Berikut adalah bagian ketiga dari sebuah makalah panjang yang ditulis  seorang teman untuk bahan diskusi lintas disiplin dengan tema Tuhan dan  masa modern. Bagian ini membahas isu sains dan Tuhan dilihat dari  perspektif sejarah.
Dengan  dikembangkannya metode ilmiah oleh Descartes dan Bacon dan  penemuan-penemuan besar oleh Copernicus dan Newton, sains secara resmi  berpisah dari agama. Sebelum mereka, sains tetap sejalan dengan  pandangan dunia monoteistik. Sains membangun sendiri pandangan dunia  yang ateistik, dalam artian tidak menyertakan Tuhan dalam  pengembaraannya memahami alam (Russel, 2004:112). Dari sisi metodis oleh  Descartes dan Bacon, hal ini ditujukan untuk beberapa kepentingan ideal  sains : (1) keterujian, (2) Memperoleh kebenaran dan menghindari  kesalahan, (3) Prediksi, dan (4) kemajuan. Dari segi empiris, Copernicus  dan Newton pada dasarnya telah membangun sains dalam dua arah.  Copernicus menyanggah monoteisme dengan penemuannya kalau Bumi bukanlah  pusat tata surya. Newton membenarkan ateisme dengan  penjelasan yang  mekanistik dimana seluruh tatanan dunia tidak lagi memerlukan Tuhan di  dalamnya dan alam bekerja lewat seperangkat hukum yang tak pernah ingkar  (hukum Newton). Peran keempat tokoh ini menjadi dasar lenyapnya  keterikatan sains dengan agama.
Kembali  pada metode ilmiah, gagasan Tuhan juga tidak sejalan dengan idealisme  sains. Mari kita telusuri satu per satu. Keterujian, apakah Tuhan dapat  diuji kebenarannya, ada tidaknya ia? Membawa Tuhan ke ranah empiris  berarti harus mendefinisikan Tuhan. Mendefinisi Tuhan berarti  membatasiNya. Para filsuf agama mungkin tidak senang. Tapi kesulitan  lain muncul: pertanyaannya menjadi Tuhan yang mana? Siapkah agama-agama  menjadikan Tuhannya sebagai objek ilmiah? Paksaan untuk memasukkan Tuhan  dalam sains mewujud menjadi konsep Tuhan yang baru dan lebih aneh lagi  yang dapat dipandang sebagai konsep sains tentang Tuhan (Russel,  2004:2). Apakah konsepsi baru mengenai Tuhan ini mau diterima oleh  manusia, terutama yang menggunakan konsepsi lama mengenai Tuhan dalam  agama mereka?
Prinsip memperoleh  kebenaran dan menghilangkan kesalahan, bagaimana jika prinsip ini  dihubungkan dengan Tuhan? Sebagian kemudian berpikir bahwa segala yang  dikeluarkan oleh Tuhan adalah yang benar. Kebenaran dari Tuhan adalah  kebenaran mutlak. Padahal kebenaran dalam sains adalah kebenaran  relatif. Dalam prinsip dasar inilah, sains menjadi mati. Ketika sains  menemukan kebenaran mutlak, ia tidak dapat maju lagi karena ciri dari  kemutlakan adalah ketidak berubahan. Dengan tetap memegang pandangan  kitab suci tentang Tuhan dan perannya di alam misalnya, sains akan  kesulitan memastikan letak Tuhan dalam sebuah gejala alam. Ambil contoh  bencana Tsunami,  dimana posisi Tuhan? Apakah ia menyebabkan Tsunami? Tidak, sains  menemukan kalau penyebab tsunami adalah pergeseran kerak Bumi. Apakah  Tuhan yang menggeser kerak Bumi? tidak, sains menemukan kerak Bumi  bergeser karena dinamika perut Bumi. Apakah dinamika perut Bumi  disebabkan Tuhan? tidak, ia disebabkan pergerakan Bumi pada orbitnya dan  pengaruh benda-benda sekitar Bumi di Tata Surya. Hal ini akan terus  bergeser sehingga Tuhan berada di saat dimana sains tidak dapat  menjelaskannya lagi. Kemampuan sains menggeser hingga ke detail dan  keluasan ini membuat dirinya sukses dalam bidang teknik. Hal ini juga  yang membuat Jacobs (2007:56) mengeluh kalau Tuhan tersisihkan sains dan  menjadi subjek pembicaraan yang khusus dimana nilai kebenaran menjadi  sulit diabsahkan. Sains tidak menyukai pluralisme teori, sementara dapat  dipastikan kalau konsepsi manusia mengenai Tuhan sangat bersifat  plural. Kemunculan ilmu-ilmu melenyapkan kehendak Tuhan didalamnya dan  membawa Tuhan ke wilayah kata benda.
