Ateisme adalah sebuah momok di negeri 
ini, hampir sejelek sang iblis itu sendiri. Ia disamakan dengan pemadat,
 pelacur, pembunuh, dan pemerkosa. Ia tak punya tempat hidup di negeri 
yang “beragama” ini.
Untuk itu marilah kita mundur dalam 
sejarah. Ateisme lahir dari sejarah yang panjang, sebagai salah satu 
anak dari modernisme. Meskipun cikal bakal ateisme sebenarnya sudah 
muncul dari Xenophanes di zaman Yunani Kuno, yang mengatakan bahwa 
dewa-dewa yang ada hanyalah gambaran manusia saja dan tidak mungkin dewa
 yang agung kelakuannya sama dengan manusia, modernisme tetap menjadi 
ibu kandung dari ateisme, terlebih ateisme yang menjadi lawan dari 
teisme, khususnya teisme versi Yudeo-Kristiani.
Modernisme lahir di dalam sebuah kondisi 
di mana dogma merajalela, dan manusia tidak mempunyai tempat. Semua segi
 kehidupan dilihat dari sudut pandang agama yang dogmatis. Manusia tidak
 memiliki tempat di dunia ini, sebuah panggung sandiwara di mana ia 
menjadi pemain di dalamnya. Hidupnya bukanlah miliknya, melainkan milik 
Tuhan yang menilainya, yang memberinya surga bila ia memainkan perannya 
dengan sesuai, dan neraka untuk yang menentangnya, tanpa berpikir 
mengapa sesuatu boleh atau tidak boleh dilakukan.
Modernisme, dipicu juga oleh gerakan 
Reformasi Protestan, yang melahirkan subjektivisme, yaitu percaya pada 
pemikiran sendiri, seperti tercermin dalam semboyan pencerahan “sapere aude”,
 aku berpikir untuk diriku sendiri. Protestanisme, walaupun pada dirinya
 masih dogmatis dengan hanya percaya pada kitab suci, ia telah membuka 
jalan ke subjektivisme dengan memberikan kebebasan dalam mengartikan 
kitab suci. Tafsir kitab suci yang mulanya hanya menjadi hak kaum 
pendeta, menjadi milik semua umat beriman karena Tuhan diyakini menyapa 
setiap orang secara sama melalui kitab suci.
Kemajuan ilmu pengetahuan, terkhusus 
sains, yang terpicu oleh pencerahan juga ikut menyuburkan lahan untuk 
tumbuhnya ateisme. Alam semesta yang mulanya dianggap dijalankan oleh 
Tuhan, kini tidak memerlukan Tuhan lagi sebagai pemelihara, melainkan 
dapat berjalan sendiri begitu hukum-hukum alam diciptakan, yang dikenal 
dengan faham deisme. Meskipun deisme masih mengakui bahwa alam semesta 
diciptakan oleh Tuhan, mereka telah menjadi pembuka jalan bagi ateisme, 
yang melihat bahwa Tuhan tidak perlu ada.
Tuhan adalah Angan Ciptaan Manusia
Ateisme secara rasional dilahirkan oleh 
seorang filsuf Jerman abad ke-19 bernama Ludwig Feuerbach. Ia melihat, 
seperti halnya Xenophanes, bahwa Tuhan hanyalah angan-angan ciptaan 
manusia. Ia menyebutnya dengan istilah proyeksi. Tuhan hasil produk 
proyeksi manusia ini, mirip dengan manusia, ia adil, baik, kasih, namun 
juga cemburu, pemarah dan ditambahkan dengan kualitas maha, maka ia 
mahaadil, mahabaik, mahakasih, juga mahacemburu dan mahapemarah. 
Celakanya manusia lupa bahwa Tuhan ini adalah ciptaannya sendiri. Ia 
kagum akan ciptaannya sendiri, bahkan merasa tunduk dan menyembahnya.
