Fisika modern, seperti yang pernah diungkapkan oleh Niels Bohr, tidak bertujuan menjelaskan apa sebenarnya alam semesta itu, melainkan fokus pada apa yang dapat kita ketahui tentang alam semesta melalui pengamatan dan eksperimen. Dalam teori kuantum, pandangan ini semakin kuat: realitas obyektif yang mutlak dipertanyakan. Realitas dianggap hanya sebagai fenomena yang muncul ketika diamati, sehingga teori-teori fisika bukanlah kebenaran mutlak, melainkan model deskriptif yang berguna untuk menjelaskan dan memprediksi fenomena alam secara akurat.
Laman
Tuesday, August 27, 2019
Agama vs. Sains: Perspektif Realitas dan Kebenaran
Masa Depan Pikiran: Menyelami Batas Kesadaran dan Takdir Manusia di Era Teknologi Canggih
Kaku memulai dengan menyoroti tantangan global yang semakin mendesak: perubahan iklim yang tak terelakkan, penurunan keanekaragaman hayati dengan tingkat kepunahan spesies yang semakin cepat, ancaman konflik nuklir di era geopolitik yang kompleks, serta degradasi sumber daya alam yang memaksa umat manusia berpikir jauh ke depan. Dalam konteks ini, Kaku menegaskan bahwa upaya menjaga keberlangsungan hidup tidak cukup hanya dengan memperbaiki kondisi di Bumi. Solusi radikal—yaitu kolonisasi luar angkasa—menjadi kebutuhan mendesak untuk menjamin kelangsungan spesies kita.
Memetakan Masa Depan dengan Sains
Bila prediksi 300-an ilmuwan top—12 di antaranya peraih Hadiah
Nobel—ditampilkan dengan padat komprehensif, seperti apa gerangan visi
mereka tentang kehidupan di akhir abad ke-21? Itulah yang disajikan
dalam buku terbaru Michio Kaku: ”Physics of the Future”.Michio Kaku, fisikawan Amerika berdarah Jepang yang berkampus di City University of New York, selain merupakan salah satu perumus teori string yang terkenal mahasulit, adalah juru bicara fisika modern kepada dunia yang semakin padat sains ini. Ia rajin menyambangi ratusan sejawatnya di laboratorium kampus-kampus dan pusat-pusat studi termaju yang meneliti dan merancang purwarupa teknologi futuristik, serta mengkaji aplikasinya ke berbagai bidang: medis, militer, ekonomi, dan masyarakat.
Lewat kuliah umum dan televisi, tak jemu-jemu ia mengingatkan: sains dan teknologi adalah mesin raksasa ekonomi modern dan lokomotif utama peradaban kita. Michio Kaku adalah Leonardo da Vinci dan Julius Verne masa kini.
EARTH: The Pale Blue Dot
Di satu titik itu, semua orang yang kamu cintai, semua orang yang kamu kenal, semua orang yang pernah kamu dengar namanya, semua manusia yang pernah ada, menghabiskan hidup mereka.
Segenap kebahagiaan dan penderitaan kita, ribuan agama, pemikiran, dan doktrin ekonomi yang menganggap dirinya benar, setiap pemburu dan perambah, setiap pahlawan dan pengecut, setiap pembangun dan penghancur peradaban, setiap raja dan petani, setiap pasangan muda yang jatuh cinta, setiap ibu dan ayah, anak yang bercita-cita tinggi, penemu dan penjelajah, setiap pengajar kebaikan, setiap politisi busuk, setiap “bintang pujaan”, setiap “pemimpin besar”, setiap orang suci dan pendosa sepanjang sejarah spesies manusia, hidup di sana. Di atas setitik debu yang melayang dalam seberkas sinar.
Monday, August 26, 2019
Drama Manusia di Panggung Dunia: Antara Liberalisme, Buddhisme, dan Penderitaan sebagai Realitas Terakhir
Fajar dan Cahaya Batin: Sebuah Meditasi atas Transisi Alam dan Kesadaran
Malam Dingin: Sebuah Meditasi Kosmis
Di ketinggian Grand Hill Resort Plataran Puncak, malam turun dengan tenang, membawa serta udara dingin yang menembus tulang dan meresap hingga ke relung pikiran terdalam. Dalam keheningan yang hampir suci, gemuruh air sungai yang mengalir di antara dua tebing menjadi satu-satunya suara yang menyertai perenungan. Di tengah lanskap alam yang luas ini, alam seperti berbicara dalam bahasa yang hanya bisa didengar oleh hati yang diam. Kosmos seolah berbisik lembut melalui desir angin dan denting air, menyentuh kesadaran yang terbuka akan keberadaan yang lebih besar.
