Laman

Thursday, July 26, 2018

Antiklerikalisme, Ateisme dan Kritik Agama

Ateisme adalah sebuah momok di negeri ini, hampir sejelek sang iblis itu sendiri. Ia disamakan dengan pemadat, pelacur, pembunuh, dan pemerkosa. Ia tak punya tempat hidup di negeri yang “beragama” ini.

Untuk itu marilah kita mundur dalam sejarah. Ateisme lahir dari sejarah yang panjang, sebagai salah satu anak dari modernisme. Meskipun cikal bakal ateisme sebenarnya sudah muncul dari Xenophanes di zaman Yunani Kuno, yang mengatakan bahwa dewa-dewa yang ada hanyalah gambaran manusia saja dan tidak mungkin dewa yang agung kelakuannya sama dengan manusia, modernisme tetap menjadi ibu kandung dari ateisme, terlebih ateisme yang menjadi lawan dari teisme, khususnya teisme versi Yudeo-Kristiani.

Modernisme lahir di dalam sebuah kondisi di mana dogma merajalela, dan manusia tidak mempunyai tempat. Semua segi kehidupan dilihat dari sudut pandang agama yang dogmatis. Manusia tidak memiliki tempat di dunia ini, sebuah panggung sandiwara di mana ia menjadi pemain di dalamnya. Hidupnya bukanlah miliknya, melainkan milik Tuhan yang menilainya, yang memberinya surga bila ia memainkan perannya dengan sesuai, dan neraka untuk yang menentangnya, tanpa berpikir mengapa sesuatu boleh atau tidak boleh dilakukan.

Modernisme, dipicu juga oleh gerakan Reformasi Protestan, yang melahirkan subjektivisme, yaitu percaya pada pemikiran sendiri, seperti tercermin dalam semboyan pencerahan “sapere aude”, aku berpikir untuk diriku sendiri. Protestanisme, walaupun pada dirinya masih dogmatis dengan hanya percaya pada kitab suci, ia telah membuka jalan ke subjektivisme dengan memberikan kebebasan dalam mengartikan kitab suci. Tafsir kitab suci yang mulanya hanya menjadi hak kaum pendeta, menjadi milik semua umat beriman karena Tuhan diyakini menyapa setiap orang secara sama melalui kitab suci.

Kemajuan ilmu pengetahuan, terkhusus sains, yang terpicu oleh pencerahan juga ikut menyuburkan lahan untuk tumbuhnya ateisme. Alam semesta yang mulanya dianggap dijalankan oleh Tuhan, kini tidak memerlukan Tuhan lagi sebagai pemelihara, melainkan dapat berjalan sendiri begitu hukum-hukum alam diciptakan, yang dikenal dengan faham deisme. Meskipun deisme masih mengakui bahwa alam semesta diciptakan oleh Tuhan, mereka telah menjadi pembuka jalan bagi ateisme, yang melihat bahwa Tuhan tidak perlu ada.

Tuhan adalah Angan Ciptaan Manusia

Ateisme secara rasional dilahirkan oleh seorang filsuf Jerman abad ke-19 bernama Ludwig Feuerbach. Ia melihat, seperti halnya Xenophanes, bahwa Tuhan hanyalah angan-angan ciptaan manusia. Ia menyebutnya dengan istilah proyeksi. Tuhan hasil produk proyeksi manusia ini, mirip dengan manusia, ia adil, baik, kasih, namun juga cemburu, pemarah dan ditambahkan dengan kualitas maha, maka ia mahaadil, mahabaik, mahakasih, juga mahacemburu dan mahapemarah. Celakanya manusia lupa bahwa Tuhan ini adalah ciptaannya sendiri. Ia kagum akan ciptaannya sendiri, bahkan merasa tunduk dan menyembahnya.

Manusia memang dilahirkan dengan kemampuan memproyeksikan dirinya. Dengan memproyeksikan dirinya keluar, ia lebih mampu mengenal dirinya sendiri. Dan ia bisa memproyeksikan dirinya sampai tak hingga. Jika ia baik, ia bisa membayangkan sesuatu yang mahabaik. Jika ia jahat pun, ia bisa membayangkan sesuatu yang mahajahat. Masalahnya, menurut Feuerbach adalah, bahwa ia lupa bahwa itu adalah proyeksi, cermin, dari dirinya sendiri. Ia malah seperti kagum, bahkan takut, pada bayangannya sendiri.

