Muslim Spanyol yang pada tahun 1106-1043 secara terang-terangan membakar kitab-kitab al-Ghazali, salah satu dari tokoh Sufi terbesar:

"Sejak dari Asia, orang-orang itu mengira (bahwa) mereka telah menghapuskannya dan membangkitkan tugas baru yang sangat mulia, cahayanya menembus jauh, sangat jauh, sehingga mampu menembus kabut tebal Barat. Inilah suatu dunia alami dan kesenian dimana kebodohan telah dikutuk, bahkan sekarang melangkah ke depan untuk menaklukkan para penakluknya dalam perang damai penuh cinta dan kehangatan sifat keibuan. Semua orang menyebutkan namanya; semuanya terpukau dan tidak memiliki apa pun dari yang bukan Asia. Timur mencurahkan kekayaannya kepada kita; anyaman dan selendang, karpet-karpet halus dengan warna-warna yang dipadu secara trampil dari alat tenun, pedang-pedang tajam dan mengkilat dari baja, meyakinkan kita akan kebiadaban kita ... Apakah ada seseorang dengan akal yang cukup waras, dimana kewarasan begitu langka, akan menerima semua ini tanpa kebingungan, tanpa rasa mabuk ... Apakah ada suatu jiwa yang tidak ketakutan dan membeku akibat dogma-dogma Aquinas yang kaku, masih bebas menghayati kehidupan dan melumpuhkan kehidupan yang kaku? Tiga pemikir raksasa (Albertus Magnus, Roger Bacon, Arnold of Vallaneuve) mengupayakan tugas tersebut dan melalui upaya keras pikiran, mereka menguak jalan menuju sumber Alam; meskipun berani dan jenius, upaya ini tidak memiliki kemampuan menyesuaikan diri dengan semangat rakyat."

Arus Sufi dibendung secara parsial. Barat menerima dasar-dasar kemewahan, puisi cinta, dan kenikmatan hidup. Sementara unsur-unsur tertentu yang penting untuk keutuhan dan tidak mungkin dipahami tanpa teladan langsung dari penempuh Jalan Sufi, hampir-hampir tetap tidak dikenal. Mursyid Sufi yang terselewengkan berupa sosok misterius dan mendekati sosok okultis, samar-samar terlihat di tempat-tempat angker. Sebagian besar ia adalah sosok yang (dikenal) melalui cerita, bukan melalui pertemuan langsung.

Beberapa abad kemudian, dengan merujuk kembali kepada sumber-sumber pemujaan cinta yang telah membentuk warisan ajaran ini di Barat sendiri, tidak kurang sarjana besar seperti Profesor Nicholson sendiri telah menggubah sebait syair Sufi:
Cinta, ya hanya Cinta bisa membunuh
ular beku nafsu yang tampak mati.
Hanya cinta, melalui doa dengan
derai air mata dan gairah hati
yang membara, yang mampu mengungkap ma'rifat
yang tidak pernah diketahui oleh berbagai madzhab.7
Begitu kuat daya hidup tema batiniah Sufi dalam puisi ini sehingga ia meletakkan dasar bagi sejumlah besar kepustakaan Barat pada perkembangan berikutnya. Sebagaimana seorang penulis menyatakannya, "Tanpa para penyanyi Provencal dan troubador, pasti hanya sedikit musik kontemporer kita yang layak untuk dihargai. Tentu saja kita mempunyai nyanyian-nyanyian untuk pemakaman dan lagu-lagu rakyat, tetapi seruan kuat yang asing itu mengajak pada sesuatu yang berbeda, sesuatu yang harus kita tuntaskan sebagai manusia, sesuatu yang barangkali tak terwadahi puisi maupun musik."8

Meskipun dengan penekanan yang kecil, transmisi Sufi harus dipandang sebagai komposisi dasar bagi kehidupan modern. Ini bukan berarti bahwa tujuan-tujuannya dipahami pada masa kini, sebab tradisi yang telah dikenal di Barat niscaya tidak utuh. Pakar terbesar tentang Arab, yakni Profesor Philip Hitti memandang transmisi Provencal dan troubador ini sebagai suatu titik tolak suatu peradaban Barat yang baru:

"Di Prancis Selatan, penyair-penyair Provencal berkembang pesat pada akhir abad kesebelas dengan membawa detak cinta yang terungkap dalam kekayaan imaji fantastik. Sementara para troubador (TaRaB = musik, nyanyian) yang berkembang pada abad kedua belas meniru rekan-rekan sezamannya dari Selatan, para penyanyi Zajal. Mengikuti contoh Arab, pemujaan perempuan tiba-tiba muncul di Eropa barat daya. Chanson de Roland, monumen teragung dalam kepustakaan Eropa awal yang hadir menjelang tahun 1080, menandai permulaan sebuah abad baru --yaitu peradaban Eropa Barat-- sama seperti puisi-puisi Homerik menandai permulaan sejarah Yunani, yang eksistensinya berhutang pada suatu hubungan militer dengan Spanyol Muslim."9

Sementara musik Eropa sebagaimana kita kenal pada saat ini telah ditransformasi oleh perkembangan dari sumber-sumber Sufi ini.10

Hubungan antara cinta dan puisi, antara penyair dan pemusik dan hubungan antara mereka (penyair dan pemusik) dengan "penyihir" dalam pengertian luas, berlangsung melalui Sufisme, sebagaimana melalui tradisi Barat yang tentu saja berhubungan dan diperkuat melalui Sufisme. Hal ini seperti dua arus kembar dari ajaran kuno yang menyatu dalam dimensi ini, jauh berbeda dari akal rasional yang dingin. Meskipun demikian, dalam Sufisme, tujuan penyair-pemusik-penyihir bukan semata-mata untuk terserap ke dalam kebenaran yang dipelajarinya. Ia ditransformasi oleh tradisi itu sehingga mempunyai fungsi sosial - untuk'memasukan kembali bimbingan yang dibutuhkan manusia untuk memenuhi (kesempurnaan) dirinya dalam arus kehidupan. Inilah peran dari pengalaman "kebun-rahasia" dimana di baliknya bisa dipahami misi penyair tersebut. Florence Lederer menangkap pengertian ini secara kuat ketika mengomentari puisi Syabistari yang mengagumkan, Kebun Rahasia: "Tetapi manusia tidak boleh berhenti dalam penyatuan Ilahiyah ini. Ia harus kembali ke dunia semu ini dan dalam perjalanan ke bawah ia harus menjaga hukumhukum biasa dan keyakinan manusia."11

Seperti para penyair-penyihir Barat kuno, Anwari menekankan bahwa penyair dan pecinta saling menyinari:
Jika menjadi pecinta harus menjadi penyair,
Akulah sang penyair;
Jika menjadi penyair harus menjadi penyihir,
Akulah sang penyihir;
Jika menjadi penyihir harus berpikir jahat,
Aku bisa berpikir jahat;
Jika karena berpikir jahat harus dibenci oleh dunia,
Aku rela untuk itu.
Dibenci dunia berarti menjadi pecinta hakikat, dan
itulah yang sering terjadi.
Aku tegaskan, Akulah sang Pecinta!
Dalam (kitab) Kunci Orang-orang Afghanistan, seorang penyair Sufi pada abad ketujuh belas menyatakan:

Anak panah membutuhkan seorang pemanah, dan puisi membutuhkan seorang penyihir. Dalam benaknya ia harus selalu mencantumkan skala-skala jarak, dengan menolak (dimensi) panjang dan pendek. Kebenaran adalah kekasihnya yang tersembunyi dalam kiasan. Dari bawah cemetinya, seratus bidikan tepat terlontar. Penyair akan menghiasi jari-jarinya dengan permata warna-warni, menghiasinya dengan wewangian dan aroma kiasan saffron.

Pengulangan suara pertama akan berdenting seperti gelang kaki; atau kuncupnya akan menjadi misteri irama yang tersembunyi. Bersama-sama dengan rahasia-rahasia dari makna batin dan mata-mata yang tertutup, semua ini menjadikan tubuhnya sebagai misteri yang utuh.

Apakah sebenarnya yang hilang dalam transisi tema cinta dari Timur ke Barat? Pertama, pengetahuan tentang arti penting cinta yang lebih luas dan hanya bisa ditumbuhkan melalui hubungan (antar) manusia dan hubungannya dengan unsur-unsur kehidupan lainnya. Individu yang semata-mata menyamakan cinta dengan ketuhanan dari sudut pandang seseorang yang telah menemukan hubungan dengan dasar kehidupan adalah barbarian (biadab).