Hutan Magis
Saya sekarang berada di tempat agak terpencil yang jauh dari
keramaian. Hanya ada lanskap hutan lebat, pepohonan tinggi, dingin yang
menggigit ketika malam hari, dan kesunyian teramat dalam.Menyusuri bentangan hutan lebat, saya bergumam adakah pernah peristiwa-peristiwa terjadi di sini. Sepertinya tak ada jejak dan tak ada setapak sejarah, di sini. Saya menyusup-nyusup di celah pepohonan tinggi, semak berduri, dan hamparan kesunyian yang kosong; meraba-raba mencari jalan setapak. Saya terus beringsut maju menembus kesunyian yang tak betepi, pepohonan hijau dan bisu, akar bahar besar, dan lapisan tanah yang mengendap selama berabad. Saya terlempar di sebuah dunia kesunyian dan menakjubkan dalam udara dingin. Semua melebur jadi satu, kesunyian, kebisuan, bahkan mungkin kosong dalam makna spiritual.
Saya terus menyusuri hutan lebat itu. Di atas ketinggian, ada aliran sungai kecil yang mengalir jauh ke bawah. Gemerciknya seperti mendendangkan lagu purba. Airnya jernih, udara sangat bersih, dan langit biru di atasnya. Cahaya menyeruak tanpa dihalangi dedaunan. Di tempat ini terasa magis.
Ketika senja masih jauh, saya putuskan pulang dengan menyusuri sungai-sungai kecil yang berkelok-kelok. Suka cita, saya mencebur membersihkan badan melepas penat.
Malamnya hanya ada keheningan dan suara gemercik air yang melewati samping rumah saya menginap. Keheningan itu mendendangkan cinta dan kota-kota yang jauh entah dimana. Ada rasa rindu pada hidup yang membentang tanpa batas.
Menjelang malam runtuh, jelang fajar, saya menuliskan kenangan ini dengan tubuh segar karena sempat tertidur dalam nyenyak. Satu hal yang saya ingat betul - untuk sepetak surga yang tak terduga - alam semesta ini, kata Einstein, bagai hidup dan punya kesadaran.
Sekarang saya harus turun ke bawah untuk dapat sinyal.
@AOS
Hening: Menemukan Kearifan di Tengah Kebisingan
KEADILAN: Dari Naluri Evolusioner ke Tantangan Peradaban Global
Rasa keadilan manusia, seperti halnya emosi dan naluri lainnya, tidak
muncul begitu saja dari ruang hampa. Ia memiliki akar yang sangat dalam
dalam sejarah evolusi spesies kita. Selama ratusan ribu tahun, manusia
hidup dalam kelompok kecil pemburu-pengumpul yang sangat bergantung satu
sama lain untuk bertahan hidup. Dalam konteks ini, moralitas berkembang
sebagai seperangkat aturan sosial tak tertulis yang mengatur kerja
sama, pembagian sumber daya, dan penyelesaian konflik. Naluri moral
seperti rasa keadilan, simpati, dan kemarahan terhadap ketidakadilan
terbentuk sebagai respons terhadap dilema etika dan sosial yang berulang
dalam kehidupan kolektif yang terbatas pada puluhan individu dan
wilayah geografis yang kecil.
Teknologi & Masa Depan Hukum dan Ketertiban di Era AI (2025)
Teknologi telah mengubah hampir setiap aspek kehidupan manusia—dari makanan, kesehatan, hingga pekerjaan. Kini, giliran sektor hukum dan ketertiban yang mengalami transformasi signifikan. Dengan kemajuan pesat dalam kecerdasan buatan (AI), robotika, dan blockchain, masa depan profesi hukum dan penegakan hukum tengah mengalami pergeseran mendalam.Pengacara vs AI: Siapa yang Akan Dipercaya Klien di Masa Depan?
Di tengah derasnya arus revolusi digital, profesi hukum tengah menghadapi tantangan eksistensial. Teknologi yang dahulu dianggap asing atau sekadar “alat bantu” kini perlahan menggerogoti inti dari banyak pekerjaan yang selama ini dianggap eksklusif bagi manusia. Dari chatbot hukum, platform due diligence otomatis, hingga smart contracts berbasis blockchain—semua menandai satu pertanyaan besar: apakah pengacara masih dibutuhkan di era kecerdasan buatan (AI)?