Manusia memang dilahirkan dengan 
kemampuan memproyeksikan dirinya. Dengan memproyeksikan dirinya keluar, 
ia lebih mampu mengenal dirinya sendiri. Dan ia bisa memproyeksikan 
dirinya sampai tak hingga. Jika ia baik, ia bisa membayangkan sesuatu 
yang mahabaik. Jika ia jahat pun, ia bisa membayangkan sesuatu yang 
mahajahat. Masalahnya, menurut Feuerbach adalah, bahwa ia lupa bahwa itu
 adalah proyeksi, cermin, dari dirinya sendiri. Ia malah seperti kagum, 
bahkan takut, pada bayangannya sendiri.
Feuerbach dengan ateismenya ini 
sebenarnya mengkritik praktek beragama yang kerdil. Ia melihat bahwa 
Tuhan yang disembah manusia, banyak di antaranya adalah bayangan yang 
diciptakan manusia sendiri. Ini bisa dilihat dengan jelas dari ciri-ciri
 Tuhan yang mirip dengan manusia: bertahta, mendengar, melihat, 
mendengar, mencinta, cemburu, membalas, dll. Apakah ini memang Tuhan 
yang sebenarnya, atau Tuhan ciptaan manusia.
Pada mulanya bisa jadi Tuhan digambarkan 
secara manusiawi supaya bisa lebih dijangkau oleh awam, berbeda dengan 
Tuhan filosofis dan mistik yang biasa diperbincangkan para filsuf dan 
mistikus yang jauh dari pemahaman biasa. Di satu pihak bisa mendekatkan 
orang biasa kepada Tuhan, tetapi di pihak lain beresiko menggambarkan 
Tuhan secara kurang tepat.
Tuhan Membuat Manusia Mandul
Kritik model ini dikembangkan oleh 
seorang filsuf Jerman lain yang lebih terkenal yaitu Karl Marx. Karl 
Marx melanjutkan logika yang dikembangkan Feuerbach dengan mengatakan 
bahwa bukan saja agama yang demikian membuat manusia takluk pada 
ciptaannya sendiri, melainkan membuat ia mandul dalam membuat perubahan 
sosial. Ia berserah diri pada Tuhan, memohon dan berdoa, ketimbang turun
 tangan sendiri membenahi ketidakadilan.
Tuhan mahakuasa yang diciptakan manusia 
ini begitu kuatnya sehingga membuat manusia tidak berdaya di hadapannya.
 Manusia lupa bahwa merekalah yang menciptakan bayangan itu. Mereka 
bukan sekedar takut, melainkan menyerahkan seluruh hidupnya kepadanya. 
Mereka tidak berbuat apa-apa untuk mengubah nasibnya melainkan pasrah 
kepada Tuhan ciptaannya.
Marx seperti Feuerbach juga mengkritik 
praktek agama yang kerdil. Agama tidak menjadi penyelamat, melainkan 
menjadi tempat pelarian orang-orang tidak berdaya. Marx dengan 
filsafatnya yang materialis, yaitu filsafat berguna selama bisa 
dipraktekkan dalam ranah sosial, tentu saja melihat agama tidak cocok 
dengan filsafatnya.
Seperti yang sering dikutip dari Marx 
bahwa “agama adalah candu”. Agama yang menjanjikan penyelamatan di hari 
akhir telah memandulkan manusia untuk melakukan perubahan di bumi ini. 
Mereka hanya menipu diri mereka sendiri bahwa penderitaan mereka di 
dunia ini tidak akan sia-sia dan akan diganjar dengan surga di kehidupan
 mendatang.
Kritik Marx ini mau mengatakan bahwa 
agama telah melupakan salah satu nilai dasarnya, yaitu sebagai pembebas 
revolusioner. Semua agama adalah sejatinya revolusioner, yang mengubah 
cara pandang lama. Tetapi institusi agama setelah itu biasanya 
kehilangan nilai revolusi tersebut, dan cenderung menjadi mapan. Agama 
yang seharusnya memberikan energi untuk bertindak malah menjadi candu 
yang melemahkan.
