Laman

Wednesday, August 21, 2019

CHOPRA: Dawkins dan Delusi-Delusinya

Dalam bukunya "The God Delusion", Richard Dawkins, tidak hanya menolak Tuhan: dia juga menunjukkan kejijikannya terhadap spiritualitas. Dia mengejek keinginan kita untuk terkoneksi dengan realitas yg lebih tinggi. Dawkins mendasarkan argumen-argumennya pada alasan-alasan paling sederhana: bahwa dunia fisik tampak apa adanya. Dia menggambarkan agama sebagai kondisi terperdaya tanpa ada dasar realitas.

Kekafiran kata Chopra bukanlah musuh sejak lahir keimanan. Pada zaman modern, kekafiran sebenarnya merupakan sebuah titik awal yang masuk akal. Namun dia berakhir dengan buruk. Protes-protes paling sengit dalam menentang Tuhan bisa digunakan untuk membersihkan pikiran dari keyakinan-keyakinan palsu, memuluskan jalan bagi keimanan yang lebih kuat. Dalam hal ini Dawkins, seorang yang terang-terangan mengaku sebagai musuh Tuhan, ternyata menjadi sekutu Tuhan secara diam-diam.

Mengapa orang-orang mengucilkan agama tetapi tidak mengucilkan Tuhan? Ini adalah pertanyaan penting yang hingga kini tidak disadari oleh Dawkins.

Publik yang dilanda keraguan dan menunggu dibebaskan oleh pesan dalam buku The God Delusion sebenarnya tidak ada. Ini semua hanyalah delusi Dawkins belaka, tegas Chopra. Faktanya adalah bahwa orang tidak suka mendapat lebel sebagai ateis.

Ada alasan masuk akal kata Chopra untuk tidak mempercayai Dawkins sebagai pemandu yang bisa diandalkan menuju "Kaki langit yang jauh" dalam sebuah dunia yang lebih baik. Seseorang yang buta terhadap sisi spiritual manusia tak akan bisa berbicara tentang nilai-nilai spiritual. Taktik-taktik yang dipaparkan dalam buku The God Delusion hanya mendebat trik-trik untuk menggerogoti lawannya. Poin seluruhnya dari debat tersebut bukanlah sampai pada kebenaran melainkan untuk bisa menang semata. Iman Dawakins yang buruk telah memperdaya segelintir kritikus. Bahkan sejumlah orang yang mengakui integritasnya dalam ateisme penasaran mengapa argumen-argumen dalam bukunya terasa mentah.

Startegi dasar buku itu bisa dengan mudah kita simpulkan sbb:

1. Tetap Pada Stereotip yang Familiar
Tuhan yang diserang oleh Dawkins adalah jenis Tuhan yang paling sederhana. Tuhan yang ia serang dalam ilustrasi-ilustrasi Sekolah Minggu yang menunjukkan seorang lelaki tua dengan janggut-putih tengah duduk di atas singgasana di atas awan.

Mengapa serangannya efektif:
Dawkins mengandalkan Stereotip Tuhan yang paling sederhana, termasuk Tuhan pertama yang dipelajari banyak orang, untuk tetap hidup dalam pikiran kita-karena tentu saja Tuhan seperti itu masih ada dalam pikiran. Kebanyakan orang menerima ajaran moral yang diwariskan sejak mereka anak-anak. Dengan menyerang ajaran-ajaran itu, Dawkins mempunyai peluang yang bagus untuk membuat mereka merasa tidak aman dan terus meragu.

Argumen tangkisan:
Setiap aspek dalam stereotip menghadirkan suatu kekeliruan. Sebagai Zat yang kekal, Tuhan tidak mungkin tua. Jika Dia melingkupi semua Ciptaan, maka Dia tidak memiliki tempat khusus baik dalam waktu maupun ruang, sehingga tidak ada yang namanya singgasana. Melihat Tuhan sebagai laki-laki bertentangan dengan agama-agama di mana Tuhan adalah wanita. Iman-iman lain memahami Tuhan secara abstrak: Islam, misalnya, melarang penggambaran Tuhan. Dalam agama Buddha tak ada yang dianggap benar mengenai Tuhan terlebih dahulu; Tuhan hanya bisa diketahui melalui perjalanan spirtual pribadi.

2. Memperlakukan Tuhan Seperti Manusia
Dawkins bersikeras bahwa Tuhan adalah sebuah fiksi, tetapi dia menyalahkan karakter fiksi ini seolah-olah Tuhan adalah seseorang yang nyata. Serangan Dawkins ditujukan pada sifat-sifat manusiawi seperti marah, dendam, iri, khianat, dan sebagainya.

Mengapa serangannya efektif:
Memanusiakan Tuhan adalah sesuatu yang sudah dilakukan oleh agama. Dengan kata lain, ateisme telah mencuri dari buku pedoman musuhnya. Maka Tuhan yang dimanusiakan bisa diberi sifat-sifat buruk manusia (dengan menyatakan bahwa Tuhan tidak punya sifat-sifat yang baik).