Apakah Mesin Bisa Berpikir? Evolusi AI dalam Dunia Hukum dan Kehidupan Modern
Sejak Alan Turing mengajukan pertanyaan "Can machines think?" pada 1950-an, kita terus memperdebatkan batas antara kecerdasan manusia dan kecerdasan buatan (AI). Skenario fiksi ilmiah tentang AI yang mengendalikan atau menghancurkan umat manusia memang belum menjadi kenyataan. Namun, kenyataannya, AI telah mengambil alih banyak aspek kehidupan manusia—diam-diam dan sangat efisien.
Kita mungkin tidak menyadarinya, tetapi AI hadir di saku kita: smartphone, asisten suara, kamera pintar, dan bahkan aplikasi kesehatan. Pengaruhnya kini merambah semua sektor: dari kedokteran, pendidikan, pertanian, hingga hukum.
Pengacara Kecerdasan Buatan Lebih Cepat dan Akurat daripada Pengacara Manusia
Hukum dibuat untuk mengatur perilaku manusia. Secara lebih luas, tujuan hukum adalah untuk menciptakan ketertiban dan keadilan di masyarakat. Karena itu, dalam ranah kehidupan sosial dan negara, hukum adalah suatu keharusan. Namun, bagaimana jika masyarakat mengalami masalah hukum?Jika ada masalah hukum, publik akan menggunakan jasa pengacara untuk menuntut keadilan. Tetapi bagaimana jika pengacaranya bukan manusia, tetapi sebuah perangkat lunak yang dapat berpikir?
Saturday, August 24, 2019
Kisah Asal Kita: Dari Bintang ke Bahasa
Thursday, August 22, 2019
Visi Dunia Abad ke-21: Dari Homo Sapiens Menuju Homo Deus
Algoritma Kesehatan: Masa Depan Pengobatan yang Dipersonalisasi dan Prediktif
REVOLUSI TEKNOLOGI: Dokter AI & Swa-Kemudi
Revolusi Teknologi dan Ancaman Kelas Ekonomi yang Tergusur
Terorisme: Strategi Ketakutan dalam Teater Politik Global
Para teroris memahami bahwa dalam dunia yang terhubung secara instan melalui media dan internet, narasi lebih berbahaya daripada peluru. Mereka menciptakan panggung kekerasan yang spektakuler dan simbolik—bukan untuk menghancurkan secara material, tetapi untuk meracuni imajinasi massa. Ledakan di pasar, serangan di tempat ibadah, atau penembakan di ruang publik adalah bentuk-bentuk "teater kekerasan" yang tidak hanya menghancurkan fisik, tapi terutama merusak rasa aman masyarakat.
Sains dan Agama: Dari Konflik Kosmologis Menuju Dialog Kritis
Liberalisme: Setelah Itu Apa?
Sebelum Tirai Diturunkan: Masa Depan Setelah Kemenangan Liberal
KOSMOS
UANG, NILAI, & KEPERCAYAAN
Kesejahteraan bisa berubah menjadi kekuasaan ketika seorang eksekutif perusahaan menggunakan penghasilannya untuk memengaruhi legislator — atau untuk mendanai kampanye politik demi mengatur ulang regulasi yang menguntungkan dirinya.
Bahkan keselamatan bisa dijual dalam bentuk citra suci, seperti yang terjadi di Eropa abad ke-16 ketika umat Katolik membeli indulgensi demi menebus dosa-dosa mereka, dan gereja memonetisasi ketakutan akan neraka sebagai sumber pemasukan institusional.
Kebaikan dan Kejahatan
Gagasan tentang "Kejahatan" datang dari agama Dualistik. Mereka
percaya bahwa keberadaan dua kekuatan yang bertentangan: kebaikan dan
kejahatan. Dualisme mempercayai bahwa kejahatan adalah kekuatan mandiri,
tidak diciptakan oleh Tuhan yang baik, ataupun tunduk kepada-Nya. Bahwa
seluruh alam semesta adalah ajang pertempuran antara kedua kekuatan itu,
bahwa segala sesuatu yang terjadi di dunia adalah bagian pergulatan
keduanya.Ketika muncul pertanyaan mendasar tentang eksistensi, "Mengapa ada kejahatan di dunia"?, "Mengapa ada penderitaan"?, "Mengapa hal-hal buruk terjadi kepada orang baik"? Para pengikut agama Monoteis sulit menjelaskan bagaimana Tuhan yang Maha Tahu, Maha kuasa dan Maha Baik membiarkan sedemikian banyak penderitaan di dunia. Jawaban pendek kemudian datang dari agama Dualisme bahwa itulah cara Tuhan memungkinkan adanya Kehendak Bebas Manusia. Bila tidak ada kejahatan, manusia tidak bisa memilih antara Kebaikan dan Kejahatan, sehingga tidak ada kehendak bebas.
