Laman

Monday, November 12, 2018

Akal dan Jiwa (Bagian II)

Sebelumnya telah dikatakan bahwa wujud akal lain selain akal kita sendiri hanya dapat disimpulkan melalui analogi. Jika seseorang mengajukan pertanyaan: “Bagaimana saya tau bahwa Felix memiliki akal?” jawabannya hanya: “Saya memiliki akal, Felix berperilaku seperti saya, berbicara seperti saya, mengaku memiliki akal seperti saya, maka saya berkesimpulan, dia memiliki akal seperti saya.” Akan tetapi, penalaran ini sama-sama dapat diterapkan, baik pada mesin maupun pada manusia. Karena Anda tidak pernah dapat menduduki akal manusia lain dan mengalami kesadaran mereka secara langsung, setiap asumsi tentang akal yang dimiliki oleh orang lain pasti hanya merupakan sebuah keyakinan. Jadi, jawaban atas pertanyaan “dapatkah mesin berpikir?” adalah bahwa tak seorang pun memiliki alasan untuk menempatkan manusia lebih tinggi di atas mesin atas dasar performa (dalam tugas intelektual tertentu) yang hanya merupakan kriteria eksternal yang dilakukan seorang untuk menilai pengalaman ‘internal’ mesin. Jika mesin dibuat dapat merespons dengan cara yang sama seperti manusia terhadap semua pengaruh eksternal, maka tidak ada alasan yang dapat diamati untuk mengklaim bahwa mesin tidak berpikir, atau tidak memiliki kesadaran. Lebih jauh, jika berpendapat bahwa anjing berpikir, atau laba-laba dan semut memiliki kesadaran dasar, maka komputer yang ada saat ini pun dapat dipandang sadar dalam pengertian terbatas.

Pada 1950, matematikawan Alan Turing mengajukan pertanyaan, “Dapatkah mesin berpikir?” dalam sebuah artikel yang berjudul “Computing Machinery and Intelligence” dalam jurnal Mind. Dia mengemukakan tes sederhana yang akan menunjukkan jawabannya. Turing menyebutnya ‘permainan tiruan’ (imitation game). Gagasannya adalah bahwa seorang laki-laki masuk ke dalam suatu ruangan, dan kemudian seorang perempuan masuk ke ruangan lain. Seorang interogator berkomunikasi dengan mereka melalui teleprinter dan mencoba, dengan menggunakan urutan pertanyaan dan jawaban, untuk memutuskan mana responden laki-laki dan mana perempuan. Laki-laki dan perempuan tersebut diminta untuk berupaya dan merayu sang interogator bahwa keduanya adalah perempuan. Ternyata, laki-laki tersebut lebih ketahuan dan terbukti pembohong. Kemudian tes kecerdasan mesin Turing sekarang meliputi penggantian laki-laki tersebut dengan mesin dalam permainan ini. Jika mesin ini berhasil menipu sang interogator bahwa ia perempuan, Turing menegaskan bahwa mesin tersebut benar-benar berpikir.

Sejumlah argumen telah tersebar melawan klaim bahwa kecerdasan artifisial yang maju semacam itu adalah hal mungkin. Salah satu alur argumennya adalah bahwa komputer, hanyalah merupakan sebuah mesin yang dingin, kejam, tak berhati, tak sadar, tak berjiwa, dan tak memiliki emosi. Karena murni otomatis dalam cara kerjanya, komputer akan menjangkau hanya apa yang telah diprogramkan kepadanya oleh operator manusia. Tidak ada komputer yang beranjak dan menjadi individu kreatif yang termotivasi degan sendirinya, dapat mencintai, tertawa, menangis atau melaksanakan kehendak bebas. Ia adalah ‘budak’ bagi pemiliknya, tak lebih jika dibandingkan dengan sebuah mobil.

Permasalahan dengan argumen ini adalah bahwa manusia pun bersifat mekanis. Pada tingkat yang netral (sel otak), otak manusia sama-sama bersifat mekanis dan tunduk pada prinsip-prinsip rasional, namun hal itu tidak menghalangi kita mengalami rasa bimbang, bingung, bahagia, bosan dan irasionalitas.

