Laman

Thursday, November 8, 2012

Apakah Ruang Terhingga?

Oleh: Jean-Pierre Luminet, Glenn D. Starkman, dan Jeffrey R. Weeks

Ilustrasi oleh: Bryan Christie Design
(Sumber: Scientific American, Special Edition – The Once and Future Cosmos, 31 Desember 2002, hal. 58-65)

Kearifan konvensional menyatakan alam semesta berluas tak terhingga. Tapi boleh jadi ia terhingga, hanya saja memberi ilusi ketakterhinggaan.

 

“Kotak Ketakterhinggaan” menyebabkan kosmos terhingga terlihat tak berujung pangkal. Kotak ini memuat tiga bola saja, tapi cermin yang memagari dinding-dindingnya menghasilkan citra berjumlah tak terhingga. Tentu saja, di alam semesta riil tak ada perbatasan yang dapat memantulkan cahaya. Tapi, keanekaragaman citra dapat timbul sewaktu sinar cahaya membelit alam semesta berulang-ulang. Dari pola citra berulang, kita bisa menyimpulkan ukuran dan bentuk sejati alam semesta.

Saat menatap langit di malam yang cerah, kita merasa bisa melihat seterusnya tanpa ujung. Seolah bintang-bintang dan galaksi-galaksi itu tak berujung; bahkan kegelapan di antara mereka dipenuhi dengan cahaya jika kita menatap melalui teleskop yang cukup sensitif. Faktanya, tentu saja, volume ruang yang dapat kita amati dibatasi oleh umur alam semesta dan kecepatan cahaya. Tapi dengan waktu yang cukup, tak bisakah kita mengintai lebih jauh lagi, terus dan terus menemukan galaksi dan fenomena baru?

Mungkin tidak. Seperti ruangan cermin, alam semesta yang terlihat tak berujung pangkal mungkin sedang memperdaya kita. Kosmos boleh jadi, nyatanya, terhingga. Ilusi ketakterhinggaan timbul sewaktu cahaya membelit ruang sepenuhnya, barangkali lebih dari satu kali—menciptakan banyak citra tiap galaksi. Tak terkecuali galaksi Bima Sakti kita; anehnya, langit bahkan mungkin mengandung salinan-salinan bumi pada suatu era terdahulu. Seiring waktu berjalan, astronom mampu menyaksikan galaksi-galaksi berkembang, dan mereka pun mencari citra-citra baru. Tapi akhirnya tak ada ruang baru yang terlihat oleh mereka. Jika ada, mereka akan telah melihatnya.

Pertanyaan tentang alam semesta terhingga atau tak terhingga merupakan salah satu yang tertua dalam filsafat. Miskonsepsi umum adalah bahwa ini sudah terjawab, yakni tak terhingga. Argumentasinya, seringkali diulang-ulang dalam buku teks, menarik kesimpulan tak berdasar dari teori relativitas umum Einstein.

Menurut relativitas, ruang adalah medium dinamis yang dapat melengkung dengan salah satu dari tiga cara, tergantung distribusi materi dan energi di dalamnya. Karena kita tersimpan di ruang, kita tak dapat melihat pelenturan tersebut secara langsung melainkan merasakannya sebagai tarikan gravitasi dan distorsi geometris citra. Untuk menentukan mana dari ketiga geometri tersebut yang dimiliki oleh alam semesta kita, astronom mengukur densitas materi dan energi di kosmos. Rupanya [densitas tersebut] terlalu sedikit untuk memaksa ruang melengkung balik ke dirinya sendiri—geometri “spheris”. Oleh sebab itu, ruang pasti memiliki geometri Euclidean yang familiar, seperti bidang datar, atau geometri “hiperbolik”, seperti pelana [lihat ilustrasi di bawah]. Sekilas, alam semesta semacam itu membentang tanpa ujung.


Geometri lokal ruang bisa berbentuk Euclidean, spheris, atau hiperbolik—hanya tiga kemungkinan ini yang konsisten dengan kesimetrian kosmos yang teramati pada skala besar. Pada bidang Euclidean, sudut-sudut sebuah segitiga berjumlah persis 180 derajat; pada permukaan spheris, sudutnya berjumlah lebih dari 180 derajat; dan pada permukaan hiperbolik (atau pelana), berjumlah kurang dari 180 derajat. Geometri lokal menentukan cara objek bergerak. Tapi itu tidak mendeskripsikan bagaimana masing-masing volume di ruang terhubung untuk memberikan bentuk global kepada alam semesta

