Kemarin tunangan saya menanyakan hal ini. Kenapa manusia ada? Jawaban 
saya saat itu adalah karena Seleksi alam memaksa leluhur untuk 
beradaptasi atau mati.
Individu yang mengalami mutasi yang menguntungkan pada leluhur manusia berhasil selamat dan berkembang biak. Sesederhana itu.
Namun
 setelah cukup lama berpikir, ternyata keberadaan manusia di Bumi 
sekarang tidak semata karena evolusi. Bila ditarik garis ke belakang, ke
 masa lalu, maka ada serentetan peristiwa luar biasa yang menandai 
kehadiran kita di Bumi. Mari kita telusuri ke masa lalu, apa saja yang 
menyebabkan mengapa manusia ada.
What?
 Tapi itu benar. Kita ada karena dunia ini kacau. Fenomena ini 
dijelaskan oleh teori Chaos yang terkenal dengan istilah Butterfly 
Effectnya. Pada dasarnya teori Chaos mengatakan, sedikit saja gangguan 
pada sebuah sistem chaos, maka akan terjadi perubahan perilaku yang 
drastis. Ambil contoh begini, bayangkan kalau hidung Cleopatra sedikit 
saja lebih pesek atau sepatu kuda raja Richard III kurang satu, kerajaan
 dapat runtuh, dan dunia akan sangat berbeda dari sekarang. Inilah efek 
kupu-kupu, sesuatu yang sepele, ternyata bisa berakibat besar. Para 
ilmuan mengamatinya pada sistem cuaca. Sedikit saja suhu di naikkan, 
atau kelembaban udara turun satu angka pada posisi desimal, maka cuaca 
menjadi berubah drastis. Analoginya seperti meletakkan satu demi satu 
bulu di atas jembatan. Suatu saat, entah itu kapan, kamu cukup 
meletakkan satu bulu, dan tiba-tiba jembatan menjadi runtuh karena 
bebannya terlampaui. Karenanya, kita ada sekarang, dipengaruhi oleh 
begitu banyak kekacauan di masa lalu, berbagai peristiwa kecil yang 
terlihat sepele namun berdampak luas bagi hidup kita.
Dari
 tak terhitung kekacauan yang terjadi di dalam sejarah, tentunya ada 
peristiwa yang sangat kacau dan peristiwa yang tidak terlalu kacau. 
Sebagai contoh, suhu di malam orang tua saya ML menentukan keberadaan 
saya. Jika sedikit saja lebih dingin, saya tidak akan ada. Tapi tetap 
ada manusia toh? Walaupun bukan saya, tapi ia tetap mirip orang tua 
saya, dan mungkin mirip saya. Dia tidak akan mirip dengan, katakanlah 
Zebra. Tentunya ada sebuah saat dimana kekacauan lebih berpotensi 
menghasilkan kita daripada kekacauan jenis lainnya. Jadi, mari kita 
tanyakan kembali, mengapa manusia ada?
Karena Ada Danau Toba
Anda mungkin sudah membaca tulisan kami tentang asal usul Danau Toba.
 Disana kita sudah jelaskan peran letusan Toba terhadap evolusi manusia.
 Danau Toba dulunya adalah supervolcano. Ia meletus sekitar 85 ribu 
tahun lalu dan mempengaruhi Asia dan Afrika. Saat itu leluhur manusia 
kita hidup kurang lebih stabil. Tapi dengan adanya letusan Toba, mereka 
dipaksa untuk beradaptasi, atau mati. Kita diambang kepunahan waktu itu.
 Seandainya para leluhur tidak mampu beradaptasi, kita tidak akan ada di
 sini.
Saat itu daerah subur merupakan
 harta karun bagi leluhur. Para leluhur berkompetisi dengan sesama 
mereka maupun dengan primata lainnya. Inovasi seperti alat batu dan alat
 tulang merupakan hal yang berharga. Alat membantu kita mendapatkan 
makanan jenis baru. Bayangkan sebuah kayu panjang yang dapat menjatuhkan
 mangga atau cangkul untuk menggali umbi-umbian.