Tuhan Membuat Manusia Tidak Dewasa
Pukulan berikutnya diberikan juga oleh 
seorang Jerman, kali ini seorang dokter jiwa bernama Sigmund Freud. 
Lewat teori psikoanalisis yang dikembangkan olehnya ia melihat bahwa 
manusia yang beragama secara kolektif adalah sekumpulan orang yang tidak
 dewasa, yang seperti seorang anak kecil yang terus merengek kepada 
orang tuanya. Sebagai seorang dewasa semestinya ia mengambil hidupnya 
sendiri, mengupayakan sendiri, ketimbang menggantungkan diri kepada 
Tuhan di atas sana.
Freud sampai pada kesimpulan ini melalui 
penelitian mitologi. Dari mitologi ia menteorikan bahwa di zaman dahulu,
 laki-laki yang kuat berkuasa dan memiliki seluruh perempuan. Laki-laki 
yang lain, yaitu anaknya, semuanya tunduk kepadanya. Meskipun mereka 
tunduk namun sebenarnya mereka iri pada kedudukan itu dan ingin 
mengalahkan sang ayah. Hingga suatu saat ia berani memberontak melawan 
ayahnya dan membunuhnya. Kisah seperti ini bisa dilihat seperti pada 
mitologi Yunani Oedipus yang membunuh ayahnya sendiri dan mengawini 
ibunya, atau pada pemberontakan Zeus bersaudara yang melawan Kronus 
ayahnya, dan membunuhnya dan menggantikan posisinya sebagai pimpinan 
para dewa.
Selanjutnya manusia tenggelam dalam alam 
bawah sadar ini, dan menjadikan Tuhan sebagai suatu super-ayah yang 
selalu mengawasi dan menekan, dan kita tunduk kepadanya. Tindakan 
menjadi dewasa bisa dilihat sebagai semacam “membunuh ayah”, dan tidak 
tergantung kepadanya. Ia menjadi mandiri. Dan Freud melihat bahwa 
manusia beragama sama aja seperti anak kecil bila ia tidak melewati fase
 ini.
Ateisme sebagai Kritik Agama
Dapat dilihat dari penjelasan di atas 
bahwa ateisme dalam versi demikian (Ada ateisme versi lain yang memang 
menyerang Tuhan secara langsung seperti pada Sartre yang mengatakan 
bahwa tidak mungkin ada Tuhan, karena bila Tuhan ada manusia tidak bisa 
bebas) sebenarnya bukanlah ateisme yang melawan Tuhan secara langsung 
melainkan sebagai sebuah reaksi balik atas kebobrokan agama-agama. 
Adalah Tuhan ciptaan (institusi) agama yang dilawan oleh ateisme.
Institusi agamalah, bukan Tuhan (kalau 
Tuhan memang ada), yang membuat praktek beragama yang kerdil dan tidak 
membebaskan. Institusi agama telah mengembangkan Tuhan yang menggunakan 
teror untuk mengendalikan masyarakat. Logikanya mudah dilihat, orang 
yang dipenuhi teror menjadi mudah dikendalikan. Ini tentu saja berarti 
kelanggengan kekuasaan bagi mereka yang memegang institusi agama. Tuhan,
 yang tidak terjangkau keagungannya, tetap belum tersentuh oleh kritik 
ini.
Abad kedua puluh bisa digambarkan sebagai
 abad penolakan terhadap metafisika dan ontoteologi. Di abad ini 
orang-orang mulai berhenti untuk mempertanyakan apa yang paling benar 
sebagai gambaran realitas. Salah satu akibat dari gerakan 
antiesensialisme ini adalah ditinggalkannya apa yang disebut Lecky 
sebagai perseteruan antara sains dan agama. Akibat dari ini adalah 
seperti klaim dari William James bahwa ilmu alam dan agama tidak perlu 
lagi berkompetisi satu sama lain.
