Pengaruh keyakinan  manusia pada aktivitas ilmiahnya bersifat tidak langsung. Keyakinan  agama Newton dan Boyle sangat mempengaruhi caranya memikirkan tentang  manusia dan alam semesta, namun sejauh sains saja yang dibahas, filsafat  dan mistisme mereka terkurung dalam pengejaran alkimia  mereka. Walaupun mereka melihat sains mereka sebagai alat untuk  mengungkapkan karya cipta Tuhan, fisika mereka tetaplah fisika. Yang  benar adalah motivasi mereka muncul sebagian atau mungkin dominan dari  sumber irasional. Apa yang dapat diistilahkan sebagai motivasi irasional  jauh lebih umum daripada yang diduga orang awam, dan terdokumentasi  dengan baik kalau pertimbangan filosofis yang membatasi mistisme tidak  pernah jauh dari pikiran beberapa tokoh ilmuan awal abad ke-19. Dapatkah  kita mengenali keyakinan mereka dari hasil ilmiahnya? Dapatkah anda  membedakan pesawat yang dibuat oleh ateis dan dibuat oleh orang beriman? Bagaimana hasil sains berdasarkan pengamatan dipengaruhi oleh  pengamatnya? Penurunan keyakinan agama pada abad ini tidak mengaburkan  pertanyaan ini, karena dengan mempertimbangkan pengaruh keyakinan pada  para ilmuan, kita harus memasukkan bukan hanya keyakinan agama  konvensional namun juga, yang lebih penting dalam masa modern ini,  keyakinan dalam dogma ilmiah yang ada. Karena walaupun mungkin ada  pemisahan antara kehidupan profesional sebagian besar ilmuan dengan  agama formal mereka, ada jenis keyakinan lain selain keyakinan pada  Tuhan.
Bila “keyakinan” didefinisikan  lebih luas sehingga memasukkan penerimaan tanpa tanya mengenai sebagian  besar fakta ilmiah, diklaim kalau keyakinan memang mencapai ke  laboratorium. Pendukung terbesar tesis ini adalah Thomas Kuhn  (1922-1996). Kuhn mengajukan kalau, pada setiap saat dalam sejarahnya,  tiap cabang sains dibangun dari sekumpulan konsep dan teori, secara  resmi, tanpa dipertanyakan, mengenai cara melihat dunia. Para ilmuan  bekerja dalam perbatasan paradigma ini, inilah keyakinan. Ada mungkin  lebih dari satu paradigma dalam satu disiplin ilmu. Karenanya, dalam  abad ke-16 anda dapat melihat mekanika lewat mata Aristoteles atau mata  Galileo. Sementara Galileo melihat benda ditarik oleh Bumi lewat sebuah  gaya, pengikut Aristoteles melihatnya “kembali” ke tempat asalnya.  Mereka masing-masing bermula dari prekonsepsi berbeda mengenai bagaimana  alam bekerja. Kuhn akan mengatakan kalau mereka memilih paradigma yang  berbeda, namun ia menunjukkan kalau keduanya menggunakan fakta yang sama  untuk mendukung paradigma mereka. Perubahan sains, menurut Kuhn, bukan  lewat metode falsifikasi Popper, bukan dengan berusaha menyanggah apa  yang ia yakini. Sebaliknya, sains adalah aktivitas yang muncul terutama  dalam batasan paradigma; eksperimen dirancang untuk mengungkapkan fakta  yang mendukung, bukannya menantang, paradigma tersebut. Faktanya, segala  yang tidak sesuai dipandang sebagai keanehan dan diperlakukan dengan  curiga atau diabaikan selama mungkin. Gambaran ilmuan oleh Kuhn bahkan  lebih tidak menyenangkan lagi dari ini; ia mengatakan kalau bila sebuah  fakta tidak sesuai dengan paradigma, ia akan diabaikan atau bahkan tidak  “dilihat”, Ia memberi contoh bintik matahari, yang, sebelum Copernicus,  tidak dicatat oleh astronom barat karena langit, termasuk Matahari,  dianggap tidak berubah, sementara bintik matahari kenyataannya tampak  bergerak di permukaan Matahari. Kuhn mencatat kalau di China, dimana  tidak ada doktrin kediaman langit, bintik matahari diamati selama  berabad-abad.
Kuhn
 lebih jauh menolak klaim Popper kalau ketika sebuah paradigma 
difalsifikasi, ia akan ditinggalkan. Menurut Kuhn, peninggalan paradigma
 lama terjadi hanya ketika ada yang baru. Dengan kata lain, Popper 
mengatakan kalau ketika sebuah rakit tidak dapat ditinggali, kita akan 
melompat ke laut, sementara Kuhn mengatakan, kita hanya akan melompat 
ketika ada rakit lain tersedia.
Popper,
 dalam balasannya, mengatakan kalau banyak fakta ilmiah tidak dilakukan 
dengan tujuan menyanggah teori, dan ia melihat sains demikian sebagai 
sains kelas dua. Ia menekankan kalau sains secara keseluruhan maju 
karena proses falsifikasi. Ada sesuatu dalam apa yang harus dikatakan 
Popper dan Kuhn, namun para ilmuan akan berharap memodifikasi kedua 
sudut pandang tersebut. Bekerja dalam paradigma tidak mesti merupakan 
sains kelas dua. Penemuan struktur dan peran DNA tidak menyanggah teori 
besar apapun dan tidak menghantam paradigma apapun. Ada sejulah saran 
sebelumnya pada struktur yang mungkin, namun mereka tidak dapat 
dipandang sebagai paradigma, sebuah sistem pemikiran lengkap, seperti 
mekanika Newton atau evolusi
 Darwin. Apakah Popper mengatakan kalau Watson dan Crick diberi hadiah 
Nobel untuk sains kelas dua? Sementara itu, untuk Kuhn, ia telah 
menceritakan sains dengan contoh yang dipilih dengan sangat hati-hati 
tentang “kebutaan ilmiah.” Untuk setiap kisah seperti tentang bintik 
matahari, kita dapat mencari satu cerita mengena pengamatan yang 
sepenuhnya tidak terduga tetapi tidak diabaikan. Fakta kalau pengamatan 
aneh diperlakukan dengan hati-hati adalah memang seharusnya demikian, 
karena ia tidak harus ditolak seketika karena paradigma yang ada: 
pertama kita harus skeptis, lalu melakukan eksperimen. Faktanya, Kuhn 
sendiri, dalam menyerang kriteria falsifikasi Popper, menekankan fakta 
kalau sebuah pengamatan anomali dapat salah dan tidak boleh diambil 
sebagai landasan untuk menyangkal sebuah teori.
Referensi:
Silver, B.L. 1998. The Ascent of Science. Oxford University Press
Silver, B.L. 1998. The Ascent of Science. Oxford University Press
Sumber: FaktaIlmiah.com 
No comments:
Post a Comment