Individu dan kelompok sekuler, skeptik dan liberal yang tidak percaya
 adanya setan dan jin percaya kalau kesurupan hanyalah masalah mental 
dan fisik.
Sedikit yang mencoba mendalami lebih jauh masalah ini. Tapi apakah hal ini memiliki basis di kenyataan?
Kesurupan bagi mereka disebabkan oleh:
1. Gangguan otak, seperti sindrom Gilles de la Tourette, epilepsi, gangguan identitas disosiatif atau
2. Penyakit mental, seperti schizophrenia, psikosis, histeria, mania, atau
3. Orang yang otaknya kurang lebih sehat tapi sayangnya tersedot dalam 
permainan peran sosial dengan konsekuensi yang sangat tidak nyaman, 
seperti remaja yang hanya dapat mengatakan hal-hal tabu jika ia 
kesurupan.
Ada satu jenis kesurupan yang tidak terlalu akrab kita dengar, yaitu kesurupan teritualisasi. Gangguan otak dan penyakit mental mungkin dapat menjelaskan kenapa seseorang bisa kesurupan tiba-tiba, tapi bagaimana dengan orang yang ingin kesurupan, melakukannya lewat ritual, dan akhirnya benar-benar kesurupan?
Kesurupan yang Disengaja
Profesor Michelle Crepeau mengajukan hipotesis adanya CPG atau Central Pattern Generator di otak manusia. CPG adalah bagian yang bertanggung jawab atas I-function, atau ke-saya-an. Saat kemasukan, CPG menjadi padam. Tindakan ritual yang dilakukan, misalnya oleh dukun, untuk menjadi kesurupan sesungguhnya adalah sebuah mekanisme untuk memadamkan CPG di dalam otaknya. Solusinya adalah eksperimen, bukan semata pengamatan. Melakukan eksperimen bukanlah hal yang mudah karena konteks dari ritual kesurupan yang religius.
Seorang
 pakar psikologi dan ilmu syaraf dari Jepang, Manabu Honda, telah 
melakukannya bersama rekan-rekan penelitinya tahun 2000. Beliau 
melakukan eksperimen dalam upacara adat di Bali yang disebut Kerauhan. 
Banyak orang sehat disini mengalami kerasukan. Ia sudah pernah di 
dokumentasikan lewat film oleh Margaret Mead dan Gregory Bateson, namun 
keberadaannya belum terbukti secara ilmiah. Honda dan teman-temannya 
mencoba mendekati masyarakat Bali untuk melakukan eksperimen ini.
Bagaimana
 mungkin orang Jepang bisa mendapat kepercayaan masyarakat Bali untuk 
mengukur gelombang otak mereka saat mereka kerasukan? Bukankah ini 
ritual adat yang suci? Mengesankannya, Honda dan rekan-rekannya 
membangun kepercayaan ini selama lebih dari sepuluh tahun! Akhirnya 
masyarakat mempercayai mereka untuk mengakses para subjek yang ikut 
serta dalam upacara adat ini.
Honda
 dan kawan-kawannya menggunakan sistem telemetri Elektro Encephalogram  
(EEG) multi channel portabel untuk mengukur gelombang otak dari 24 
orang-orang yang kesurupan saat upacara adat ini. Mereka berhasil untuk 
pertama kalinya menunjukkan kalau fungsi otak ternyata berubah menjadi 
tidak biasa saat seseorang kerasukan. Kekuatan pita gelombang otak theta
 dan alpha dari orang yang kesurupan ternyata meningkat secara 
signifikan. Gelombang ini tetap tinggi selama beberapa menit setelah 
mereka sadar dari kesurupan. Bukan 
hanya itu, mereka yang kesurupan memiliki tingkat konsentrasi 
beta-endorphin, dopamine dan noradrenalin yang tinggi. Ketiga zat ini 
merupakan narkotika endogen, artinya narkotika yang dibuat oleh otak 
sendiri. Honda dan kawan-kawannya 
menyimpulkan kalau kondisi ini diaktifkan oleh suara alunan gamelan Bali
 yang mengandung beberapa sinyal yang tak terdengar tapi dapat memacu 
kerja syaraf.