Dengan ditolaknya ontoteologi, perdebatan
 antara ateis dan teisme menjadi tidak berarti, atau malah tidak 
bermakna. Sebagaimana ilmu pengetahuan tidak bisa membuktikan Tuhan, ia 
juga tidak bisa membuktikan tidak adanya Tuhan. Seperti halnya musik, 
orang yang menyukai musik tertentu tidak bisa memaksakan selera musiknya
 kepada yang lain. Begitu juga halnya dengan filsafat. Klaim-klaim 
metafisika filsafat pun tidak bisa dipaksakan. Cara pandang ini seperti 
menaruh masalah metafisika dan ontoteologi ke wilayah “estetika”. Tetapi
 dengan memakai istilah estetika sendiri berarti kita menerima trikotomi
 Kant: kognitif, moral, estetik. Salah satu target dari para 
antiesensialis justru adalah trikotomi tersebut. Para filsuf lebih 
memilih untuk meletakkan suatu klaim tertentu untuk konteks tertentu 
yang tepat untuk klaim tersebut; yang dilakukan adalah klaim partikular 
ketimbang klaim universal.
Di dalam iklim pemikiran baru ini, para 
filsuf tidak lagi tertarik untuk mendamaikan pandangan dunia yang 
dilahirkan dari ilmu alam dengan nilai-nilai moral yang dilahirkan oleh 
agama. Penggabungan dari dua hal dari domain yang berbeda ini telah 
meninggalkan jejak sejarah yang kelam dalam peradaban barat. Kant dan 
Hume telah mengatakan bahwa “bukti empiris” tidaklah relevan jika 
dipakai untuk membuktikan ada tidaknya Tuhan. Argumen ini bisa dipakai 
untuk melawan ateime maupun teisme. Ateisme, karena tidak bisa 
dibuktikan secara empiris, adalah sama saja dengan teisme, dan oleh 
karena itu telah kehilangan daya tariknya.
Antiklerikalisme dan Ateisme
Meskipun ateisme sudah kehilangan daya 
tariknya, di saat ini masih ada dua kelompok yang menggunakan istilah 
ini. Kelompok pertama adalah kelompok yang masih bersikeras dengan 
ateismenya. Mereka masih percaya bahwa sains mampu membuktikan ada 
tidaknya Tuhan. Sains mereka lihat dari hari ke hari makin mampu untuk 
menjelaskan segala fenomena. Kelompok yang kedua, dan termasuk juga di 
dalamnya Rorty, adalah kelompok yang menggunakan kata ateisme sebagai 
pengganti kata antiklerikalisme. Mereka memakai kata ini sebagai 
penolakan terhadap institusi agama. Ateisme kelompok yang kedua ini 
adalah ateisme bukan sebagai pandangan epistemologis melainkan ateisme 
sebagai pandangan politis. Agama, selama berada di dalam ranah pribadi, 
bukan publik, tidaklah mengundang keberatan. Yang dianggap berbahaya 
secara politis adalah bila institusi agama membawa agenda politik di 
dalam gerakannya. Para antiklerikalis yang umumnya berhaluan kiri 
tentunya berharap selangkah lebih jauh, dengan mengharapkan institusi 
agama akan hilang dengan sendirinya. Pandangan seperti ini tentu bisa 
ditelusuri dari Marx dan Freud yang mengatakan bahwa agama akan membuat 
manusia menjadi kerdil. John Dewey mengamini ini dengan mengatakan bahwa
 manusia tidak akan pernah mewujudkan potensi terbaiknya untuk memajukan
 hidupnya jika masih berharap kekuatan dari luar dirinya.
