Laman

Thursday, May 31, 2012

Konflik Tradisionalis dan Modernis : Kemunculan Pihak Ketiga

Apa perbedaan di antara ketiganya dan mana yang lebih dipercaya oleh para ilmuan dan lebih mempercayai sains?

Sungguh mengesankan bahwa saya mengetahui teori evolusi justru dari karangan yang mengkritik habis-habisan teori tersebut. Mungkin sudah sepuluh tahun lebih Harun Yahya dan gerakan anti evolusi menyebarkan pengaruhnya pada dunia pembaca sains awam di Indonesia. Gerakan anti evolusi sebenarnya bisa dilacak hingga tahun 1974 di Kanawha, Virginia Barat, Amerika Serikat. Saat itu terjadi penolakan besar-besaran terhadap pengajaran teori evolusi dalam buku paket Biologi oleh beberapa pihak yang mengatasnamakan agama.

Ann Page dan Donald Clelland tahun 1978 menyajikan sudut pandang sosiologis pada asal usul anti evolusi atau yang secara positif di istilahkan sebagai kreasionisme. Menurut kedua pakar sosiologi ini, konflik yang terjadi seperti di Kanawha merupakan konflik tingkat kelompok, bukannya individual. Konflik ini terjadi akibat perbedaan pandangan dunia dari tiap kelompok.

Page dan Clelland menyebut pihak anti evolusi dengan istilah “fundamentalis kultural.” Raymond A. Eve menyebutnya “tradisionalis kultural.” Mereka adalah sekelompok orang yang cenderung menafsirkan dengan literal apa yang tertulis di kitab suci. Bagi tradisionalis kultural, apa yang baik atau jahat itu bukanlah manusia yang memutuskan, tapi Tuhan lewat kitab suci yang memutuskan. Tradisionalis kultural juga memandang tujuan hidup manusia adalah melayani dan mengabdi kepada Tuhan, walaupun hal ini berarti pengorbanan bagi individu tersebut. Kelompok kedua menurut Page dan Clelland adalah “modernis kultural.” Kelompok ini merupakan turunan langsung dari empirisme sekuler Ibnu Sina dan Zaman Pencerahan Eropa. Modernis kultural percaya kalau jalan menuju kebenaran diperoleh lewat pengumpulan data untuk menguji hipotesis dan membiarkan hasil analisa menunjukkan apa yang benar dan apa yang salah.

Contoh nyata konflik kedua kelompok ini ada pada pertanyaan “Apa yang harus kita lakukan terhadap bencana alam yang sering terjadi di negara kita?” Tradisionalis kultural seringkali melihat kalau bencana alam adalah kehendak Tuhan. Misalnya untuk memberi peringatan, memberikan hukuman, memberikan pelajaran ataupun menjemput orang-orang beriman. Bahkan bagi yang paling liberal sekalipun, fundamentalisme kultural akan mengatakan “bencilah dengan perbuatan dosa namun jangan membenci orangnya.” Dengan kata lain, tradisionalis akan mengatakan kalau cara menghilangkan bencana alam adalah dengan melakukan kebaikan, memperbaiki moralitas dan menghindari perbuatan jahat sesuai dengan apa yang dikatakan dalam kitab suci.

Bertentangan dengan hal ini, modernis kultural akan berpendapat kalau bencana alam adalah akibat fenomena alam biasa dan dapat terjadi di mana saja, dan bahkan tanpa memerlukan keberadaan manusia. Penanggulangannya dapat dicegah dengan melakukan penelitian mendalam, melakukan perencanaan tata kota, arsitektur maupun prosedur tanggap bencana serta melakukan tindakan yang berbasis pada pengetahuan atas gejala dan penyebab terjadinya bencana secara alami.

Terdapat juga pihak ketiga dalam menanggapi hal ini yang kita sebut posmodernisme. Secara sederhana, postmodernis adalah mereka yang bukan tradisionalis dan juga bukan modernis. Sesederhana itu. Posmodernis percaya kalau “narasi besar” tidaklah sah. Narasi besar yang dimaksud disini adalah semua penunjang hidup manusia, yaitu kebenaran tunggal yang ada di luar diri individu. Narasi besar itu bisa kitab suci dan bisa juga sains, bisa juga marxisme, freudianisme atau Pancasila. Intinya, bagi posmodernis, kebenaran, seandainya ia ada, bersifat individual, subjektif, dan bersifat internal dalam tiap diri manusia.