Dengan
 banyaknya tekanan seleksi yang menggoyang evolusi kita, perlahan 
leluhur mulai berubah. Ucapan mereka, misalnya, dulu hanya sederhana, 
mungkin hanya ah ih uh. Lama kelamaan menjadi kompleks, dan membentuk 
bahasa kita. Dengan bahasa, gagasan-gagasan dapat lebih luas, cakrawala 
lebih lebar dan lebih sedikit kesalahpahaman.  Mutasi pada gen pembentuk
 otak mengakibatkan beberapa leluhur mampu melakukan vokalisasi yang 
lebih kompleks. Keturunannya mampu berbicara dengan kosakata lebih 
banyak dan fleksibel dan meledakkan kendala komunikasi interpersonal. 
Bahasa telah muncul.
Tikus memiliki gen yang mempengaruhi
ucapan dan bahasa manusia, sebuah
petunjuk kalau leluhur kita telah
memiliki gen ini semenjak zaman
dinosaurus
Tapi saat ini manusia
 sudah ada. Karenanya, mengapa manusia ada belum terjawab. Terjadinya 
letusan Toba mungkin menjawab pertanyaan, mengapa manusia memiliki 
teknologi, mengapa kita tidak seperti manusia purba, tapi tidak banyak 
perbedaan antara manusia sekarang dengan 70 ribu tahun lalu. Kita masih 
satu spesies, sama-sama Homo sapiens. Jadi, mengapa manusia ada?
Karena Pohon sedikit
Sebelum
 sekitar 20 juta tahun lalu, Afrika Timur dipenuhi hutan rimba tropis 
mirip Amazon. Leluhur kita berlompatan di pepohonan, menikmati lebatnya 
pepohonan. Kemudian Bumi bergerak, magma di bagian bawah Ethiopia Utara 
menggeser perlahan. Dalam 15 juta tahun kemudian, dua pegunungan raksasa
 terbentuk dari utara ke selatan, masing-masing dengan tinggi 2 
kilometer dari utara ke selatan. Dari Timur, angin yang datang dari 
Samudera Hindia ditolak balik oleh pegunungan ini. Dari Barat, angin 
yang datang dari Samudera Atlantik dan Kongo di tolak balik, juga oleh 
pegunungan ini.  Akibatnya, curah hujan menurun. Hutan rimba perlahan 
berubah menjadi padang rumput yang luas.
Bagi
 leluhur kita, tinggal di pohon tidak lagi nyaman. Pohon sedikit dan 
populasi mereka bertambah. Berdesakan di pohon tidaklah baik. Kadang ada
 yang jatuh dan tewas. Ada banyak jalan sebenarnya, tapi kebetulan, 
sebuah mutasi memungkinkan leluhur untuk dapat berjalan, bukannya 
berayun di pepohonan. Kemampuan berjalan memberi banyak kemudahan. Dan 
tibalah saat itu, 6 juta tahun lalu, sebuah spesies primata belajar 
berdiri dan berjalan dengan dua kaki.
Lingkungan
 yang berubah cepat berarti evolusi primata ini tidak berhenti sampai 
disini. Sekitar 2.5 juta tahun lalu, evolusi mengambil dua jalan. 
Pertama menuju otak yang lebih besar agar dapat mencari cara lebih baik 
untuk beradaptasi, kedua dengan mengembangkan rahang yang lebih besar 
untuk memakan biji dan umbi yang keras. Strategi pertama memiliki 
kekuatan terbesar. Manusia dengan rahang besar punah, sementara manusia 
dengan otak besar, Homo habilis, bertahan. Dialah leluhur semua manusia 
di Bumi sekarang.
