Laman

Wednesday, May 30, 2012

Sisi Gelap Kedokteran Modern

Ingat kasus dan statistik yang kami paparkan dalam bahasan mengenai santet?

Di situ ditunjukkan bagaimana orang mengeluh ada sesuatu di dalam tubuhnya dan ternyata adalah alat bedah. Alat bedah tersebut tertinggal saat pembedahan terakhir. Juga telah kami tunjukkan kalau kejadian ini bukanlah peristiwa langka, bahkan di negara semaju Inggris dan Amerika Serikat. Ada apa sebenarnya?

Realitas mungkin mengejutkan kita. Sebuah penelitian besar dari Lembaga Pengobatan Amerika Serikat tahun 2007 memperkirakan bahwa “kurang dari separuh” prosedur yang dilakukan dokter dan keputusannya mengenai pembedahan, resep obat dan pemeriksaan merupakan keputusan yang pasti dan efektif. Lebih dari separuh merupakan kombinasi dari tebakan, teori dan tradisi, dengan pengaruh kuat dari well, kapitalis. Yup, kita sudah akrab dengan faktor yang satu ini. Mengenai betapa mahalnya harga sewa kamar semalam atau harga obat.

Dokter sering kali sama butanya dengan pasien mereka saat mereka mencoba memberikan resep obat, melakukan pembedahan atau pemberian implan. FDA (Badan Pengawasan Obat dan Makanan Amerika) hanya mengatur obat, alat dan prosedur pemeriksaan, namun ia tidak mengendalikan bagaimana dokter harus menggunakannya dan tidak punya kendali sama sekali pada operasi pembedahan. Kurangnya pengawasan ini berakibat pada kurangnya pengetahuan dokter mengenai efek samping, bahkan dari produk atau prosedur yang telah digunakan bertahun-tahun. Bila sebuah produk baru datang, katakanlah obat jenis baru dan penjualnya menyebutnya obat anti tuberkulosis, dokter kemungkinan kecil tahu perbedaan antara benar atau tidaknya klaim tersebut.

Lambang Kedokteran

Akibatnya, dilaporkan lebih dari 770 ribu orang per tahun di Amerika Serikat mengalami cedera atau kematian karena komplikasi obat, efek samping tak terduga dan akibat lain yang semestinya dapat dihindari bila penelitian yang hati-hati dilakukan sebelum obat tersebut diberikan.

Pengaruh Kapitalisme  

Studi tahun 2002 dalam Journal of the American Medical Association (JAMA) mengungkapkan kalau 87 persen penulis panduan obat mendapatkan pendanaan dari industri dan 59 persen di bayar oleh perusahaan obat yang berkaitan dengan panduan obat yang mereka tulis. Lebih baru lagi, ditemukan kalau obat Avandia yang berfungsi mengobati diabetes ternyata memiliki efek samping peningkatan resiko serangan jantung. Kenapa obat ini bisa lolos. Ternyata kemungkinan para penulis artikel jurnal ilmiah medis yang mendukung efektivitas obat ini didanai oleh perusahaan obat tersebut tiga hingga enam kali lipat lebih banyak dari ilmuan yang netral murni dari Universitas.

Dalam pembedahan juga demikian. Ambil contoh pembersihan karotid di arteri. Penelitian menunjukkan kalau teknik carotid endarterectomy  berhasil mengurangi resiko stroke sekitar 1 hingga 5 persen dalam lima tahun.  Walau begitu, justru hasil pembedahannya sendiri mampu meningkatkan resiko stroke, serangan jantung dan kematian sebesar 3 persen. Teknik bedah yang diajukan sebagai pengganti, stenting, malah harus di hentikan karena membunuh pasien sebagai mana dilaporkan dalam studi di Perancis tahun 2006 yang diterbitkan dalam New England Journal of Medicine. Studi lain juga menemukan kalau 4.7 persen pasien mengalami stroke atau kematian dalam empat tahun setelah pembedahan endarterectomy, dibandingkan dengan 6.4 persen mereka yang dibedah dengan teknik stenting.