Penelitian
 Honda dan rekan-rekannya menunjukkan kalau setidaknya, kesurupan tipe 
ritual merupakan semacam hiburan seperti halnya dansa atau musik dimana 
orang terlarut di dalamnya. Sayangnya, eksistensi dari ke-saya-an yang 
diajukan Crepeu masih kabur.
Fenomena 
kesurupan tampak sebagai sifat kebudayaan manusia yang universal dan 
ditemukan di setiap benua dan setiap waktu. Sebagai contoh, Bourguignon 
(1973, 1976) melakukan survey pada 488 kelompok masyarakat, dan 
menemukan kalau 90% nya memiliki bentuk pola budaya yang memuat kondisi kesadaran berubah. Keyakinan
 pada kesurupan sebagai masuknya jiwa lain ke dalam tubuh ditemukan 
dalam 74% sampel dan ritual kesurupan ditemukan dalam 52% sampel.
Kesurupan yang Tidak Disengaja
Lebih sulit lagi untuk melakukan eksperimen untuk kerasukan yang tidak ritualistik, seperti kesurupan massal mendadak yang sering terjadi di SMP kita. Ia tidak terduga kapan datangnya. Kesulitan ini membutuhkan kerjasama antara antropolog dan ahli syaraf yang sayangnya masih sulit dilakukan. Di satu sisi, para antropolog umumnya hidup di daerah terpencil yang minim teknologi. Di sisi lain, para ahli syaraf umumnya hidup di daerah modern yang kaya teknologi modern. Langkah ini baru saja dicoba untuk di jajaki pada awal abad ke-21.
Kesurupan yang Tidak Disengaja
Lebih sulit lagi untuk melakukan eksperimen untuk kerasukan yang tidak ritualistik, seperti kesurupan massal mendadak yang sering terjadi di SMP kita. Ia tidak terduga kapan datangnya. Kesulitan ini membutuhkan kerjasama antara antropolog dan ahli syaraf yang sayangnya masih sulit dilakukan. Di satu sisi, para antropolog umumnya hidup di daerah terpencil yang minim teknologi. Di sisi lain, para ahli syaraf umumnya hidup di daerah modern yang kaya teknologi modern. Langkah ini baru saja dicoba untuk di jajaki pada awal abad ke-21.
Jika
 neurologi dan antropologi kesulitan, bagaimana dengan psikologi? Dua 
orang psikolog dari Singapura, Beng-Yeong Ng dan Yiong-Huak Chan baru 
saja berhasil menentukan faktor-faktor psikosial yang menyebabkan 
seseorang dapat mengalami kesurupan. Mereka melakukan wawancara mendalam
 terhadap 58 orang pasien yang pernah mengalami kesurupan dan 
membandingkannya dengan 58 pasien yang mengalami depresi berat. Mereka 
menemukan kalau orang yang sering mengalami kesurupan adalah orang yang 
memiliki masalah dalam isu agama dan budaya; terpaparkan pada kondisi 
trans (kesurupan disengaja) dan memiliki peran sosial sebagai seorang 
rohaniawan atau pendamping seorang rohaniawan.
Penelitian
 oleh Albert C Gaw dan kawan-kawan di China membenarkan kondisi ini. 