Saat ini jawaban 
kita pada pertanyaan: Mengapa manusia ada, adalah karena pepohonan 
sedikit. Leluhur kita hidup di pohon, tanpa pohon mereka harus 
beradaptasi, atau mati. Lalu mengapa leluhur yang hidup di pohon ini 
ada? Mengapa primata ada?
Karena Dinosaurus Punah
Meteor
 raksasa yang pernah kami bahas dalam dampak tumbukan meteor, yang kita 
simulasikan jatuh di Bandung dan menghabisi umat manusia, jatuh sekitar 
100 juta tahun sekali. Tapi justru keberadaan kita mungkin disebabkan 
peristiwa yang sama, 65 juta tahun lalu.
Saat
 itu, sebuah asteroid berdiameter 10 kilometer menghantam semenanjung 
Yucatan di Meksiko masa kini. Karbon dan gas kaya belerang dari lapisan 
batuan yang terhantam mencuat ke angkasa yang terbakar, langit 
menghitam, Bumi mendingin dan hujan asam mengguyur. Dalam beberapa 
bulan, seluruh spesies dinosaurus punah. Begitu juga beberapa spesies 
reptil di lautan dan udara, amonita, sebagian besar burung dan tanaman 
darat.
Separuh spesies mamalia ikut 
punah. Yang bertahan hidup adalah mereka yang paling kecil dan lincah, 
berlarian bersembunyi di balik batuan dan reruntuhan. Mereka pemakan 
bangkai dan justru senang melihat punahnya dinosaurus. Di satu sisi 
mereka tidak memiliki predator, di sisi lain, bangkai dinosaurus 
berserakan di mana-mana. Sebuah pesta besar bagi mamalia kecil. Dalam 
waktu singkat, mamalia berkembang biak, meluas di sekitar ekosistem air 
tawar.
Merekalah para pewaris bumi. 
Mamalia menggantikan kekuasaan dinosaurus di darat dan kemudian di laut.
 Kita belum menguasai udara. Burung lebih cepat ke sana, sementara 
kelelawar tidak terlalu mampu.
10 juta tahun setelah kepunahan dinosaurus,
 mamalia menjalari segala jenis niche di darat, dengan berbagai jenis 
adaptasinya, salah satunya di pepohonan, seperti leluhur kita. Tapi, 
kenapa dinosaurus, mamalia dan semua hewan yang disebutkan di atas ada?
Karena Pemanasan Global
800
 juta tahun lalu, seluruh daratan di Bumi tersatukan dalam superbenua 
Rodinia. Super benua ini mulai retak, rusak di setiap pijakannya, akibat
 aktivitas magma. Dari retakan-retakan tersebut melepaskan gas yang 
mempengaruhi cuaca sehingga udara lebih dinamis dari sebelumnya. 
Samudera dipenuhi nutrisi, sama halnya dengan suburnya daerah sekitar 
gunung berapi sekarang. Populasi Cyanobacteria meledak. Karena 
cyanobacteria adalah bakteri fotosintesis,
 maka ini berarti terjadi ledakan oksigen di mana-mana. Sampah 
fotosintesis ini menjalari atmosfer Bumi. Ya, oksigen adalah sampah. Ia 
hasil buangan dari proses fotosintesis tumbuhan.
Fotosintesis
 membutuhkan karbon dioksida. Akibatnya, karbon dioksida disedot dari 
Bumi oleh para cyanobacteria. Bumi pun mengalami pendinginan global. 
Sebuah periode yang disebut ilmuan “snowball earth”. Mahluk-mahluk ber 
sel satu menggigil kedinginan dan mati, beberapa ber evolusi, 
memunculkan tipe sel baru yang lebih kompleks.
Mereka
 adalah ganggang hijau dan lumut kerak. Perlahan mereka berusaha hidup 
di daratan. Keseimbangan tercapai saat banyak cyanobacteria sendiri 
mati. Karbon dioksida kembali bertambah. Mulailah pemanasan global.
635
 juta tahun lalu, pemanasan global membuat Bumi yang tertutup salju 
mulai mencair. Es menarik diri dari khatulistiwa menuju ke kutub. 
