Oleh: Richard Dawkins
Kisah penciptaan dapat ditemui di setiap kebudayaan. Selama beribu tahun kisah semacam itu bertahan sebagai sebuah kepercayaan hingga diguncang oleh sebuah pemikiran yang diusung dua raksasa ilmiah: Charles Darwin dan Alfred Wallace. Manusia sebelumnya puas dengan penjelasan bahwa kuda memang berasal dari kuda, yang diperanakkan oleh kuda, dan seterusnya, dan seterusnya. Lalu pertanyaannya adalah darimana datangnya kuda pertama? Jawaban versi kisah penciptaan adalah “dari sononya”, entah diciptakan oleh yang namanya Dewa atau Tuhan. Teori evolusi memberikan jawaban lain. Setiap keturunan menghasilkan variasi yang sedikit berbeda dengan induknya sehingga setelah akumulasi variasi keturunan berjuta tahun kemudian, dapat menghasilkan keturunan yang kadang berbeda seperti langit dan bumi. Bayangkan saja perbedaan antara anjing Chihuahua dan anjing Saint Bernard yang dulunya berasal dari satu keturunan anjing, padahal mereka baru berpisah dari cabang evolusinya kurang lebih 10.000 tahun yang lalu, saat anjing pertama kali dijinakkan oleh manusia. Masalahnya, teori evolusi meskipun sederhana, seringkali salah dimengerti karena publisitas yang terlalu berpihak. Setiap kali orang mendengar teori evolusi, yang terpikir pasti tentang teori yang mengatakan bahwa manusia berasal dari kera. Untuk menjawab itulah buku “Sungai dari Firdaus” menjadi penting, dan ia ditulis dalam bahasa yang mudah dipahami oleh orang yang tidak pernah mendalami biologi evolusioner sekalipun.
Sebelum kita lihat lebih lanjut, kiranya kita melihat terlebih dahulu apakah itu DNA (asam deoksiribonukleat), yaitu kode digital penyusun gen yang terdiri dari empat basa heterosiklik: adenin, guanin, citosin dan timin, yang disatukan dalam sebuah struktur spiral ganda. Empat huruf inilah (A, G, C, dan T) yang menentukan makhluk seperti apa kita. Kode-kode ini terdiri dari “kata-kata”, kita sebut dengan kodon, yang masing-masing terdiri dari tiga huruf. Masing-masing merupakan perintah untuk mensintesis asam amino tertentu pembentuk makhluk hidup.
Kisah penciptaan dapat ditemui di setiap kebudayaan. Selama beribu tahun kisah semacam itu bertahan sebagai sebuah kepercayaan hingga diguncang oleh sebuah pemikiran yang diusung dua raksasa ilmiah: Charles Darwin dan Alfred Wallace. Manusia sebelumnya puas dengan penjelasan bahwa kuda memang berasal dari kuda, yang diperanakkan oleh kuda, dan seterusnya, dan seterusnya. Lalu pertanyaannya adalah darimana datangnya kuda pertama? Jawaban versi kisah penciptaan adalah “dari sononya”, entah diciptakan oleh yang namanya Dewa atau Tuhan. Teori evolusi memberikan jawaban lain. Setiap keturunan menghasilkan variasi yang sedikit berbeda dengan induknya sehingga setelah akumulasi variasi keturunan berjuta tahun kemudian, dapat menghasilkan keturunan yang kadang berbeda seperti langit dan bumi. Bayangkan saja perbedaan antara anjing Chihuahua dan anjing Saint Bernard yang dulunya berasal dari satu keturunan anjing, padahal mereka baru berpisah dari cabang evolusinya kurang lebih 10.000 tahun yang lalu, saat anjing pertama kali dijinakkan oleh manusia. Masalahnya, teori evolusi meskipun sederhana, seringkali salah dimengerti karena publisitas yang terlalu berpihak. Setiap kali orang mendengar teori evolusi, yang terpikir pasti tentang teori yang mengatakan bahwa manusia berasal dari kera. Untuk menjawab itulah buku “Sungai dari Firdaus” menjadi penting, dan ia ditulis dalam bahasa yang mudah dipahami oleh orang yang tidak pernah mendalami biologi evolusioner sekalipun.
Sungai dari Firdaus sungguh sebuah 
analogi yang tepat. Kehidupan berawal dari sebuah mata air yang begitu 
sederhana, hanya sebuah rangkaian DNA yang bisa memperbanyak diri. 
“Kebetulan-kebetulan” terjadi dan DNA tersebut membentuk selubung yang 
menjadi rumahnya yang disebut sel. Lahirlah secara resmi makhluk hidup 
pertama, yang bisa terus menggandakan dirinya. Yang justru menarik 
adalah proses penggandaan tersebut yang tidak sempurna. Sesekali terjadi
 kesalahan penggandaan yang membuat keturunannya tidak persis sempurna 
seperti induknya. Ketidaksempurnaan ini justru adalah kesempurnaan 
kehidupan. Dari situlah lahir keberanekaragaman hidup, dan Sungai dari 
Firdaus itu pun bercabanglah, menjadi bermilyar-milyar anak sungai.