Mereka menambahkan data mengenai apa yang terjadi saat seseorang 
kesurupan. Berdasarkan wawancara terhadap 20 orang yang pernah kesurupan
 mereka memperoleh data sebagai berikut: 19 kehilangan kendali atas 
tindakan, 18 mengalami perubahan perilaku atau bertindak berbeda, 12 
kehilangan kesadaran atas sekelilingnya, 11 kehilangan identitas 
pribadi, 10 kehilangan kemampuan membedakan antara kenyataan dan 
fantasi, 10 mengalami perubahan nada suara, 9 mengalami perhatian yang 
tidak fokus, 9 mengalami kesalahan dalam menilai, 8 mengalami kesulitan 
berkonsentrasi, 7 kehilangan kemampuan menilai waktu, 7 kehilangan ingatan, 6 kehilangan kemampuan merasa sakit dan 4 percaya kalau dirinya berubah ujud.
Dilihat
 dari agen yang merasuki, sembilan dirasuki oleh orang yang telah 
meninggal, lima oleh dewa/mahluk ghaib yang baik, empat oleh roh hewan, 
dan 2 oleh setan. Satu tidak tahu siapa yang merasukinya. Lima 
melaporkan dimasuki oleh lebih dari satu agen. Satu percaya kalau ia 
dirasuki oleh beberapa orang yang telah meninggal, yang lain percaya 
kalau ia dirasuki oleh lebih dari satu mahluk halus seperti dewa baik 
dan setan yang memasuki dirinya serentak. Gaw et al bahkan menambahkan 
bukti dari luar sampelnya kalau di China, seseorang bahkan bisa 
kesurupan benda mati, seperti batu dan kayu.
Peneliti
 Indonesia, Luh Ketut Suryani, dan seorang peneliti barat, Gordon D 
Jensen menyimpulkan kalau fenomena kesurupan memiliki analog paling 
sesuai dengan fenomena MPD (Multiple Personality Disorder).  
Perbedaannya, kesurupan sangat erat kaitannya dengan kebudayaan. Hal ini
 bisa dibilang berlaku pula pada MPD, karena fenomena MPD terjadi di 
satu kebudayaan saja, yaitu kebudayaan barat. Dengan kata lain, MPD 
adalah salah satu contoh fenomena yang melatarbelakangi kesurupan pula.Gaw
 et al menggabungkannya dalam satu istilah: penyakit atribusi. Penyakit 
atribusi ini termasuklah susto di Amerika Latin dimana seseorang merasa 
dirinya sangat ketakutan, hwa-byung dari Korea dimana seseorang merasa 
dirinya sangat marah, dan kesurupan dimana seseorang merasa dirinya 
dimasuki mahluk asing.
Gregory P Garvey menyarankan kalau kesurupan sebenarnya sama saja dengan latah. Kami telah membahas tentang latah sebelumnya.
 Dan latah terjadi tergantung kebudayaan. Satu hal yang sama antara 
latah dan kesurupan, keduanya lebih sering terjadi pada wanita dari 
latar belakang pendidikan yang rendah. Dan
 kembali, ia menjadi sebuah masalah psikologis yang masih belum dipahami
 dengan jelas, kecuali dengan pemberian istilah baru agar terlihat 
ilmiah. Gangguan disosiatif istilahnya.
Demonstrasi kesurupan di depan 
masyarakat ilmiah
masyarakat ilmiah
Walau
 begitu, basis ilmiah dari dugaan tersebut memiliki dasar yang kuat,. 
Setidaknya ada tujuh jenis gangguan syaraf yang dapat diasosiasikan 
dengan kesurupan yang tidak disengaja. Gangguan Syaraf ini antara lain :
1.
 Sindrom Gilles de la Tourette = Sebuah penyakit kerusakan otak yang 
dicirikan dengan keluarnya kata-kata tabu secara tidak terkendali dan 
begitu mudahnya orang tersebut mengulangi kata-kata orang lain (latah) 
serta gerakan yang tak terkendali. (Bacaan lanjut : Netsains)
2. Epilepsi = Sebuah penyakit yang disebabkan pelepasan listrik berlebihan di otak dan dicirikan kejang mendadak (sawan).
3.
 Gangguan Identitas Disosiatif = Disebut juga Kepribadian Ganda (MPD). 