Satu persoalan terkait kesimpulan ini adalah bahwa alam semesta boleh jadi spheris namun begitu besar sehingga bagian-bagian yang teramati tampak [berbentuk] Euclidean, persis seperti petak kecil permukaan bumi yang tampak flat. Namun isu yang lebih luas adalah, relativitas merupakan teori lokal murni. Ia memprediksi kelengkungan setiap volume kecil ruang—geometrinya—berdasarkan materi dan energi yang dikandungnya. Relativitas ataupun observasi kosmologis standar tidak mengatakan apa-apa tentang bagaimana volume-volume itu saling pas/bercocokan untuk memberi bentuk keseluruhan kepada alam semesta—topologinya. Ketiga geometri kosmik yang masuk akal tadi konsisten dengan berbagai topologi. Contoh, relativitas mendeskripsikan torus (bentuk mirip donat) dan bidang datar dengan persamaan yang sama, padahal torus berluas terhingga sedangkan bidang datar berluas tak terhingga. Penetapan topologi memerlukan suatu pemahaman fisikal di luar teori relativitas.

Asumsi lumrahnya adalah bahwa alam semesta itu, seperti bidang datar, “simply connected” (terhubung sederhana), artinya hanya ada satu jalur langsung bagi cahaya untuk berjalan dari sumber ke pengamat. Alam semesta Euclidean simply connected ataupun alam semesta hiperbolik memang akan berluas tak terhingga. Tapi alam semesta mungkin justru “multiply connected” (terhubung berlipatganda), seperti torus, di mana akan ada banyak jalur berlainan. Seorang pengamat akan melihat berbagai citra setiap galaksi dan bisa dengan mudah menafsirkannya sebagai galaksi berlainan di ruang tak berujung pangkal, persis seperti pengunjung ruangan cermin merasakan ilusi melihat kerumunan orang.

Ruang multply connected bukanlah sekadar lelucon matematis; ia bahkan disukai oleh beberapa skema untuk menyatukan gaya-gaya fundamental alam, dan ia tidak bertentangan dengan bukti yang ada. Selama beberapa tahun belakangan, riset topologi kosmik telah berkembang. Observasi-observasi baru mungkin segera mencapai jawaban definitif.

Nyaman di Ruang Terhingga

Banyak kosmolog menyangka alam semesta itu berluas terhingga. Sebagian alasannya memang sederhana: akal manusia lebih siap meliputi hal terhingga daripada hal tak terhingga. Tapi ada pula dua garis argumen ilmiah yang menyukai keterhinggaan. Yang pertama melibatkan eksperimen pikiran yang dirancang oleh Isaac Newton dan ditinjau kembali oleh George Berkeley dan Ernst Mach. Bergulat dengan penyebab kelembaman, Newton membayangkan dua ember yang terisi air setengah. Ember pertama dibiarkan diam, dan permukaan airnya datar. Ember kedua diputar cepat, dan permukaan airnya cekung. Mengapa?

Jawaban naifnya adalah gaya sentrifugal. Tapi bagaimana ember kedua tahu [dirinya] sedang berputar? Rincinya, apa yang menjadi kerangka referensi lembam yang terhadapnya ember kedua berputar secara relatif, sedangkan ember pertama tidak? Jawaban Berkeley dan Mach adalah bahwa semua materi di alam semesta secara kolektif menjadi kerangka referensi. Ember pertama adalah diam secara relatif terhadap galaksi-galaksi jauh, sehingga permukaan [air]nya tetap datar. Ember kedua berputar secara relatif terhadap galaksi-galaksi itu, sehingga permukaan [air]nya cekung. Seandainya tak ada galaksi jauh, takkan ada alasan untuk memilih satu kerangka referensi dibanding kerangka lainnya. Permukaan kedua ember akan tetap datar, dan karenanya air tak memerlukan gaya sentripetal untuk membuatnya terus berputar. Singkatnya, ia tak memiliki kelembaman. Mach berkesimpulan bahwa jumlah kelembaman yang dialami sebuah benda berbanding dengan jumlah total materi di alam semesta. Alam semesta berluas tak terhingga akan menyebabkan kelembaman tak terhingga. Tak ada yang dapat bergerak.

Selain argumen Mach, terdapat karya pendahuluan dalam kosmologi quantum, yang berupaya mendeskripsikan bagaimana alam semesta muncul secara spontan dari kehampaan. Beberapa teori demikian memprediksi bahwa alam semesta bervolume rendah jauh lebih mungkin daripada alam semesta bervolume tinggi. Alam semesta berluas tak terhingga memiliki probabilitas nol untuk eksis [lihat “Quantum Cosmology and the Creation of the Universe”, tulisan Jonathan J. Halliwell, Scientific American, Desember 1991]. Secara longgar bisa dikatakan energinya tak terhingga, dan tak ada fluktuasi quantum yang bisa mengerahkan [energi] sebanyak itu.