Feuerbach dengan ateismenya ini sebenarnya mengkritik praktek beragama yang kerdil. Ia melihat bahwa Tuhan yang disembah manusia, banyak di antaranya adalah bayangan yang diciptakan manusia sendiri. Ini bisa dilihat dengan jelas dari ciri-ciri Tuhan yang mirip dengan manusia: bertahta, mendengar, melihat, mendengar, mencinta, cemburu, membalas, dll. Apakah ini memang Tuhan yang sebenarnya, atau Tuhan ciptaan manusia.

Pada mulanya bisa jadi Tuhan digambarkan secara manusiawi supaya bisa lebih dijangkau oleh awam, berbeda dengan Tuhan filosofis dan mistik yang biasa diperbincangkan para filsuf dan mistikus yang jauh dari pemahaman biasa. Di satu pihak bisa mendekatkan orang biasa kepada Tuhan, tetapi di pihak lain beresiko menggambarkan Tuhan secara kurang tepat.

Tuhan Membuat Manusia Mandul

Kritik model ini dikembangkan oleh seorang filsuf Jerman lain yang lebih terkenal yaitu Karl Marx. Karl Marx melanjutkan logika yang dikembangkan Feuerbach dengan mengatakan bahwa bukan saja agama yang demikian membuat manusia takluk pada ciptaannya sendiri, melainkan membuat ia mandul dalam membuat perubahan sosial. Ia berserah diri pada Tuhan, memohon dan berdoa, ketimbang turun tangan sendiri membenahi ketidakadilan.

Tuhan mahakuasa yang diciptakan manusia ini begitu kuatnya sehingga membuat manusia tidak berdaya di hadapannya. Manusia lupa bahwa merekalah yang menciptakan bayangan itu. Mereka bukan sekedar takut, melainkan menyerahkan seluruh hidupnya kepadanya. Mereka tidak berbuat apa-apa untuk mengubah nasibnya melainkan pasrah kepada Tuhan ciptaannya.

Marx seperti Feuerbach juga mengkritik praktek agama yang kerdil. Agama tidak menjadi penyelamat, melainkan menjadi tempat pelarian orang-orang tidak berdaya. Marx dengan filsafatnya yang materialis, yaitu filsafat berguna selama bisa dipraktekkan dalam ranah sosial, tentu saja melihat agama tidak cocok dengan filsafatnya.

Seperti yang sering dikutip dari Marx bahwa “agama adalah candu”. Agama yang menjanjikan penyelamatan di hari akhir telah memandulkan manusia untuk melakukan perubahan di bumi ini. Mereka hanya menipu diri mereka sendiri bahwa penderitaan mereka di dunia ini tidak akan sia-sia dan akan diganjar dengan surga di kehidupan mendatang.

Kritik Marx ini mau mengatakan bahwa agama telah melupakan salah satu nilai dasarnya, yaitu sebagai pembebas revolusioner. Semua agama adalah sejatinya revolusioner, yang mengubah cara pandang lama. Tetapi institusi agama setelah itu biasanya kehilangan nilai revolusi tersebut, dan cenderung menjadi mapan. Agama yang seharusnya memberikan energi untuk bertindak malah menjadi candu yang melemahkan.

Tuhan Membuat Manusia Tidak Dewasa

Pukulan berikutnya diberikan juga oleh seorang Jerman, kali ini seorang dokter jiwa bernama Sigmund Freud. Lewat teori psikoanalisis yang dikembangkan olehnya ia melihat bahwa manusia yang beragama secara kolektif adalah sekumpulan orang yang tidak dewasa, yang seperti seorang anak kecil yang terus merengek kepada orang tuanya. Sebagai seorang dewasa semestinya ia mengambil hidupnya sendiri, mengupayakan sendiri, ketimbang menggantungkan diri kepada Tuhan di atas sana.

