Laman

Thursday, July 26, 2018

DNA dari Surga

Judul Asli: River Out of Eden

Oleh: Richard Dawkins


Kisah penciptaan dapat ditemui di setiap kebudayaan. Selama beribu tahun kisah semacam itu bertahan sebagai sebuah kepercayaan hingga diguncang oleh sebuah pemikiran yang diusung dua raksasa ilmiah: Charles Darwin dan Alfred Wallace. Manusia sebelumnya puas dengan penjelasan bahwa kuda memang berasal dari kuda, yang diperanakkan oleh kuda, dan seterusnya, dan seterusnya. Lalu pertanyaannya adalah darimana datangnya kuda pertama? Jawaban versi kisah penciptaan adalah “dari sononya”, entah diciptakan oleh yang namanya Dewa atau Tuhan. Teori evolusi memberikan jawaban lain. Setiap keturunan menghasilkan variasi yang sedikit berbeda dengan induknya sehingga setelah akumulasi variasi keturunan berjuta tahun kemudian, dapat menghasilkan keturunan yang kadang berbeda seperti langit dan bumi. Bayangkan saja perbedaan antara anjing Chihuahua dan anjing Saint Bernard yang dulunya berasal dari satu keturunan anjing, padahal mereka baru berpisah dari cabang evolusinya kurang lebih 10.000 tahun yang lalu, saat anjing pertama kali dijinakkan oleh manusia. Masalahnya, teori evolusi meskipun sederhana, seringkali salah dimengerti karena publisitas yang terlalu berpihak. Setiap kali orang mendengar teori evolusi, yang terpikir pasti tentang teori yang mengatakan bahwa manusia berasal dari kera. Untuk menjawab itulah buku “Sungai dari Firdaus” menjadi penting, dan ia ditulis dalam bahasa yang mudah dipahami oleh orang yang tidak pernah mendalami biologi evolusioner sekalipun.

Sungai dari Firdaus sungguh sebuah analogi yang tepat. Kehidupan berawal dari sebuah mata air yang begitu sederhana, hanya sebuah rangkaian DNA yang bisa memperbanyak diri. “Kebetulan-kebetulan” terjadi dan DNA tersebut membentuk selubung yang menjadi rumahnya yang disebut sel. Lahirlah secara resmi makhluk hidup pertama, yang bisa terus menggandakan dirinya. Yang justru menarik adalah proses penggandaan tersebut yang tidak sempurna. Sesekali terjadi kesalahan penggandaan yang membuat keturunannya tidak persis sempurna seperti induknya. Ketidaksempurnaan ini justru adalah kesempurnaan kehidupan. Dari situlah lahir keberanekaragaman hidup, dan Sungai dari Firdaus itu pun bercabanglah, menjadi bermilyar-milyar anak sungai.

Sebelum kita lihat lebih lanjut, kiranya kita melihat terlebih dahulu apakah itu DNA (asam deoksiribonukleat), yaitu kode digital penyusun gen yang terdiri dari empat basa heterosiklik: adenin, guanin, citosin dan timin, yang disatukan dalam sebuah struktur spiral ganda. Empat huruf inilah (A, G, C, dan T) yang menentukan makhluk seperti apa kita. Kode-kode ini terdiri dari “kata-kata”, kita sebut dengan kodon, yang masing-masing terdiri dari tiga huruf. Masing-masing merupakan perintah untuk mensintesis asam amino tertentu pembentuk makhluk hidup.

Dengan matematika sederhana kita dapat menghitung ada beberapa kombinasi dari keempat huruf tersebut, 4 x 4 x 4 = 64 jenis asam amino. Enam puluh dari kodon tersebut mengacu pada asam amino tertentu. Berhubung hanya ada dua puluh asam amino penyusun makhluk hidup, beberapa kodon membentuk asam amino yang sama, dengan kata lain redundan. Empat kodon lain mempunyai fungsi khusus sebagai tanda baca dalam proses sintesis, yaitu tanda “mulai” dan tiga kodon lain yang menghentikan proses: “tahan”, “berhenti” dan “selesai”; ibarat tanda baca koma, titik koma dan titik. Dengan enam puluh empat kodon tersebut, kita memiliki sebuah petunjuk lengkap untuk menyusun makhluk hidup, bahkan lengkap dengan tanda bacanya.

