Thursday, August 22, 2019

Algoritma, Genetika, dan Tubuh: Kisah Angelina Jolie dan Medis Masa Depan

Pada 14 Mei 2013, dunia dikejutkan oleh sebuah esai pribadi yang diterbitkan oleh aktris Hollywood ternama, Angelina Jolie, di kolom opini The New York Times. Esai itu, berjudul “My Medical Choice”, mengungkapkan keputusan Jolie untuk menjalani mastektomi ganda secara sukarela—pengangkatan kedua payudaranya—meskipun dia tidak menunjukkan gejala kanker pada saat itu. Pilihan ini tidak dilandasi oleh firasat, keyakinan spiritual, atau intuisi emosional, melainkan oleh hasil dari uji genetika yang menunjukkan bahwa dia membawa mutasi genetik BRCA1. Menurut statistik medis terbaru dari National Cancer Institute, mutasi ini secara signifikan meningkatkan risiko kanker payudara hingga sekitar 87% dan kanker ovarium hingga 50%.

Angelina Jolie tidak sakit, tidak merasa nyeri, dan tidak dalam kondisi gawat darurat medis. Tubuhnya secara subjektif masih “sehat”, namun algoritma statistik yang diprogram untuk membaca genetikanya justru menyampaikan narasi sebaliknya. Di dalam tubuhnya, menurut algoritma itu, tersembunyi potensi biologis laten yang sangat destruktif. Jolie mengambil keputusan berdasarkan statistik prediktif, bukan berdasarkan gejala klinis atau pengalaman empiris. Ia menanggapi peringatan mesin-mesin medis yang membaca probabilitas, bukan pengalaman sadar.

Tindakan Jolie ini dianggap revolusioner, tidak hanya karena mengedepankan kedewasaan dan transparansi pribadi, tetapi karena mencerminkan sebuah paradigma baru dalam dunia medis: manusia modern yang menyerahkan sebagian otonomi pengambilan keputusan kepada kecerdasan algoritmik. Jolie tidak berkonsultasi kepada dukun, tidak membaca horoskop, tidak menunggu takdir. Ia berkonsultasi dengan data. Lebih tepatnya, data genetiknya sendiri.

Dalam konteks sejarah medis, pergeseran ini sangat signifikan. Selama ribuan tahun, manusia memutuskan langkah pengobatan berdasarkan kombinasi antara tradisi, pengalaman pribadi, intuisi, dan autoritas kultural seperti tabib atau pemuka agama. Namun abad ke-21 menandai permulaan era pengambilan keputusan medis yang didorong oleh data biometrik, kecerdasan buatan, dan analisis probabilistik berskala raksasa.

Keputusan Jolie bukan hanya aksi individu; ia menjadi momen simbolik, cermin dari dunia baru yang tengah dibangun oleh perusahaan-perusahaan teknologi dan institusi bioteknologi. Di dunia ini, pengambilan keputusan—bahkan tentang tubuh dan hidup kita sendiri—semakin dilimpahkan kepada sistem-sistem cerdas yang membaca tubuh kita lebih baik dari diri kita sendiri.

Era Medis yang Dipandu Algoritma

Kemajuan di bidang genomik, bioinformatika, dan machine learning telah mengubah cara dunia medis memahami risiko penyakit. Dengan perkembangan teknologi sequencing DNA yang makin murah dan cepat, saat ini perusahaan seperti Illumina mampu memetakan seluruh genom seseorang dengan biaya kurang dari $200. Perusahaan seperti 23andMe, didirikan oleh Anne Wojcicki (mantan istri pendiri Google Sergey Brin), menawarkan layanan analisis DNA rumah berbasis ludah seharga $99. Dari tabung kecil berisi air liur, informasi yang luar biasa dalam bisa diperoleh: predisposisi genetik terhadap lebih dari 90 penyakit dan kondisi, dari diabetes hingga Alzheimer, dari kebotakan hingga kemungkinan kecanduan.

Nama “23andMe” merujuk pada 23 pasang kromosom manusia, struktur biologis tempat tertulis seluruh cetak biru kehidupan kita. Dalam bentuk paling radikalnya, perusahaan ini menawarkan janji Prometheus modern: “Kenalilah dirimu—dari dalam, dari yang paling dasar, dari materi pembentuk eksistensimu.” Namun, ini bukan hanya soal identitas biologis. Ini tentang pengalihan otoritas. Anda tidak lagi hanya percaya kepada dokter atau perasaan anda sendiri—anda diminta untuk mempercayai algoritma statistik yang didasarkan pada populasi global dan sampel genomik skala besar.