Secara historis, ide alam semesta berluas terhingga menjumpai rintangan: kebutuhan nyata akan tepi/pinggir [alam semesta]. Aristoteles berargumen bahwa alam semesta adalah berluas terhingga dengan alasan bahwa perbatasan diperlukan untuk menetapkan kerangka referensi absolut; kerangka ini penting dalam pandangan keduniaannya. Tapi para pengkritiknya bertanya-tanya apa yang ada di tepi tersebut. Setiap tepi memiliki sisi lain. Lantas mengapa tidak menetapkan ulang alam semesta (yang kira-kira berarti “sisi satu”) agar mencakup sisi lain tersebut? Matematikawan Jerman Georg F.B. Riemann memecahkan teka-teki ini di pertengahan abad 19. Untuk model kosmos, dia mengajukan hiperbola—permukaan tiga-dimensi sebuah bola empat-dimensi, sebagaimana bola biasa merupakan permukaan dua-dimensi sebuah bola tiga-dimensi. Itu adalah contoh ruang pertama yang berluas terhingga tapi tak memiliki persoalan perbatasan.

Kita mungkin masih bertanya apa yang ada di sisi luar alam semesta. Tapi pertanyaan ini berasumsi bahwa realitas fisik pasti berupa ruang Euclidean berdimensi tertentu. Dengan kata lain, pertanyaan ini beranggapan bahwa jika ruang adalah hiperbola, maka hiperbola tersebut pasti terletak di ruang Euclidean empat-dimensi, memungkinkan kita memandangnya dari sisi luar. Namun alam tidak harus patuh pada gagasan ini. Bisa diterima sepenuhnya bahwa alam semesta adalah hiperbola dan tidak tersimpan di ruang dimensi tinggi. Objek semacam ini memang sulit divisualisasikan, sebab kita terbiasa memandang bentuk dari sisi luar. Padahal tidak harus ada “sisi luar”.

Pada akhir abad 19, para matematikawan telah menemukan beragam [model] ruang berluas terhingga tanpa perbatasan. Astronom Jerman Karl Schwarzschild memperingatkan penelitian ini kepada koleganya pada tahun 1900. Dalam catatan tambahan untuk sebuah artikel dalam Vierteljahrschrift der Astronomischen Gesellschaft, dia menantang pembacanya:
Bayangkan bahwa sebagai hasil dari pengalaman astronomi yang panjang, keseluruhan alam semesta terdiri dari salinan identik Bima Sakti kita yang tak terhitung, sehingga ruang berluas tak terhingga dapat dipartisi menjadi kubus-kubus yang masing-masing memuat salinan identik Bima Sakti kita. Akankah kita tetap memegang asumsi repetisi identik dunia yang tak terhingga banyaknya?… Kita akan jauh lebih gembira dengan pandangan bahwa repetisi-repetisi ini ilusi, bahwa kenyataannya ruang memiliki atribut hubungan aneh sehingga jika kita meninggalkan salah satu kubus lewat sebuah sisi, maka kita segera memasukinya lagi lewat sisi berlawanan.
Contoh Schwarzschild mengilustrasikan bagaimana seseorang dapat secara mental mengkonstruksi torus dari ruang Euclidean. Di dua dimensi, dimulai dengan persegi dan mengidentifikasi sisi-sisi berlawanan sebagai sisi yang sama—sebagaimana dalam banyak video game, semisal game berjudul Asteroids yang patut dihormati, di mana sebuah kapal antariksa yang lenyap dari sisi kanan tabir muncul kembali di sisi kiri. Terlepas dari keterhubungan di antara sisi-sisi, ruangnya tetap sama. Semua aturan familiar geometri Euclidean tetap berlaku. Sekilas, ruang terlihat tak terhingga bagi orang yang tinggal di dalamnya, sebab tak ada batas pada jangkauan penglihatan mereka. Tanpa menjelajahi alam semesta dan menjumpai objek yang sama berulang kali, kapal tidak bisa mengatakan bahwa dirinya berada di dalam torus [lihat ilustrasi di bawah]. Di tiga dimensi, kita mengawali dengan blok kubus ruang dan merekatkan muka-muka berlawanan untuk menghasilkan torus-3.

Torus-2 Euclidean, terlepas dari adanya glasur gula, ekuivalen secara topologis
dengan permukaan donat. Sayangnya, torus Euclidean tidak bisa berada di ruang
Euclidean tiga-dimensi kita. Donat bisa [berada di ruang kita] sebab telah tertekuk
menjadi geometri spheris di sekeliling sisi luarnya dan menjadi geometri hiperbolik
di sekeliling lubangnya. Tanpa kelengkungan ini, donat tidak dapat dilihat dari sisi luar.