Kelihatannya sempurna, namun bagaimana tubuh kita tahu untuk membentuk, katakanlah, sel tulang tertentu di bagian tubuh tertentu. Bukankah DNA berisi seluruh informasi rancang bangun tubuh manusia, bukan hanya bagian tertentu? Tentu lebih mudah membayangkan kalau protein di sintesis hanya di satu bagian tubuh, lalu diangkut ke bagian perakitan di seluruh. Kenyataannya tidaklah demikian, karena protein dibuat di seluruh jaringan tubuh. Bagaimana suatu jaringan tahu sel apa yang harus dibuat, dan terbuat dari protein apa saja sel tersebut? Tubuh kita memiliki semacam peta kimiawi yang disertai oleh agen pengatur berupa enzim. Bagian tubuh yang berbeda memiliki ciri kimiawi yang berbeda dan enzim yang berbeda. Peta kimiawi membuat sel hanya membaca bagian tertentu dari DNA yang terdapat di dalam setiap inti sel dan mensintesisnya. Dengan itulah tubuh kita tahu apa yang harus disintesis di seluruh bagian tubuh: sel epidermis di jaringan kulit, sel darah merah di sumsum, dan sebagainya.

DNA dengan struktur basa berpasangan sungguhlah unik. Citosin selalu berpasangan dengan guanin, dan adenin selalu berpasangan dengan timin. Bila suatu rantai berisikan kode ATC GTA CAA TAC, maka pasangannya adalah TAG CAT GTT ATG. Sewaktu terjadi pembelahan sel, kedua rantai itu berpisah, dan membentuk kembali pasangannya yang hilang, sehingga terbentuklah dua sel dengan DNA yang identik. Dengan demikian terjadilah penggandaan yang sempurna dengan keandalan teknologi digital, tidak peduli berapa kali pun digandakan informasi tidak berubah. Sesekali, dan ini sangat jarang, terjadi kesalahan penggandaan.

Umumnya kesalahan ini berakibat fatal bagi makhluk hidup. Bayangkan sebuah kalimat: kami lari dari sana bawa lima duku. Jika terjadi kesalahan penggandaan, katakanlah sebuah huruf pada kata pertama hilang, kalimat tersebut menjadi: kmil arid aris anab awal imad uku-, sebuah kalimat yang tidak berarti apa-apa. Begitu pula dengan kesalahan penggandaan DNA, sebagian besar menghasilkan produk gagal yang bukan saja tidak unggul, tapi bahkan tidak hidup. Namun dalam kondisi yang luar biasa jarang terjadi, kesalahan ini malah menguntungkan. Salah satu contohnya adalah sel sabit hemoglobin yang merupakan mutasi dari sel hemoglobin normal. Hemoglobin adalah sebuah struktur molekul rumit yang terdiri dari empat subunit: dua rantai alfa dan dua rantai beta. Pada sel mutan terjadi perubahan pada asam amino keenam pada rantai beta: valin menggantikan glutamin. Perubahan ini menimbulkan anemia pada pembawanya. Namun apa yang nampaknya merupakan kerugian ini bisa menjadi berkah pada lingkungan tertentu, karena rupanya sel sabit ini membuat pembawanya imun terhadap penyakit malaria, yang tentu saja menguntungkan bagi individu yang tinggal di daerah wabah malaria seperti di Afrika Barat misalnya. Begitulah kejadiannya, kadang mutasi itu menguntungkan dan dilestarikan karena sesuai dengan lingkungannya, dan lebih seringnya justru merugikan.

