Monday, June 18, 2018

Mahkota Sufi: Ibnu Arabi, Sang Syekh al-Akbar

“Bagi pendosa, aku tampak sebagai penjahat. Namun bagi jiwa-jiwa luhur—aku memancarkan kemuliaan.”

Mirza Khan Anshari

Salah satu figur paling berpengaruh dalam dunia metafisika Islam dan bahkan Kristen adalah Muhyiddin Ibnu Arabi, tokoh yang dalam tradisi Sufi dikenal sebagai asy-Syekh al-Akbar—Sang Mahaguru. Ia merupakan keturunan dari Hatim ath-Tha’i, tokoh legendaris bangsa Arab yang dikenal karena kemurahan hatinya yang luar biasa. Dalam Ruba'iyat versi FitzGerald, namanya bahkan disebut sebagai simbol kemurahan hati yang melebihi batas, hingga tak layak dipertanyakan.

Ibnu Arabi lahir di Murcia, Spanyol, pada 1164, saat semenanjung Iberia telah berada dalam kekuasaan Islam lebih dari empat abad. Dalam banyak literatur, ia disebut al-Andalusi, dan dipandang sebagai salah satu putra besar Andalusia yang paling bersinar. Tak berlebihan untuk mengatakan bahwa karya-karyanya dalam puisi cinta adalah yang paling mendalam dalam sejarah Islam, dan pemikiran Sufinya telah menggugah baik teolog ortodoks maupun pencari makna batin lintas tradisi.

Latar Spiritual dan Pendidikan

Menurut para biografer, garis spiritual Ibnu Arabi dapat ditelusuri ke tokoh besar Abdul Qadir al-Jilani, yang dijuluki Sulthanul-Ikhwan—penguasa para saudara Sufi. Ayah Ibnu Arabi pernah bersinggungan dengan al-Jilani, dan dipercaya bahwa kelahiran Ibnu Arabi sendiri merupakan hasil pengaruh spiritual tokoh tersebut, yang meramalkan bahwa anak ini kelak akan menjadi sosok dengan anugerah luar biasa.

Mewarisi tradisi intelektual bangsa Moor, ayahnya memastikan agar Ibnu Arabi menerima pendidikan terbaik pada zamannya. Ia belajar fikih dan teologi di Lisbon, kemudian memperdalam ilmu Al-Qur’an dan hadis di Sevilla di bawah para ulama terkemuka. Di Cordoba, ia menekuni ilmu hukum Islam bersama Syekh asy-Syarrat al-Kabir. Sejak muda, kecerdasan dan kedalaman inteleknya telah melampaui para sezamannya, bahkan dalam lingkungan elit intelektual abad pertengahan.

Namun bukan hanya pendidikan formal yang membentuknya. Sejak remaja, Ibnu Arabi menghabiskan banyak waktu bersama para Sufi. Dari interaksi dan pengalaman batin inilah, lahir puisinya yang menggema dalam keindahan dan kedalaman spiritualitas.

Posisi di Dunia Islam dan Barat

Ibnu Arabi menetap di Sevilla selama tiga dekade. Kecemerlangan puisi dan kefasihannya menjadikannya tokoh besar tidak hanya di Spanyol, tetapi juga di Maroko, pusat kebudayaan Islam lainnya saat itu. Dalam banyak hal, ia mengingatkan pada sosok al-Ghazali. Keduanya berasal dari tradisi Sufi, sama-sama menguasai ajaran ortodoks Islam, dan berpengaruh kuat terhadap pemikiran dunia Barat. Perbedaannya, bila al-Ghazali berpindah dari skolastisisme ke Sufisme setelah mengalami krisis eksistensial, Ibnu Arabi sejak awal telah merangkul pengalaman batiniah sebagai cara utama untuk memahami realitas.

Jika al-Ghazali menekankan bahwa Sufisme adalah inti ajaran Islam dan bukan bid'ah, maka Ibnu Arabi melangkah lebih jauh. Ia menciptakan suatu bentuk kesusastraan Sufi yang memungkinkan siapa pun, dari latar budaya apa pun, untuk menyentuh semangat mistisisme Islam. Ia menjembatani spiritualitas dan puisi, menghidupkan batin agama dalam kata-kata yang abadi.

