Berikut adalah bagian keempat dari sebuah makalah panjang yang ditulis  seorang teman untuk bahan diskusi lintas disiplin dengan tema Tuhan dan  masa modern. Bagian ini membahas perdebatan sains dan teologi tentang  Tuhan
Dengan  melihat keteraturan di alam ini, para teolog mencoba membangun  argumentasi lain mengenai keberadaan Tuhan. Ketimbang menisbahkan Tuhan  pada gejala langka yang tak terjelaskan untuk sementara, mereka ikut  mengambil asumsi sains, yaitu alam semesta ini secara keseluruhan  teratur. Keteraturan alam semesta merupakan argumen  yang digunakan sains untuk melawan adanya Tuhan pengisi celah (Tuhan  yang menjawab do’a dan menurunan mukjizat). Walau begitu, argumen lawan  ini diambil sebagai argumen dasar dengan menarik kesimpulan kalau pasti  ada yang mengatur dan menciptakan alam ini, dan sang pengatur dan  pencipta itu Tuhan.
Argumen kosmologis  memiliki satu komponen menarik yang mirip sains, yaitu prediksi. Ia  memprediksi kalau alam semesta ini diciptakan. Walaupun prediksi ini  tidak dapat dibuktikan langsung, ia dapat dibuktikan tidak langsung.  Jika alam semesta diciptakan, maka ia memiliki awal.
Sementara  itu, sains kosmologi masih belum cukup berkembang untuk menjawab  pertanyaan apakah alam ini memiliki awal atau tidak. Teori yang cukup  kuat adalah teori keadaan tetap, yaitu alam selalu ada selamanya. Teori  ini, menariknya, sama dengan konsepsi Jainisme, sebuah agama turunan  dari Hindu, yang juga berasumsi demikian. Dan dengan ini, berarti  Jainisme juga agama yang unik karena tidak memiliki Tuhan pencipta,  walaupun ada Tuhan-Tuhan lain yang pada dasarnya adalah manusia  (leluhur) yang mencapai taraf kesempurnaan tertentu.
Selain  mengandung komponen sains, argumen kosmologis sendiri kental dengan  komponen skriptural. Tuhan menciptakan alam semesta, misalnya dalam  agama Abrahamaik yang menyebutkan kalau Tuhan menciptakan alam semesta  dalam tujuh hari (masa). Ia bukan berasal dari sebuah argumentasi asli  filsuf, tapi argumentasi atau bahkan mungkin asumsi dari para pendiri  agama Abrahamaik. Dan ini bukan juga unik Abrahamaik, secara umum keyakinan di dunia, mengatakan kalau alam semesta ini ada yang menciptakan.
Argumen kosmologis sendiri terbagi menjadi tiga tipe (Craig, 1980:282):
- Argumen Aquinas. Argumen ini didasarkan pada kemunduran tanpa akhir yang mustahil. Argumen ini bukan berasal dari Aquinas tetapi dari para pemikir Islam abad pertengahan, tapi pada gilirannya, itupun dapat dirunut hingga ke Plato.
 - Argumen kalm. Didasarkan pada kemustahilan kemunduran waktu tanpa akhir karena ketakhinggaan aktual itu mustahil. Argumen ini datang dari para pemikir islam dan merupakan modifikasi dari argumen pertama (Fakry, 1957).
 - Argumen Leibniz dan Clarke. Dibangun berdasarkan Prinsip Bernalar Cukup.