Sebelum kita lihat lebih lanjut, kiranya kita melihat terlebih dahulu apakah itu DNA (asam deoksiribonukleat), yaitu kode digital penyusun gen yang terdiri dari empat basa heterosiklik: adenin, guanin, citosin dan timin, yang disatukan dalam sebuah struktur spiral ganda. Empat huruf inilah (A, G, C, dan T) yang menentukan makhluk seperti apa kita. Kode-kode ini terdiri dari “kata-kata”, kita sebut dengan kodon, yang masing-masing terdiri dari tiga huruf. Masing-masing merupakan perintah untuk mensintesis asam amino tertentu pembentuk makhluk hidup.
Dengan matematika sederhana kita dapat 
menghitung ada beberapa kombinasi dari keempat huruf tersebut, 4 x 4 x 4
 = 64 jenis asam amino. Enam puluh dari kodon tersebut mengacu pada asam
 amino tertentu. Berhubung hanya ada dua puluh asam amino penyusun 
makhluk hidup, beberapa kodon membentuk asam amino yang sama, dengan 
kata lain redundan. Empat kodon lain mempunyai fungsi khusus sebagai 
tanda baca dalam proses sintesis, yaitu tanda “mulai” dan tiga kodon 
lain yang menghentikan proses: “tahan”, “berhenti” dan “selesai”; ibarat
 tanda baca koma, titik koma dan titik. Dengan enam puluh empat kodon 
tersebut, kita memiliki sebuah petunjuk lengkap untuk menyusun makhluk 
hidup, bahkan lengkap dengan tanda bacanya.
Kelihatannya sempurna, namun bagaimana 
tubuh kita tahu untuk membentuk, katakanlah, sel tulang tertentu di 
bagian tubuh tertentu. Bukankah DNA berisi seluruh informasi rancang 
bangun tubuh manusia, bukan hanya bagian tertentu? Tentu lebih mudah 
membayangkan kalau protein di sintesis hanya di satu bagian tubuh, lalu 
diangkut ke bagian perakitan di seluruh. Kenyataannya tidaklah demikian,
 karena protein dibuat di seluruh jaringan tubuh. Bagaimana suatu 
jaringan tahu sel apa yang harus dibuat, dan terbuat dari protein apa 
saja sel tersebut? Tubuh kita memiliki semacam peta kimiawi yang 
disertai oleh agen pengatur berupa enzim. Bagian tubuh yang berbeda 
memiliki ciri kimiawi yang berbeda dan enzim yang berbeda. Peta kimiawi 
membuat sel hanya membaca bagian tertentu dari DNA yang terdapat di 
dalam setiap inti sel dan mensintesisnya. Dengan itulah tubuh kita tahu 
apa yang harus disintesis di seluruh bagian tubuh: sel epidermis di 
jaringan kulit, sel darah merah di sumsum, dan sebagainya.
DNA dengan struktur basa berpasangan 
sungguhlah unik. Citosin selalu berpasangan dengan guanin, dan adenin 
selalu berpasangan dengan timin. Bila suatu rantai berisikan kode ATC 
GTA CAA TAC, maka pasangannya adalah TAG CAT GTT ATG. Sewaktu terjadi 
pembelahan sel, kedua rantai itu berpisah, dan membentuk kembali 
pasangannya yang hilang, sehingga terbentuklah dua sel dengan DNA yang 
identik. Dengan demikian terjadilah penggandaan yang sempurna dengan 
keandalan teknologi digital, tidak peduli berapa kali pun digandakan 
informasi tidak berubah. Sesekali, dan ini sangat jarang, terjadi 
kesalahan penggandaan.
Umumnya kesalahan ini berakibat fatal bagi makhluk hidup. Bayangkan sebuah kalimat: kami lari dari sana bawa lima duku. Jika terjadi kesalahan penggandaan, katakanlah sebuah huruf pada kata pertama hilang, kalimat tersebut menjadi: kmil arid aris anab awal imad uku-,
 sebuah kalimat yang tidak berarti apa-apa. Begitu pula dengan kesalahan
 penggandaan DNA, sebagian besar menghasilkan produk gagal yang bukan 
saja tidak unggul, tapi bahkan tidak hidup. Namun dalam kondisi yang 
luar biasa jarang terjadi, kesalahan ini malah menguntungkan. Salah satu
 contohnya adalah sel sabit hemoglobin yang merupakan mutasi dari sel 
hemoglobin normal. Hemoglobin adalah sebuah struktur molekul rumit yang 
terdiri dari empat subunit: dua rantai alfa dan dua rantai beta. Pada 
sel mutan terjadi perubahan pada asam amino keenam pada rantai beta: 
valin menggantikan glutamin. Perubahan ini menimbulkan anemia pada 
pembawanya. Namun apa yang nampaknya merupakan kerugian ini bisa menjadi
 berkah pada lingkungan tertentu, karena rupanya sel sabit ini membuat 
pembawanya imun terhadap penyakit malaria, yang tentu saja menguntungkan
 bagi individu yang tinggal di daerah wabah malaria seperti di Afrika 
Barat misalnya. Begitulah kejadiannya, kadang mutasi itu menguntungkan 
dan dilestarikan karena sesuai dengan lingkungannya, dan lebih seringnya
 justru merugikan.