Wicca mungkin sebuah kelompok menarik. Wicca merupakan salah satu dari sedikit kelompok yang mengedepankan feminitas ke puncak hirarki. Di satu sisi, mereka mengatakan kalau narasi besar yang ada selama ini terlalu bersifat laki-laki, baik itu agama maupun filsafat. Ambil contoh kenapa wanita tidak boleh memegang Quran saat haid? Di sisi lain, mereka juga mengatakan memiliki akar jauh sebelum agama besar seperti yahudi-kristen-islam. Akibatnya, mereka bukan tradisionalis, dan juga bukan modernis. Jadi mungkinkah mereka posmodernis?

Tapi Wicca mengakui kalau diri mereka adalah sebuah basis religius. Mereka melakukan praktek ilmu putih untuk membantu individu dan masyarakat, dan mendasarkan ritual mereka pada siklus musim.

Bagi posmodernis, praktek ilmu putih atau kekuatan psikis, proyeksi astral, komunikasi dengan roh, astrologi, primbon dan semua yang dipandang pseudosains bagi modernis, merupakan “teknologi” yang bermanfaat dan karenanya berguna sebagai pemberdayaan. Karenanya, Wicca dapat dipandang sebagai salah satu aliran pemberdayaan masyarakat itu sendiri. Lebih jauh lagi, Wicca ternyata memiliki pandangan yang sama dengan posmodernis, yaitu “baik sains maupun agama, telah gagal memberi kita jawaban pertanyaan-pertanyaan penting yang kita hadapi sekarang.”

Dengan adanya wicca, kita semestinya menolak gagasan kalau keyakinan pada sesuatu yang tidak masuk akal seperti paranormal, UFO dan astrologi, bukan semata disebabkan oleh kebodohan atau masalah kejiwaan. Wicca menunjukkan kalau keyakinan semacam ini muncul dalam dinamika kelompok normal yang tak terelakkan akibat semakin rumitnya dunia tempat tinggal kita sekarang. Gagasan ini sudah dilontarkan oleh Singer dan Benassi dari dulu. Mereka percaya kalau keyakinan paranormal berasal dari banyak sekali sumber. Sebagai contoh, kesalahan penalaran manusia, pendidikan sains yang kurang, pemberitaan media yang terlalu sensasional, dan faktor sosial budaya.

Jadi saat anda, sebagai seorang yang ilmiah, bertemu dengan orang yang percaya kalau manusia diciptakan seketika tanpa sebab oleh Tuhan, atau orang yang percaya adanya Atlantis dan Segitiga Bermuda, astrologi, proyeksi astral, dsb, jangan terburu mengklaim kalau mereka bodoh atau kurang berpendidikan. Mereka bisa saja sangat berpendidikan sehingga merasa sains dan agama tidak cukup mampu memberikan penjelasan dan mencoba menggali sendiri kebenaran dari dalam dirinya. Mereka bisa saja sangat pintar sehingga mampu menemukan apa yang tersembunyi dibalik aliran informasi yang mendera kita dari segala arah yang kadang bertentangan satu sama lain.

Tapi memang ada, mungkin bahkan mayoritas, orang yang percaya hal-hal aneh tersebut memang kurang pendidikan. Sebagai contoh, orang percaya kalau ilmu putih, ilmu hitam, penyembuhan oleh kristal dan penyembuhan oleh doa memang benar ada karena mereka percaya kalau ada sebuah medan energi psikis, kejiwaan, magnet, kuantum atau inframerah, yang bisa digerakkan oleh jiwa. Ini murni karena kurangnya pendidikan atau setidaknya pemahaman mengenai fisika dasar yang seharusnya diajarkan dengan efektif saat Sekolah Menengah Atas. Apa artinya belajar Medan Elektromagnet dengan setumpuk rumus teknis kalau masih percaya kalau medan energi kejiwaan ada dan lebih hebat dari ini? Kita perlu mengajarkan berpikir kritis dan sains sejak awal bagi siswa untuk membedakan mana keyakinan paranormal yang bertopang pada kurangnya pendidikan dan yang bertopang pada sebuah pemikiran mendalam mengenai masalah besar dunia sekarang.

Referensi
  1. Eve, R. A.. 2010. Wiccans v. Creationists : An Empirical Study of How Two Systems of Belief Differ Skeptics August 2010.
  2. Singer, B., Benassi, V. 1981. Occult beliefs. American Scientist, 69:49–55.
Sumber: FaktaIlmia.com

No comments:

Post a Comment