Freud sampai pada kesimpulan ini melalui penelitian mitologi. Dari mitologi ia menteorikan bahwa di zaman dahulu, laki-laki yang kuat berkuasa dan memiliki seluruh perempuan. Laki-laki yang lain, yaitu anaknya, semuanya tunduk kepadanya. Meskipun mereka tunduk namun sebenarnya mereka iri pada kedudukan itu dan ingin mengalahkan sang ayah. Hingga suatu saat ia berani memberontak melawan ayahnya dan membunuhnya. Kisah seperti ini bisa dilihat seperti pada mitologi Yunani Oedipus yang membunuh ayahnya sendiri dan mengawini ibunya, atau pada pemberontakan Zeus bersaudara yang melawan Kronus ayahnya, dan membunuhnya dan menggantikan posisinya sebagai pimpinan para dewa.

Selanjutnya manusia tenggelam dalam alam bawah sadar ini, dan menjadikan Tuhan sebagai suatu super-ayah yang selalu mengawasi dan menekan, dan kita tunduk kepadanya. Tindakan menjadi dewasa bisa dilihat sebagai semacam “membunuh ayah”, dan tidak tergantung kepadanya. Ia menjadi mandiri. Dan Freud melihat bahwa manusia beragama sama aja seperti anak kecil bila ia tidak melewati fase ini.

Ateisme sebagai Kritik Agama

Dapat dilihat dari penjelasan di atas bahwa ateisme dalam versi demikian (Ada ateisme versi lain yang memang menyerang Tuhan secara langsung seperti pada Sartre yang mengatakan bahwa tidak mungkin ada Tuhan, karena bila Tuhan ada manusia tidak bisa bebas) sebenarnya bukanlah ateisme yang melawan Tuhan secara langsung melainkan sebagai sebuah reaksi balik atas kebobrokan agama-agama. Adalah Tuhan ciptaan (institusi) agama yang dilawan oleh ateisme.

Institusi agamalah, bukan Tuhan (kalau Tuhan memang ada), yang membuat praktek beragama yang kerdil dan tidak membebaskan. Institusi agama telah mengembangkan Tuhan yang menggunakan teror untuk mengendalikan masyarakat. Logikanya mudah dilihat, orang yang dipenuhi teror menjadi mudah dikendalikan. Ini tentu saja berarti kelanggengan kekuasaan bagi mereka yang memegang institusi agama. Tuhan, yang tidak terjangkau keagungannya, tetap belum tersentuh oleh kritik ini.

Abad kedua puluh bisa digambarkan sebagai abad penolakan terhadap metafisika dan ontoteologi. Di abad ini orang-orang mulai berhenti untuk mempertanyakan apa yang paling benar sebagai gambaran realitas. Salah satu akibat dari gerakan antiesensialisme ini adalah ditinggalkannya apa yang disebut Lecky sebagai perseteruan antara sains dan agama. Akibat dari ini adalah seperti klaim dari William James bahwa ilmu alam dan agama tidak perlu lagi berkompetisi satu sama lain.

Dengan ditolaknya ontoteologi, perdebatan antara ateis dan teisme menjadi tidak berarti, atau malah tidak bermakna. Sebagaimana ilmu pengetahuan tidak bisa membuktikan Tuhan, ia juga tidak bisa membuktikan tidak adanya Tuhan. Seperti halnya musik, orang yang menyukai musik tertentu tidak bisa memaksakan selera musiknya kepada yang lain. Begitu juga halnya dengan filsafat. Klaim-klaim metafisika filsafat pun tidak bisa dipaksakan. Cara pandang ini seperti menaruh masalah metafisika dan ontoteologi ke wilayah “estetika”. Tetapi dengan memakai istilah estetika sendiri berarti kita menerima trikotomi Kant: kognitif, moral, estetik. Salah satu target dari para antiesensialis justru adalah trikotomi tersebut. Para filsuf lebih memilih untuk meletakkan suatu klaim tertentu untuk konteks tertentu yang tepat untuk klaim tersebut; yang dilakukan adalah klaim partikular ketimbang klaim universal.

Di dalam iklim pemikiran baru ini, para filsuf tidak lagi tertarik untuk mendamaikan pandangan dunia yang dilahirkan dari ilmu alam dengan nilai-nilai moral yang dilahirkan oleh agama. Penggabungan dari dua hal dari domain yang berbeda ini telah meninggalkan jejak sejarah yang kelam dalam peradaban barat. Kant dan Hume telah mengatakan bahwa “bukti empiris” tidaklah relevan jika dipakai untuk membuktikan ada tidaknya Tuhan. Argumen ini bisa dipakai untuk melawan ateime maupun teisme. Ateisme, karena tidak bisa dibuktikan secara empiris, adalah sama saja dengan teisme, dan oleh karena itu telah kehilangan daya tariknya.

