Laman

Monday, November 12, 2018

Akal dan Jiwa (Bagian III)

Sejumlah alternatif bagi dualisme telah dibahas oleh para filsuf. Di satu sisi adalah materialisme yang menolak sama sekali eksistensi akal (dan jiwa). Kaum materialis percaya bahwa kondisi dan cara kerja mental sama saja dengan kondisi dan cara kerja fisik. Dalam bidang psikologi, materialisme menjadi apa yang dikenal dengan behaviorisme, yang menyatakan bahwa semua manusia berperilaku secara mekanis murni dalam merespon stimulus eksternal. Di sisi lainnya adalah filsafat idealisme yang menegaskan bahwa alam fisik itu tidak ada, segala sesuatu adalah persepsi.

Tampaklah bahwa teori dualis tersebut jatuh ke dalam perangkap pencarian akan substansi (akal) untuk menjelaskan apa sebenarnya konsep abstrak itu, bukan obyek. Dorongan untuk mereduksi konsep abstrak menjadi sesuatu tampak jelas sepanjang sejarah sains dan filsafat, yang diilustrasikan melalui konsep-konsep kacau semacam phlogiston, teori cairan panas, eter yang bersinar terang dan daya-kehidupan. Dalam semua kasus ini, fenomena yang bersatu membutuhkan penjelasan dalam kaitannya dengan energi atau bidang yang abstrak semacam itu.

Fakta bahwa suatu konsep itu abstrak, bukan substansial, tidak membuatnya menjadi tidak nyata atau khayalan. Kebangsaan seseorang tidak dapat diukur, ia tidak menduduki tempat di dalam badannya, namun ia merupakan suatu bagian yang bermakna dan penting bagi seseorang. Konsep-konsep seperti kegunaan, organisasi, kecenderungan dan informasi tidak mengandung ‘sesuatu’ dalam pengertian obyek, tetapi hubungan antara, dan kondisi, obyek-obyek.

Kesalahan fundamental dualisme adalah memperlakukan badan dan jiwa seakan-akan dua sisi mata uang, sementara keduanya masuk ke dalam kategori yang benar-benar berbeda. Pernyataan ‘batu ada’ dan ‘hari rabu ada’ dua-duanya benar, akan tetapi tidaklah bermakna menempatkan batu dan hari rabu berdampingan satu sama lain dan membahas keduanya. Ryle telah mengantisipasi banyak pembahasan ‘holistik’. Sebagaimana telah kita lihat di postingan tentang kehidupan, hubungan antara akal dan badan sama dengan hubungan koloni semut dengan semut, atau antara bagian dari sebuah novel dengan huruf-huruf alfabetnya. Akal dan badan bukanlah dua komponen yag memiliki dualitas, tetapi dua konsep yang sepenuhnya berbeda yang ditarik dari tingkat yang berbeda dalam suatu hirarki deskripsi. Kita kembali ke holisme vs reduksionisme.

Banyak masalah lama tentang dualisme semakin ditinggalkan manakala dipahami bahwa konsep abstrak tingkat tinggi sama-sama nyata seperti struktur tingkat rendah yang menopangnya, tanpa substansi atau unsur luar yang misterius. Seperti halnya daya-kehidupan sebagai tambahan yang tak dibutuhkan bagi materi agar hidup, demikian pula substansi jiwa tidak diperlukan bagi materi agar menjadi sadar.

Dunia kita penuh dengan hal-hal yang misterius dan samar-samar, yang tidak dibangun dari bata bangunan fisika. Apakah Anda percaya pada suara? Bagaimana dengan pangkas rambut? Apakah ada hal-hal semacam itu?

Dalam bahasa fisikawan, apakah lubang itu? Bukan tentang lubang hitam, melainkan sekadar lubang dalam kue donat atau sepotong keju misalnya. Apakah lubang bersifat fisik?

Apakah simfoni itu? Di ruang dan waktu mana lagu ‘Indonesia Raya’ berada? Bukankah sekadar tinta yang tertera di atas kertas dalam buku-buku Lagu Kebangsaan? Hancurkanlah kertas itu dan lagu tersebut tetap ada.

Bahasa Latin tetap ‘ada’, tetapi ia tidak lagi menjadi bahasa yang hidup.