Analogi sungai yang dipakai Dawkins untuk menggambarkan seluruh proses evolusi kehidupan sungguh menarik. Sungai itu digambarkan berisi aliran data-data DNA. Kesalahan penggandaan menyebabkan sungai kehidupan ini bercabang dan membentuk spesies baru. Sekali bercabang mereka tidak akan bertemu kembali. Mengapa sungai itu bercabang dan terpisah selamanya masih menjadi misteri ilmu pengetahuan yang perlu dipecahkan. Salah satu jawaban yang paling masuk akan adalah isolasi geografis. Individu-individu yang secara kebetulan merupakan variasi dari moyangnya terpisah secara geografis sehingga tidak dapat lagi kawin dengan individu yang memiliki gen yang sama dengan moyangnya. Bila mereka masih bisa kawin, perbedaan-perbedaan tersebut akan terserap dan dalam beberapa generasi kemungkinan gen yang berbeda tersebut bisa jadi malah tereleminasi. Hal ini terlihat jelas dari pemisahan spesies kera Dunia Lama (Eurasia) dan Dunia Baru (Amerika) yang benar-benar menunjukkan ciri yang berbeda. Sebelum lempeng Eurasia dan Amerika berpisah, mereka masih bisa kawin mawin. Tetapi begitu terpisah, mereka berkembang melalui jalur yang berbeda, terpisah untuk selamanya, sehingga kalau mereka dipertemukan lagi (oleh manusia) mereka sudah tidak bisa menghasilkan keturunan yang fertil lagi.

Mungkinkah proses evolusi ini menghasilkan beraneka ragam makhluk yang membentuk kesetimbangan ekologis yang sempurna? Banyak orang yang berargumen bahwa penciptaan tidak mungkin terjadi karena proses evolusi semuanya terlihat begitu sempurna, terlalu sempurna untuk sebuah proses yang kebetulan. Contohnya: proses penyerbukan terjadi karena bunga mengeluarkan feromon, semacam bau-bauan yang dikeluarkan tawon betina untuk menarik perhatian tawon jantan. Tanpa itu tawon jantan tidak akan menyinggahi bunga untuk membantu penyerbukan karena mengira sang bunga adalah pasangannya. Semua seolah-olah sudah diatur oleh Yang Mahakuasa. Bagaimana kita menjelaskan ini dengan kaca mata teori evolusi? Pada mulanya bunga tersebut tidak mengeluarkan feromon, dan proses penyerbukan tidak terjadi dengan bantuan tawon, melainkan mungkin hanya dengan tiupan angin, misalnya. Suatu saat timbul mutasi yang secara kebetulan membuat bunga mengeluarkan bau yang mirip dengan feromon. Kejadian tersebut benar-benar terjadi karena kebetulan, semata-mata karena statistik. Pasti ada bunga yang bermutasi mengeluarkan bau yang sama sekali tidak berguna. Seleksi alamlah yang membuat bunga yang mengeluarkan feromon bertahan dan berkembang biak lebih baik dari pada yang tidak, dan yang lain itu akan punah karena kalah bersaing. Sesederhana itu, tanpa perlu campur tangan ilahi. Kalau kita mau melihat lebih dalam lagi, bahkan kata “sempurna” adalah sebuah kata yang problematik, oleh karena itu kita akan menggunakan kata yang lebih tepat yaitu “fit” atau sesuai. Sebuah ciri bisa jadi sempurna untuk suatu lingkungan tapi justru menjadi penghambat dalam lingkungan yang lain, dan tentu saja lingkungan terus berubah. Perubahan iklim yang drastis justru bisa membuat sebuah spesies yang sudah beradaptasi baik dengan iklim itu tidak bisa bertahan. Hanya spesies yang bisa terus menyesuaikan diri yang dapat bertahan.

