Laman

Monday, July 1, 2019

Mimpi

Suatu malam di tahun 1921, seorang ahli biologi asal Austria, Otto Loewi terbangun dari mimpinya. Otto lalu mengambil kertas, lalu tanpa disadari ia menulis sesuatu, kemudian tertidur lagi. Keesokan harinya ketika ia bangun, Otto mengingat bahwa pada malam sebelumnya ia menulis sesuatu di selembar kertas. Namun Otto tidak memahami arti dari tulisannya tersebut.

Beruntung pada keesokan harinya, pikirannya terbuka dan ia memahami sebuah metode percobaan yang baru. Dari percobaan tersebut Otto berkesimpulan bahwa saraf tidak langsung menimbulkan efek pada otot. Pelepasan zat kimialah yang menimbulkan efek pada otot. Penemuan inilah yang mampu memberikan penjelasan mengenai penyebaran kimia dari impuls saraf. Penemuan yang membuatnya mendapatkan penghargaan nobel di bidang fisiologi dan ilmu kedokteran pada tahun 1936.

Mimpi, atau sering juga disebut bunga tidur, adalah pengalaman bawah sadar yang melibatkan penglihatan, pendengaran, pikiran, perasaan, atau indra lainnya saat sedang tidur. Banyaknya hal aneh yang hadir dalam mimpi sering membuat orang-orang menghubungkannya dengan sesuatu yang misterius dan adikodrati. Kenyataannya tidaklah demikian. Proses tersebut bisa dijelaskan secara ilmiah.

Hukum Alam

Masing-masing kita ada hanya sekejap saja, dan sepanjang keberadaan itu kita hanya menjelajahi sebagian mahakecil dari keseluruhan alam semesta. Namun manusia ialah spesies yang ingin tahu. Kita bertanya-tanya, kita mencari jawaban. Selagi hidup di dunia nan luas yang kadang asih kadang zalim, dan memandang angkasa raya di atas sana, manusia telah melontar selaksa tanya: Bagaimana kita bisa memahami dunia tempat kita mendapati diri kita ada? Bagaimana tingkah laku alam semesta? Apa hakikat kenyataan? Dari mana segalanya berasal? Apakah alam semesta memerlukan pencipta? Kebanyakan kita tak menghabiskan sepanjang waktu merenungkan segala pertanyaan itu, namun nyaris semua di antara kita pernah merenungkannya sekali-sekali.

Paragraf di atas adalah paragraf pembuka dari buku The Grand Design yang ditulis oleh Stephen Hawking bersama Leonard Mlodinow. Beruntunglah kita, karena bagi kita yang termasuk golongan yang tidak punya waktu untuk merenungkan hal-hal di atas, sudah ada orang-orang yang memikirkannya bagi kita. Beruntunglah saya, karna bisa membaca buku tersebut. Sepanjang sejarah, kita belum pernah sedekat ini dalam mencapai jawaban atas pertanyaan-pertanyaan di atas.

Sebelum era Thales of Miletus, manusia dikuasai cara berpikir mitologis dalam menjelaskan segala sesuatu. Manusia belum mengenal sains. Dewa-dewi diyakini terlibat dalam segala sesuatu, termasuk asal-usul alam semesta. Walau masih tergolong primitif, pemikiran Thales dianggap sebagai kegiatan berfilsafat pertama karena mencoba menjelaskan dunia dan gejala-gejala di dalamnya tanpa bersandar pada mitos melainkan pada rasio manusia. Menurut Aristoteles, Thales lah yang pertama kali mengembangkan gagasan bahwa dunia bisa dimengerti, bahwa kejadian-kejadian rumit di sekeliling kita bisa direduksi ke kaidah-kaidah sederhana dan dijelaskan tanpa perlu membawa penjelasan mitos atau teologis.

Waktu

Dua revolusi besar memunculkan fisika baru: teori kuantum dan teori relativitas. Yang terakhir, terutama berkat karya Einstein, adalah teori tentang ruang, waktu dan gerak. Konsekuensinya sama-sama mencengangkan dan mendasar seperti teori kuantum, dan menantang banyak gagasan berharga tentang hakikat alam semesta. Tidak ada yang istimewa kecuali pembahasan teori itu atas waktu –suatu persoalan yang menjadi perhatian yang intens dan lama dalam semua agama besar dunia.

Waktu begitu fundamental bagi pengalaman kita akan dunia sehingga setiap upaya memainkannya akan menemui skeptisisme dan penolakan besar. Setiap pekan ada saja saintis amatir yang ingin menemukan kesalahan dalam karya Einstein, dengan berupaya memperbaiki pengertian umum, konsep tradisional waktu, meskipun hampir sembilan puluh tahun semenjak keberhasilannya tak ada satu pun eksperimen yang merusak prediksi dari teori relativitas.

Gagasan kita tentang identitas personal –diri, jiwa—terkait erat dengan memori dan pengalaman yang kekal. Tidak cukup menyatakan ‘Saya ada’ saat ini. Menjadi individu menunjukkan kontinuitas pengalaman berikut sifat-sifat yang menyertainya, seperti memori. Banyak nada emosional dan keagamaan yang kuat terhadap klaim-klaim fisika baru dan terhadap daya tarik mendalam yang dimiliki baik oleh para saintis maupun orang awam, atas konsekuensi teori relativitas.