Daratan terbuka dan para lumut kerak bergembira. Mereka menancapkan 
akarnya (hifa) di bebatuan. Pelapukan biologi, kimia dan fisika terjadi 
di daratan dan mengubah batuan menjadi tanah. Sisa pelapukan terbasuh 
dari daratan ke lautan, dan lautan ikut merasakan kegembiraan atas 
limpahan nutrisi.
Lumut kerak terus 
memangsa batuan dan aliran nutrisi ke lautan terus menjejalkan 
kenikmatan pada para bakteri fotosintesis. Oksigen pun melonjak kembali 
hingga pada persentase sekarang.
580 
juta tahun lalu, leluhur hewan pertama muncul, lalu leluhur tanaman 
berdaun. Mereka pada gilirannya kelak akan memiliki keturunan yang dapat
 berdiri di tepi pantai, menghirup segarnya udara yang dibawakan angin 
laut.
Pantai
 British Columbia memberi
petunjuk kalau sebagian besar
organisme lenyap dalam kepunahan
global sekitar 252 juta tahun lalu.
petunjuk kalau sebagian besar
organisme lenyap dalam kepunahan
global sekitar 252 juta tahun lalu.
Sekarang pertanyaannya adalah,
mengapa ada ganggang hijau dan
lumut kerak?
mengapa ada ganggang hijau dan
lumut kerak?
Karena Ada Benturan Dua Mikroba
Kehidupan
 di bumi didominasi dua jenis sel: prokariota (bakteri dan arkea) yang 
hanyalah sebuah tas kimiawi, dan eukariota, sel dengan berbagai 
perlengkapan tempur untuk hidup lebih baik (selaput internal, sistem 
rangka dan transportasi). Bakteri terbesar di dunia hanyalah kurang dari
 satu milimeter, tapi sel eukariota terbesar (telur) bisa mencapai 
hampir satu meter. Para bakteri hanya mampu paling bisa membuat untai 
sel-sel sejenis dirinya, tapi sel eukariota mampu bekerja sama membuat 
segalanya mulai dari otak, daun, tulang dan kayu.
2
 miliar tahun lalu, yang ada hanyalah bakteri dan arkea. Keduanya adalah
 prokariota. Lalu kejadian aneh terjadi. Seekor arkea yang sedikit 
berbeda dari leluhurnya berbenturan dengan seekor bakteri. Proses kimia 
membuat mereka berikatan dan tidak dapat lepas. Merekapun bersimbiosis, 
dan jadilah eukariota pertama. Sang Bakteri itu sendiri bertugas sebagai
 pembangkit energi sel. Ia ber evolusi menjadi mitokondria.
Istilah
 simbiosis di dalam sel tersebut adalah endosimbiosis. Kloroplas 
misalnya, dulu adalah bakteri fotosintesis yang hidup bebas. Ia ikut 
serta dalam parade sel jenis baru. Satu demi satu kelompok kerjasama ini
 terbentuk dan hidup bersama bentuk-bentuk sel tunggal di lautan. 
Bedanya, sel eukariota mampu bekerja sama dengan sel eukariota lain, 
membentuk apa yang kita sebut mahluk multiseluler.
Lalu, kenapa ada bakteri dan arkea?
Karena Bumi Disiram dengan Bom
Misi
 ke bulan memberikan kejutan bagi kita. Kawah-kawah raksasa di sana 
ternyata usianya sama. Usia mereka 3.9 miliar tahun. Apa artinya ini? 
Ini berarti 3.9 miliar tahun lalu terjadi sebuah pengeboman 
besar-besaran di Bulan. Sangat jelas kalau ini juga berarti hal yang 
sama terjadi di Bumi. Bumi lebih besar, hanya saja kawahnya habis 
terkikis proses dinamika planet ini.