Bahasa orang gua Prancis sama sekali tidak ada lagi.

Permainan sepakbola telah berusia lebih dari seratus tahun. Jenis apakah itu? Ia bukan binatang, tumbuhan atau mineral.

Hal-hal ini bukanlah obyek-obyek fisik yang memiliki massa, atau kandungan kimiawi, tetapi juga bukan obyek-obyek abstrak murni. Hal-hal ini memiliki tempat kelahiran dan sejarah. Mereka dapat berubah, dan sesuatu dapat terjadi pada mereka. Kita tidak boleh mengandaikan bahwa sains mengajarkan kepada kita bahwa segala sesuatu yang ingin dikaji secara serius oleh seseorang dapat diidentifikasi sebagai kumpulan partikel yang bergerak dalam ruang dan waktu. Sebagian orang bisa saja menganggapnya sekadar akal sehat atau sekadar pemikiran ilmiah yang baik untuk mengandaikan kita bukanlah apa-apa kecuali organisme fisik tertentu yang hidup –tumpukan atom yang bergerak– akan tetapi sebenarnya gagasan menunjukkan ketiadaan imajinasi saintifik, bukan kerumitan yang keras kepala.

Otak terdiri dari milyaran syaraf, dan ini adalah alam perangkat keras elektro-kimiawi yang fisikal dan mekanis. Di sisi lain, kita memiliki pemikiran, perasaan, emosi, keinginan, dan sebagainya. Alam mental holistik yang tingkatannya lebih tinggi ini sama dengan sel otak yang terlupakan; kita dapat memikirnya dengan bahagia sekaligus sama sekali tak menyadari bantuan apapun dari syaraf kita.

Akan tetapi bahwa fakta tingkat yang lebih rendah diatur oleh logika tidak mesti bertentangan dengan fakta bahwa tingkatan mental yang lebih tinggi dapat menjadi tidak logis dan emosional.

Sekadar menggunakan analogi, novel yang ditulis secara kompeten akan meliputi urutan bangunan gramatika yang berjalan dengan kaidah logis bahasa dan ekspresi yang jelas. Namun, hal itu tidak menghalangi karakter dalam novel itu untuk bercinta dan tertawa, atau berperilaku benar-benar aneh.
Menyatakan bahwa karena buku tersebut disusun berdasarkan konstruksi kata-kata yang logis sehingga kisahnya harus tunduk pada prinsip logika yang kaku tentulah sia-sia. Yang demikian itu sama dengan mencampuradukkan dua tingkatan deskripsi yang berbeda. Karena itu, ketika sampai pada akal: kesadaran bukanlah sesuatu yang kita harapkan dipaksa diakui sebagai hasil-hasil dari argumen tentang perilaku partikel-partikel fisik. Dengan ungkapan yang lebih modern, akal ‘bersifat holistik’.

Tentu, tak satu pun dari semua ini menghalangi kemungkinan akal (atau kecerdasan) buatan, mesin yang berpikir, dan sebagainya. Yang mengherankan bahwa banyak orang yang bersedia mengakui piaraan mereka memiliki akal, tapi ngeri memikirkan komputer yang memiliki akal. Barangkali hal tersebut merupakan reaksi terhadap ancaman suatu hari komputer mungkin memiliki akal yang berdaya intelektual lebih besar ketimbang masa kita sendiri.

Deskripsi dua tingkat (atau multi level) tentang akal dan badan merupakan suatu kemajuan besar terhadap gagasan lama dualisme (akal dan badan sebagai sua substansi yang berbeda) atau materialisme (akal tidak ada). Filsafatlah yang dengan cepat memperoleh landasan dengan munculnya apa yang dikenal sebagai sains kognitif: kecerdasan artifisial, sains komputer, linguistik, cybernetik dan psikologi. Semua bidang kajian ini menaruh perhatian pada sistem proses informasi dalam satu atau lain hal, baik manusia maupun mesin. Perkembangan konsep dan bahasa dikaitkan dengan komputer, seperti pembedaan antara perangkat kera dan lunak, telah membuka perspektif baru tentang hakikat pemikiran dan kesadaran. Komputer telah memaksa para saintis untuk berpikir lebih jelas ketimbang sebelumnya tentang akal.