Kemerdekaan, Hak, dan Kesetaraan: Antara Imajinasi dan Realitas Evolusioner
Siapakah Kita? Refleksi tentang Identitas Manusia di Dunia Multi-Spesies
Evolusi Manusia: Dari Kera Afrika ke Penguasa Planet
Kisah Kosmos dan Kemanusiaan: Dari Dentuman Besar hingga Revolusi Sains
Ledakan besar ini bukanlah ledakan dalam ruang kosong, melainkan ekspansi ruang itu sendiri. Dalam sepersekian detik pertama, terjadi pelepasan energi yang luar biasa, yang kemudian memadat menjadi partikel-partikel subatom seperti quark dan elektron. Ketika suhu alam semesta mendingin, partikel-partikel ini bergabung membentuk proton dan neutron, dan akhirnya membentuk atom pertama, terutama hidrogen dan helium.
Humanisme Liberal: Mitos Individu dan Tantangan Ilmu Pengetahuan
Makna Kehidupan: Antara Sensasi, Kognisi, dan Delusi
Sebagian ilmuwan, khususnya dalam bidang biologi evolusioner dan neurosains, memandang kebahagiaan secara reduksionis sebagai hasil dari sensasi jasmani yang menyenangkan—produk dari sistem biokimia tubuh manusia. Dalam pandangan ini, kebahagiaan tak lain adalah luapan neurotransmiter seperti dopamin, serotonin, dan oksitosin, yang dilepaskan ketika seseorang mengalami kenikmatan. Karena sistem biokimia kita memiliki batasan volume dan durasi dalam menghasilkan sensasi-sensasi ini, maka satu-satunya cara untuk mempertahankan tingkat kebahagiaan tinggi dalam jangka panjang—jika mengikuti logika ini—adalah dengan merekayasa sistem biokimia itu sendiri, misalnya melalui farmakologi atau intervensi neuroteknologis. Human Brain Project dan Masa Depan Akal Budi Buatan
Menghidupkan Kembali yang Telah Punah: Dari Mamut hingga Neanderthal
Salah satu proyek terobosan berasal dari kolaborasi ilmuwan Rusia, Jepang, dan Korea Selatan, yang telah berhasil memetakan genom mamut (Mammuthus primigenius) yang ditemukan dalam kondisi beku di lapisan permafrost Siberia. Dengan menggunakan teknik rekonstruksi DNA purba, mereka berencana mengganti inti DNA dalam sel telur gajah Asia (Elephas maximus) dengan genom mamut yang telah disusun ulang. Embrio tersebut kemudian akan ditanamkan ke dalam rahim induk gajah sebagai ibu pengganti. Jika berhasil, seekor mamut dapat “dilahirkan kembali” setelah punah sekitar 4.000 tahun lalu. Proyek serupa juga sedang dikembangkan oleh tim dari Harvard, dipimpin oleh genetikus George Church, dengan pendekatan alternatif menggunakan rekayasa gen CRISPR untuk menyisipkan gen mamut ke dalam genom gajah.
Menakar Kebahagiaan: Antara Realitas Objektif dan Harapan Subjektif
Apa sebenarnya sumber kebahagiaan manusia? Apakah berasal dari kondisi material seperti kesehatan, makanan, dan kekayaan? Atau justru dari hal-hal yang lebih abstrak seperti hubungan sosial, makna hidup, atau spiritualitas?
Dalam beberapa dekade terakhir, bidang psikologi positif—dipelopori oleh tokoh-tokoh seperti Martin Seligman dan Daniel Kahneman—telah berupaya mengkaji kebahagiaan secara ilmiah. Peneliti tidak lagi puas hanya dengan filosofi kebahagiaan, tetapi mulai mengukur dan mengkuantifikasikannya secara sistematis. Mereka menggunakan konsep subjective well-being (SWB) atau "kesejahteraan subjektif" sebagai ukuran utama: perasaan puas terhadap hidup secara umum dan pengalaman emosional positif dalam keseharian. Biasanya, kesejahteraan subjektif diukur melalui kuesioner yang menilai sejauh mana seseorang setuju dengan pernyataan seperti: “Saya puas dengan hidup saya,” “Saya merasa hidup ini berarti,” dan “Saya mengalami lebih banyak emosi positif dibanding negatif.” Instrumen yang paling banyak digunakan dalam pengukuran ini antara lain Satisfaction With Life Scale (SWLS) dan Positive and Negative Affect Schedule (PANAS) (Pavot & Diener, 2008).