Ketika Albert Einstein mempublikasikan model alam semesta relativistik pertama pada 1917, dia memilih hiperbola Riemann sebagai bentuk keseluruhan. Pada waktu itu, topologi ruang merupakan topik diskusi yang aktif. Matematikawan Rusia Aleksander Friedmann segera menggeneralisir model Einstein untuk memperkenankan alam semesta mengembang dan ruang hiperbolik. Persamaannya masih rutin dipakai oleh kosmolog. Dia menekankan bahwa persamaan-persamaan model hiperboliknya berlaku pada alam semesta berluas terhingga serta alam semesta berluas tak terhingga standar—sebuah tinjauan yang sangat mengagumkan sebab saat itu tak ada contoh ruang hiperbolik terhingga. Nyatanya, hampir semua topologi mensyaratkan geometri hiperbolik. Di dua dimensi, ruang Euclidean terhingga pasti memiliki topologi torus-2 atau botol Klein; di tiga dimensi, hanya ada 10 kemungkinan Euclidean—yakni, torus-3 dan sembilan variasi sederhananya, misalnya merekatkan muka-muka berlawanan dengan seperempat putaran atau pemantulan (setengah putaran—penj), bukan lurus berhadap-hadapan. Berdasarkan perbandingan, tak terhingga banyaknya kemungkinan topologi untuk alam semesta terhingga hiperbolik tiga-dimensi. Struktur mereka yang kaya masih menjadi subjek riset yang intens. Demikian pula, tak terhingga banyaknya kemungkinan topologi untuk alam semesta terhingga spheris tiga-dimensi.

Eightfold

Di antara semua isu dalam topologi kosmik, barangkali yang paling sukar dipahami adalah bagaimana ruang hiperbolik bisa berluas terhingga. Untuk sederhananya, pertama-tama bayangkan alam semesta dua-dimensi. Tiru konstruksi torus-2 tapi diawali dengan permukaan hiperbolik. Potong oktagon reguler dan identifikasi pasangan-pasangan tepi yang berlawanan, sehingga [pasangan] manapun yang menyisakan oktagon di seberang sebuah tepi kembali ke tepi berlawanan. Atau, kita dapat memikirkan tabir Asteroids oktagonal [lihat ilustrasi di bawah]. Ini adalah alam semesta multiply connected, ekuivalen secara topologis dengan kue berlubang dua. Seorang pengamat di tengah-tengah oktagon melihat citra terdekat dirinya di delapan arah berlainan. Ilusi ini adalah ilusi ruang hiperbolik tak terhingga, meskipun alam semesta tersebut sebetulnya terhingga. Konstruksi serupa juga memungkinkan di tiga dimensi, walau lebih sulit divisualisasikan.


Ruang hiperbolik terhingga terbentuk dari oktagon yang sisi-sisi berlawanannya terhubung, sehingga apapun yang menyeberangi salah satu tepi akan masuk kembali dari tepi sebelahnya (atas kiri). Secara topologis, ruang oktagonal ekuivalen dengan kue berlubang dua (atas kanan). Pengamat di permukaan akan melihat kisi galaksi oktagonal tak terhingga. Kisi semacam ini hanya dapat digambar pada manifold hiperbolik, sebuah permukaan terkulai aneh di mana setiap titik memiliki geometri pelana (bawah).

Sudut-sudut oktagon patut dipertimbangkan secara cermat. Pada permukaan flat, sudut-sudut poligon tidak bergantung pada ukurannya. Oktagon reguler besar dan oktagon reguler kecil sama-sama memiliki sudut dalam sebesar 135 derajat. Namun pada permukaan melengkung, sudut-sudut bervariasi sesuai ukuran. Pada bola, [besaran] sudut-sudut bertambah seiring tumbuhnya [ukuran] poligon, sedangkan pada permukaan hiperbolik, besaran sudut-sudutnya berkurang. Konstruksi di atas mensyaratkan oktagon yang berukuran tepat untuk memiliki sudut 45 derajat, agar ketika sisi-sisi berlawanan teridentifikasi, kedelapan sudut akan bertemu di satu titik dan total sudut akan sebesar 360 derajat. Seluk-beluk ini menjelaskan mengapa konstruksinya takkan bekerja pada oktagon flat; dalam geometri Euclidean, kedelapan sudut 135 derajat tak bisa bertemu di satu titik. Alam semesta dua-dimensi yang diperoleh dengan mengidentifikasi sisi-sisi berlawanan sebuah oktagon pasti hiperbolik. Topologi menentukan geometri.

Ukuran poligon atau polihedron terkait dengan satu-satunya skala panjang yang bermakna secara geometris untuk ruang: jari-jari kelengkungan. Bola, misalnya, bisa mempunyai ukuran fisikal tertentu (katakanlah dalam meter), tapi luas permukaannya akan selalu 4π kali kuadrat jari-jarinya—yakni 4π r2. Prinsip yang sama berlaku pada ukuran topologi hiperbolik, karenanya jari-jari kelengkungannya juga dapat ditetapkan. Ruang hiperbolik terkecil yang dikenal, ditemukan oleh salah satu dari kami (Weeks) pada 1985, bisa dikonstruksi dengan mengidentifikasi pasangan-pasangan muka sebuah polihedron bersisi 18. Ia memiliki volume kira-kira 0,94 r3. Topologi-topologi hiperbolik lainnya dibangun dari poliheron yang lebih besar.