Planet
 Gliese 581 e dengan massa
sekitar 1.9 kali bumi, planet paling
mendekati Bumi dalam massa yang
sudah ditemukan, berjarak 20.5 tahun
cahaya
sekitar 1.9 kali bumi, planet paling
mendekati Bumi dalam massa yang
sudah ditemukan, berjarak 20.5 tahun
cahaya
Tidak jelas mengapa 
terjadi peristiwa pengeboman saat itu. Ada yang menduga kalau terjadi 
resonansi gravitasi di empat planet raksasa: Yupiter, saturnus, uranus 
dan Neptunus. Posisi orbit mereka sedemikian rupa sehingga keseimbangan 
diantaranya terganggu sebentar. Akibatnya, asteroid-asteroid tak berdaya
 di sekitarnya terlontar ke tata surya dalam, termasuk Bumi.
Sangat
 mungkin kalau diantara bom-bom raksasa penghajar Bumi itu salah satunya
 atau beberapa adalah komet. Mereka terbentuk jauh lebih dalam di 
pinggiran tata surya dan karenanya membawa air beku di dalam perutnya. 
Air tersebut terbongkar saat mereka menghantam Bumi dan menjadi air 
pertama di Bumi.
Saat pengeboman 
berakhir, wajah Bumi benar-benar kacau. Berantakan dengan berbagai kawah
 berisi lahar di mana-mana. Seiring waktu, orbit stabil dan Bumi 
mendingin. Di dalam kawah-kawah saksi bisu tumbukan kejam itu, mulailah 
air dari komet mencair dan menjadi oasis-oasis tempat lahirnya kehidupan
 pertama di planet Bumi.
Bila sebelum 
pengeboman terjadi ternyata sudah ada kehidupan di Bumi, maka pengeboman
 tersebut mungkin menyapu kehidupan, menyisakan bakteri-bakteri yang 
paling tahan terhadap panas. Kita melihat bukti ini dari bulan. Lalu 
kenapa bulan ada?
Karena Bumi Ditampar
4.5
 miliar tahun lalu, bumi hanyalah bayi planet yang rentan. Sementara di 
mana-mana berterbangan bebatuan raksasa yang tidak jelas arahnya. Satu 
di antaranya menampar bumi. Sang penampar berukuran lebih kecil. Saat ia
 menghantam Bumi, sebagian dirinya tertanam di planet ini, sebagian lagi
 terlontar balik ke luar angkasa. Inilah bulan, yang engkau lihat di 
langit malam.
Pasangan
 Bumi-Bulan tidak ada bandingnya di Tata Surya. Planet lain punya 
satelit yang jauh lebih kecil darinya. Tidak heran Yupiter sang raksasa 
punya puluhan satelit. Mereka umumnya berasal dari batu-batu kecil yang 
terjebak di titik gravitasi dan menumpuk, atau berasal dari batuan yang 
lewat terlalu dekat dengan planet hingga tertarik dan tak dapat lepas.
Keberadaan
 Bulan mencegah perubahan liar dalam pola pemanasan Matahari di 
permukaan Bumi. Akibatnya Bumi tidak mengalami ayunan iklim yang ganas. 
Bumi juga tidak mengalami perubahan suhu yang drastis dimana Bumi 
membeku sepenuhnya. Kondisi yang ideal untuk berkembangnya kehidupan.
Selanjutnya, kenapa ada Bumi, Bulan dan Matahari, dan planet-planet di Tata Surya?