Kebahagiaan: Perspektif Biologis dan Realitas Kimia Otak
Kebahagiaan yang selama ini dianggap sebagai hasil pencapaian hidup, keharmonisan sosial, atau pengalaman spiritual ternyata memiliki akar yang jauh lebih dalam di dalam tubuh manusia. Temuan terbaru dalam biologi evolusioner dan neurosains menunjukkan bahwa perasaan bahagia, seperti semua kondisi mental lainnya, pada dasarnya adalah hasil dari proses biokimia kompleks yang berlangsung di dalam otak. Sistem saraf manusia, yang terbentuk melalui seleksi alam selama jutaan tahun, bekerja dengan cara melepaskan zat-zat kimia seperti dopamin, serotonin, oksitosin, dan endorfin untuk menciptakan pengalaman emosional yang kita sebut sebagai “kebahagiaan”.Kapitalisme-Konsumerisme: Etika Baru yang Menjanjikan Surga Duniawi
KAPITALISME & BENCANA KEMANUSIAN
Neraka kapitalisme bermula ketika orang Eropa menalukkan Amerika.
Mereka membuka tambang emas dan perak serta mendirikan perkebunan tebu,
tembakau dan kapas. Tambang dan perkebunan ini menjadi andalan produksi
dan ekspor Amerika. Terutama perkebunan tebu.Perkebunan tebu ini bisnis padat karya. Hanya sedikit orang yang mau bekerja lama di kebun-kebun tebu tempat malaria berkecamuk. Buruh kontrak akan menghasilkan barang yang tak terlalu mahal untuk dikonsumsi mahal. Para pemilik perkebunan dari Eropa, yang peka terhadap kekuatan pasar, dan serakah menginginkan laba dan pertumbuhan ekonomi, beralih ke budak.
Dari abad ke-16 sampai ke-17, sekitar 10 juta budak Afrika diimpor ke Amerika. Sekitar 70 persen bekerja di perkebunan tebu. Kondisi-kondisi perburuhan sungguh sangat mengerikan. Kebanyakan budak menjalani hidup yang singkat dan sengsara, dan jutaan lainnya mati dalam perang yang digelar untuk menangkap budak atau dalam perjalanan panjang dari pedalaman Afrika ke pesisir Amerika. Semua itu agar orang Eropa bisa menikmati teh manis dan permen - dan para cukong gula bisa menikmati laba besar.
Revolusi Industri: Dari Uap ke Nuklir, dari Kapas ke Cloud
Revolusi Industri, yang dimulai pada akhir abad ke-18 di Britania Raya, tidak hanya mengubah cara manusia bekerja, tetapi juga mendefinisikan ulang hubungan kita dengan energi. Titik awalnya bukan di istana atau universitas, tetapi di kedalaman tambang batu bara—tempat mesin uap pertama kali digunakan untuk memompa air dari terowongan yang banjir. Bunyi mesin uap bukan sekadar gema mekanis, tetapi proklamasi zaman baru: zaman mesin.
Kapitalisme: Kepercayaan, Pertumbuhan, dan Bayang-Bayang Krisis
Eropa dan Tatanan Global: Dari Pinggiran Peradaban ke Hegemoni Dunia
Algoritma, Genetika, dan Tubuh: Kisah Angelina Jolie dan Medis Masa Depan
Dataisme, Kebebasan Informasi, dan Arsitektur Dunia Masa Depan
Wednesday, August 21, 2019
Makna, Eksistensi, dan Perpaduan Manusia dengan Aliran Data
Demokrasi dalam Bayang-Bayang Algoritma: Menuju Senjakala Politik Manusiawi
Kapitalisme vs Komunisme: Pertarungan Dua Sistem Pemrosesan Data
Tekno-Humanisme: Evolusi Sadar Menuju Homo Deus
Tekno-humanisme bermula dari keyakinan dasar humanisme klasik: bahwa manusia adalah pusat dari semesta makna. Namun, ia melangkah lebih jauh dengan menegaskan bahwa Homo sapiens sebagaimana kita kenal sudah mencapai batas relevansi biologisnya. Untuk bertahan hidup dan memimpin dalam ekosistem kognitif baru yang didominasi oleh kecerdasan buatan, manusia harus "meningkatkan dirinya" melalui teknologi




