Sebagaimana geometri hiperbolik memperkenankan banyak topologi, begitu pula dengan geometri spheris. Di tiga dimensi, bola digeneralisir menjadi hiperbola. (Untuk memvisualisasikan hiperbola, bayangkan ia tersusun dari dua bola padat di ruang Euclidean, direkatkan sepanjang permukaannya: masing-masing titik permukaan bola kesatu sama dengan titik-titik ekuivalen di permukaan bola kedua.) Volume hiperbola tersebut persis 2π2 kali kubik jari-jari kelengkungannya. Pada 1917, astronom Belanda Willem de Sitter membedakan bola-3 proyektif (P3) dari bola-3 biasa, S3. Bola proyektif terbentuk dari bola dengan mengidentifikasi semua pasangan titik antipoda (titik-titik yang berlawanan pada bola). Oleh sebab itu, P3 memiliki setengah volume S3. Selain P3, tak terhingga banyaknya topologi bergeometri spheris. Tak seperti geometri hiperbolik—di mana semakin “rumit” topologinya, semakin besar volume polihedron fundamentalnya—dalam geometri spheris kompleksitas topologinya menghasilkan polihedron fundamental yang semakin kecil. Contoh, ruang Poincaré dilambangkan dengan dodekahedron yang muka-muka berlawanannya teridentifikasi berpasangan; ia memiliki volume 1/120 dari volume hiperbola.

Ruang kosmik mungkin juga memiliki bentuk demikian, di mana “lensa spheris” yang luar biasa akan dihasilkan, dengan citra sumber-sumber kosmik berulang sesuai “struktur kristal” 120-fold ruang Poincaré. Dari sudut pandang matematika, volume alam semesta, dalam jari-jari kubik, bisa kecil meskipun kelengkungan alam semesta amat besar. Ini berarti tak peduli betapapun mirip dengan ruang Euclidean, topologi spheris kosmik selalu layak dicari.

Beraneka observasi astronomi mengimplikasikan bahwa densitas materi di kosmos hanyalah sepertiga dari [jumlah] yang diperlukan agar ruang berbentuk Euclidean. Sampai belakangan, tidak diketahui apakah konstanta kosmologis mengisi sisanya [lihat “Antigravitasi Kosmologis”, tulisan Lawrence M. Krauss]. Ataukah alam semesta memiliki geometri hiperbolik dangan jari-jari kelengkungan 18 miliar tahun-cahaya. Tapi pengukuran teranyar terhadap radiasi gelombang mikro kosmik latar mengindikasikan bahwa geometrinya sekurangnya cukup mirip dengan Euclidean. Temuan-temuan itu, serta pengukuran cermat supernova-supernova jauh, mengkonfirmasi bahwa sesuatu yang mirip konstanta kosmologis eksis secara dominan. Meski begitu, banyak topologi kompak—Euclidean, hiperbolik, dan terutama spheris—tetap siap untuk dideteksi.

Dekade dari 1930 sampai 1990 merupakan masa-masa gelap pemikiran topologi kosmik. Tapi tahun 1990-an kita menyaksikan kelahiran kembali subjek ini. Dalam beberapa tahun terakhir, paper topologi kosmik yang dipublikasikan sama banyaknya dengan tahun 1980. Yang paling menggairahkan, kosmolog akhirnya menetapkan topologi berdasarkan observasi.

Uji paling sederhana terhadap topologi adalah memperhatikan susunan galaksi-galaksi. Jika mereka terletak di kekisi persegi (rectangular lattice), di mana citra-citra galaksi yang sama berulang pada titik-titik kekisi yang ekuivalen, maka alam semesta kita adalah torus-3. Pola-pola lain mengungkap topologi yang lebih rumit. Sayangnya, mencari pola semacam itu susah, sebab citra-citra sebuah galaksi akan melukiskan titik-titik berlainan dalam sejarahnya. Astronom harus mengenali galaksi yang sama meski terjadi perubahan tampilan atau pergeseran posisi secara relatif terhadap galaksi-galaksi tetangga. Selama seperempat abad terakhir, periset semisal Dmitri Sokoloff dari Moscow State University, Viktor Shvartsman dari Soviet Academy of Sciences di Moscow, J. Richard Gott III dari Universitas Princeton, dan Helio V. Fagundes dari Institute for Theoretical Physics di São Paulo telah mencari citra berulang dalam [radius] satu miliar tahun-cahaya dari bumi, tapi tak menemukannya.