Vattimo di dalam bukunya Credere di 
credere, juga berada di dalam kelompok kedua ini. Ia tidak meninggalkan 
agama karena memandangnya sebagai sebuah tradisi yang berharga. Namun 
bagaimana pun ia memandang agama atau religiositas dengan kaca mata yang
 berbeda. Iman atau percaya (credere), atau klaim kebenaran, baginya 
tidak lagi menjadi sebuah tema sentral bagi religiositas. Karena klaim 
kebenaran dikeluarkan dari religiositas, agama masuk ke dalam pilihan 
pribadi. Seperti kata William James: Pertanyaan “Apakah aku berhak 
menjadi religius?” harus dipisahkan dari pertanyaan “Haruskah semua 
orang beriman akan adanya Tuhan?” Maka upaya Vattimo untuk mengeluarkan 
agama dari arena epistemologis perlu dihargai.
Usaha seperti ini sebenarnya telah 
dimulai dari Kant yang mengatakan bahwa Tuhan hanyalah sebuah postulat 
yang dibutuhkan untuk rasio praktis, bukan sebuah fenomena empiris. Ia 
membuka jalan bagi pemikir seperti Schleiermacher untuk mengembangkan 
apa yang disebut Nancy Frankenberry sebagai “teologi bentuk simbolik.” 
Ia juga mendorong munculnya pemikir seperti Kierkegaard, Barth, dan 
Levinas yang membuat Tuhan sebagai sesuatu yang sungguh lain (wholly 
other), yang bukan saja berada di luar jangkauan empiris melainkan juga 
pikiran.
Vattimo menolak kedua jalan di atas. Ia 
melihat agama bukan sebagai kebenaran “simbolik”, “metaforik”, 
“emosional” maupun “moral”. Ia juga tidak menawarkan “teologi 
eksistensialis” yang mau menyelamatkan manusia dari sesuatu yang sungguh
 lain. Yang ia tawarkan sebuah cara beriman yang “lemah”, sesuatu yang 
dikecam Paulus sebagai iman yang hanya suam-suam kuku. Ia menyediakan 
tempat bagi orang yang ke gereja pada saat pembaptisan, perkawinan dan 
kematian, atau kalau dalam konteks Indonesia mereka yang hanya ke gereja
 pada saat Natal dan Paskah saja.
Vattimo berani keluar dari iman 
berdasarkan Surat Paulus untuk Roma dan mereduksinya ke ayat yang memang
 disukai banyak orang, yaitu 1 Korintus 13, yang paling penting adalah 
kasih. Ia melihat peristiwa Inkarnasi sebagai Allah yang menyerahkan 
seluruh kekuatan dan otoritasnya. Inkarnasi baginya adalah sebuah 
kenosis, Ia yang mengosongkan diri-Nya menjadi manusia. Ini memberi 
ilham bagi Vattimo untuk membuat klaimnya yang paling terkenal: 
“sekularisasi” adalah ciri pembentuk dari pengalaman religius yang 
otentik. Allah adalah yang pertama mensekularisasi diri-Nya dengan 
menjadi manusia melalui Yesus Kristus.
Hegel pun melihat seluruh sejarah manusia
 sebagai Inkarnasi dari Roh Absolut, yang mengorbankan dirinya di Salib.
 Hanya saja Hegel tidak berani selangkah lebih maju dengan mengorbankan 
kebenaran demi kasih. Ia masih meletakkan pengetahuan absolut sebagai 
klimaks dari sejarah manusia. Vattimo mengabaikan semuanya ini; tidak 
ada tujuan akhir dari sejarah manusia, yang hanya adalah harapan bahwa 
kasih dapat bertahan. Vattimo berpendapat hanya jika kita melihat 
sejarah manusia seserius Hegel namun sekaligus menolak menaruhnya ke 
dalam konteks kebenaran epistemologis maupun metafisis, kita dapat 
menghentikan pendulum yang berayun dari ateisme positivistik ke 
pembelaan simbolis atau eksistensialis agama. Di lain pihak ia ingin 
tetap mempertahankan agama sebagai tradisi yang berharga. Ia melihat 
bahwa agama masih bisa dipertahankan dari serbuan sains jika melihat 
peninggalan Kristianitas dengan mengidentifikasikan Kristus bukan 
sebagai kebenaran atau kekuatan, melainkan cinta semata.