Argumen tangkisan:
Ada alasan masuk akal untuk menggambarkan Tuhan dalam imaji manusia: Kita mencari apa yang membuat kita sebagai manusia terlebih dahulu. Tuhan personal ada dalam setiap kebudayaan, begitu juga dengan Tuhan impersonal yang betul-betul terabaikan oleh Dawkins. Tuhan tidak perlu dibatasi oleh sifat-sifat yang kita lihat dalam diri kita: Tuhan bisa memiliki semua sifat itu tetapi juga jauh lebih banyak lagi. Zat yang baka tidak bisa dijelaskan dengan sifat-sifat yang fana.

3. Membuat Agama Terlihat Primitif.
Dawkins bergerak semakin jauh, seperti yang sudah saya singgung, untuk melacak Tuhan hingga masa awal primitif seperti cara yang dilakukan pahlawan kesayangannya, yaitu Charles Darwin, yang melacak asal-usul spesies manusia. Bagi Dawkins, Tuhan berawal dari suatu waktu ketika manusia lebih mirip “anak-anak yang gampang dibohongi”---- frasa ini diambil dari Darwin. Kini kita telah mengalami evolusi, sehingga kita tak lagi perlu mempertahankan masa lalu kita yang penuh.

Mengapa serangannya efektif:
Sederhana saja, itu karena Charles Darwin. Kini evolusi telah menggulingkan Alkitab sebagai cara modern yang dominan untuk memahami bagaimana kehidupan tercipta. Maka layak dipercaya bila kita mengembangkan argumen yang sama menjadi gagasan-gagasan. Spiritualitas bisa digambarkan sebagai sebuah peninggalan, seperti otak reptil, yang mempertahankan dorongan-dorongan paling primitif kita terhadap seks dan kekerasan, atau yang lebih bagus lagi, seperti ekor dan insang yang dimiliki oleh embrio-embrio awal di dalam rahim sebelum mereka menghilang, untuk digantikan oleh tubuh manusia.

Argumen tangkisan:
Saya sudah menyebutkan bahwa evolusi bisa digunakan untuk membuktikan lawan dari pernyataan Dawkins. Spiritualitas terpusat pada otak tinggi sama seperti nalar. Kita telah berevolusi untuk mengalami Tuhan. Teologi adalah sebuah bentuk pemikiran tingkat lanjut, bukan sebuah kemunduran primitif. Dibandingkan dengan milik nenek moyang kita, pemikiran agama modern lebih rumit dan koheren. Neokorteks-yakni bagian paling baru dalam otak yang berevolusi-merupakan tempat membedakan baik dan buruk, cinta, kasih sayang, wawasan, dan kecerdasan. Semua sifat ini berlaku dalam pencarian kita akan Tuhan secara modern. Pencarian itu membutuhkan sifat kita yang paling evolutif.

4, Menyebut Semua Agama dengan Hal-hal Ekstrem yang Paling Buruk
Dawkins menyebut hal-hal ekstrem terburuk yakni fanatisme sebagai inti keyakinan agama. Dunia diusik oleh kaum fundamentalis dan kejahatan yang mereka lakukan. Tak ada bahaya yang lebih besar bagi kesejahteraan kita dibanding itu: melihat lebih dalam, bangkitnya nalar dan sains bergantung pada dihilangkannya fundamentalisme, yang menjadi sumber disalahkannya agama.

Mengapa Serangannya efektif:
Rasa takut. Membahas terorisme dan peperangan atas nama Tuhan akan membuat siapapun merasa terancam. Tanpa ancaman semacam itu, kebanyakan orang tak akan punya alasan untuk menuduh bahwa agama memicu hal-hal buruk dari Fitrah manusia, apalagi Hanya melahirkan hal-hal terburuk, yang menjadi salah satu serangan Utama Dawkins. Rasa takut juga membuat argumen-argumen menjadi masuk akal, yakni argumen-argumen yang di saat-saat tenang akan ditolak mentah-mentah, seperti deklarasi Dawkins yang menyatakan bahwa agama moderat bertanggung jawab atas fanatisme.

Argumen Tangkisan:
Hilangkan rasa takut, dan sudah jelas bahwa tidak semua orang beriman adalah fundamentalis. Agama yang toleran dan moderat tidak boleh disalahkan atas munculnya fanatisme. Dawkins memiliki keuntungan secara emosional, karena kita hidup pada zaman yang penuh kecemasan, sehingga taktik ini menjadi taktik yang paling berbahaya. Dan itu adalah kata yang tepat bagi siapa pun yang mengeksploitasi ketakutan yang tersebar luas demi kepentingan-kepentingannya sendiri.
Barangkali karena saya adalah seorang pendebat di sekolah kedokteran, dan tahu langsung godaan untuk mengalahkan lawan dengan secerdik mungkin, maka fokus saya pertama kali saya tujukan untuk taktik-taktik Dawkins. Orang memenangkan debat secara psikologis. Pihak yang menang akan memperoleh sensasi berkuasa. Mereka berhasil meyakinkan atau memanipulasi-audiensi dengan merangkul mereka agar memihak secara emosional, meskipun tujuan yang diucapkan adalah memenangkan pikiran orang.

@AOS

No comments:

Post a Comment