Kemungkinan disebabkan oleh perubahan arah aliran darah di otak atau 
volume hippocampus dan amygdala yang kecil di otak. Dicirikan perubahan 
kepribadian seseorang menjadi orang dengan identitas berbeda.
4.
 Schizophrenia = Perbedaan kimiawi otak yang berakibat pada pecahnya 
hubungan  antara kemampuan kognitif dengan emosional. Akibatnya 
penderita tidak memiliki basis logika untuk tindakannya. Walaupun 
emosinya tidak dapat diprediksi, seorang schizo dapat sangat cerdas 
karena kemampuan kognitifnya tidak dipengaruhi oleh emosi.
5.
 Psikosis = Kerusakan otak / penyalahgunaan narkotika yang berakibat 
pada pecahnya hubungan antara dunia nyata dan imajinasi. Merupakan 
gejala paling umum ditemukan di masyarakat. Seseorang dapat merasa 
dirinya di dunia nyata padahal sedang berkhayal, begitu juga sebalinya.
6.
 Histeria = Reaksi emosional negatif atau ketakutan berlebih yang 
semakin menjadi-jadi, baik secara individu maupun massal. Hal ini 
disebabkan kesamaan pengalaman terutama trauma yang terjadi pada 
kelompok (jika massal) atau munculnya pemicu ingatan terhadap trauma di 
masa lalu. Paling banyak terjadi pada perempuan.
7.
 Mania = Reaksi emosional positif atau kegembiraan berlebih yang semakin
 menjadi-jadi. Tidak diketahui apakah dapat bersifat massal atau tidak. 
Pemicu utama mania adalah insomnia atau kesulitan tidur.
Kesurupan
 yang tidak disengaja tampaknya dapat dijelaskan berdasarkan salah satu 
dari tujuh gejala syaraf di atas atau kombinasi di antaranya. Bila kita 
telah mampu menyelidiki penyebab neurologis atau genetik seseorang yang 
mengalami kesurupan, terutama saat kesurupan tersebut terjadi, maka kita
 dapat memberikan urutan ke-8 atau semata meletakkan kesurupan dalam 
salah satu dari tujuh gangguan di atas.
Kesimpulan
Kita
 telah banyak belajar mengenai faktor-faktor gender, pendidikan, dan 
psikososial yang mempengaruhi kesurupan, perasaan yang timbul saat 
kesurupan, zat kimia dan pola gelombang otak yang muncul saat kesurupan 
dan metode untuk menyebabkan seseorang kesurupan (walaupun hanya berupa 
ritual spesifik budaya, bukannya metode ilmiah universal). Walau begitu,
 kita masih belum punya teori yang menjelaskan bagaimana proses 
neurologis yang membuat kesurupan dapat terjadi. Termasuk kategori 
apakah ia dalam klasifikasi penyakit kejiwaan dan mungkinkah kita mampu 
mensimulasikannya di laboratorium (seperti pada fenomena keluar dari 
tubuh).
Tentang pertanyaan apakah orang yang kesurupan memang dirasuki mahluk halus, kita tidak ada bukti yang membutuhkan penjelasan yang melibatkan mahluk halus. Bukti-bukti ilmiah dari psikologi, ilmu syaraf, antropologi dan kedokteran masih mampu untuk menjelaskan kesurupan sebagai fenomena alamiah manusia. Ataukah frase ‘sudah mampu’ lebih pantas dipakai daripada ‘masih mampu’? Itu kembali dari posisi awal kita di awal artikel ini. Jika anda sekuler, skeptik atau liberal, frase ‘sudah mampu’ tampaknya lebih cocok dipakai.