Peran ekonomi sangat kuat. Para ilmuan farmasi yang bekerja di perusahaan obat mungkin tahu kalau obat yang mereka rancang ternyata tidak efektif atau memiliki efek samping fatal. Namun eksekutif perusahaan tidak mau tahu. Mereka mengintimidasi dan memaksa para ilmuan mengganti penafsirannya. Kasus yang mencuat ke permukaan dicontohkan pada kasus Mary E Money, seorang internis dari Hagerstown, Marylan. Ia sadar kalau beberapa pasiennya yang dirawatnya mengalami gejala gagal jantung. Ia meneliti dan menemukan penyebabnya, yaitu Avandia. Segera beliau menghubungi perusahaan produsen obat tersebut untuk memperingatkan hal ini. Perusahaan tersebut kemudian mengirim surat ke Kepala Rumah Sakit tempat Mary bekerja untuk memaksa Mary tutup mulut. Mary merasa sangat terintimidasi dan mencoba mempublikasikan hasil penelitiannya ke jurnal ilmiah. Namun ia tidak mendapatkan dukungan dari teman penelitinya sendiri.

Kasus Mary mencerminkan puncak dari sebuah gunung es. Sangat mudah bagi dokter untuk mengabaikan atau melewatkan bukti, khususnya bila perusahaan obat atau alat medis menggunakan teknik pemasaran yang agresif untuk menangkal laporan yang dapat merusak pasaran. Tahun 2002, JAMA melaporkan hasil sebuah studi besar yang disebut ALLHAT, atau Antihypertensive and Lipid Lowering Treatment to Prevent Heart Attack Trial. Penelitian ini memeriksa obat-obatan yang digunakan untuk menurunkan tekanan darah. Hasilnya mengejutkan, obat diuretik generik yang murah sama efektifnya dalam mengendalikan tekanan darah dan mencegah serangan jantung dibandingkan obat yang mahal dan bermerk.

Dokter itu Sendiri

Halangan lain datang dari dokter sendiri. Seorang dokter bukanlah seorang yang super jenius, mampu menghapal setumpuk ensiklopedia nama ilmiah anggota tubuh atau penyakit, gejala, diagnosis dan segala jenis obat dari sisi kimiawi, biologi dan fisikanya. Kepala mereka bisa meledak, sementara waktu terus menekan. Harga diri juga kadang bermain. Takut dibilang dokter yang tidak percaya diri karena melihat buku dan meminta waktu lama pada pasien. Kadang justru pasien malah ragu dengan dokter yang demikian, padahal ini jauh lebih baik dari pada semata menebak, berteori dan meneruskan tradisi pemberian obat. Alhasil, kadang pasien diberikan setumpuk obat yang kegunaannya bermacam-macam, padahal untuk menutupi ketidak tahuan sang dokter tentang penyakit yang diderita sang pasien.
\
Michael Wilkes, wakil dekan Pendidikan di Universitas California di Davis mengeluhkan kalau sebagian besar mahasiswa kedokteran tidak diajarkan cara berpikir kritis. Diantara yang sedikit ini adalah David Newman dari Mount Sinai. Ia terkejut saat masuk kuliah kedokteran saat ia bertanya pada seniornya, ternyata para seniornya yang telah bertahun-tahun menjadi dokter, memberikan jawaban yang semata berbentuk opini tanpa basis fakta.

Adanya kondisi ilmiah ini membuat studi kedokteran yang menggunakan metode meta analisis tampaknya merupakan metode yang tidak berguna. Studi meta analisis pada dasarnya adalah studi yang meninjau sebanyak mungkin studi, artinya ia sebuah Tinjauan Literatur belaka. Apa jadinya jika seorang ilmuan kedokteran dengan berbekal penelitian meta analisis mengklaim kalau mayoritas penelitian menunjukkan tidak adanya efek samping suatu obat, padahal kenyataannya ada efek samping yang fatal.

Solusi masalah ini terang benderang. Harus dilakukan reformasi kebijakan kesehatan dan pendidikan praktisi kesehatan. Calon dokter, perawat dan yang terkait harus diajarkan cara berpikir kritis dan menerapkannya dalam hidup sehari-hari. Pendanaan penelitian obat harus berada di tangan Universitas dan netral dari campur tangan perusahaan farmasi. Solusi lain dapat menyusul, seperti peradilan malpraktek dan sebagainya, tapi pendidikan dan kebijakan adalah dua hal yang paling penting.

Bagi kita para awam, hal ini tampaknya mimpi buruk abad pertengahan yang bangkit kembali. Apa bedanya dokter dengan dukun kalau begitu? Well, tetap ada bedanya. Yang kita perlu adalah kebijaksanaan dan kemampuan berpikir kritis. Obat tradisional mungkin lebih manjur, tapi kita perlu bukti. Obat yang lebih mahal mungkin lebih manjur, tapi kita juga perlu bukti. Mungkin cukup bijak bagi saya untuk ke Puskesmas terlebih dahulu sebelum ke dokter. Di Puskesmas murah meriah dan seperti dalam penelitian di Amerika Serikat tadi, obat generik ternyata sama efektifnya dengan obat mahal.