Analogi sungai yang dipakai Dawkins untuk
 menggambarkan seluruh proses evolusi kehidupan sungguh menarik. Sungai 
itu digambarkan berisi aliran data-data DNA. Kesalahan penggandaan 
menyebabkan sungai kehidupan ini bercabang dan membentuk spesies baru. 
Sekali bercabang mereka tidak akan bertemu kembali. Mengapa sungai itu 
bercabang dan terpisah selamanya masih menjadi misteri ilmu pengetahuan 
yang perlu dipecahkan. Salah satu jawaban yang paling masuk akan adalah 
isolasi geografis. Individu-individu yang secara kebetulan merupakan 
variasi dari moyangnya terpisah secara geografis sehingga tidak dapat 
lagi kawin dengan individu yang memiliki gen yang sama dengan moyangnya.
 Bila mereka masih bisa kawin, perbedaan-perbedaan tersebut akan 
terserap dan dalam beberapa generasi kemungkinan gen yang berbeda 
tersebut bisa jadi malah tereleminasi. Hal ini terlihat jelas dari 
pemisahan spesies kera Dunia Lama (Eurasia) dan Dunia Baru (Amerika) 
yang benar-benar menunjukkan ciri yang berbeda. Sebelum lempeng Eurasia 
dan Amerika berpisah, mereka masih bisa kawin mawin. Tetapi begitu 
terpisah, mereka berkembang melalui jalur yang berbeda, terpisah untuk 
selamanya, sehingga kalau mereka dipertemukan lagi (oleh manusia) mereka
 sudah tidak bisa menghasilkan keturunan yang fertil lagi.
Mungkinkah proses evolusi ini 
menghasilkan beraneka ragam makhluk yang membentuk kesetimbangan 
ekologis yang sempurna? Banyak orang yang berargumen bahwa penciptaan 
tidak mungkin terjadi karena proses evolusi semuanya terlihat 
begitu sempurna, terlalu sempurna untuk sebuah proses yang kebetulan. 
Contohnya: proses penyerbukan terjadi karena bunga mengeluarkan feromon,
 semacam bau-bauan yang dikeluarkan tawon betina untuk menarik perhatian
 tawon jantan. Tanpa itu tawon jantan tidak akan menyinggahi bunga untuk
 membantu penyerbukan karena mengira sang bunga adalah pasangannya. 
Semua seolah-olah sudah diatur oleh Yang Mahakuasa. Bagaimana kita 
menjelaskan ini dengan kaca mata teori evolusi? Pada mulanya bunga 
tersebut tidak mengeluarkan feromon, dan proses penyerbukan tidak 
terjadi dengan bantuan tawon, melainkan mungkin hanya dengan tiupan 
angin, misalnya. Suatu saat timbul mutasi yang secara kebetulan membuat 
bunga mengeluarkan bau yang mirip dengan feromon. Kejadian tersebut 
benar-benar terjadi karena kebetulan, semata-mata karena statistik. 
Pasti ada bunga yang bermutasi mengeluarkan bau yang sama sekali tidak 
berguna. Seleksi alamlah yang membuat bunga yang mengeluarkan feromon 
bertahan dan berkembang biak lebih baik dari pada yang tidak, dan yang 
lain itu akan punah karena kalah bersaing. Sesederhana itu, tanpa perlu 
campur tangan ilahi. Kalau kita mau melihat lebih dalam lagi, bahkan 
kata “sempurna” adalah sebuah kata yang problematik, oleh karena itu 
kita akan menggunakan kata yang lebih tepat yaitu “fit” atau 
sesuai. Sebuah ciri bisa jadi sempurna untuk suatu lingkungan tapi 
justru menjadi penghambat dalam lingkungan yang lain, dan tentu saja 
lingkungan terus berubah. Perubahan iklim yang drastis justru bisa 
membuat sebuah spesies yang sudah beradaptasi baik dengan iklim itu 
tidak bisa bertahan. Hanya spesies yang bisa terus menyesuaikan diri 
yang dapat bertahan.