Prediksi.  Apakah Tuhan dapat dimasukkan dalam komponen prediksi. Tuhan, tampaknya  disepakati oleh semua pihak, memiliki ciri-ciri hidup yaitu  berkehendak. Dapatkah sains memprediksi suatu gejala alam jika kehendak  Tuhan dilibatkan disana? Tampaknya Tuhan tidak berkehendak apapun. Walau  begitu, tetap ada usaha untuk menunjukkan kalau kitab “suci” (teks yang  diyakini berasal dari Tuhan) telah melakukan prediksi melebihi  jamannya. Banyak penafsiran dalam beberapa agama seperti Kristen, Islam,  dan Hindu, yang mendaku kalau teks suci mereka memprediksi temuan sains  di masa modern (misalnya Sudarmojo, 2006 untuk Islam dan Schroeder,  2009 untuk Kristen). Hal ini adalah kesalahan memahami sifat sains.  Kitab suci bukanlah buku teori, ia memiliki proposisi-proposisi yang  dapat ditafsirkan apapun tergantung pembacanya, berbeda dengan  teori-teori sains. Karena itu, prediksi yang dihasilkannya pun dapat  benar atau salah, bukan tergantung pada teksnya, tapi pada penafsiran  orang yang membacanya. Lebih lanjut, dakuan kalau kitab suci memprediksi  temuan sains modern adalah masalah penggeseran agen. Sebuah temuan  “sains modern” hanya muncul ketika temuan tersebut sudah ada, bukan  sebelumnya. Hal ini berkebalikan dengan sifat prediksi yang meramalkan  sesuatu sebelum terjadinya. Ia adalah postdiksi, yaitu meramalkan  sesuatu setelah terjadinya. Artinya, orang tinggal menghubung-hubungkan  antara temuan yang sudah ada dengan tulisan yang ada ditangannya,  melihat kesesuaian (atau bahkan merekayasa kesesuaian) lalu mengklaim  kalau ia melihat sebuah prediksi, bukannya postdiksi (contoh modern  postdiksi adalah teori “ilmiah” yang digagas Andrulis, 2012). Inilah  mengapa sebuah klaim bahwa temuan sains modern sesuai dengan teks kitab  suci muncul setelah temuan tersebut ada, bukan sebelumnya. Bahkan  seandainya teks kitab suci sesuai dengan temuan sains modern “sekarang”,  belum tentu ia sesuai dengan temuan sains di masa depan. Jika ditemukan  di masa depan sesuatu yang meruntuhkan teori lama, dan ini sudah  seringkali terjadi dalam sejarah sains, siapkah kitab suci dinyatakan  salah? Atau tafsir baru akan muncul dan kembali dibuat klaim kalau kitab  suci telah memprediksi temuan baru tersebut?
Prinsip  kemajuan, apakah keberadaan Tuhan dalam sains membawa pada prinsip  kemajuan? Jika Tuhan dimasukkan definisi seperti “Tuhan yang memiliki  hubungan intelektual dan afektif dengan umat manusia” yang digunakan  dalam survey keyakinan pada Tuhan kepada seribu ilmuan dari American Men and Women of Science (Roth,  2008:24), hal ini akan membuat sains yang berbeda dari sekarang. Tuhan  semacam ini adalah Tuhan yang dapat menjawab doa orang yang kesusahan.  Ia dapat ikut campur seperti menurunkan mukjizat yang melanggar  hukum-hukum alam. Jika hukum alam tidak menjadi sesuatu yang ketat tanpa  pengecualian, maka kita mungkin akan melihat banyak kerusakan dalam  teknologi buatan manusia yang tidak dapat dijelaskan kecuali karena doa  orang yang teraniaya. Para perancang senjata mungkin mencari jalan untuk  menjaga agar senjatanya kebal doa atau bahkan mereka sendiri merancang  doa tertentu yang pasti mendapat jawaban dari Tuhan. Tentunya hal  semacam ini tidak kita lihat dalam sains yang berkembang sekarang. Tidak  ada ilmuan yang meletakkan jimat dalam rangkaian komputer untuk  berjaga-jaga kalau Tuhan yang marah pada pengguna komputernya akan  memakai komputer untuk menurunkan bala. Satu-satunya konsepsi Tuhan yang  mungkin dapat mendorong kemajuan atau setidaknya netral terhadap  kemajuan sains adalah konsep Tuhan sebagai alam, atau Tuhan tipe deisme.
Telah  saya tunjukkan bagaimana konsep Tuhan tidak dapat bersesuaian dengan  sains dan hal ini telah cukup lama disebut-sebut dalam berbagai  literatur. Penemuan sains terus menggeser posisi Tuhan sehingga Tuhan  hanya dapat dipakai mengisi celah-celah kecil dalam pengetahuan (God of the Gap) dan pada gilirannya, Tuhan terhapus sedikit demi sedikit seiring terisinya celah tersebut oleh penemuan baru.
