Thursday, September 12, 2019

Apa yang Memicu Terciptanya Alam Semesta?

Apa yang memicu terciptanya alam semesta? Pertanyaan ini telah menjadi salah satu teka-teki terbesar dalam sejarah pemikiran manusia. Dari spekulasi filosofis kuno hingga teori fisika modern, para pemikir dan ilmuwan telah mengusulkan berbagai kemungkinan tentang bagaimana segalanya bermula.

Salah satu penjelasan yang pernah diajukan adalah teori keadaan tunak atau Steady-State Theory. Gagasan ini menyatakan bahwa alam semesta tidak memiliki awal atau akhir dan, dalam skala besar, selalu tampak sama dari waktu ke waktu. Model ini menyarankan bahwa materi baru terus tercipta secara spontan untuk mengimbangi pengembangan alam semesta, menjaga kerapatannya tetap konstan. Meskipun ide ini pernah diterima secara luas, ia akhirnya ditinggalkan setelah sejumlah bukti observasional—seperti penemuan radiasi latar gelombang mikro kosmis—lebih mendukung model alam semesta yang berkembang dari suatu titik awal.

Keyakinan terhadap alam semesta yang tak berubah sebenarnya telah ada jauh sebelum teori ini diformalkan. Isaac Newton, misalnya, melihat Tuhan sebagai penyebab pertama yang terus-menerus menjaga keteraturan alam. Ia menulis bahwa alam semesta adalah "Sensorium suatu Sosok tak bertubuh, hidup, dan cerdas." Newton percaya bahwa semesta tak banyak berubah karena terus berada dalam pengawasan ilahi. Albert Einstein pun semula meyakini bahwa alam semesta bersifat statis, sehingga menambahkan konstanta kosmologis ke dalam teori relativitasnya. Namun, ia kemudian menyebut penambahan itu sebagai kesalahan besar setelah Hubble menunjukkan bahwa alam semesta sedang mengembang.

Penjelasan lain yang lebih modern datang dari gagasan bahwa alam semesta kita adalah bagian dari multisemesta yang lebih besar. Dalam pandangan ini, alam-alam semesta baru terus bermunculan dari ledakan-ledakan besar yang terjadi berulang dalam apa yang disebut inflasi abadi (eternal inflation). Model ini menyiratkan bahwa semesta kita hanyalah salah satu dari tak terhitung banyaknya gelembung realitas yang muncul dari ruang kuantum. Teori ini dapat membantu menjelaskan mengapa hukum-hukum fisika kita sangat mendukung kehidupan—karena kita kebetulan berada di salah satu semesta yang “cocok” untuk itu. Namun, karena belum ada cara untuk mengamati langsung semesta lain, gagasan ini tetap bersifat spekulatif.

Penjelasan ketiga, dan yang saat ini paling diterima oleh komunitas ilmiah, adalah teori Ledakan Besar atau Big Bang. Berdasarkan teori ini, alam semesta bermula sekitar 13,8 miliar tahun yang lalu dari suatu keadaan sangat padat dan panas—lebih kecil dari ukuran sebuah atom. Dalam satu fraksi detik, ruang, waktu, materi, dan energi mulai mengembang dalam proses yang sangat cepat yang disebut inflasi kosmik. Semua materi dan energi yang ada saat ini berasal dari keadaan awal itu.

Bukti teori ini sangat kuat dan bersumber dari banyak observasi. Edwin Hubble menunjukkan bahwa galaksi-galaksi bergerak menjauh satu sama lain, yang mengindikasikan bahwa alam semesta sedang mengembang. George Gamow dan rekannya memprediksi terbentuknya unsur-unsur ringan seperti hidrogen dan helium beberapa menit setelah ledakan besar. Kemudian, Arno Penzias dan Robert Wilson menemukan radiasi latar gelombang mikro kosmis (CMB), jejak sisa panas dari alam semesta awal, yang menjadi salah satu bukti paling langsung dari peristiwa Big Bang.

Sejak tahun 2001, satelit WMAP (Wilkinson Microwave Anisotropy Probe) memberikan peta sangat detil tentang CMB, menunjukkan fluktuasi suhu kecil di alam semesta awal ketika berusia sekitar 380.000 tahun. Data ini memungkinkan para ilmuwan memperkirakan dengan akurat umur alam semesta, komposisinya, dan bahkan nasib masa depannya. Energi sisa dari ledakan awal itu—yang dahulu sangat panas—kini terdeteksi sebagai radiasi mikro yang sangat lemah, dengan suhu sekitar 2,725 kelvin. Citra yang dihasilkan WMAP menunjukkan benih awal struktur kosmik: galaksi, gugus galaksi, dan ruang hampa antar galaksi. WMAP memberikan jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan yang telah membingungkan manusia selama ribuan tahun: dari mana alam semesta berasal, berapa usianya, dan dari apa ia terbentuk.

Misi ini kemudian disempurnakan oleh satelit Planck milik Badan Antariksa Eropa yang diluncurkan pada 2009. Dengan sensitivitas dan resolusi yang lebih tinggi, Planck memperhalus peta CMB dan memperkuat validitas model Big Bang. Data dari kedua misi ini secara konsisten menunjukkan bahwa alam semesta terdiri dari sekitar 4,9% materi biasa, 26,8% materi gelap, dan 68,3% energi gelap—komponen yang mendominasi evolusi kosmos.

Meskipun teori Big Bang menjelaskan bagaimana alam semesta berkembang sejak awalnya, ia belum menjawab pertanyaan mengapa peristiwa itu terjadi. Di sinilah fisika kuantum memberikan kemungkinan bahwa sesuatu bisa muncul dari "kekosongan kuantum". Dalam kerangka ini, bahkan ruang hampa memiliki energi, dan fluktuasi kuantum dapat menghasilkan partikel dan antipartikel yang muncul lalu lenyap. Gagasan ini membuka pintu bagi hipotesis bahwa mungkin alam semesta lahir dari ketiadaan, tanpa sebab eksternal.

Namun, apakah "ketiadaan" yang dimaksud benar-benar nihil mutlak, atau hanya bentuk realitas yang belum kita pahami, masih menjadi perdebatan filosofis dan ilmiah. Dan jika ada sosok atau mekanisme yang menyebabkan kelahiran alam semesta, kita pun harus bertanya: apakah penyebab itu lebih kompleks dari semesta itu sendiri?

Sejauh ini, teori Big Bang tidak berdiri di atas spekulasi kosong, tetapi pada fondasi kuat dari ratusan bukti observasional yang konsisten satu sama lain. Dalam sains, teori bukanlah sekadar dugaan, tetapi kerangka yang mampu memprediksi dan menjelaskan fenomena nyata berdasarkan data. Dan dari semua teori yang diajukan, Big Bang tetap yang paling kuat dan paling didukung oleh observasi.

AOS

No comments:

Post a Comment