Laman

Monday, August 26, 2019

Hutan Magis

Saya sekarang berada di tempat agak terpencil yang jauh dari keramaian. Hanya ada lanskap hutan lebat, pepohonan tinggi, dingin yang menggigit ketika malam hari, dan kesunyian teramat dalam.

Menyusuri bentangan hutan lebat, saya bergumam adakah pernah peristiwa-peristiwa terjadi di sini. Sepertinya tak ada jejak dan tak ada setapak sejarah, di sini. Saya menyusup-nyusup di celah pepohonan tinggi, semak berduri, dan hamparan kesunyian yang kosong; meraba-raba mencari jalan setapak. Saya terus beringsut maju menembus kesunyian yang tak betepi, pepohonan hijau dan bisu, akar bahar besar, dan lapisan tanah yang mengendap selama berabad. Saya terlempar di sebuah dunia kesunyian dan menakjubkan dalam udara dingin. Semua melebur jadi satu, kesunyian, kebisuan, bahkan mungkin kosong dalam makna spiritual.

Di tengah kemurungan alam bebas, imajinasi saya membumbung tinggi ke angkasa. Di situ hanya ada semak-semak tinggi yang kaku.

Saya terus menyusuri hutan lebat itu. Di atas ketinggian, ada aliran sungai kecil yang mengalir jauh ke bawah. Gemerciknya seperti mendendangkan lagu purba. Airnya jernih, udara sangat bersih, dan langit biru di atasnya. Cahaya menyeruak tanpa dihalangi dedaunan. Di tempat ini terasa magis.

Ketika senja masih jauh, saya putuskan pulang dengan menyusuri sungai-sungai kecil yang berkelok-kelok. Suka cita, saya mencebur membersihkan badan melepas penat.

Malamnya hanya ada keheningan dan suara gemercik air yang melewati samping rumah saya menginap. Keheningan itu mendendangkan cinta dan kota-kota yang jauh entah dimana. Ada rasa rindu pada hidup yang membentang tanpa batas.

Menjelang malam runtuh, jelang fajar, saya menuliskan kenangan ini dengan tubuh segar karena sempat tertidur dalam nyenyak. Satu hal yang saya ingat betul - untuk sepetak surga yang tak terduga - alam semesta ini, kata Einstein, bagai hidup dan punya kesadaran. 

Sekarang saya harus turun ke bawah untuk dapat sinyal.

@AOS

No comments:

Post a Comment