Keberatan utama agama terhadap gagasan kecerdasan artifisial ini adalah bahwa mesin tidak memiliki jiwa. Namun, konsep jiwa itu sendiri sangat samar. Gagasan awalnya terkait erat dengan konsep ‘daya kehidupan’. Alkitab, terutama Perjanjian Lama, tidak banyak berbicara tentang masalah ini, yang tampaknya lebih banyak berhutang budi pada tradisi skolastik Yunani, berkat pengaruh filosof seperti Plato. Rujukan Alkitab awal mengemukakan jiwa sebagai sinonim dengan nafas atau kehidupan, akan tetapi konsep tersebut agak dipertajam dalam Perjanjian Baru, di mana jiwa kemudian diidentikan dengan diri dan memiliki sifat-sifat yang mungkin sekarang kita sebut akal.

Sungguh, penggunaan kata jiwa telah merosot pada era modern, dan sekarang terbatas terutama pada lingkungan teologis. Bahkan Catholic Encyclopedia menetapkan definisi jiwa dengan ‘sumber aktivitas pemikiran‘. Relasi antara jiwa dan akal karenanya semakin tidak jelas, dan keduanya akan digunakan secara bergantian dalam uraian berikut ini.

soul

Doktrin utama agama adalah gagasan bahwa jiwa (atau akal) adalah sesuatu, dan perbedaan tajam harus ditarik antara badan dan jiwa. Yang disebut teori dualis akal (atau jiwa) ini dikembangkan oleh Descartes dan secara luas dimasukkan ke dalam pemikiran Kristen. Konsep ini juga sangat dekat dengan keyakinan orang awam. Sungguh, mendalamnya gagasan dualisme tersebut dalam budaya dan bahasa kita sehingga Gilbert Ryle dalam karyanya, The Concept of Mind, menyebut dualisme sebagai ‘doktrin resmi’.

Apakah ciri-ciri teori dualis tentang akal? ‘Doktrin resmi’ menguraikannya sebagai berikut. Manusia terdiri dari dua jenis hal yang jelas dan terpilah: badan dan jiwa (atau akal). Badan bertindak sebagai sejenis rumah atau penerima bagi akal, atau barangkali bahkan sebagai penjara yang pembebasan darinya harus diperjuangkan melalui kemajuan spiritual atau kematian, seperti yang terdapat dalam beberapa ajaran agama. Akal dipasangkan dengan badan melalui otak, yang digunakannya (melalui indra jasmani) untuk memperoleh dan menyimpan informasi tentang dunia. Akal juga menggunakan otak sebagai sarana untuk melaksanakan keinginannya, dengan bertindak pada dunia dengan cara yang telah digambarkan sebelumnya. Namun, akal (atau jiwa) tidak terletak dalam otak, atau di anggota badan lainnya; atau bahkan di tempat lain di ruang.

Ciri penting dari gambaran ini adalah bahwa akal adalah sesuatu; bahkan mungkin secara lebih spesifik, substansi. Bukan substansi fisik, tetapi sejenis substansi yang renggang, sukar ditangkap dan eterik, bahan terbentuknya pemikiran dan mimpi, bebas dan mandiri dari materi biasa yang berat dan lamban.

Sifat tidak substansialnya jiwa akan tampak menjadi penting karena dua alasan. Pertama, kita tidak melihat jiwa atau mendeteksi kehadiran fisiknya secara langsung, juga tidak tampak selama operasi bedah otak. Kedua, dunia materi harus tunduk pada hukum fisika yang, pada tingkat makroskopik (dengan mengabaikan dampak kuantum), bersifat deterministik dan mekanis, dan karenanya tidak sejalan dengan kehendak bebas –sifat fundamental jiwa. Akan tetapi, argumen-argumen ini hanya menceritakan kepada kita apa yang bukan jiwa itu, bukan apa jiwa itu sendiri. Kita mencurigai bahwa gagasan tentang jiwa atau akal sebagai sesuatu telah hanyut entah di mana, dan telah diberi daya tarik realitas semu dan khayalan dengan menyelipkan kata-kata tak bermakna padanya. Akal tidak bersifat mekanis, jadi ia tidak mekanis, meskipun kata sifat ini menunjukkan sejenis makna kepada kita.

Kesulitan lainnya terletak pada tempat, jika kita mencoba mamahami di mana jiwa itu berada. Jika tidak ditemukan dalam ruang, lalu di mana? Menarik untuk dicatat bahwa Descartes percaya ada kelenjar kecil dalam otak yang merupakan tempat jiwa, atau setidak-tidaknya merupakan struktur yang memberikan kaitan erat fisik antara akal dan otak. Dapatkah fisika baru dengan konsep anehnya tentang lengkungan ruang dan dimensinya yang lebih tinggi memberikan tempat yang sesuai?