Pandangan Vattimo menunjukkan bahwa 
pemikiran Nietzsche dan Heidegger dapat diselaraskan dengan pandangan 
James dan Dewey. Kedua tradisi intelektual ini melihat perjalanan untuk 
mencapai pengetahuan dan kebenaran tidak lebih dari kesepakatan 
intersubjektif. Arena epistemik adalah arena publik, dan agama dari 
pengalaman sejarah Amerika dan Eropa seharusnya menarik diri darinya. 
Vattimo melihat di saat paradigma Cartesian telah melewati klimaksnya, 
tidak lagi diperlukan oposisi antara sains dan agama. 
“Onto-teologi”—jika kita menggunakan istilah Heidegger yang termasuk di 
dalamnya klaim tradisional teologi dan metafisika dan termasuk juga 
positivisme—telah berakhir. Jika rasionalitas diidentikkan dengan usaha 
pencarian yang intersubjektif dan kebenaran diperoleh dari usaha 
tersebut, maka tidak ada yang melampaui pencarian tersebut, dan agama 
dengan sendirinya keluar dari wilayah publik, dan juga wilayah 
intelektual.
Untuk menyelamatkan agama dari 
onto-teologi, kita harus mengakui bahwa keinginan untuk mencapai 
kesepakatan intersubjektif tidak lebih daripada keinginan-keinginan 
manusia lainnya. Dalam hal ini Nietzsche dan Heidegger sepakat dengan 
James dan Dewey bahwa kebenaran yang satu tidak perlu mengatasi 
kebenaran yang lain. Dengan demikian distingsi yang dibuat Kant antara 
kognitif, moral dan estetika perlu ditinggalkan. Perbedaan antara 
kognitif dan non-kognitif menjadi perbedaan antara pemenuhan kebutuhan 
publik dan kebutuhan privat. Inilah yang ditawarkan Vattimo; membawa 
agama ke dalam wilayah privat. Ia melihat Allah yang mengosongkan 
diri-Nya (kenosis) melihat manusia bukan lagi sebagai hamba melainkan 
sebagai sahabat. Seluruh sejarah umat manusia ia lihat sebagai karya 
dari perwujudan cinta. Seluruh pembaharu peradaban barat seperti Newton,
 Copernicus, bahkan Freud dan Nietzsche ia lihat sebagai para pekerja 
cinta. Kesemuanya adalah pengikut dari Kristus sendiri sebagai pembaharu
 utama, yang menyingkapkan sejarah. Jika kita bertanya kepada Vattimo 
apakah ini adalah satu-satunya cara beragama yang benar, ia akan 
mengatakan bahwa ini adalah pertanyaan yang salah. Legitimasi memaksakan
 siapa yang diterima dan tidak diterima dalam sebuah kelompok, dan ini 
tentunya ditolak Vattimo.
Rorty dan juga Vattimo melihat bahwa 
perang antara sains dan agama di abad delapan belas dan sembilan belas 
perebutan supremasi institusi, bukan sebagai permasalahan klaim 
kebenaran dalam arti sebenarnya. Rorty mensyukuri bahwa pemenang dari 
kontes ini adalah sains, bukan agama. Sains memberikan jalan yang lebih 
baik jika pencarian kebenaran dilihat sebagai kooperasi sosial. Jika 
kita memilih jalan kooperasi sosial, pertemuan antara sains dan akal 
sehat adalah yang kita butuhkan dalam menghadapi masalah sehari-hari. 
Agama diserahkan saja pada selera pribadi, sejauh memenuhi kebutuhan 
pribadi masing-masing.