Buku ini ditutup dengan indah oleh Dawkins dengan menggambarkan secara keseluruhan bagaimana proses evolusi terjadi dengan dimulai dari DNA sampai mencapai tingkat kerumitan menjadi makhluk cerdas yang mampu bertanya tentang dirinya sendiri. Ambang pertama adalah replikasi itu sendiri, yaitu sebuah sistem yang mampu menggandakan dirinya dengan kesalahan acak yang sesekali timbul. Ambang kedua adalah ciri, yang membuat satu gen berbeda dengan gen lainnya. Ambang ketiga adalah tim replikator, gen tersebut membentuk sel yang akan mempermudahnya untuk melakukan penggandaan. Ambang keempat adalah ambang sel banyak, di mana sel-sel mulai bekerja sama sehingga membentuk sebuah organisme yang kompleks, yang saling bersaing dengan kelompok sel lainnya. Mulanya yang terbentuk hanyalah koloni-koloni sel. Ketika koloni-koloni tersebut semakin sukses, sel-sel semakin terspesialisasi sehingga sel-sel tersebut hanya bisa melakukan satu fungsi atau beberapa fungsi saja, tidak seperti makhluk sel tunggal yang harus melakukan seluruh fungsi untuk bertahan hidup. Ambang kelima adalah pembentukan sel syaraf. Syaraf membuat makhluk hidup bereaksi terhadap lingkungannya. Ia bisa takut, kabur, lapar dan gelisah. Ia menjadi sangat cepat menyesuaikan diri dengan lingkungannya, bukan hanya secara genetis, tapi juga secara behavioral. Ambang keenam adalah ambang kesadaran, di mana sang makhluk sadar akan keberadaan dirinya di dunia. Beberapa filsuf secara berkelakar pernah berkata bahwa ambang ini belum dilewati oleh beberapa manusia yang begitu bebal hidupnya. Ambang ketujuh adalah ambang bahasa. Bahasa sendiri adalah juga replikator tersendiri. Ia adalah replikator budaya yang membuat sebuah kebiasaan dengan mudah ditularkan dari satu individu ke individu yang lain. Ambang kedelapan adalah kooperasi. Hal ini analogi dengan sel yang bekerja sama satu sama lain membentuk koloni sel dan akhirnya makhluk bersel banyak. Dalam hal ini individulah yang berkooperasi dengan individu lain membentuk masyarakat yang bersaing satu sama lainnya.

Masyarakat, dengan demikian telah menjadi sebuah individu baru yang juga tunduk pada hukum evolusi. Ambang kesembilan adalah ambang komunikasi radio, yang memungkinkan kita untuk mengirimkan informasi sampai keluar dari planet kita yang tercinta ini. Dan ambang kesepuluh yang terpikirkan adalah perjalanan luar angkasa mengkoloni alam lain. Sungguh mengejutkan bahwa suatu kebetulan kecil yang membentuk sebuah DNA dapat membawa ke sebuah konsekuensi yang tak terbayangkan setelah milyaran tahun kemudian, hanya karena ia mampu mereplikasikan dirinya. Apa yang terpenting dalam hidup ini? Banyak orang yang berpikir bahwa yang paling penting adalah mencari uang. Tapi cobalah benar-benar Anda renungkan, apa yang terpenting dari hidup ini. Mungkin menjawab pertanyaan ini menjadi sulit kalau Anda hanya membatasi Anda pada usia Anda sendiri. Bagaimana kalau pertanyaan itu kuubah menjadi apa yang terpenting bagi umat manusia? Tiada jawaban lain selain bisa terus berkembang biak dan dengan sukses meneruskan gen-gen yang terbaik kepada keturunan-keturunan kita selanjutnya.

Tak ada jawaban yang lebih masuk akal dari itu. Pertanyaan berikutnya adalah, apakah kita benar-benar punya masa depan sampai anak-anak cucu kita? Apakah umat manusia punya masa depan? Kiranya masih banyak yang harus kita pahami tentang diri kita sendiri. Di mana sesungguhnya posisi kita, manusia, dalam seluruh konstelasi jagat ini. Apakah kita satu-satunya makhluk pandai di jagat ini. Mungkinkah suatu saat simpanse atau gorila mencapai tahap seperti kita, seperti yang digambarkan film “Planet of the Apes”? Kiranya buku ini bisa membuat kita lebih banyak merenung tentang hakekat kita dan posisi kita dalam alam semesta ini.

Sumber: https://tolakbigot.wordpress.com

No comments:

Post a Comment