Karena Ada Bintang yang Meledak
Alam
 semesta dipenuhi hidrogen, helium dan debu di mana-mana. 4.6 miliar 
tahun lalu, Salah satu pojok yang padat dengan adukan ini mendapatkan 
limpahan energi. Petunjuknya datang dari meteorit. Berbeda dengan batuan
 asli planet Bumi, meteorit nyaris tidak berubah semenjak ia diremas 
saat Tata Surya terbentuk. Meteorit tua ditemukan mengandung banyak 
besi-60, sebuah isotop radioaktif berat. Hanya ada sedikit sekali 
fenomena yang bisa menyebabkan isotop ini terbentuk di antariksa. Yang 
paling mungkin adalah supernova. Ledakan bintang raksasa. Ia ibarat 
goresan korek api untuk menyalakan sumbu bom evolusi di Tata Surya. Awan
 gas yang merupakan adukan hidrogen, helium dan debu kita terusik dan 
terkompres. Teori lain mengatakan kalau tidak lah perlu supernova. Bukti
 menunjukkan sambaran angin bintang raksasa yang cukup dekat dengan awan
 gas ini dapat memicu pembentukan Tata Surya. Bintang tersebut sendiri 
mungkin sudah berjalan dalam orbitnya entah kemana, menyisakan tungku 
bintang menyala di tengah awan gas yang baru di ganggunya. Dan 
terbentuklah matahari, bersama planet-planetnya.
Lalu mengapa bahan seperti hidrogen, helium dan debu itu ada? Dengan kata lain, mengapa materi ada?
Karena Tidak Segalanya Diciptakan Berpasangan
Bila
 segalanya berpasangan, maka tidak akan ada materi. Idealnya setiap 
partikel yang tercipta dalam Big Bang memiliki anti partikel. Saat 
keduanya bertemu, terjadi penghancuran satu sama lain, dan dua foton 
energi tinggi saja yang tersisa. Alam semesta seharusnya berisi lautan 
cahaya. Itu saja.
Memang
 ada sedikit kecenderungan ke arah satu sisi saat penghancuran diri 
partikel vs anti partikel. Tapi hal ini sangat tidak cukup menjelaskan 
kelimpahan materi di alam semesta sekarang. Entah mengapa tidak semua 
partikel memiliki anti partikel saat Big Bang, 13.75 miliar tahun lalu. 
Menurut para ahli fisika teoritis, tampaknya alam semesta kita kebetulan
 memiliki variabel yang sedikit memungkinkan materi. Ia cukup untuk 
membuat materi ada tapi tidak cukup untuk membuat seluruhnya materi 
(tanpa cahaya). Dalam tak terhingga alam semesta, ada yang seluruhnya 
lubang hitam, ada yang seluruhnya cahaya, ada sedikit yang mengandung 
materi dan cahaya. Salah satunya alam semesta kita.
Jadi, mengapa alam semesta seluas ini?
Karena Alam Semesta Berinflasi
Cukup
 0.000 000 000 000 001 detik mundur dari saat anihilasi materi – anti 
materi kita sebelumnya. Bila model semesta inflasi benar, maka saat ini 
alam semesta diselubungi medan inflasi yang mengendalikan ekspansi 
eksponensial alam semesta hanya dalam periode 10-32 detik. Ia merentangkan alam semesta kita menjadi datar dan seragam.
Pengembangan
 mendadak ini dipengaruhi efek kuantum. Gejolak kuantum membuat satu 
daerah sedikit lebih padat dari daerah lainnya. Hasilnya adalah 
bolongan-bolongan di alam semesta kita, yang disebut void. Seratus juta 
tahun cahaya ke segala arah kita, ada daerah kosong yang begitu besar, 
gelap, tanpa galaksi, tanpa bintang. Bila variasi ini sedikit saja lebih
 kecil, maka kita tidak akan ada.
Semua
 variasi ini tampaknya acak dan sebagian besar fisikawan percaya kalau 
fluktuasi kuantum sama sekali tidak memiliki sebab. Ia adalah sifat 
dasar alam semesta.
Pada akhirnya adalah pertanyaan mengapa alam semesta ada?
Tidak Ada Satu Orang pun yang Tahu
Ya.
 Ini tampaknya jawaban yang tidak diinginkan. Kita memang ingin tahu. 