Selama hampir seabad terakhir ini cara pandang kita terhadap ruang-waktu telah berubah.

Kebanyakan fisikawan saat ini memandang ruang dan waktu sebagai sejenis lembaran (atau mungkin balon) berdimensi empat dengan kemungkinan lembaran lain yang terpisah. Dapatkah jiwa tinggal di salah satu dari semesta lain ini? Kemungkinan lain, ruang-waktu dapat dipahami seolah-olah melekat dalam ruang berdimensi lebih tinggi, seperti permukaan atau lembaran dua dimensi melekat dalam ruang berdimensi tiga. Mungkinkah jiwa menempati suatu lokasi dalam ruang yang lebih tinggi ini masih dekat (secara geografis) dengan ruang-waktu fisik kita, tetapi tidak secara aktual di dalamnya?

Dari titik penting berdimensi lebih tinggi ini jiwa dapat ‘terkunci’ dari badan individu dalam ruang-waktu, tanpa menjadi bagian dari ruang-waktu itu sendiri.

Bagi mereka yang ingin percaya bahwa jiwa yang berpisah menuju surga, susunan yang lebih rumit dibutuhkan, tempat yang diduga diduduki jiwa selama kehidupan individu di bumi tidaklah sama dengan surga. Jika gagasan semacam itu membutuhkan kepercayaan seperti halnya intuisi geometris, tentu yang demikian itu karena asumsi yang patut diragukan bahwa jiwa memiliki tempat.

Mengatakan bahwa jiwa menduduki suatu tempat berarti ia ada dalam semacam ruang, baik ruang sebagaimana biasanya kita pahami, maupun ruangan lainnya. Dalam kasus tersebut, kita dapat mengajukan pertanyaan tentang ukuran, bentuk, orientasi dan gerak jiwa, semua konsep yang benar-benar tidak tepat bagi sesuatu yang terdiri dari pemikiran, bukan materi.

Persoalan lebih jauh muncul ketika kita beralih ke masalah waktu. Jiwa tidak berada dalam ruang, lalu apakah ia ada dalam waktu? Secara dugaan jawabannya adalah ya. Jika jiwa merupakan sumber persepsi kita, maka jiwa ini harus meliputi persepsi kita tentang waktu. Lebih jauh, banyak proses mental manusia diakui secara eksplisit bergantung pada waktu: perencanaan, harapan, penyesalan, antisipasi, misalnya.

Terdapat suatu problem logika yang besar pada jiwa yang kekal. Makna apa yang kemudian kita lekatkan pada eksistensi jiwa setelah mati, jika hubungan sebelum-sesudah dilampaui oleh jiwa?

Bagaimana tentang situasi jiwa sebelum kelahiran badan? Masalah ini diatasi oleh Catholic Encyclopedia dengan sentuhan humor yang langka:
Gagasan bahwa Tuhan memiliki persediaan jiwa yang bukan merupakan bagian badan manapun secara khusus hingga Dia meniupkannya ke dalam embrio manusia sama sekali tidak didukung oleh bukti. Jiwa diciptakan oleh Tuhan pada saat ia ditiupkan ke dalam materi.
Pesannya jelas. Ada waktu (sebelum kelahiran) ketika jiwa tidak ada. Gagasan tersebut jelas-jelas bertentangan dengan gagasan jiwa yang melampaui waktu (kekal).

Dilema waktu yang serupa terus juga terjadi dalam semua pembahasan tentang keabadian. Di satu sisi adalah keinginan terhadap kelangsungan manusia setelah berakhirnya kehidupan dunia ini–bukan hanya dalam wujud yang membeku atau kekal, tetapi melibatkan semacam aktivitas. Yesus berbicara tentang ‘kehidupan yang kekal’, yang mengandung makna berlalunya waktu tanpa akhir.

Di sisi lain, gagasan semacam itu terkait erat dengan persepsi kita tentang waktu di alam fisik, dan tidak sejalan betul dengan dugaan pemisahan alam fisik dan spiritual. Persoalannya menjadi semakin buruk jika kita meyakini kemungkinan bahwa waktu bisa jadi secara aktual memiliki akhir: maka tidak ada yang kekal sama sekali. Argumen-argumen yang dikemukakan di sini, dan lainnya menginsyaratkan bagi banyak orang bahwa konsep jiwa atau akal dan kekekalannya benar-benar salah dan tidak koheren.

Referensi:
Sumber: Free Thinker

No comments:

Post a Comment