Kedua, kepelikan-kepelikan dan kedalaman dalam kedalaman yang terkandung dalam karya-karya seni yang dihasilkan oleh para cendekia Sufi. Orang biadab akan mengambil makanan dari apa yang bisa dilihat dan dipegang. Orang buta warna mungkin melihat semua warna dalam bayang-bayang putih, abu-abu dan hitam. Hal ini mungkin memenuhi keinginan-keinginannya, tetapi menurut Sufi tidak memenuhi kebutuhan-kebutuhannya. Kepelikan dalam kesenian Timur dan lainnya bukan semata-mata suatu pertunjukan kekayaan atau ketrampilan. Ia merupakan suatu kias dari rangkaian makna tak terbatas yang bisa disalurkan dari suatu wadah ke wadah lainnya. Lebih jauh lagi, mereka yang telah merasakan pengalaman-pengalaman Sufi menyadari bahwa sejauh menyangkut manusia, keanekaragaman makna dalam karya seni semacam ini dimaksudkan untuk membawanya kepada persepsi yang benar tentang apa sesungguhnya realitas batin itu. Persepsi tentang realitas batin inilah yang memungkinkan untuk membawa dirinya sendiri melangkah menuju evolusi yang lebih besar sebagai tujuan akhir manusia.

Hampir semua orang akan melihat serangkaian kotak Cina hanya sebagai suatu hasil kesenian atau kerajinan yang indah secara lahiriah. Karena telah menemukan "kunci peralihan abadi", seorang Sufi akan menyadari bahwa hasil karya seni itu adalah sebuah kias, bukan sesuatu yang membingungkan atau menyenangkan orang biadab. Jadi bagi Sufi ia merupakan tema cinta yang utuh. Dengan analogi cinta dan menggunakannya dalam kesusastraan, ia bisa menjembatani jurang pemisah dalam pemahaman orang lain yang berada pada tahapan lebih awal di Jalan itu.

Cinta adalah "bilangan-pembagi" umum bagi manusia. Karena telah menembus rahasia-rahasia cinta dengan merasakan realitas sejati yang terletak di balik (dunia kasat mata), seorang Sufi kembali ke dunia (nyata) untuk menyampaikan langkah-langkah di Jalan itu. Mereka yang tetap mabuk di pinggiran Jalan itu tidak menjadi perhatiannya. Mereka yang ingin melangkah lebih jauh harus mengkajinya dan juga karya-karyanya.

Catatan:

11 J. B. Trend, The Legacy of Islam, Oxford, 1931, hlm. 31.

2 P Hitti, History of the Arabs, New York, 1951, hlm. 600.

3 R. A. Nicholson, Selections from the Diwan-i-Shams-i Tabriz, dalam Kata Pengantar, hlm. xxxi dan seterusnya.

4 Prof Edward Palmer, Oriental Mysticism, hlm. 80.

5 Edisi Faber and Faber, London, 1961, hlm. 13.

6 Jules Michelet, Satanism and Witchcraft (terjernahan A. R. Allinson), London, 1960, hlm. 71-73.

7 R. A. Nicholson, Rumi, Poet and Mystic, London, 1956.

8 G. Butler, The Leadership of the Strange Cult of Love, Bristol, 1910, hlm. 17.

9 P K. Hitti, History of the Arabs, Ed. 1951, hlm. 562.

10 Ibid., "Adelard of Bath yang belajar musik di Paris, kemungkinan adalah penerjemah dari risalah matematika al-Khawarizmi, yaitu Liber Ysagogarum Alchorism. Oleh karena itu ia merupakan orang pertama yang memperkenalkan musikArab ke dunia Latin ... Yang signifikan adalah bahwa dalam periode yang sama sebuah prinsip baru muncul dalam musik Eropa Kristiani. Prinsip tersebut adalah bahwa not-not (musik) mempunyai nilai waktu yang pasti atau rasio diantaranya ... Istilah Ochetus (corak ritmis) kemungkinan merupakan transformasi dari kata Arab iqa'at (jamak dari iqa). Musik berdasar aturan yang pasti (matematis) tersebut barangkali merupakan sumbangan terbesar, tetapi tentu saja bukan satu-satunya sumbangan orang-orang Arab dalam bidang pengetahuan musik ini."

11 F. Lederer, The Secret Garden, London, 1920.
_______________________________________

Sumber: ISNET

No comments:

Post a Comment