Yang lainnya—seperti Boudewijn F. Roukema, kini di Center of Astronomy of the Nicolaus Copernicus University di Torun, Polandia—telah mencari pola-pola di antara quasar. Karena objek-objek ini cerlang, dianggap ditenagai oleh black hole, pola di antara mereka dapat dilihat dari jarak jauh. Para pengamat mengidentifikasi semua pengelompokan empat quasar atau lebih. Dengan memeriksa relasi ruang di antara setiap kelompok, mereka mengecek apakah suatu pasangan kelompok merupakan kelompok yang sama yang terlihat dari dua arah berbeda. Roukema mengidentifikasi dua kemungkinan, tapi keduanya barangkali tidak signifikan secara statistik.

Roland Lehoucq dan Marc Lachièze-Rey dari departemen astrofisika di CEA Saclay di Prancis, bersama Jean-Philippe Uzan dari Theoretical Physics Laboratory di Orsay dan salah satu dari kami (Luminet), telah menghindari persoalan pengenalan galaksi dengan cara berikut. Kami mengembangkan beragam metode kristalografi kosmik yang dapat memahami pola secara statistik tanpa harus mengenali galaksi-galaksi spesifik sebagai citra satu sama lain. Jika citra-citra galaksi berulang secara periodik, histogram semua jarak antargalaksi semestinya memperlihatkan puncak-puncak pada jarak tertentu, yang mencerminkan ukuran sejati alam semesta. Metode ini telah terbukti bekerja dengan baik secara teoritis di alam semesta Euclidean atau spheris. Sejauh ini kami belum melihat suatu pola [lihat ilustrasi di bawah], tapi ini mungkin gara-gara kurangnya data riil tentang galaksi-galaksi yang berjarak lebih dari dua miliar tahun-cahaya. Sloan Digital Sky Survey—sebuah kolaborasi Amerika-Jepang untuk mempersiapkan peta tiga-dimensi alam semesta—dan program pensurveyan galaksi ber-redshift tinggi lainnya akan menghasilkan banyak data untuk studi-studi ini.


Jarak antara gugus-gugus galaksi tidak memperlihatkan
pola yang disangkakan dari alam semesta terhingga dan
saling terhubung—yakni, puncak-puncak jarak yang
runcing terkait dengan ukuran sejati kosmos (gambar inset).
Tapi kami (penulis) hanya mempelajari gugus-gugus galaksi
dalam radius kurang-lebih dua miliar tahun cahaya dari bumi.
Alam semesta masih mungkin saling terhubung pada skala besar.

Terakhir, beberapa kelompok riset lain berencana memastikan topologi alam semesta menggunakan radiasi gelombang mikro kosmik latar, pijaran redup yang tersisa dari big bang. Radiasi ini luar biasa homogen: temperatur dan intensitasnya sama di seluruh wilayah langit hingga hampir satu bagian dalam 100.000. Tapi ada sedikit undulasi ditemukan pada 1991 oleh satelit Cosmic Background Explorer (COBE). Kasarnya, radiasi gelombang mikro kosmik latar melukiskan variasi densitas di alam semesta awal, yang akhirnya menyemai bibit pertumbuhan bintang dan galaksi.

Argumentasi Sirkuler

Fluktuasi-fluktuasi ini merupakan kunci untuk memecahkan berbagai isu kosmologi, salah satunya topologi. Photon-photon gelombang mikro yang tiba pada momen tertentu memulai perjalanan mereka pada waktu dan jarak yang kurang-lebih sama dari bumi. Jadi titik tolak mereka membentuk bola, disebut last scattering surface (permukaan yang berpencar paling akhir—penj), dengan bumi di tengah-tengahnya. Sebagaimana cakram kertas besar bertumpang-tindih ketika dibungkuskan pada gagang sapu, last scattering surface juga akan berinterseksi dengan dirinya sendiri jika [berukuran] cukup besar untuk membungkus seluruh alam semesta. Interseksi sebuah bola dengan dirinya sendiri merupakan lingkaran titik-titik di ruang.

Memperhatikan lingkaran tersebut dari bumi, astronom akan melihat dua lingkaran di langit yang memiliki pola variasi temperatur yang sama. Kedua lingkaran itu sebetulnya adalah satu lingkaran yang sama di ruang yang dilihat dari dua perspektif [lihat ilustrasi di bawah]. Mereka analogis dengan citra jamak sebuah lilin di ruangan cermin, yang masing-masingnya memperlihatkan lilin dari sudut berlainan.


Membelit kosmos, cahaya menciptakan pola-pola di langit.
Semua cahaya yang diterima dari waktu tertentu atau jarak
tertentu dari Bumi—semisal radiasi gelombang mikro kosmik
latar sisa big bang—merepresentasikan bola. Jika bola ini
lebih besar daripada alam semesta, ia akan berinterseksi dengan
dirinya sendiri, membentuk lingkaran. Lingkaran ini terdiri dari
titik-titik yang kita lihat dua kali: dari kiri dan dari kanan (bawah).
Analogi dua-dimensinya adalah perban sirkuler yang membungkus
jari (atas).