Antiklerikalisme dan Ateisme

Meskipun ateisme sudah kehilangan daya tariknya, di saat ini masih ada dua kelompok yang menggunakan istilah ini. Kelompok pertama adalah kelompok yang masih bersikeras dengan ateismenya. Mereka masih percaya bahwa sains mampu membuktikan ada tidaknya Tuhan. Sains mereka lihat dari hari ke hari makin mampu untuk menjelaskan segala fenomena. Kelompok yang kedua, dan termasuk juga di dalamnya Rorty, adalah kelompok yang menggunakan kata ateisme sebagai pengganti kata antiklerikalisme. Mereka memakai kata ini sebagai penolakan terhadap institusi agama. Ateisme kelompok yang kedua ini adalah ateisme bukan sebagai pandangan epistemologis melainkan ateisme sebagai pandangan politis. Agama, selama berada di dalam ranah pribadi, bukan publik, tidaklah mengundang keberatan. Yang dianggap berbahaya secara politis adalah bila institusi agama membawa agenda politik di dalam gerakannya. Para antiklerikalis yang umumnya berhaluan kiri tentunya berharap selangkah lebih jauh, dengan mengharapkan institusi agama akan hilang dengan sendirinya. Pandangan seperti ini tentu bisa ditelusuri dari Marx dan Freud yang mengatakan bahwa agama akan membuat manusia menjadi kerdil. John Dewey mengamini ini dengan mengatakan bahwa manusia tidak akan pernah mewujudkan potensi terbaiknya untuk memajukan hidupnya jika masih berharap kekuatan dari luar dirinya.

Vattimo di dalam bukunya Credere di credere, juga berada di dalam kelompok kedua ini. Ia tidak meninggalkan agama karena memandangnya sebagai sebuah tradisi yang berharga. Namun bagaimana pun ia memandang agama atau religiositas dengan kaca mata yang berbeda. Iman atau percaya (credere), atau klaim kebenaran, baginya tidak lagi menjadi sebuah tema sentral bagi religiositas. Karena klaim kebenaran dikeluarkan dari religiositas, agama masuk ke dalam pilihan pribadi. Seperti kata William James: Pertanyaan “Apakah aku berhak menjadi religius?” harus dipisahkan dari pertanyaan “Haruskah semua orang beriman akan adanya Tuhan?” Maka upaya Vattimo untuk mengeluarkan agama dari arena epistemologis perlu dihargai.

Usaha seperti ini sebenarnya telah dimulai dari Kant yang mengatakan bahwa Tuhan hanyalah sebuah postulat yang dibutuhkan untuk rasio praktis, bukan sebuah fenomena empiris. Ia membuka jalan bagi pemikir seperti Schleiermacher untuk mengembangkan apa yang disebut Nancy Frankenberry sebagai “teologi bentuk simbolik.” Ia juga mendorong munculnya pemikir seperti Kierkegaard, Barth, dan Levinas yang membuat Tuhan sebagai sesuatu yang sungguh lain (wholly other), yang bukan saja berada di luar jangkauan empiris melainkan juga pikiran.

Vattimo menolak kedua jalan di atas. Ia melihat agama bukan sebagai kebenaran “simbolik”, “metaforik”, “emosional” maupun “moral”. Ia juga tidak menawarkan “teologi eksistensialis” yang mau menyelamatkan manusia dari sesuatu yang sungguh lain. Yang ia tawarkan sebuah cara beriman yang “lemah”, sesuatu yang dikecam Paulus sebagai iman yang hanya suam-suam kuku. Ia menyediakan tempat bagi orang yang ke gereja pada saat pembaptisan, perkawinan dan kematian, atau kalau dalam konteks Indonesia mereka yang hanya ke gereja pada saat Natal dan Paskah saja.