Tarjuman al-Asywaq dan Tafsir Cinta Ilahiah

Salah satu karyanya yang paling terkenal adalah Tarjuman al-Asywaq (Penerjemah Kerinduan), sebuah kumpulan puisi cinta yang pada permukaan tampak seperti syair erotis biasa. Namun, seperti dikemukakan oleh cendekiawan R.A. Nicholson, makna esoterik dari karya itu hanya terbuka bagi mereka yang mampu menembus lapisan simboliknya. Bagian-bagian puisi ini sepenuhnya mistis, mencerminkan cinta yang bersumber dari kehadiran Ilahi. Bagi mereka yang skeptis, Ibnu Arabi dengan penuh kesabaran justru memberikan kunci untuk memahami kedalaman spiritualnya.

Penyebaran Ajaran dan Simbolisme Nama

Ibnu Arabi memandang misinya sebagai nasyr—penyebaran ajaran Sufi ke dalam kehidupan masyarakat, melalui berbagai medium simbolis dan bahasa yang hidup. Dalam bahasa Arab, akar kata NSYR berarti "penyebaran", "penerbitan", sekaligus "menghidupkan". Nama pribadinya sendiri, Muhyiddin, berarti “Yang Menghidupkan Agama.” Di kalangan tertentu ia dikenal pula sebagai Ibnu Saraqa, yang bermakna “anak gergaji”—suatu metafora dari akar kata yang sama dengan nasyr, yakni gergaji sebagai alat untuk membuka dan menyebarkan.

Salah tafsir dari simbolisme ini bahkan membuat seorang sejarawan seperti Ibnu al-Abbar menyangka ayahnya adalah tukang kayu secara harfiah. Padahal dalam pengertian para Sufi, "tukang kayu" adalah mereka yang membuka jalan spiritual secara halus dan tersembunyi—mereka yang menghidupkan hati, bukan membangun rumah.

Pandangan Kosmik dan Mistikal

Pemikiran Ibnu Arabi memukau sekaligus mengguncang ortodoksi. Dalam Fushush al-Hikam, ia menyatakan bahwa "pandangan paling sempurna tentang Tuhan adalah melalui sosok perempuan"—pernyataan yang membuka pintu tafsir spiritual terhadap cinta dan wujud perempuan sebagai manifestasi Ilahi. Malaikat, dalam pandangannya, bukanlah makhluk luar biasa di luar manusia, melainkan kekuatan tersembunyi dalam organ-organ dan fakultas jiwa manusia. Tujuan Sufi adalah menghidupkan potensi laten ini melalui latihan spiritual.

Ibnu Arabi menolak dikungkung dalam sistem-sistem formal keagamaan. Ia menciptakan semesta makna baru yang tidak bisa direduksi pada tafsir literal, hukum, atau moralitas semata. Ia melihat realitas sebagai lapisan-lapisan pengalaman yang mesti disingkap dengan intuisi, puisi, dan cinta.

Jejak dalam Dunia Barat

Warisan Ibnu Arabi menjalar hingga ke dunia Barat. Dante, misalnya, banyak menyerap gagasan dari karya-karya mistis Ibnu Arabi, meski dalam bentuk yang telah dirombak ke dalam sistem teologi Kristiani. Sayangnya, ini seringkali menghilangkan aspek sufistik orisinal dalam karya tersebut. Sebaliknya, Raymond Lully, tokoh mistik Kristen dari Spanyol, tidak hanya mengadopsi substansi intelektualnya, tetapi juga mengakui pentingnya praktik spiritual Sufi dalam menyempurnakan pengalaman mistikal.

Ibnu Arabi juga belajar dari perempuan Sufi Spanyol, Fatimah binti Waliyya—sebuah indikasi bahwa spiritualitas dalam Islam tidak pernah sepenuhnya patriarkal. Ia menyatakan bahwa sebagian karyanya ditulis dalam keadaan ekstasis spiritual (trance), dan bahkan maknanya baru disadari setelah waktu berlalu.

Pada usia 37 tahun, ia mengunjungi Ceuta dan di sana mengalami mimpi yang kemudian ditakwil oleh seorang alim sebagai pertanda keistimewaan spiritual. Sumber inspirasi terbesarnya memang berasal dari mimpi-mimpi yang melibatkan kesadaran aktif—suatu bentuk pengalaman transenden yang memungkinkan penglihatan terhadap realitas ilahiah yang berada di balik dunia kasat mata.

Ibnu Arabi adalah penyair, mistikus, dan filsuf. Tetapi lebih dari itu, ia adalah seorang penyingkap makna. Melalui puisi dan visi, ia membuka pintu ke kedalaman batin agama, menantang batas-batas logika, dan mengajak manusia untuk melihat Tuhan tidak dalam bentuk, tetapi dalam pengalaman cinta yang tak terhingga.

