Apakah itu antibiotik yang memperpanjang harapan hidup manusia secara drastis dan menyelamatkan ratusan juta jiwa? Apakah komputer yang menjadi fondasi era digital? Apakah energi nuklir, internet, vaksin polio, atau bahkan penerbangan luar angkasa? Semuanya bisa diklaim sebagai tonggak peradaban. Dan semuanya merupakan hasil dari inovasi ilmiah dan teknologis, bukan spiritual atau teologis.
Namun, jika kita mengarahkan pertanyaan yang sama pada institusi-institusi keagamaan: apa kreasi, inovasi, atau penemuan besar yang dihasilkan oleh Islam, Kristen, Yahudi, atau agama besar lainnya selama abad ke-20? Maka jawabannya menjadi sebaliknya: terlalu sedikit untuk dipilih. Bahkan mungkin tidak ada yang cukup signifikan untuk disebut dalam satu tarikan napas bersama komputer, internet, atau antibiotik.
Apakah ada satu produk keagamaan dalam 100 tahun terakhir yang secara radikal mengubah kualitas hidup manusia seperti vaksin atau chip silikon? Apa yang ditemukan oleh para mufti, rabbi, paus, atau pendeta yang bisa disejajarkan dengan revolusi teknologi digital atau eksplorasi ruang angkasa? Bukannya menelurkan ide-ide baru, banyak lembaga agama justru terjebak dalam defensif teologis, sibuk mempertahankan otoritas lama daripada menciptakan solusi baru untuk dunia yang berubah cepat.
Perubahan: Dari Wahyu Menuju DataDalam realitas ini, pertanyaan besar muncul: Dari mana perubahan besar abad ke-21 akan datang? Dari negara-negara Islam, Vatikan, atau justru dari pusat data Google dan laboratorium AI Silicon Valley?
Pertanyaan ini lebih dari sekadar provokasi retoris. Ini adalah peta arah masa depan. Jika abad ke-20 adalah abad kekuatan industri, maka abad ke-21 adalah abad kekuatan informasi — abad algoritma.
Google, bersama Amazon, Apple, Microsoft, Meta (dan perusahaan AI seperti OpenAI dan DeepMind), saat ini bukan hanya perusahaan teknologi. Mereka adalah struktur epistemologis baru. Di tangan mereka, terletak kekuatan untuk menyusun kembali cara manusia memahami dunia, memutuskan tindakan, dan bahkan memaknai eksistensinya. Mereka tidak hanya menyediakan informasi, tapi juga menyaring, memfilter, dan akhirnya membentuk realitas digital dan kognitif miliaran orang.
Dunia Lama: Terjebak dalam RepetisiSementara itu, banyak institusi agama tampak masih bekerja dengan arsenal epistemologi abad pertengahan. Wacana keagamaan — dalam banyak hal — masih didominasi oleh penafsiran ulang kitab suci, fatwa atas masalah etika seksual, dan penolakan terhadap sains modern (misalnya teori evolusi atau big bang). Bahkan ketika bicara soal masa depan, banyak diskursus keagamaan justru mengandalkan nubuatan dan mitos eskatologis, bukan proyeksi saintifik atau rekayasa masa depan.
Di dunia Islam, misalnya, banyak negara masih terjebak dalam konflik sektarian, ketergantungan ekonomi pada minyak, dan sistem pendidikan yang tidak menyatu dengan perkembangan sains mutakhir. Hal serupa dapat ditemukan dalam lembaga-lembaga keagamaan Kristen dan Yahudi, yang sering lebih sibuk memperdebatkan isu moral budaya — seperti aborsi, LGBTQ+, atau pernikahan sejenis — ketimbang merancang kerangka etis untuk AI, bioengineering, atau eksplorasi luar angkasa.
Realitas Baru: Google, Data, dan Kodifikasi Jiwa ManusiaMari kita bandingkan:
-
Kitab Suci menyimpan cerita-cerita ribuan tahun lalu yang mengajarkan kebajikan, tetapi Google menyimpan miliaran data riil tentang perilaku manusia hari ini — browsing history, lokasi fisik, ketertarikan seksual, ketakutan, bahkan tingkat stres.
-
Mufti atau pendeta mungkin memberi nasihat tentang cara hidup yang baik, tapi algoritma rekomendasi YouTube tahu persis berapa lama seseorang rentan terhadap teori konspirasi atau video radikalisasi.
-
Kitab Wahyu mengklaim berasal dari Tuhan dan diturunkan kepada nabi; algoritma AI tidak berasal dari Tuhan, tapi dari miliaran pengalaman manusia — dan justru karena itu, ia lebih presisi dalam meniru dan memprediksi perilaku manusia.
Google tahu kapan Anda sedang depresi, kapan Anda lapar, kapan Anda akan sakit, bahkan sebelum Anda menyadarinya sendiri. Dalam satu studi oleh Cambridge Psychometrics (Kosinski et al., 2015), ditemukan bahwa hanya dengan mengamati 70 likes di Facebook, algoritma bisa memprediksi kepribadian seseorang lebih akurat dari teman dekatnya. Dengan 300 likes, ia lebih akurat dari pasangan Anda.
Pergeseran Epistemologis: Dari Imam ke AlgoritmaAbad ke-21 menyaksikan pergeseran sumber otoritas pengetahuan — dari imam, pendeta, atau nabi ke machine learning dan big data. Jika dulu orang bertanya pada nabi untuk memahami hidup, kini mereka bertanya pada Google. Jika dulu pengakuan dosa dilakukan di gereja, kini manusia secara sadar dan sukarela mengunggah dosa-dosanya ke Instagram dan TikTok, dengan algoritma sebagai pengampun (atau hakim) yang tak kasat mata.
Lebih jauh, bahkan etika dan moral — ranah tradisional agama — kini perlahan dirumuskan ulang oleh teknolog. Pertanyaan seperti: “Haruskah robot punya hak hukum?”, “Bolehkah kita merekayasa gen bayi agar lebih pintar?”, atau “Apa batas kemanusiaan AI?” — semuanya adalah persoalan moral yang dulu jadi wilayah agama. Tapi sekarang, perdebatan itu terjadi di konferensi AI, bukan di mimbar khutbah.
Kesimpulan: Di Mana Masa Depan DiciptakanJadi, jika Anda bertanya: Dari mana perubahan besar abad ke-21 akan lahir — dari lembaga-lembaga agama atau dari pusat-pusat data seperti Google? Maka jawabannya semakin jelas. Bukan karena agama tidak punya nilai, tapi karena banyak agama tidak lagi menciptakan masa depan, mereka hanya berusaha mengawetkan masa lalu. Sementara itu, Google, AI, dan bioteknologi justru menulis ulang kode kehidupan itu sendiri.
Perubahan besar abad ke-21 tidak akan datang dari mimbar masjid, altar gereja, atau bait sinagoga — melainkan dari baris-baris kode di server Google, dari eksperimen CRISPR di laboratorium, dari pelatihan model AI yang mampu mencipta, memahami, dan mengambil keputusan melebihi manusia.
Dan dalam dunia seperti ini, pertanyaan terbesar bukan lagi “apa yang Tuhan kehendaki?”, tetapi: “siapa yang mengendalikan data?”
AOS
No comments:
Post a Comment