Vattimo berani keluar dari iman berdasarkan Surat Paulus untuk Roma dan mereduksinya ke ayat yang memang disukai banyak orang, yaitu 1 Korintus 13, yang paling penting adalah kasih. Ia melihat peristiwa Inkarnasi sebagai Allah yang menyerahkan seluruh kekuatan dan otoritasnya. Inkarnasi baginya adalah sebuah kenosis, Ia yang mengosongkan diri-Nya menjadi manusia. Ini memberi ilham bagi Vattimo untuk membuat klaimnya yang paling terkenal: “sekularisasi” adalah ciri pembentuk dari pengalaman religius yang otentik. Allah adalah yang pertama mensekularisasi diri-Nya dengan menjadi manusia melalui Yesus Kristus.

Hegel pun melihat seluruh sejarah manusia sebagai Inkarnasi dari Roh Absolut, yang mengorbankan dirinya di Salib. Hanya saja Hegel tidak berani selangkah lebih maju dengan mengorbankan kebenaran demi kasih. Ia masih meletakkan pengetahuan absolut sebagai klimaks dari sejarah manusia. Vattimo mengabaikan semuanya ini; tidak ada tujuan akhir dari sejarah manusia, yang hanya adalah harapan bahwa kasih dapat bertahan. Vattimo berpendapat hanya jika kita melihat sejarah manusia seserius Hegel namun sekaligus menolak menaruhnya ke dalam konteks kebenaran epistemologis maupun metafisis, kita dapat menghentikan pendulum yang berayun dari ateisme positivistik ke pembelaan simbolis atau eksistensialis agama. Di lain pihak ia ingin tetap mempertahankan agama sebagai tradisi yang berharga. Ia melihat bahwa agama masih bisa dipertahankan dari serbuan sains jika melihat peninggalan Kristianitas dengan mengidentifikasikan Kristus bukan sebagai kebenaran atau kekuatan, melainkan cinta semata.

Pandangan Vattimo menunjukkan bahwa pemikiran Nietzsche dan Heidegger dapat diselaraskan dengan pandangan James dan Dewey. Kedua tradisi intelektual ini melihat perjalanan untuk mencapai pengetahuan dan kebenaran tidak lebih dari kesepakatan intersubjektif. Arena epistemik adalah arena publik, dan agama dari pengalaman sejarah Amerika dan Eropa seharusnya menarik diri darinya. Vattimo melihat di saat paradigma Cartesian telah melewati klimaksnya, tidak lagi diperlukan oposisi antara sains dan agama. “Onto-teologi”—jika kita menggunakan istilah Heidegger yang termasuk di dalamnya klaim tradisional teologi dan metafisika dan termasuk juga positivisme—telah berakhir. Jika rasionalitas diidentikkan dengan usaha pencarian yang intersubjektif dan kebenaran diperoleh dari usaha tersebut, maka tidak ada yang melampaui pencarian tersebut, dan agama dengan sendirinya keluar dari wilayah publik, dan juga wilayah intelektual.

Untuk menyelamatkan agama dari onto-teologi, kita harus mengakui bahwa keinginan untuk mencapai kesepakatan intersubjektif tidak lebih daripada keinginan-keinginan manusia lainnya. Dalam hal ini Nietzsche dan Heidegger sepakat dengan James dan Dewey bahwa kebenaran yang satu tidak perlu mengatasi kebenaran yang lain. Dengan demikian distingsi yang dibuat Kant antara kognitif, moral dan estetika perlu ditinggalkan. Perbedaan antara kognitif dan non-kognitif menjadi perbedaan antara pemenuhan kebutuhan publik dan kebutuhan privat. Inilah yang ditawarkan Vattimo; membawa agama ke dalam wilayah privat. Ia melihat Allah yang mengosongkan diri-Nya (kenosis) melihat manusia bukan lagi sebagai hamba melainkan sebagai sahabat. Seluruh sejarah umat manusia ia lihat sebagai karya dari perwujudan cinta. Seluruh pembaharu peradaban barat seperti Newton, Copernicus, bahkan Freud dan Nietzsche ia lihat sebagai para pekerja cinta. Kesemuanya adalah pengikut dari Kristus sendiri sebagai pembaharu utama, yang menyingkapkan sejarah. Jika kita bertanya kepada Vattimo apakah ini adalah satu-satunya cara beragama yang benar, ia akan mengatakan bahwa ini adalah pertanyaan yang salah. Legitimasi memaksakan siapa yang diterima dan tidak diterima dalam sebuah kelompok, dan ini tentunya ditolak Vattimo.