Ajaran-ajaran Ibnu Arabi menekankan pentingnya melatih fakultas-fakultas batiniah manusia—sebuah aspek yang, menurutnya, sering diabaikan atau malah diserahkan begitu saja kepada khayalan okultisme yang menyesatkan. "Seseorang," ucapnya, "harus mampu mengendalikan pikirannya bahkan dalam mimpi. Melatih kesadaran ini akan membuka akses menuju dimensi eksistensial perantara, yang manfaatnya sangat besar bagi perkembangan spiritual manusia. Setiap orang seharusnya berusaha mencapainya."⁴

Namun, menafsirkan ajaran Ibnu Arabi dengan pendekatan literal atau dari satu sudut pandang tunggal merupakan kesalahan mendasar. Ajarannya bukanlah sistem doktrinal kaku, melainkan refleksi dari pengalaman mistik yang dituangkan dalam bentuk simbolik dan berlapis makna. Jika puisinya tampak mengandung ambiguitas, itu bukan karena kekacauan gagasan, melainkan karena ia sengaja merancang lapisan-lapisan makna itu untuk menegaskan bahwa kenyataan spiritual tidaklah tunggal. Ketika ia menggunakan istilah-istilah yang pernah digunakan oleh pemikir-pemikir sebelumnya, hal itu bukan menunjukkan pengaruh, melainkan cara kreatif untuk menyampaikan sesuatu dalam kerangka budaya yang dipahami oleh para pendengarnya. Puisinya kerap bergerak dari satu makna ke makna lain, suatu strategi retoris untuk menghindarkan pembaca dari jebakan asosiasi dangkal. Sebab, Ibnu Arabi bukan sekadar penyair atau penghibur, melainkan seorang guru spiritual.

Dalam kerangka Sufisme, Nabi Muhammad dilihat sebagai Insan Kamil—manusia sempurna—dan Ibnu Arabi menegaskan bahwa pemahaman ini melampaui sosok historis Muhammad yang hidup di Mekkah dan Madinah. Yang dimaksudnya adalah Muhammad dalam makna metafisik: realitas spiritual abadi yang disebut Haqiqatul Muhammadiyyah. Dalam pandangan ini, Muhammad menjadi arketipe kosmik yang mencakup semua nabi, termasuk Yesus. Tak heran jika sebagian pemikir Kristen menduga bahwa Sufi seperti Ibnu Arabi adalah Kristen rahasia. Namun bagi para Sufi, kesatuan para nabi bukanlah simbol sinkretisme historis, melainkan ekspresi dari realitas spiritual tunggal yang menjelma dalam berbagai wujud manusia di berbagai zaman.

Konsep Haqiqatul Muhammadiyyah dijabarkan secara sistematis dalam karya Insan Kamil oleh al-Jili, yang menjelaskan bagaimana hakikat ini termanifestasi dalam berbagai bentuk individu dan nama. Nama-nama seperti Muhammad, al-Qasim, atau Abdullah bukan hanya penanda personal, melainkan refleksi dari fungsi-fungsi spiritual. Dalam setiap masa, sang hakikat ini memiliki bentuk dan nama berbeda sesuai konteks. Ini bukan ajaran reinkarnasi, meskipun mungkin tampak serupa, karena yang berpindah bukanlah jiwa personal melainkan satu realitas hakiki yang terus menjelma secara dinamis.

Gagasan ini sering dibandingkan dengan doktrin Logos dalam filsafat Plotinus, namun para Sufi menegaskan bahwa mereka tidak meniru filsafat Yunani. Meski secara formal tampak serupa, sumber pengetahuan para Sufi adalah pengalaman spiritual langsung, bukan teks atau konsep rasional. Bagi mereka, klaim terhadap pengalaman batin tidak tunduk pada kronologi sejarah atau derivasi logis—suatu prinsip yang kerap diabaikan oleh para orientalis Barat yang menekankan aspek formalistik dan terminologis.

Ibnu Arabi memang membingungkan banyak sarjana: ia taat pada syariat, namun ajarannya bersifat esoterik; ia seorang muslim ortodoks, tapi juga mistikus radikal. Ia meyakini bahwa semua agama formal mengandung kemungkinan menuju pencerahan batin jika dihayati secara mendalam. Pandangan ini tidak disukai para mutakallimun (teolog formal) yang lebih mengandalkan argumen tekstual dan logika historis.

