Laman

Monday, July 9, 2018

Alam Semesta Tanpa Tujuan

krauss5Oleh: Lawrence M. Krauss

Diterjemahkan oleh Tim TACU

Ilusi tentang tujuan dan rancangan besar mungkin ilusi paling hebat mengenai alam semesta sehingga sains harus berkonfrontasi dengan hal itu dari hari ke hari. Di mana-mana kita melihat, tampak bahwa dunia ini dirancang sedemikian rupa sehingga kita dapat berkembang.

Posisi Bumi mengelilingi matahari, kehadiran bahan organik, air dan iklim yang hangat—semua memungkinkan terjadinya kehidupan di planet kita. Namun, dengan sekitar 100 miliar sistem tenaga surya di galaksi kita sendiri, dengan air, karbon dan hidrogen yang menyebar, maka tidak mengherankan bahwa kondisi ini akan muncul seketika di suatu tempat. Dan mengenai keanekaragaman kehidupan di Bumi—seperti yang dijelaskan Darwin lebih dari 150 tahun yang lalu dan eksperimen-eksperimen yang telah divalidasi—seleksi alam dalam evolusi bentuk-bentuk kehidupan dapat terjadi baik itu dalam kondisi keragaman maupun keteraturan tanpa ada rancangan besar yang mengatur.

Sebagai seorang kosmolog, ilmuwan yang mempelajari asal-usul dan evolusi alam semesta, saya sangat menyadari bahwa ilusi kita tetap mencerminkan kebutuhan manusia yang mendalam untuk menganggap bahwa keberadaan bumi, kehidupan, alam semesta dan hukum-hukum yang mengaturnya membutuhkan sesuatu yang lebih mendalam. Bagi banyak orang, hidup dalam alam semesta yang mungkin tidak memiliki tujuan dan pencipta, pasti tidak akan terpikirkan oleh mereka.

Akan tetapi, sains telah mengajarkan kita untuk memikirkan segala yang tak terpikirkan. Karena ketika alam semesta dijadikan panduan—ketimbang prasangka apriori, harapan, ketakutan atau keinginan–kita dipaksa keluar dari zona kenyamanan kita. Satu demi satu, pilar logika klasik telah jatuh di pinggir jalan sebagaimana perkembangan sains yang pesat pada abad ke-20, dari Einstein yang merealisasikan bahwa pengukuran ruang dan waktu tidak absolut, melainkan tergantung pada pengamatan, kepada mekanika kuantum yang tidak hanya memberi batas mendasar pada apa yang dapat kita ketahui secara empiris. Selain itu, juga menunjukkan bahwa partikel elementer dan atom yang terbentuk telah melakukan sejuta hal yang tampaknya mustahil terjadi sekaligus.

Demikian pula pada abad ke-21 yang telah membawa revolusi baru dan wahyu baru pada skala kosmik. Gambaran kita tentang alam semesta mungkin telah banyak berubah selama 80-90 tahun terakhir di semua sejarah manusia. Delapan puluh tujuh tahun lalu, sejauh yang kita tahu, alam semesta terdiri dari galaksi tunggal, Bima Sakti kita, dikelilingi oleh kekosongan, kekal statis dan hampa. Sekarang kita tahu bahwa ada lebih dari 100 miliar galaksi di alam semesta yang teramati, dimulai dengan Big Bang sekitar 13,7 miliar tahun yang lalu. Pada saat-saat awal, segala sesuatu yang sekarang kita lihat sebagai alam semesta kita terkandung dalam volume yang lebih kecil daripada ukuran atom tunggal.

Jadi, kita terus dikejutkan dengan fakta-fakta itu. Kita seperti para pembuat peta awal menggambar ulang gambar dari dunia. Bahkan, menemukan benua baru. Dan sama seperti yang dihadapi pembuat peta adanya kesadaran bahwa bumi itu tidak datar. Kita harus menghadapi fakta bahwa perubahan tampaknya menjadi konsep dasar dan fundamental. Bahkan, gagasan kita tentang kehampaan telah diubah.

Sekarang kita mengetahui bahwa sebagian besar energi di alam semesta yang teramati dapat ditemukan tidak hanya dalam galaksi kita, tetapi juga di luar sana. Dengan kata lain, di ruang kosong, yang mana untuk alasan tertentu kita masih tidak bisa membayangkan “berat”-nya. Namun penggunaan kata “berat” mungkin menyesatkan karena fenomena energi dalam ruang kosong secara alamiah saling tarik-menarik antara objek fisik dengan massa-nya dan tentu mengalami penolakan.  Hal tersebut menyebabkan galaksi-galaksi saling berjauhan dalam tingkat kecepatan yang tinggi. Akhirnya, mereka akan surut lebih cepat dari cahaya dan tidak dapat teramati.