Buku ini ditutup dengan indah oleh 
Dawkins dengan menggambarkan secara keseluruhan bagaimana proses evolusi
 terjadi dengan dimulai dari DNA sampai mencapai tingkat kerumitan 
menjadi makhluk cerdas yang mampu bertanya tentang dirinya sendiri. 
Ambang pertama adalah replikasi itu sendiri, yaitu sebuah sistem yang 
mampu menggandakan dirinya dengan kesalahan acak yang sesekali timbul. 
Ambang kedua adalah ciri, yang membuat satu gen berbeda dengan gen 
lainnya. Ambang ketiga adalah tim replikator, gen tersebut membentuk sel
 yang akan mempermudahnya untuk melakukan penggandaan. Ambang keempat 
adalah ambang sel banyak, di mana sel-sel mulai bekerja sama sehingga 
membentuk sebuah organisme yang kompleks, yang saling bersaing dengan 
kelompok sel lainnya. Mulanya yang terbentuk hanyalah koloni-koloni sel.
 Ketika koloni-koloni tersebut semakin sukses, sel-sel semakin 
terspesialisasi sehingga sel-sel tersebut hanya bisa melakukan satu 
fungsi atau beberapa fungsi saja, tidak seperti makhluk sel tunggal yang
 harus melakukan seluruh fungsi untuk bertahan hidup. Ambang kelima 
adalah pembentukan sel syaraf. Syaraf membuat makhluk hidup bereaksi 
terhadap lingkungannya. Ia bisa takut, kabur, lapar dan gelisah. Ia 
menjadi sangat cepat menyesuaikan diri dengan lingkungannya, bukan hanya
 secara genetis, tapi juga secara behavioral. Ambang keenam adalah 
ambang kesadaran, di mana sang makhluk sadar akan keberadaan dirinya di 
dunia. Beberapa filsuf secara berkelakar pernah berkata bahwa ambang ini
 belum dilewati oleh beberapa manusia yang begitu bebal hidupnya. Ambang
 ketujuh adalah ambang bahasa. Bahasa sendiri adalah juga replikator 
tersendiri. Ia adalah replikator budaya yang membuat sebuah kebiasaan 
dengan mudah ditularkan dari satu individu ke individu yang lain. Ambang
 kedelapan adalah kooperasi. Hal ini analogi dengan sel yang bekerja 
sama satu sama lain membentuk koloni sel dan akhirnya makhluk bersel 
banyak. Dalam hal ini individulah yang berkooperasi dengan individu lain
 membentuk masyarakat yang bersaing satu sama lainnya.
Masyarakat, dengan demikian telah menjadi
 sebuah individu baru yang juga tunduk pada hukum evolusi. Ambang 
kesembilan adalah ambang komunikasi radio, yang memungkinkan kita untuk 
mengirimkan informasi sampai keluar dari planet kita yang tercinta ini. 
Dan ambang kesepuluh yang terpikirkan adalah perjalanan luar angkasa 
mengkoloni alam lain. Sungguh mengejutkan bahwa suatu kebetulan kecil 
yang membentuk sebuah DNA dapat membawa ke sebuah konsekuensi yang tak 
terbayangkan setelah milyaran tahun kemudian, hanya karena ia mampu 
mereplikasikan dirinya. Apa yang terpenting dalam hidup ini? Banyak 
orang yang berpikir bahwa yang paling penting adalah mencari uang. Tapi 
cobalah benar-benar Anda renungkan, apa yang terpenting dari hidup ini. 
Mungkin menjawab pertanyaan ini menjadi sulit kalau Anda hanya membatasi
 Anda pada usia Anda sendiri. Bagaimana kalau pertanyaan itu kuubah 
menjadi apa yang terpenting bagi umat manusia? Tiada jawaban lain selain
 bisa terus berkembang biak dan dengan sukses meneruskan gen-gen yang 
terbaik kepada keturunan-keturunan kita selanjutnya.
Tak ada jawaban yang lebih masuk akal 
dari itu. Pertanyaan berikutnya adalah, apakah kita benar-benar punya 
masa depan sampai anak-anak cucu kita? Apakah umat manusia punya masa 
depan? Kiranya masih banyak yang harus kita pahami tentang diri kita 
sendiri. Di mana sesungguhnya posisi kita, manusia, dalam seluruh 
konstelasi jagat ini. Apakah kita satu-satunya makhluk pandai di jagat 
ini. Mungkinkah suatu saat simpanse atau gorila mencapai tahap seperti 
kita, seperti yang digambarkan film “Planet of the Apes”? Kiranya buku 
ini bisa membuat kita lebih banyak merenung tentang hakekat kita dan 
posisi kita dalam alam semesta ini.
Sumber: https://tolakbigot.wordpress.com
Sumber: https://tolakbigot.wordpress.com

No comments:
Post a Comment