Seperti halnya al-Ghazali, Ibnu Arabi memiliki kecerdasan filosofis yang luar biasa. Namun alih-alih mengabdikan diri pada skolastisisme, ia menyatakan bahwa intelek hanyalah alat, bukan tujuan. Sikap ini sering disalahpahami sebagai kesombongan, padahal justru berasal dari kerendahan hati spiritual yang mendalam. Banyak tokoh terpandang bersimpati padanya, tapi enggan menyatakan dukungan secara terbuka karena tekanan sosial keagamaan. Seorang ulama konservatif pernah mencelanya sebagai “pembohong besar” dan “ahli bid’ah,” namun tokoh besar seperti Kamaluddin Zamlaqani justru menyebutnya “terlalu dalam bagi pemahaman orang kebanyakan.”

Satu kisah masyhur mengungkapkan paradoks status Ibnu Arabi di mata ulama sezamannya. Seorang murid dari Syekh Izzuddin bin Abdussalam bertanya siapa ulama terbesar di zamannya. Meski sebelumnya sang guru diam saat Ibnu Arabi dicap sebagai bid’ah, dalam percakapan pribadi ia menjawab dengan tegas: “Syekh Muhyiddin Ibnu Arabi.” Ketika ditanya mengapa tidak membela Ibnu Arabi di forum publik, ia menjawab, “Kala itu aku sedang berada di tengah para fuqaha,” menunjukkan ketegangan antara kebenaran batin dan konvensi sosial.

Penolakan utama terhadap Ibnu Arabi banyak dipicu oleh kumpulan puisinya, Tarjuman al-Asywaq (Penterjemah Kerinduan), karya yang memadukan cinta manusia dengan simbolisme metafisik. Puisi ini memukau dan membingungkan sekaligus, karena dibaca sebagai puisi cinta yang erotik namun sarat makna rohani. Karya ini dianggap oleh para Sufi sebagai puncak kesadaran kemanusiaan. D.B. MacDonald menyebutnya sebagai “paduan antara teosofi dan paradoks metafisik”—suatu karakteristik yang menjadikannya menantang bagi pembaca rasionalis maupun literal.

Keunikan Tarjuman al-Asywaq adalah bahwa Ibnu Arabi sendiri menulis komentarnya, menjelaskan bagaimana metafora-metafora cinta dalam puisinya dapat ditafsirkan secara sejalan dengan Islam ortodoks. Latar sejarah puisi ini penting: pada tahun 1202, Ibnu Arabi tiba di Mekkah dalam perjalanan haji dan berjumpa dengan sekelompok mistikus Persia. Ia jatuh dalam pengalaman spiritual mendalam yang disimbolkan oleh pertemuannya dengan Nizam, putri dari tokoh mistikus tersebut—seorang perempuan salehah yang menjadi inspirasi simbolis bagi puisinya. Namun ortodoksi keagamaan menganggap puisi cinta itu sebagai skandal, dan ketika Ibnu Arabi tiba di Aleppo, ia menghadapi tuduhan sesat.

Untuk menjawabnya, ia menulis komentar-komentar yang menafsirkan puisinya secara ortodoks, dan para ulama pun menerimanya. Namun para Sufi tahu bahwa di balik lapisan ortodoks itu, masih tersembunyi lapisan makna yang lebih dalam: cinta sebagai ekspresi dari realitas batin ilahi. Baginya, cinta manusia yang sejati dapat menjadi jendela menuju keindahan Tuhan. Tapi penglihatan seperti ini tidak mudah diterima masyarakat umum yang memisahkan cinta dan ketuhanan dalam dua kategori yang tidak bisa bersatu.

Dalam penggalan puisi yang paling terkenal, Ibnu Arabi menyingkapkan visi spiritual universalnya:

Hatiku bisa menjelma berbagai bentuk:
Sebuah biara bagi pendeta, dupa untuk berhala,
Sebuah padang rumput bagi rusa-rusa.
Aku lah Ka'bah bagi orang-orang yang shalat,
Lembaran-lembaran Taurat dan al-Qur'an.
Cinta adalah agama yang kupegang: ke mana pun.
Kendaraan dalam melangkah, Cinta tetap agama dan keyakinanku.

Banyak yang membaca bait ini sebagai pernyataan toleransi, tapi bagi para Sufi, ini lebih dalam: ini adalah ekspresi dari pengalaman kesatuan transenden, di mana bentuk-bentuk agama hanyalah wadah-wadah sementara bagi Cinta Ilahi yang tak terbatas. Di sini, cinta bukan perasaan biasa, tapi adalah maqam (tingkatan) spiritual yang tertinggi. Sufisme semacam ini, dengan simbolisme puitis yang kompleks, bukan hanya sulit dipahami oleh masyarakat umum, tapi juga oleh para agamawan formal yang terjebak dalam dikotomi luar-dalam, syariat-hakikat, simbol-makna.

No comments:

Post a Comment