Tapi sains tidak dapat menjawabnya. Sains cukup berbesar hati, dengan 
segala metode dan teknologi paling maju dan otak paling brilian di alam 
semesta, kita belum tahu mengapa alam semesta ada. Yang kita punya 
hanyalah setumpuk karya ilmiah fisika teoritis tanpa bukti eksperimental
 sama sekali. Memang kita berusaha, para ilmuan sibuk menguji model 
standar di LHC dan laboratorium-laboratorium. Mereka juga menatap ke 
antariksa dengan berbagai teleskop super tajam.
Beberapa
 dari kita tampak gatal untuk menjawab tanpa pengetahuan. Seorang teman 
mengatakan, karena Tuhan ada. ia menciptakan alam semesta. Hal ini saya 
katakan kurang pengetahuan karena well, memang tidak memerlukan 
pengetahuan untuk mengatakan hal tersebut. Ambil contoh petir. Jaman 
dahulu orang tidak tahu tentang petir, maka mereka mengatakan Tuhan 
sedang marah. Sekarang kita tahu kalau petir adalah peristiwa alam 
biasa.
Begitu pula fenomena Big Bang. 
Apa yang kita tahu adalah alam semesta mengembang ke segala arah. 
Karenanya bila dimundurkan ke masa lalu, ia akan berukuran sangat kecil.
 Sedemikian kecil hingga satu titik dimana hukum fisika yang kita 
ketahui runtuh. Suatu yang disebut skala Planck yang terdiri dari 
panjang minimum dan waktu minimum (panjang Planck dan waktu Planck)
Bagaimana
 alam semesta pada panjang lebih kecil dari panjang Planck? Bagaimana 
alam semesta sebelum waktu Planck? Inilah dimana pengetahuan kita 
kurang. Kita belum cukup pandai. Yang dibutuhkan adalah pengetahuan yang
 lebih banyak, bukannya menjawab tanpa pengetahuan.
Para
 ilmuan paling brilian berdebat tentang apa yang ada dalam skala Planck.
 Ada yang bilang kalau ruang, waktu, dan hukum fisika berada dalam 
singularitas dimana segalanya muncul dari ketiadaan. Ada juga yang 
bilang kalau alam semesta kembali mengembang dalam siklus kembang – 
kempis tiada akhir (osilasi).
Jika 
seandainya Tuhan menciptakan alam semesta, lalu siapa menciptakan Tuhan?
 Sejauh yang kita tahu, alam semesta bukan hanya ada satu. Ada tak 
terhingga alam semesta. Apakah Tuhan juga menciptakan tak terhingga 
banyaknya alam semesta tersebut? Ataukah Ia ada di salah satu alam 
semesta? Apakah ia mengikuti hukum fisika ataukah ia membuat hukum 
fisika? Lalu dengan hukum apa ia membuatnya? Dst dst
Seperti
 yang anda lihat. Solusi Tuhan adalah sebuah jalan buntu. Tidak ada lagi
 kegembiraan akan penemuan baru, dan tidak ada lagi semangat petualangan
 ilmiah. Ketiadaan ilmu, itulah yang dicerminkan dari solusi Tuhan.
Mungkin
 benar apa yang dikatakan Stephen Hawking, alam semesta ada karena 
adanya hukum dasar fisika seperti gravitasi. Setiap saat tercipta alam 
semesta dengan segala variasi yang mungkin ada, saling bertumpuk  satu 
di dalam yang lain. Sekarang dengan semangat inkuiri kita, kita bisa 
berjuang mencari alam semesta lain tersebut, dan bahkan mungkin membuat 
alam semesta kita sendiri di lab.
Profesor
 Filsafat Mark Tegmark berpendapat kalau jumlah alam semesta bukan hanya
 tak terhingga, tapi meliputi semua ruang matematik yang mungkin dalam 
keabadian tiada awal dan tiada akhir
Apakah
 sekarang anda masih bertanya dari mana hukum tersebut ada? Pelajarilah 
hukumnya sebelum bertanya ia datang dari mana. Ia adalah batas tertinggi
 logika kita, dan sekarang kita sedang mendakinya. Mungkin anda akan 
menyadari kalau hukum demikian tidak mungkin diciptakan. Sama tidak 
mungkinnnya dengan memasukkan gajah afrika kedalam telur ayam.