Dua orang dari kami (Starkman dan Weeks), bekerja bersama David N. Spergel dari Princeton dan Neil J. Cornish dari Montana State University, berharap mendeteksi pasangan-pasangan lingkaran semacam itu. Keindahan metode ini adalah bahwa ia tak terpengaruh oleh ketidakpastian kosmologi kontemporer—ia bersandar pada observasi bahwa ruang mempunyai kelengkungan konstan, tapi ia tak membuat asumsi mengenai densitas materi, geometri ruang, atau keberadaan konstanta kosmologis. Persoalan utamanya adalah mengidentifikasi lingkaran-lingkaran di tengah adanya gaya-gaya yang cenderung mendistorsi citra mereka. Contoh, sewaktu bergabung, galaksi-galaksi mengerahkan tarikan gravitasi berubah-ubah terhadap radiasi saat radiasi berjalan menuju bumi, sehingga menggeser energinya.

Sayangnya, COBE tak mampu me-resolve struktur-struktur pada skala angular kurang dari 10 derajat. Selain itu, ia tidak mengidentifikasi titik-titik panas atau dingin; yang bisa kita katakan secara pasti adalah bahwa secara statistik sebagian fluktuasi merupakan fitur riil, bukan temuan instrumen. Sejak saat itu, instrumen-instrumen beresolusi tinggi dan berderau rendah telah dikembangkan. Sebagian sudah melakukan observasi dari observatorium-observatorium yang berbasis di bumi ataupun diangkut dengan balon, tapi mereka belum mencakup seluruh langit. Observasi krusial akan dilakukan oleh Microwave Anisotropy Probe (MAP) milik NASA, kini sedang mengumpulkan data, dan satelit Planck milik European Space Agency, dijadwalkan diluncurkan pada 2007.

Posisi relatif lingkaran-lingkaran sebanding, jika memang ada, akan menyingkap topologi spesifik alam semesta. Jika last scattering surface hampir tidak cukup besar untuk membungkus alam semesta, ia hanya akan berinterseksi dengan citra bayangan (ghost image) terdekatnya. Jika lebih besar, ia akan menjangkau lebih jauh dan berinterseksi dengan citra terdekat berikutnya. Jika last scattering surface cukup besar, kita menduga ada ratusan atau bahkan ribuan pasangan lingkaran [lihat ilustrasi di bawah]. Datanya akan amat berlimpah. Lingkaran-lingkaran besar akan sepenuhnya menentukan topologi ruang serta posisi dan orientasi semua pasangan lingkaran kecil. Jadi, konsistensi internal pola akan memverifikasi bukan cuma ketepatan penemuan topologi tapi juga ketepatan data radiasi gelombang mikro latar.


Tiga kemungkinan alam semesta, besar, sedang, dan
kecil (barisan atas), menghasilkan pola-pola tersendiri
pada radiasi gelombang mikro kosmik latar, sebagaimana
disimulasikan di sini (barisan bawah). Masing-masing
alam semesta ini mempunyai topologi torus-3 dan terdapat
pengulangan enam kali yang menghasilkan kisi regular yang
akan dilihat seorang pengamat. Di alam semesta besar, bola
radiasi latar tidak berpapasan dengan dirinya sendiri, sehingga
tak ada pola yang muncul. Di alam semesta sedang, bola
berinterseksi dengan dirinya sendiri satu kali di setiap arah.
Anda dapat membuktikan bahwa penelusuran sesuai jarum
jam mengelilingi lingkaran tengah pada hemisfer kiri akan
 menyingkap sekuens warna yang sama dengan penelusuran
berlawanan jarum jam pada hemisfer kanan. Terakhir, di alam
semesta kecil, bola berinterseksi dengan dirinya sendiri
berkali-kali, menghasilkan pola yang lebih kompleks.

Tim-tim lain memiliki rencana berbeda-beda terhadap data tersebut. John D. Barrow dan Janna J. Levin dari Universitas Cambridge, Emory F. Bunn dari St. Cloud State University, Evan Scannapieco dari Astrophysical Observatory of Arcetri, Italia, dan Joseph I. Silk dari Universitas Oxford bermaksud memeriksa pola titik-titik panas dan dingin secara langsung. Kelompok ini sudah mengkonstruksi sampel peta yang mensimulasikan radiasi gelombang mikro latar untuk topologi tertentu. Mereka telah mengalikan temperatur di setiap arah dengan temperatur di setiap arah lain, menghasilkan peta besar fungsi korelasi dua titik dalam wujud empat dimensi. Peta-peta ini menyediakan cara kuantitatif untuk membandingkan topologi. J. Richard Bond dari Canadian Institute for Theoretical Astrophysics di Toronto, Dmitry Pogosyan dari Universitas Alberta, dan Tarun Souradeep dari Inter-University Center for Astronomy and Astrophysics di Pune, India, termasuk orang-orang yang pertama kali menerapkan teknik-teknik terkait baru pada data COBE yang ada, yang dapat secara akurat mengidentifikasi ruang-ruang hiperbolik terkecil.