Tentu, pertanyaannya kemudian adalah: apa yang terjadi ketika manusia harus memilih antara suara tubuhnya dan suara algoritma? Dalam kasus Jolie, ia memilih algoritma. Namun bagaimana jika seseorang membawa gen BRCA1 dan pada saat yang sama membawa mutasi lain di gen ABCD3 (hipotetis) yang justru membuatnya meremehkan risiko-risiko? Jika dia menolak operasi, apakah itu keputusan bebas, atau hanya hasil dari cacat kognitif yang diwariskan genetik? Dalam dunia algoritma, bahkan otonomi dapat didekonstruksi menjadi kegagalan dalam pemrosesan probabilitas.

Dari Klinik ke Server: Big Data dan Kesehatan Publik

Konsekuensi dari revolusi data medis ini bukan hanya bersifat pribadi. Ia berdampak global. Sistem kesehatan nasional seperti NHS di Inggris membutuhkan waktu berhari-hari atau bahkan berminggu-minggu untuk mendeteksi epidemi flu, karena data dikumpulkan dari laporan dokter dan klinik setelah pasien mengalami gejala. Sebaliknya, Google Flu Trends—proyek Google yang diluncurkan pada 2008—mampu memprediksi epidemi flu hingga 10 hari lebih cepat hanya dengan menganalisis pola pencarian kata seperti “demam”, “sakit kepala”, dan “mual” yang diketik warga ke dalam mesin pencari mereka.

Dalam dunia yang saling terhubung, ketika seseorang di London mengetik "I feel sick" dalam surel atau di kolom pencarian, Google bisa mendeteksi pola anomali populasi secara real-time. Ini adalah kekuatan epidemiologi digital, dan mungkin jauh lebih cepat dan akurat dibanding lembaga kesehatan tradisional. Namun semua ini membutuhkan pengorbanan besar: privasi.

Jika Angelina Jolie bersedia mengorbankan privasinya untuk menyelamatkan nyawa orang lain dengan membagikan cerita pribadinya, mengapa tidak Marry—warga biasa—yang membiarkan Google membaca surel dan data kesehatannya untuk mencegah wabah?

Inilah dilema moral baru: trade-off antara privasi dan kesehatan, antara otonomi personal dan keselamatan kolektif. Di satu sisi, kita diajarkan untuk melindungi data pribadi sebagai bagian dari kebebasan individu. Di sisi lain, ada manfaat luar biasa jika data tersebut dibagikan secara etis dan digunakan untuk kebaikan bersama.

Google, DNA, dan Medis yang Serba-Tahu

Proyek ambisius Google lainnya, Baseline Study, berusaha membangun basis data biometrik terbesar di dunia. Proyek ini bertujuan membangun profil “kesehatan sempurna” manusia dengan mengumpulkan data dari perangkat wearable seperti jam tangan, sepatu pintar, kacamata, bahkan pakaian. Data seperti detak jantung, kadar gula, pola tidur, hingga kadar oksigen dalam darah akan dikumpulkan dan dibandingkan secara real-time dengan jutaan individu lainnya. Kombinasi data ini bisa memberikan peringatan dini bahkan sebelum gejala muncul secara subjektif.

Dalam teori, sistem ini tidak hanya bisa mendeteksi kanker pada tahap paling awal, tetapi juga bisa memperingatkan kita akan penurunan kognitif, penyakit neurodegeneratif, dan pola gaya hidup berbahaya. Bahkan, sistem seperti ini—jika dikombinasikan dengan data finansial, sosial, dan psikologis—dapat mengetahui lebih banyak tentang seseorang dibanding orang itu sendiri. Google bisa tahu kapan Anda cemas, kapan Anda jatuh cinta, atau kapan Anda berbohong—karena semua itu punya pola biometrik yang bisa dikenali.

Pertanyaannya bukan lagi apakah kita akan mempercayakan hidup kita kepada algoritma, tetapi berapa banyak dari diri kita yang akan kita serahkan. Dalam sistem seperti ini, mungkin hanya ada satu pertanyaan terakhir yang tersisa untuk manusia: “Jika algoritma lebih tahu tentang kita dibanding kita sendiri, siapa yang seharusnya mengambil keputusan?”

AOS

No comments:

Post a Comment