Rorty dan juga Vattimo melihat bahwa perang antara sains dan agama di abad delapan belas dan sembilan belas perebutan supremasi institusi, bukan sebagai permasalahan klaim kebenaran dalam arti sebenarnya. Rorty mensyukuri bahwa pemenang dari kontes ini adalah sains, bukan agama. Sains memberikan jalan yang lebih baik jika pencarian kebenaran dilihat sebagai kooperasi sosial. Jika kita memilih jalan kooperasi sosial, pertemuan antara sains dan akal sehat adalah yang kita butuhkan dalam menghadapi masalah sehari-hari. Agama diserahkan saja pada selera pribadi, sejauh memenuhi kebutuhan pribadi masing-masing.

Rorty sendiri memiliki pandangan yang sedikit berbeda dengan pandangan Vattimo. Vattimo meletakkan yang kudus sebagai sebuah pengalaman masa lampau. Ini tentu saja tidak bisa dipisahkan dari latar belakang Vattimo yang memang dibesarkan dalam lingkungan yang religius. Sedangkan Rorty yang memang tidak pernah dibesarkan dalam sebuah agama meletakkan yang kudus di masa depan. Ia menaruh harapan besar bagi umat manusia. Ia membayangkan suatu saat di masa depan, di mana uamt manusia akan hidup dengan cinta sebagai satu-satunya hukum yang menghakimi. Hirarki dan struktur sosial menjadi sekedar kebutuhan pragmatis bukan alat dominasi, yang semuanya dengan mudah dikenakan dan ditanggalkan.

Rorty tidak memberikan suatu resep bagaimana mencapai kondisi seperti di atas. Ia menyerahkannya kepada misteri. Misteri ini adalah semacam bentuk “iman” baru di mana kasih yang baik, sabar dan murah hati akan mampu mengatasi segalanya. Teks 1 Korintus 13 dengan demikian akan berguna bagi orang religius seperti Vattimo atau pun yang tidak religius seperti Rorty.

Meskipun berbeda dalam perspektif waktu, sebenarnya keduanya tidak terlalu berbeda terlalu hakiki. Pertama, keduanya mengakui adanya religiositas di dalam diri manusia, meskipun mungkin definisi keduanya berbeda. Kedua, keduanya menaruh harapan besar pada umat manusia, bukan pada kekuatan supranatural yang akan menyelamatkan manusia. Hanya kerja sama di antara manusia melalui kasih yang bisa menyelamatkan kita semua.

Cara “beragama” yang baru ini paling tepat jika digambarkan dengan 1 Korintus 13, bahwa yang kita butuhkan hanya iman, harapan dan kasih. Berharap karena kita ingin kehidupan yang lebih baik. Beriman karena kita ingin harapan kita tidak mati. Dan apa lagi yang lebih tepat untuk memelihara keduanya selain hidup dengan cinta (caritas). Caputo juga kurang lebih melihat agama seperti demikian dan juga menggunakan ayat yang sama untuk menjelaskan pemikirannya. Hanya saja ia memberikan interpretasi yang berbeda.

Caputo memberikan tekanan pada pengalaman akan ketidakmungkinan yang dialami manusia. Pengalaman ini adalah pengalaman manusia saat melintas batas-batas pengalaman. Pengalaman seperti itulah yang dinamakan Caputo sebagai sebuah pengalaman religius. Pengalaman religius ini kemudian dijelaskan Caputo dengan menggunakan 1 Korintus 13. Pengalaman pertama adalah pengalaman iman. Pengalaman iman adalah semacam “leap of faith” Kierkegaard. Kita tetap percaya untuk melompat dari bibir jurang meskipun tidak terlihat adanya tempat berpijak di seberang. Iman seperti inilah yang otentik, yang tetap melakukan tindakan meskipun tidak dapat melihat konsekuensinya di depan. Ia adalah sebuah penyerahan diri yang utuh kepada masa depan. Ia adalah mengatakan ya kepada hidup seperti yang telah dikatakan oleh Nietzsche, dengan segala keabsurdannya.