Tentang pertanyaan apakah orang yang kesurupan memang dirasuki mahluk halus, kita tidak ada bukti yang membutuhkan penjelasan yang melibatkan mahluk halus. Bukti-bukti ilmiah dari psikologi, ilmu syaraf, antropologi dan kedokteran masih mampu untuk menjelaskan kesurupan sebagai fenomena alamiah manusia. Ataukah frase ‘sudah mampu’ lebih pantas dipakai daripada ‘masih mampu’? Itu kembali dari posisi awal kita di awal artikel ini. Jika anda sekuler, skeptik atau liberal, frase ‘sudah mampu’ tampaknya lebih cocok dipakai.
Referensi:
1. B.A. Robinson. 1998. Demonic Possession, Oppression & Exorcism: BELIEFS OF SECULARISTS, SKEPTICS AND RELIGIOUS LIBERALS
2. J. Goodwin, S. Hill, R. Attias  “Historical and folk techniques of exorcism: applications to the treatment of dissociative disorders”
3. Iga Dwi Sanjaya Putra. 2010. ‘Kerauhan’, Sugesti dalam Balutan Religi
4.    Kawai N, Honda M, Nakamura S, Samatra P, Sukardika K, Nakatani Y, Shimojo N, Oohashi T (2001) Catecholamines and opioid peptides increase in plasma in humans during possession trances. Neuroreport 12:3419-3423.
5.    Oohashi T, Kawai N, Honda M, Nakamura S, Morimoto M, Nishina E, Maekawa T (2002) Electroencephalographic measurement of possession trance in the field. Clin Neurophysiol 113:435-445.
6.   
 Oohashi T, Nishina E, Honda M, Yonekura Y, Fuwamoto Y, Kawai N, Maekawa
 T, Nakamura S, Fukuyama H, Shibasaki H (2000) Inaudible highfrequency 
sounds affect brain activity: hypersonic effect. J Neurophysiol 83:3548-3558.
7. Stefano Ferracuti; Roberto Sacco. 1996. Dissociative
 Trance Disorder: Clinical and Rorschach Findings in Ten Persons 
Reporting Demon Possession and Treated by Exorcism. Journal of Personality Assessment, Volume 66, Issue 3 June 1996 , pages 525 – 539
8.    Bourguignon, E. (Ed.). (1973). Religion, altered states of consciousness, and social change. Columbus, OH: Ohio University Press.
9.    Bourguignon, E. (1976). Possession. Prospect Hills, IL: Waveland Press
10. Abhijit Marathakam. 2010. The Intrigue science of POSSESSION: Answers…unanswered questions…..unsolved mystiques…….
11. Bourguignon E and Peitay L. Transcult Psychiatr Res (New Series) 2, 13±15 (1965).
12. Wikipedia. 2010. Spirit possession
13. Beng-Yeong Ng, Yiong-Huak Chan. 2004.Psychosocial stressors that precipitate dissociative trance disorder in Singapore. Australian and New Zealand Journal of Psychiatry. Volume 38, Issue 6, pages 426–432, June 2004
14.
 Luh Ketut Suryani, Gordon D. Johnson. 1994. Trance and Possession in 
Bali: A Window on Western Multiple Personality, Possession Disorder, and
 Suicide. Oxford University Press
15. Dissociation and Second Life: Pathology or Transcendence? Gregory P. Garvey 10th Annual Planetary Collegium Interna’onal Research Conference
16. Simon Baron?Cohen, The Short Life of a Diagnosis, The New York Times, 11/10, 2009
17.
 Kim LI: Psychiatric care of Korean Americans, in Culture, Ethnicity, 
and Mental Illness. Edited by Gaw AC. Washington, DC, American 
Psychiatric Press, 1992
18. Trance Research. 2009. A Brief Bibliography on Trance
19. Hadley Harkrader. 2006. Trance-Formations: The Shaman’s Neurobiological Trip Through an Ecology of Souls
20.  Cases Of Trance Possession in Bali.  Hoyt Edge.
21. Robert T Carrol. 1994. Skeptic’s Dictionary: Exorcism.
Sumber: FaktaIlmiah.com 
No comments:
Post a Comment