Gagasan  Tuhan yang lebih modern berpegang pada keteraturan alam itu sendiri. Ia tidak lagi digunakan sebagai penjelasan hal-hal istimewa di alam atau  ketidakteraturan tampak di alam (mukjizat adalah bukti adanya Tuhan),  tetapi dipakai untuk menjelaskan keteraturan itu sendiri (contohnya  Steele, 2009). Hal ini sedikit aneh jika kita lihat bagaimana ide Tuhan  dipindah-pindahkan dari satu kotak ke kotak lainnya. Agama modern dan  bahkan aliran baru ketuhanan yang tidak menyebut dirinya agama (deisme,  panteisme) menyatakan keteraturan alam sebagai bukti adanya Tuhan. Dalam  bentuk geseran ini, Tuhan didamaikan dengan sains. Terisinya  celah-celah hanya memperkuat bukti adanya Tuhan, bukannya  menyingkirkannya.
Dalam pandangan modern ini, argumen  yang paling sering dikutip adalah argumen kosmologis. Dan sainspun  mulai pula menggeser Tuhan dalam wilayah ini, bukan dengan menyebutkan  kalau alam ini pada dasarnya tidak teratur (berarti bunuh diri sains itu  sendiri), tetapi dengan cara yang lebih elegan, dengan meminta bantuan  ranah ilmu yang lebih tinggi, matematika. Tabel berikut menunjukkan  bagaimana konsep Tuhan dan sains saling berinteraksi membentuk sebuah  evolusi konsep Tuhan dari masa ke masa.
| Masa | Konsep Tuhan | Argumen Sains | 
| Masa animisme | Semua benda itu hidup dan memiliki ruh, contoh: api, batu, jimat | Benda terbagi dua berdasarkan sifat hidupnya: benda hidup dan benda tak hidup | 
| Masa politeistik | Argumen Pengisi Celah versi 1 (God of the Gap 1): Gejala langka adalah bukti adanya Tuhan, contoh: gunung meletus, gerhana, tsunami | Gejala itu gejala alam biasa, hanya frekuensinya lebih jarang terjadi sehingga sulit dikaji, tapi dapat dijelaskan secara alamiah | 
| Masa monoteisme | Argumen Pengisi Celah versi 2 (God of the Gap 2): Mukjizat yang tidak masuk akal adalah bukti adanya Tuhan, contoh: Musa membelah laut, manusia berumur 900 tahun, tidur selama 300 tahun | Hal-hal tersebut tidak mungkin terjadi karena melanggar hukum alam. Alam ini memiliki hukum yang tak dapat dilanggar karena jika tidak, maka alam ini ada kecacatannya. Jika ada Tuhan, Tuhan tidak akan menciptakan kecacatan di alam | 
| Masa pencerahan | Argumen Kosmologis: Alam ini begitu teratur, tidak ada cacat di dalamnya. Ini adalah bukti adanya Tuhan, contoh: hukum Newton, hukum Gas Ideal, desain mahluk hidup | Keteraturan alam adalah bukti adanya hukum, bukan bukti adanya Tuhan. Alam semesta mungkin telah ada selamanya, tidak punya awal (Hume, 1980). | 
| Abad ke-20 | Alam semesta punya awal (Big Bang). Jadi Tuhan ada. | Awal alam semesta itu imajiner (Hawking, 1988), alam semesta ini hanya generasi terbaru (Musser, 2004) | 
| Masa modern | Argumen Penyetelan Halus (fine-tuning): Alam semesta diciptakan dengan parameter-parameter yang disetel dengan hati-hati. Pasti ada Tuhan yang menciptakan alam, contoh: konstanta gravitasi, massa proton, gaya nuklir lemah | Alam semesta kita hanya satu dari tak terhingga alam semesta, masing-masing dengan kombinasi parameternya sendiri-sendiri. Kita kebetulan hidup di alam semesta dengan parameter yang memungkinkan kita ada. | 
| Masa depan | ? | ? | 
Sebelum beranjak pada bagaimana sains menggeser posisi Tuhan modern ini, mari kita lihat bagaimana argumen kosmologis diajukan.
Referensi:
Andrulis, E.D. 2012. Theory of the Origin, Evolution, and Nature of Life. Life, 2, 1-105
Hawking, S.W. 1988, A Brief History of Time, New York: Bantam Books
Hume, D. 1980, Dialogues Concerning Natural Religion, Indianapolis: Hackett
Jacobs, T. 2004. Paham Allah: Dalam Filsafat, Agama-Agama, dan Teologi. Jakarta: Kanisius.
Musser, G. 2004, “Four Keys to Cosmology,” Scientific American, February 2004, p.43.
Roth, A.A. 2008. Science Discovers God: Seven Convincing Lines of Evidence for His Existence. Autumn House Publishing.
Russel, P. 2004. From Science to God: A Physicist’s Journey into the Mystery of Consciousness. New World Library.
Schroeder, G.L. 2009. The Science of God: The Convergence of Scientific and Biblical Wisdom. Simon and Schuster.
Steele, C.E. 2009. Discovering God in Science: Science Discoveries that Suggest there is a Creator. Tate Publishing.
Sudarmojo, A.H. 2006. Perjalanan Akbar Ras Adam: Menyibak Rahasia Sains Bumi dalam Al-Quran. Mizan Publika.
Sumber: FaktaIlmiah.com
No comments:
Post a Comment