 - Ketiga argumen di atas dapat diringkas menjadi “Jika segalanya diciptakan, maka alam semesta diciptakan, pencipta alam semesta adalah Tuhan.” Begitu pula, argumen ini umumnya dibalas dengan bertanya “Siapa pencipta Tuhan?” (Hawking, 1988:174). Davis (1997) tidak setuju dengan keabsahan mempertanyakan “Siapa pencipta Tuhan?” Alasannya, Tuhan adalah mahluk perlu (O’Connor, 2008). Ia adalah mahluk yang jika ada, maka tidak dapat tidak ada. Jika ia tidak ada, maka ia tidak dapat ada (Reichenbach, bab 6). Ia perlu ada untuk menutup kemunduran tanpa akhir yang terus muncul dalam rantai sebab akibat. Jika tidak diputus di Tuhan, maka kita akan terus merujuk ke masa lalu tanpa akhir. Eksistensi Tuhan sebagai penghenti regresi bukan argumen logis (karena memang bisa ditanyakan siapa pencipta Tuhan) tetapi argumen metafisik. Metafisika bukan bagian yang dapat diterapkan logika di dalamnya (ingat bagaimana sains menghindari metafisika karena tidak dapat diuji, disalahkan, dan sebagainya). Scotus (1962:46) bahkan lebih bebas lagi. Ia mengizinkan urutan sebab akibat berjalan tanpa akhir. Regresi ke masa lalu selalu ada dan tidak perlu Tuhan menghentikan itu. Tetapi sesuatu pasti selalu mempunyai sebab dalam deretan tak terhingga ini. Jika kita ambil sepotong dari deretan ini sebagai sebuah akibat dan potongan ini adalah alam semesta kita, maka ia punya sebab, dan sebab itu adalah Tuhan. Pertanyaan “siapa pencipta Tuhan?” Itu boleh diajukan, tetapi dapat diabaikan. Seluruh sebab sebelum Tuhan, bahkan dapat dinyatakan sebagai Tuhan, karena Tuhan tak terbatas (Lihat Gambar 2).
 
Argumen keterbatasan waktu yang diajukan oleh para filsuf kal?m.  Termasuk argumen yang paling kuat. Suatu saat di masa lalu, menurut  mereka, waktu memiliki awal (Gambar 3(b)). Para ilmuan masa itu umumnya  cukup mengatasi masalah ini dengan menyebutkan kalau alam semesta ada  selamanya (Gambar 3(a)). Hume (1980, part 9) misalnya, berargumentasi  kalau karena kita menurunkan konsep sebab-akibat dari pengamatan kita  pada sesuatu dalam keseluruhan (komponen dari alam semesta), sementara  keseluruhan (alam semesta) tidak dapat kita amati (karena kita bagian  dari alam semesta), maka kita juga tidak dapat menerapkan konsep  sebab-akibat pada alam semesta. Alam semesta telah begitu adanya  selamanya, karena ia alam semesta.
Reichenbach  (1972: Bab 5) mengakui kalau asumsi bahwa alam semesta berperilaku  seperti isinya (yang punya sebab-akibat) berpotensi salah. Tetapi alam  semesta mungkin terhindar dari kesalahan ini jika kita melihat contoh  positif. Contoh negatif misalnya, jika batu bata kecil, maka temboknya  kecil. Ini contoh negatif karena belum tentu batu bata kecil tapi  seluruh batu bata (tembok)nya kecil juga. Contoh positif misalnya,  tembok sesungguhnya batu bata, karena penyusun tembok adalah batu bata.  Menurut Reichenbach (1972) alam semesta kita memiliki sifat seperti  contoh positif ini dan bisa menerapkan pernyataan “alam semesta memiliki  sebab karena komponen-komponennya memiliki sebab.” Kita dapat melihat  kalau argumen ini tidak langsung merujuk pada Tuhan, karena kita dapat  membayangkan sesuatu yang tidak dapat disebabkan agen, misalnya sesuatu  yang terjadi secara kebetulan (kayu-kayu  yang hanyut menyumbat sungai  dan kebetulan membentuk jembatan).
