Berikut  adalah bagian pertama dari sebuah makalah panjang yang ditulis seorang  teman untuk bahan diskusi lintas disiplin dengan tema Tuhan dan masa  modern. Bagian ini membahas sejarah konsepsi Tuhan dalam hubungannya  dengan alam.
Manusia secara  naluriah percaya adanya Tuhan sebagai zat maha kuasa yang mengatur alam  semesta (Wilson, 1978). Petir misalnya, disebabkan oleh amarah Tuhan  tertentu. Terjadinya tsunami dimaknai sebagai tindakan yang dilakukan  Tuhan untuk memperingatkan umat tertentu agar tidak berbuat dosa. Bayi  yang lahir dengan kondisi cacat dipandang sebagai hukuman Tuhan pada  orang tuanya. Asosiasi antara gejala alam dan Tuhan sangat erat dari  dahulu.
Asal usul keyakinan pada Tuhan tampaknya dari usaha menjelaskan pengalaman manusia tentang hal-hal baru dan peristiwa-peristiwa yang diluar kebiasaan alam (bencana alam misalnya). Tuhan ada sebagai pengisi celah atas hal-hal tersisih dan abnormal di alam. Jevons (1896:23) menyebutkan kalau Tuhan diawali dengan usaha menjelaskan ketidakteraturan dan kejadian yang bersifat kebetulan.
Kemunculan Tuhan untuk  menjelaskan sebab-sebab fenomena fisikal ini memang tidak bersifat  sakral. Max Muller (1891) berpendapat kalau tidak ada beda yang besar  antara Agni, sang dewa api, dengan konsep eter yang dipakai fisikawan  masanya untuk menjelaskan fenomena optika. Sakralitas baru datang ketika  ide tentang Tuhan dibawa ke ranah sosial-politik.
Karena  Tuhan dikonsepsikan oleh manusia dan ketika dipercaya oleh mayoritas  orang dalam masyarakat, maka masuklah konsepsi Tuhan ke dalam politik.  Dari sini lahirlah magi, sebuah usaha untuk menggunakan “Tuhan” untuk  meraih kekuasaan (Van Peursen, 1988:50). Dengan adanya magi, manusia  merasa mampu memanipulasi alam. Durkheim (1992:133) mencontohkan  ritus-ritus seperti merubah arah angin, memaksa turunnya hujan, atau  bahkan menghentikan gerak matahari. Dari magi inipun berkembanglah agama  dimana Tuhan dan hukum disatukan untuk memberikan rasa aman dan  menghubungkan manusia dengan kekuatan di luar alam. Hal ini mungkin  datang dari kesadaran  kalau manusia sendirian tidak mampu menghadapi alam. Mereka membutuhkan  agen yang mengatasi alam tersebut. Dengan adanya agen ini, Tuhan,  manusia yang beriman mampu menciptakan mukjizat. Mukjizat para nabi  misalnya, pada dasarnya merupakan gambaran superioritas manusia untuk  menghadapi alam yang dipandang begitu kuat. Dengan adanya personifikasi  pada alam, muncul gagasan untuk menyatukan keseluruhannya ke dalam  sebuah semesta. Pada gilirannya membawa pada agama-agama besar yang  lebih universal dalam memandang alam dan membawa pada konsepsi  monoteisme.
Seiring berjalannya waktu,  orang mulai merasa tidak puas dengan penjelasan Tuhan, apalagi bila  penjelasan tersebut erat kaitannya dengan kekuasaan. Suatu gejala alam  tampaknya terjadi begitu saja dan selalu begitu. Sebagai contoh,  Aristoteles bicara kalau batu selalu jatuh ke bawah ketika dilempar. Ada  sebuah aturan yang tidak dapat dilanggar walau bagaimanapun di alam  ini. Dengan asumsi yang disebut determinisme ini, orang mulai mencari  penjelasan hukum atau mekanisme alam, sebuah penjelasan yang tidak lagi  memerlukan agen Tuhan sebagai penyebab peristiwa alam tersebut terjadi.  Hal ini diperkuat lagi mengenai isu keadilan dan kejahatan yang muncul  dari para pemikir ketika dihadapkan dengan argumen sebab Tuhan.
Referensi:
Aristoteles. 2000. Nicomachean Ethics (Terjemahan oleh Roger Crisp). Cambridge: Cambridge University Press
Durkheim, E. 1992. The Elementary Forms of the Religious Life. New York: Free Press
Jevons, F.B. 1896. Introduction to the History of Religions. London: Methuen.
Muller, M. 1891. Physical Religion. London: Longmans
Van Peursen, C.A. 1988. Strategi Kebudayaan (Terjemahan oleh Dick Hartoko). Jakarta: Kanisius
Wilson, E.O. 1978. On Human Nature. Massachusett: Harvard University Press
Sumber: FaktaIlmiah.com
Sumber: FaktaIlmiah.com
No comments:
Post a Comment