Meski tak langsung memenuhi kepuasan intelektual, penemuan topologi ruang akan memiliki implikasi mendalam terhadap fisika. Walaupun relativitas tidak berkata apapun soal topologi alam semesta, teori-teori yang lebih baru dan lebih komprehensif yang sedang dikembangkan semestinya memprediksi topologi atau setidaknya menetapkan probabilitas pada berbagai kemungkinan. Teori-teori ini diperlukan untuk menjelaskan gravitasi pada momen-momen awal big bang, ketika efek-efek mekanis quantum sangat penting [lihat “Quantum Gravity”, tulisan Bryce S. DeWitt, Scientific American, Desember 1983]. Semua theory of everything, semisal teori-M, sedang dalam masa pertumbuhan dan belum memiliki konsekuensi yang bisa diuji. Tapi pada akhirnya teori-teori kandidat akan membuat prediksi tentang topologi alam semesta pada skala besar.

Langkah-langkah sementara menuju unifikasi fisika sudah menelurkan sub-bidang kosmologi quantum. Ada tiga hipotesis dasar tentang kelahiran alam semesta, yang diajukan, secara beturut-turut, oleh Andrei Linde dari Universitas Standford, Alexander Vilenkin dari Universitas Tufts, dan Stephen W. Hawking dari Universitas Cambridge. Perbedaan mencoloknya adalah apakah volume alam semesta yang baru lahir itu sangat kecil (proposal Linde dan Vilenkin) ataukah sangat besar (proposal Hawking). Data topologis mungkin mampu membedakan model-model ini.

Sejak zaman kuno, kebudayaan di seluruh dunia bertanya bagaimana alam semesta berawal dan apakah ia berluas terhingga atau tak terhingga. Melalui kombinasi wawasan matematika dan observasi cermat, sains abad 20 menjawab sebagian pertanyaan pertama. Mungkin sains akan mengawali abad 21 ini dengan jawaban untuk pertanyaan kedua juga.

Penulis

Jean-Pierre Luminet, Glenn D. Starkman, dan Jeffrey R. Weeks menyatakan senang berpartisipasi dalam boom tahun-tahun topologi kosmik, di mana periset berkumpul melintasi batasan disiplin ilmu. Luminet, yang mempelajari black hole dan kosmologi di Paris Observatory, telah menulis beberapa buku sains serta syair dan berkolaborasi dengan komposer Gérard Grisey dalam pertunjukan musik Le Noir de l’étoile. Starkman terpenjara di lembaga selama enam tahun—di Institute for Avanced Study di Princeton, New Jersey dan kemudian di Canadian Institute for Theoretical Astrophysics di Toronto. Dia telah dibebaskan ke dalam tahanan Case Western Reserve University. Weeks, satu-satunya matematikawan di antara ketiga penulis, dianugerahi MacArthur Fellow pada 1999 dan sekarang merupakan cendekiawan independen.

Untuk Digali Lebih Jauh
  • La Biblioteca de Babel (The Library of Babel). Jorge Luis Borges dalam Ficciones. Emecé Editores, 1956. Teks tersedia di jubal.westnet.com/hyperdiscordia/library__of__babel.html.
  • Cosmic Topology. Marc Lachièze-Rey dan Jean-Pierre Luminet dalam Physics Reports, Vol. 254, No. 3, hal. 135-214, Maret 1995. Pracetak tersedia di xxx.lanl.gov/abs/gr-qc/9605010.
  • Circles in the Sky: Finding Topology with the Microwave Background Radiation. Neil J. Cornish, David N. Spergel, dan Glenn D. Starkman dalam Classical and Quantum Gravity, Vol. 15, No. 9, hal. 2657-2670, September 1998. Pracetak tersedia di at xxx.lanl.gov/abs/astro-ph/9801212.
  • Reconstructing the Global Topology of the Universe from the Cosmic Microwave Background. Jeffrey R. Weeks dalam Classical and Quantum Gravity, Vol. 15, No. 9, hal. 2599-2604, September 1998. Pracetak tersedia di xxx.lanl.gov/abs/astro-ph/9802012.
  • Software gratis untuk menggali topologi tersedia di www.northnet.org/weeks.
  • L’Univers chiffonné. Jean-Pierre Luminet. Fayard, Paris, 2001.
  • The Shape of Space. Jeffrey R. Weeks. Marcel Dekker, Paris, 2002.
Sumber: Sainstory - Sains Social History

No comments:

Post a Comment