Versi  lain dari gagasan Hume, yang didukung oleh kosmologi modern, adalah  tipe alam semesta siklis (Gambar 3(d)). Versi ini menyatakan kalau,  walaupun alam semesta berawal dari Big Bang, ia bukanlah alam semesta  pertama (Musser, 2004). Versi ini disebut juga versi osilasi, yang  menyatakan alam semesta kita merupakan alam semesta terbaru. Sebelum Big  Bang, ada alam semesta lain, yang runtuh mengerut (kebalikan dari  pengembangan) ke satu titik. Alam semesta adalah siklus dari mengembang  mengerut dst. Osilasi ini tampaknya memiliki awal tetapi gagasan adanya  awal (dan akhir) ini datang dari asumsi kalau hukum fisika yang berlaku  di setiap siklus alam semesta adalah sama (Silk, 2001:380). Bagaimana  jika setiap terjadi big bang, hukum fisika yang ada dikocok ulang oleh  suatu mekanisme, jika seperti ini, setiap alam semesta lahir, ia adalah  generasi yang sungguh-sungguh baru, bukan sisa dari alam semesta  sebelumnya. Pilihan pertama tampaknya lebih didukung, karena alam  semesta siklis digunakan untuk menjelaskan kelimpahan materi gelap di alam semesta. Materi gelap datang dari alam semesta sebelumnya, dan berarti alam semesta sekarang tidak benar-benar baru.
Pendekatan  yang lebih modern, dengan adanya pengetahuan baru mengenai Big Bang,  diberikan oleh Hawking. Hawking (1988:116) mendekati masalah ini dengan  menyatakan kalau waktu tidaklah berjalan linier, tetapi asimptotik.  Semakin mendekati awal waktu, waktu semakin panjang, sedemikian  panjangnya bahkan tidak mungkin ada awal waktu (Gambar 3(c)). Akibatnya,  awal waktu adalah sesuatu yang ada di ketakhinggaan, sesuatu yang  imajiner, dan berarti alam semesta tidak memiliki awal. Jika alam  semesta tidak memiliki awal, maka tidak ada pencipta.
Oppy  (2002) memberikan contoh paradoks Tristam Shandy. Shandy, seorang tokoh  imajiner, butuh waktu satu tahun untuk menulis diari tentang satu hari  dalam hidupnya. Jika ia hidup selama setahun, maka ia butuh waktu  menulis diarinya untuk tahun itu selama 365 tahun. Pada akhirnya, ia  tidak akan pernah selesai menulis diarinya, karena waktu menulis diari  lebih lama dari waktu menjalani pengalaman. Lebih parah lagi, bebannya  untuk menulis diari akan semakin besar seiring bertambahnya usia. Bahkan  jika Shandy adalah mahluk abadi, bebannya untuk menulis diari akan  semakin besar tak terhingga di atas tak hingga. Jika awal waktu  dipandang sebagai akhir dari diari tersebut, maka awal waktu ini adalah  imajiner. Seperti inilah awal waktu yang asimtotik tersebut.
Lebih  jauh, Silk (2001:63) menekankan empirisme dalam kasus Big Bang. Apa  yang kita tahu dari Big Bang adalah alam semesta berada dalam ukuran  sangat kecil. Teis terlalu berlebihan dengan menyebutkan alam semesta  mewujud ketika Big Bang. Sains dengan kemampuan sebelum sekarang tidak  mampu secara teoritis maupun empiris mengetahui apa yang terjadi dalam  jarak sangat sempit ini (jarak Planck). Silk menekankan kalau dalam  jarak demikian kecil, ada tiga kemungkinan yang ada:
- Alam semesta terus menjadi kecil dan lenyap pada waktu mundur, berarti alam semesta berawal. Ini yang disukai oleh Teis karena bisa ditarik kalau ada sang Pencipta.
 - Alam semesta mengembang lagi pada waktu mundur, berarti big bang hasil pengerutan alam semesta sebelumnya yang mencapai batas yang mungkin untuk mengerut. Ini yang disukai ateis, karena berarti alam semesta tak punya awal, hanya melalui siklus.
 - Alam semesta dalam kemungkinan lain yang tak terbayangkan. Mungkin ia selamanya seperti itu dan pengembangan alam semesta adalah anomali. Mungkin ada yang salah dengan teori kosmologi modern. Mungkin alam semesta masuk ke level ruang-waktu berbeda, dan mungkin. Ada banyak sekali cara aneh membayangkan alam semesta di masa ini, sejauh kemampuan imajinasi kita memunculkan fantasi.