Referensi 
1. Terrence Deacon. 1997. The Symbolic Species: The Coevolution of Language and the Brain.
2. Jonathan Holmes and Mark Maslin. 2009. Stable Isotopes and Palaeoclimatology, Blackwell Publishing
2. Jonathan Holmes and Mark Maslin. 2009. Stable Isotopes and Palaeoclimatology, Blackwell Publishing
3. Francis A. Macdonald,Mark D. Schmitz,James L. Crowley, Charles F.  Roots, David S. Jones, Adam C. Maloof, Justin V. Strauss, Phoebe A.  Cohen, David T. Johnston, Daniel P. Schrag. 2010. Calibrating the  Cryogenian. Science vol 327, p1241
4. Hough, M., Shields, G.A., Strauss, H., Evins, L., Henderson, R.A. and  Mackenzie, S. (2006): A major sulphur isotope event at c. 510 Ma: a  possible anoxia-extinction-volcanism connection during the Early-Middle  Cambrian transition? Terra Nova 18, 257-263.
5. Lane, Nick. 2009. Life Ascending: The Ten Great Inventions of Evolution. WW Norton/Profile
6. K. Tsiganis, R. Gomes, A. Morbidelli  &  H. F. Levison. 2005.  Origin of the orbital architecture of the giant planets of the Solar  System. Nature vol 435 p. 459
7. Cockell C.S 2006. The origin and emergence of life under impact bombardment. Phil. Trans. R. Soc. B. 361, 1845–1856. 
8. N. Gorlova, Z. Balog, G. H. Rieke, J. Muzerolle, K. Y. L. Su, V. D.  Ivanov, and E. T. Young. Debris Disks in NGC 2547. The Astrophysical Journal vol 670 p 516
9. S. Tachibana and G. R. Huss. 2003. The Initial Abundance Of 60fe In The Solar System. The Astrophysical Journal vol 588 p L44
10. Stephen Battersby et al. An Unlikely Story. New Scientist, 25 September 2010, pp. 36 – 43
11. Rebecca Newberger Goldstein. 2010. 36 Arguments for the Existence of God: A Work of Fiction. Pantheon.
12. Stephen Hawking and Leonard Mlodinow. 2010. The Grand Design. Bantam
13. Space and Motion. 2010. Metaphysics of Evolution
14. Victor J. Stenger. 1997. Intelligent Design: Humans, Cockroaches, and the Laws of Physics 
15. European Southern Observatory – ESO (2009, April 21). Lightest Exoplanet Yet Discovered. ScienceDaily
16. Mike Ely. 2010. More Bushiness to Human Lines: A Million Year Old Exit from Africa.
17. Enard et al. A Humanized Version of Foxp2 Affects Cortico-Basal Ganglia Circuits in Mice. Cell, 2009;
18. Geological Society of America (2007, October 30). Volcanic Eruptions, Not Meteor, May Have Killed The Dinosaurs. ScienceDaily
19. National Science Foundation (2009, July 16). Classifying ‘Clicks’ In African Languages To Clear Up 100-year-old Mystery. ScienceDaily
20. Tyler  W. Beatty, J-P Zonneveld and Charles Henderson. Anomalously diverse  Early Triassic ichnofossil assemblages in northwest Pangea: A case for a  shallow-marine habitable zone. Geology, 2008; 36 (10): 771
21. University of Arizona (2007, July 13). Giant Outer Extrasolar Planets Are Rare, Survey Suggests. ScienceDaily.
22. NASA (2009, May 19). Astronauts Complete Hubble Repairs In Final Spacewalk. ScienceDaily.
23. Mark Tegmark. 2003. Parallel Universes, Scientific American May 2003 issue
Sumber: FaktaIlmiah.com 

No comments:
Post a Comment