Rorty sendiri memiliki pandangan yang 
sedikit berbeda dengan pandangan Vattimo. Vattimo meletakkan yang kudus 
sebagai sebuah pengalaman masa lampau. Ini tentu saja tidak bisa 
dipisahkan dari latar belakang Vattimo yang memang dibesarkan dalam 
lingkungan yang religius. Sedangkan Rorty yang memang tidak pernah 
dibesarkan dalam sebuah agama meletakkan yang kudus di masa depan. Ia 
menaruh harapan besar bagi umat manusia. Ia membayangkan suatu saat di 
masa depan, di mana uamt manusia akan hidup dengan cinta sebagai 
satu-satunya hukum yang menghakimi. Hirarki dan struktur sosial menjadi 
sekedar kebutuhan pragmatis bukan alat dominasi, yang semuanya dengan 
mudah dikenakan dan ditanggalkan.
Rorty tidak memberikan suatu resep 
bagaimana mencapai kondisi seperti di atas. Ia menyerahkannya kepada 
misteri. Misteri ini adalah semacam bentuk “iman” baru di mana kasih 
yang baik, sabar dan murah hati akan mampu mengatasi segalanya. Teks 1 
Korintus 13 dengan demikian akan berguna bagi orang religius seperti 
Vattimo atau pun yang tidak religius seperti Rorty.
Meskipun berbeda dalam perspektif waktu, 
sebenarnya keduanya tidak terlalu berbeda terlalu hakiki. Pertama, 
keduanya mengakui adanya religiositas di dalam diri manusia, meskipun 
mungkin definisi keduanya berbeda. Kedua, keduanya menaruh harapan besar
 pada umat manusia, bukan pada kekuatan supranatural yang akan 
menyelamatkan manusia. Hanya kerja sama di antara manusia melalui kasih 
yang bisa menyelamatkan kita semua.
Cara “beragama” yang baru ini paling 
tepat jika digambarkan dengan 1 Korintus 13, bahwa yang kita butuhkan 
hanya iman, harapan dan kasih. Berharap karena kita ingin kehidupan yang
 lebih baik. Beriman karena kita ingin harapan kita tidak mati. Dan apa 
lagi yang lebih tepat untuk memelihara keduanya selain hidup dengan 
cinta (caritas). Caputo juga kurang lebih melihat agama seperti demikian
 dan juga menggunakan ayat yang sama untuk menjelaskan pemikirannya. 
Hanya saja ia memberikan interpretasi yang berbeda.
Caputo memberikan tekanan pada pengalaman
 akan ketidakmungkinan yang dialami manusia. Pengalaman ini adalah 
pengalaman manusia saat melintas batas-batas pengalaman. Pengalaman 
seperti itulah yang dinamakan Caputo sebagai sebuah pengalaman religius.
 Pengalaman religius ini kemudian dijelaskan Caputo dengan menggunakan 1
 Korintus 13. Pengalaman pertama adalah pengalaman iman. Pengalaman iman
 adalah semacam “leap of faith” Kierkegaard. Kita tetap percaya untuk 
melompat dari bibir jurang meskipun tidak terlihat adanya tempat 
berpijak di seberang. Iman seperti inilah yang otentik, yang tetap 
melakukan tindakan meskipun tidak dapat melihat konsekuensinya di depan.
 Ia adalah sebuah penyerahan diri yang utuh kepada masa depan. Ia adalah
 mengatakan ya kepada hidup seperti yang telah dikatakan oleh Nietzsche,
 dengan segala keabsurdannya.
Harapan ialah berharap di saat masa depan
 terlihat suram. Ia adalah yang memelihara iman supaya tetap bertahan, 
walaupun harapan terlihat seperti tidak ada. Berharap di mana masih ada 
kemungkinan bukanlah berharap. Caputo menamakan ini sebagai “present 
future”. Harapan yang sejati adalah di saat orang berhadapan dengan 
“absolute future” yang tidak bisa diprediksi. Di saat itulah orang 
mengalami pertemuan dengan Tuhan. Cinta dilihat sebagai pemberian diri 
tanpa pamrih. Cinta adalah pemberian tanpa syarat bahkan kepada yang 
tidak layak untuk dicintai. Dan di antara kesemuanya cintalah yang 
paling besar karena ia adalah pengorbanan diri kepada yang mutlak.