Kemajuan saintifik ini diimbangi dengan kemunculan filsafat baru tentang akal, yang terkait dengan gagasan yang dikemukakan di atas, yang disebut fungsionalisme. Kaum fungsionalis menilai bahwa unsur esensial akal bukan ‘perangkat keras’, tetapi ‘perangkat lunak’ atau program. Mereka tidak menolak bahwa otak adalah sebuah mesin, dan bahwa syaraf menyala murni karena alasan-alasan elekstris –tidak ada sebab-sebab mental dari prosess fisik tersebut. Namun mereka menyerukan hubungan kausal antara kondisi mental; kasarnya, pemikiran menyebabkan pemikiran, terlepas dari fakta bahwa pada tingkat perangkat keras, ikatan kausal telah dipalsukan.

Tidak ada keselarasan antara hubungan kausal pada tingkat perangkat keras dan lunak diterima begitu saja oleh kebanyakan pembuat program komputer. Dalam suara nafas mereka akan mengatakan:

“Komputer hanyalah seperangkat arus listrik dan segala yang dapat dilakukannya telah ditetapkan oleh hukum listrik. Outputnya adalah akibat otomatis dari kesetiaanya mengikuti jalan elektrik yang ditetapkan sebelumnya”. Jadi, ada kemungkinan untuk hidup dengan dua tingkat deskripsi kausal yang berbeda –perangkat keras dan lunak– tanpa harus bergulat dengan bagaimana perangkat lunak bertindak pada perangkat keras. Teka-teki lama tentang bagaimana akal bertindak pada badan terlihat hanya sebagai kekacauan tingkat konseptual. Kita tidak pernah bertanya, “bagaimana program komputer membuat atus kontaknya menyelesaikan persamaan?” Kita juga tidak perlu bertanya bagaimana pemikiran mendorong syaraf melahirkan respon jasmani.

Apa yang diimplikasikan fungsionalisme bagi agama? Tampaknya menjadi sesuatu yang memiliki pedang bermata-dua. Di satu sisi, fungsionalisme menolak bahwa akal adalah khas manusia, dan mengklaim bahwa mesin pun dapat berpikir dan merasakan, setidaknya secara prinsip. Sulit menyelaraskan sudut pandang tersebut dengan gagasan tradisional tentang Tuhan yang menganugerahkan jiwa kepada manusia. Fungsionalisme membiarkan terbuka masalah kekekalan.

Fungsionalisme menyelesaikan dengan sekali pukulan terhadap kebanyakan pertanyaan tradisional tentang jiwa. Bahan apakah pembentuk jiwa? Pertanyaan tersebut tidak bermakna seperti halnya mempertanyakan bahan apa yang membentuk kewarganegaraan atau hari rabu. Jiwa adalah konsep holistik, tidak terbentuk dari bahan apapun.

Bagaimana tentang masalah waktu dan jiwa? Apakah ‘ada dalam waktu tetapi tidak dalam ruang’ memiliki makna? Di sinilah persoalannya semakin rumit. Kita sering membicarakan pengangguran yang terus meningkat atau gaya berpakaian yang berubah-ubah, yang menginsyaratkan ketergantungan sesuatu terhadap waktu yang sebenarnya tidak dapat ditentukan pada tempat yang jelas. Tampaknya tidak ada alasan mengapa akal tidak dapat berkembang bersama waktu meskipun ia tidak ditemukan di manapun dalam ruang.

Karena itu, kita dapat memilih menolak keyakinan bahwa akal bukanlah apa-apa kecuali aktivitas otak, karena yang demikian itu akan jatuh pada perangkap reduksionis. Namun demikian terlihat bahwa eksistensi akal ditopang oleh aktivitas tersebut, maka muncullah pertanyaan tentang bagaimana akal yang tak berwujud dapat mengada. Merujuk kembali ke analogi, sebuah novel tersusun dari kata-kata, tetapi kisahnya sama-sama dapat disimpan secara lisan pada tape magnetik, tercatat pada kartu potongan atau secara digital di komputer, misalnya. Dapatkah akal menghidupkan kematian otak dengan mengubahnya ke mekanisme atau sistem lain? Jelas, ini tidak mungkin secara prinsip.

Sumber: Free Thinker

No comments:

Post a Comment