Visi kita tentang masa depan telah berubah, yang sekarang jauh suram. Semakin lama kita menunggu, semakin sedikit alam semesta yang dapat kita amati. Dalam ratusan miliar tahun, para astronom yang mengamati beberapa planet yang mengitari bintang (Seperti Bumi dan matahari kita yang segera menghilang) akan mengamati kosmos dan mendapati kecacatan pada pandangan kita saat pergantian abad terakhir: sebuah galaksi tunggal akan tenggelam dalam gelap dan tak berujung, kosong dan wujud alam semesta yang statis.

Beralih dari gambaran radikal mengenai alam semesta pada skala luas, terdapat ide-ide baru tentang fisika di skala kecil. Large Hadron Collider (LHC) telah memberikan petunjuk bahwa asal-usul massa, dan karena itu semua yang dapat kita lihat, adalah jenis kecelakaan kosmik. Percobaan di collider meningkatkan bukti adanya “medan Higgs,” yang tampaknya hanya terjadi untuk membentuk seluruh ruang di alam semesta kita; karena semua partikel dasar berinteraksi dengan bidang ini ternyata memiliki massa yang bisa kita amati sekarang.

Yang paling mengejutkan dari semua, kombinasi ide-ide teori relativitas umum dan mekanika kuantum, memberikan pemahaman kepada kita yang memungkinkan bahwa seluruh alam semesta, materi, radiasi dan bahkan ruang itu sendiri bisa muncul secara spontan dari ketiadaan, tanpa campur tangan ilahi secara eksplisit. Mekanika kuantum dalam prinsip Ketidakpastian Heisenberg memperluas apa yang mungkin dapat terjadi dan tidak terdeteksi dalam ruang kosong. Jika gravitasi terlalu diatur oleh mekanika kuantum, maka alam semesta ini bisa saja secara spontan muncul, atau hilang, yang berarti alam semesta kita sendiri mungkin tidak unik tapi sangat jelas merupakan bagian dari “multiverse—multi universe”.

Sebagaimana fisika partikel merevolusi konsep atas “Ada” (partikel dasar dan kekuatan-kekuatan yang mengikat mereka) dan “Tiada” (dinamika ruang kosong, atau bahkan tidak adanya ruang), maka tentu saja berimbas dan merevolusi pertanyaan yang terkenal, “Mengapa selalu ada ‘yang ada’ daripada ‘yang tiada’?” Bahkan, berimbas pada hukum fisika yang menggantungkan kita pada kemungkinan kecelakaan kosmik, dengan hukum yang berbeda di semesta yang berbeda, yang selanjutnya mengubah bagaimana kita bisa menghubungkan ‘Ada’ dengan ‘Tiada’. Mempertanyakan mengapa kita hidup di alam semesta yang ada daripada yang tiada, akan menjadi pertanyaan tak bermakna ketimbang mempertanyakan mengapa sebagian bunga bewarna merah dan lainnya biru.

Mungkin yang paling luar biasa dari semua itu, bukan hanya  masuk akal dalam pengertian ilmiah, bahwa alam semesta kita berasal dari ketiadaan, jika kita bertanya dengan bahan-bahan apa alam semesta diciptakan dari ketiadaan, tapi juga tampaknya bahwa bahan-bahan itu membentuk alam semesta secara presisi di mana kita hidup di dalamnya.

Apakah semua ini membuktikan bahwa alam semesta dan hukum yang mengatur hal itu muncul secara spontan tanpa bimbingan ilahi atau tujuan? Tidak, tapi itu bisa berarti mungkin saja begitu. Dan kemungkinan itu tidak perlu berarti bahwa kehidupan kita sendiri yang tanpa makna. Alih-alih tujuan ilahiah, makna dalam kehidupan kita dapat timbul dari apa yang kita perbuat dari dan oleh diri kita sendiri, dari hubungan kita dan institusi-institusi di sekitar kita, atau dari prestasi-prestasi karya manusia.

Membayangkan hidup di alam semesta tanpa tujuan dapat mempersiapkan kita untuk lebih baik menghadapi kenyataan. Saya tidak bisa melihat bahwa ini adalah suatu hal yang buruk. Hidup di alam semesta yang aneh, unik dan luar biasa ini, terlepas dari keinginan dan harapan, jauh lebih memuaskan bagi saya daripada hidup di dunia dongeng yang diciptakan untuk membenarkan keberadaan kita.

Lawrence M. Krauss is director of the Origins Project at Arizona State University. His newest book is A Universe From Nothing.

No comments:

Post a Comment