Harapan ialah berharap di saat masa depan terlihat suram. Ia adalah yang memelihara iman supaya tetap bertahan, walaupun harapan terlihat seperti tidak ada. Berharap di mana masih ada kemungkinan bukanlah berharap. Caputo menamakan ini sebagai “present future”. Harapan yang sejati adalah di saat orang berhadapan dengan “absolute future” yang tidak bisa diprediksi. Di saat itulah orang mengalami pertemuan dengan Tuhan. Cinta dilihat sebagai pemberian diri tanpa pamrih. Cinta adalah pemberian tanpa syarat bahkan kepada yang tidak layak untuk dicintai. Dan di antara kesemuanya cintalah yang paling besar karena ia adalah pengorbanan diri kepada yang mutlak.

Ateisme di Indonesia

Indonesia sendiri, memiliki sejarah yang berbeda dengan bangsa Eropa yang telah mengalami abad pencerahan dan modernisme. Modernisme belum pernah menyentuh Indonesia, kecuali pada beberapa tahun menjelang kemerdekaan yang menyentuh kalangan elit terpelajar Indonesia. Sesudah Indonesia merdeka, gerakan modernisme malah mandek berganti dengan pertikaian politik dan diikuti oleh industrialisasi. Dengan kata lain tidak ada lahan subur untuk berkembangnya ateisme.
Gerakan komunisme di Indonesia yang mewakili garis perjuangan progresif revolusioner sempat mewakili gerakan ateisme di Indonesia. Namun mereka hanyalah sekelompok orang yang juga masih elitis yang belum merasuk ke dalam rakyat yang belum tersentuh modernisme. Apalagi setelah penghancuran gerakan komunisme setelah peristiwa G-30-S. Ateisme yang diidentikkan dengan komunisme benar-benar tidak mempunyai tempat lagi di bumi Indonesia.

Di pihak lain, golongan agama di Indonesia dari dulu memegang posisi yang kuat, lebih kuat dari para intelektual sekuler di awal kemerdekaan Indonesia. Ini tercermin dari sila pertama di Pancasila yang berbunyi Ketuhanan yang Maha Esa, yang merupakan hasil kompromi golongan nasionalis dengan para pengusul syariat Islam. Ini membuktikan sentimen beragama yang memang kuat di Indonesia, walaupun ia tidak menjadi sebuah negara Islam. Ini berbeda sekali dengan negara-negara di Eropa yang setelah pencerahan mengalami pemisahan antara gereja dan agama yang menjadi landasan yang kukuh untuk sebuah pemerintahan oleh akal sehat, bukan atas dasar agama apa pun.

Semua hal di atas membuat Indonesia boleh dibilang mandul dalam semangat berpikir bebas. Setelah generasi pemikir pertama yang memang sempat bersentuhan dengan gerakan modernisme Eropa, hampir tidak ada lagi pemikir yang dilahirkan di Indonesia. Ateisme bisa dibilang musnah di Indonesia. Agama tumbuh subur, dengan mesjid dan gereja bertebaran di mana-mana. Di pihak lain, penghargaan atas kemanusiaan sangat rendah. Korupsi merajalela, hak-hak sipil tidak dihargai, orang bisa dibunuh dengan sentimen agama atau ras. Kita seperti hidup di abad pertengahan Eropa sebelum modernisme. Industrialisasi yang membawa kemajuan tidak berjalan seiring dengan pola pikir masyarakat yang pra-industrialisasi. Jadilah sebuah masyarakat yang timpang, dengan alat-alat modern dan cara pandang yang terbelakang.

Di sinilah peran ateisme dapat masuk. Ia memang tidak benar dengan sendirinya. Tapi ia memaksa kaum beragama untuk berpikir keras untuk mempertanyakan seperti apa Tuhan mereka sebenarnya. Siapakah sebenarnya Tuhan yang mereka sembah, Tuhan yang sebenarnya atau Tuhan yang mereka ciptakan. Ketidakhadiran ateisme di Indonesia telah menjadi salah satu penyebab kebuntuan berpikir para agamawan yang tidak memiliki lawan. Agama pun merajalela. Ateisme memang belum tentu benar, namun ia menjadi pisau bedah yang membuang sel-sel kanker yang berkembang dari agama-agama dan mengembalikan sel-sel sehat itu kepada para pemeluk agamanya.

Pertanyaannya adalah yakinkah kita bahwa ada cara lain untuk beriman di luar agama institusi/agama otoritas?

Sumber: https://tolakbigot.wordpress.com

No comments:

Post a Comment