Ateisme di Indonesia
Indonesia sendiri, memiliki sejarah yang 
berbeda dengan bangsa Eropa yang telah mengalami abad pencerahan dan 
modernisme. Modernisme belum pernah menyentuh Indonesia, kecuali pada 
beberapa tahun menjelang kemerdekaan yang menyentuh kalangan elit 
terpelajar Indonesia. Sesudah Indonesia merdeka, gerakan modernisme 
malah mandek berganti dengan pertikaian politik dan diikuti oleh 
industrialisasi. Dengan kata lain tidak ada lahan subur untuk 
berkembangnya ateisme.
Gerakan komunisme di Indonesia yang 
mewakili garis perjuangan progresif revolusioner sempat mewakili gerakan
 ateisme di Indonesia. Namun mereka hanyalah sekelompok orang yang juga 
masih elitis yang belum merasuk ke dalam rakyat yang belum tersentuh 
modernisme. Apalagi setelah penghancuran gerakan komunisme setelah 
peristiwa G-30-S. Ateisme yang diidentikkan dengan komunisme benar-benar
 tidak mempunyai tempat lagi di bumi Indonesia.
Di pihak lain, golongan agama di 
Indonesia dari dulu memegang posisi yang kuat, lebih kuat dari para 
intelektual sekuler di awal kemerdekaan Indonesia. Ini tercermin dari 
sila pertama di Pancasila yang berbunyi Ketuhanan yang Maha Esa, yang 
merupakan hasil kompromi golongan nasionalis dengan para pengusul 
syariat Islam. Ini membuktikan sentimen beragama yang memang kuat di 
Indonesia, walaupun ia tidak menjadi sebuah negara Islam. Ini berbeda 
sekali dengan negara-negara di Eropa yang setelah pencerahan mengalami 
pemisahan antara gereja dan agama yang menjadi landasan yang kukuh untuk
 sebuah pemerintahan oleh akal sehat, bukan atas dasar agama apa pun.
Semua hal di atas membuat Indonesia boleh
 dibilang mandul dalam semangat berpikir bebas. Setelah generasi pemikir
 pertama yang memang sempat bersentuhan dengan gerakan modernisme Eropa,
 hampir tidak ada lagi pemikir yang dilahirkan di Indonesia. Ateisme 
bisa dibilang musnah di Indonesia. Agama tumbuh subur, dengan mesjid dan
 gereja bertebaran di mana-mana. Di pihak lain, penghargaan atas 
kemanusiaan sangat rendah. Korupsi merajalela, hak-hak sipil tidak 
dihargai, orang bisa dibunuh dengan sentimen agama atau ras. Kita 
seperti hidup di abad pertengahan Eropa sebelum modernisme. 
Industrialisasi yang membawa kemajuan tidak berjalan seiring dengan pola
 pikir masyarakat yang pra-industrialisasi. Jadilah sebuah masyarakat 
yang timpang, dengan alat-alat modern dan cara pandang yang terbelakang.
Di sinilah peran ateisme dapat masuk. Ia 
memang tidak benar dengan sendirinya. Tapi ia memaksa kaum beragama 
untuk berpikir keras untuk mempertanyakan seperti apa Tuhan mereka 
sebenarnya. Siapakah sebenarnya Tuhan yang mereka sembah, Tuhan yang 
sebenarnya atau Tuhan yang mereka ciptakan. Ketidakhadiran ateisme di 
Indonesia telah menjadi salah satu penyebab kebuntuan berpikir para 
agamawan yang tidak memiliki lawan. Agama pun merajalela. Ateisme memang
 belum tentu benar, namun ia menjadi pisau bedah yang membuang sel-sel 
kanker yang berkembang dari agama-agama dan mengembalikan sel-sel sehat 
itu kepada para pemeluk agamanya.
Pertanyaannya adalah yakinkah kita bahwa ada cara lain untuk beriman di luar agama institusi/agama otoritas?
Sumber: https://tolakbigot.wordpress.com

No comments:
Post a Comment