 
Dengan  adanya argumen dari teisme (Tuhan mencipta alam semesta), materialisme  (mungkin alam semesta abadi), dan humanisme (kita tidak tahu karena kita  terbatas sebagai manusia), Swinburne (1996:Bab 3) melakukan analisis  kemungkinan dan mengajukan kalau argumen yang paling sederhana adalah  yang paling pantas diterima. Argumen adanya Tuhan adalah yang paling  sederhana, cukup begitu saja, Tuhan ada, selesai masalah. Tetapi, dalam  petualangan intelektual manusia memahami alam semesta, muncul konsep  yang sedemikian sederhana, lebih sederhana katanya adari Tuhan ada.  Konsep ini adalah multijagad. Sebelum beranjak ke penjelasan multijagad,  silakan rujuk Tabel 2 untuk rangkuman evolusi argumentasi kosmologis.
| Argumentasi Agama | Argumentasi Sains | 
| Segala yang ada di alam pasti punya sebab, jadi alam semesta punya sebab, yaitu Tuhan (Plato, kal?m, Al Ghazali, Aquinas) | Siapa yang menciptakan Tuhan? | 
| Tuhan perlu untuk menghentikan regresi (Aquinas), regresi tidak masalah tapi segala sebab sebelum alam semesta adalah Tuhan (Scotus) | Alam semesta tidak punya awal. Apa bukti alam semesta punya awal? | 
| Tidak ada yang tidak berawal di dunia, jadi alam semesta juga punya awal | Tidak selalu ciri komponen (isi alam semesta) mencirikan keseluruhan (alam semesta) | 
| Alam semesta bersifat sama dengan penyusunnya (Reichenbach) | Atas dasar apa anda memilih kemungkinan itu dari kemungkinan lainnya? | 
| Alam semesta diciptakan (Big Bang) | Itu hanya satu kemungkinan dari tafsir Big Bang (Silk). Apa dasar anda memilih kemungkinan itu? | 
| Keberadaan materi gelap tidak dapat dijelaskan sains (God of the Gap) | Berarti alam semesta bersifat siklis (Musser) | 
| Alam semesta siklis pasti punya awal | Teori siklis tidak sekuat Big Bang. Materi gelap suatu saat bisa dijelaskan dalam kerangka Big Bang. Kembali, apa alasan anda memilih kemungkinan ini dibandingkan kemungkinan lain? | 
| Keberadaan Tuhan adalah penjelasan yang paling sederhana (Swinburne) | Ada yang lebih sederhana lagi, yaitu multijagad (Einstein, Everett, Tegmark) | 
Tabel 2: Rangkuman Evolusi Argumentasi Kosmologis
Referensi:
Craig, William Lane, 1980, The Cosmological Argument from Plato to Leibniz, London: The Macmillan Press.
Davis, Stephen, 1997, God, Reason & Theistic Proofs, Grand Rapids: Eerdmans.
Fakry, Majid, 1957, “The Classical Islamic Arguments for the Existence of God”, The Muslim World: 133–145
Hawking, S.W. 1988, A Brief History of Time, New York: Bantam Books
Hume, David, 1980, Dialogues Concerning Natural Religion, Indianapolis: Hackett
Musser, George, 2004, “Four Keys to Cosmology,” Scientific American, February: 43.
O’Connor, Timothy, 2008, Theism and Ultimate Explanation: the Necessary Shape of Contingency, London: Wiley-Blackwell
Oppy, Graham, 2002, “The Tristram Shandy Paradox,” Philosophia Christi 4, no. 2: 335–349
Reichenbach, Bruce R., 1972, The Cosmological Argument: A Reassessment, Springfield: Charles Thomas.
Scotus, John Duns, 1962, Philosophical Writings, Indianapolis: Bobbs-Merrill Co
Silk, Joseph, 2001, The Big Bang, San Francisco: W.H. Freeman
Swinburne, Richard, 1996, Is There a God? Oxford: Oxford University Press
Tegmark, M. 1997. On the Dimensionality of Spacetime. Class. Quantum Grav. 14, L69-L75
Sumber: FaktaIlmiah.com
No comments:
Post a Comment