Walau bagaimana pun, gambaran di atas adalah kondisi yang terjadi di Amerika Serikat. Mengenai Indonesia? Mungkin lebih baik, mungkin juga lebih buruk. Bagi anda yang menyimpulkan kalau Indonesia lebih buruk, terutama karena “Hei, negara maju seperti Amerika saja masih seperti itu, apalagi kita” maka anda harus berhati-hati.


Mungkin saran dari Sheldon Lipshutz, M.D, dokter yang berpengalaman lebih dari 40 tahun dapat berguna untuk anda. Sebelum anda memutuskan untuk menemui dokter, anda harus :

1.  Memikirkan secara kritis keputusan tersebut, terutama akibatnya sebelum, saat, dan sesudah perawatan

2.  Ingatlah kalau dokter tidak selalu benar

3.  Rasa sakit adalah tanda bagian tubuh ada yang salah, karena itu kenali jenis-jenis penyakit

4.  Bersiap-siaplah dengan kemungkinan terburuk

5.  Buatlah rencana kesehatan dan periksa secara kritis alternatif lain selain dokter

6. Bekerja samalah dengan dokter bila memang jadi berkunjung ke dokter, karena diagnosa hanya dapat berhasil bila anda mau berterus terang dan bekerja sama

7.  Setiap konsumsi obat memiliki pengaruh. Karenanya kenali obat anda

8. Anda harus lebih hati-hati lagi bila anda wanita

9. Dan anda juga harus memberi perhatian lebih pada anak-anak dan manula

10. Kenali tubuh anda sendiri

Referensi:
1. Guy L. Clifton. Flatlined : Resuscitating American Medicine. Rutgers University Press, 2009
3. Jerome Groopman. How Doctors Think. Houghton Mifflin Company; 1st edition (March 19, 2007)
5. Jeanne Lenzer dan Shannon Brownlee. November 2010. Reckless Medicine.  Discover Magazine. P. 65-73
6. Institute of Medicine. 2008. Knowing What Works in Health Care: A Roadmap for the Nation
7. Reducing and Preventing Adverse Drug Events To Decrease Hospital Costs. Research in Action, Issue 1.
 AHRQ Publication Number 01-0020, March 2001. Agency for Healthcare Research and Quality, Rockville, MD. http://www.ahrq.gov/qual/aderia/aderia.htm
8. Niteesh K. Choudhry, MD,FRCPC; Henry Thomas Stelfox, MD,FRCPC; Allan S. Detsky, MD,PhD,FRCPC. Relationships Between Authors of Clinical Practice Guidelines and the Pharmaceutical Industry. JAMA. 2002;287:612-617
9. Jean-Louis Mas, M.D., Gilles Chatellier, M.D., Bernard Beyssen, M.D., Alain Branchereau, M.D., Thierry Moulin, M.D., Jean-Pierre Becquemin, M.D., Vincent Larrue, M.D., Michel Lièvre, M.D., Didier Leys, M.D., Ph.D., Jean-François Bonneville, M.D., Jacques Watelet, M.D., Jean-Pierre Pruvo, M.D., Ph.D., Jean-François Albucher, M.D., Alain Viguier, M.D., Philippe Piquet, M.D., Pierre Garnier, M.D., Fausto Viader, M.D., Emmanuel Touzé, M.D., Maurice Giroud, M.D., Hassan Hosseini, M.D., Ph.D., Jean-Christophe Pillet, M.D., Pascal Favrole, M.D., Jean-Philippe Neau, M.D., and Xavier Ducrocq, M.D. Endarterectomy versus Stenting in Patients with Symptomatic Severe Carotid Stenosis. N Engl J Med 2006; 355:1660-1671October 19, 2006
10. Hurley, Dan. Carotid Endarterectomy Rates Fall, But Stenting Jumps as Wide Geographic Variation Persists. Neurology Today: 2 September 2010 – Volume 10 – Issue 17 – pp 6-7
11. The Antihypertensive and Lipid-Lowering Treatment to Prevent Heart Attack Trial. Erratum in: JAMA. 2004 May 12;291(18):2196.
12.   Sheldon Lipshutz, 2004. 10 Things You Need to Know Before You See the Doctor. Silver Lake Publishing.

Sumber: FaktaIlmiah.com

No comments:

Post a Comment