
Masing-masing kita ada hanya sekejap saja, dan sepanjang
keberadaan itu kita hanya menjelajahi sebagian mahakecil dari
keseluruhan alam semesta. Namun manusia ialah spesies yang ingin tahu.
Kita bertanya-tanya, kita mencari jawaban. Selagi hidup di dunia nan
luas yang kadang asih kadang zalim, dan memandang angkasa raya di atas
sana, manusia telah melontar selaksa tanya: Bagaimana kita bisa memahami
dunia tempat kita mendapati diri kita ada? Bagaimana tingkah laku alam
semesta? Apa hakikat kenyataan? Dari mana segalanya berasal? Apakah alam
semesta memerlukan pencipta? Kebanyakan kita tak menghabiskan sepanjang
waktu merenungkan segala pertanyaan itu, namun nyaris semua di antara
kita pernah merenungkannya sekali-sekali.
Paragraf di atas adalah paragraf pembuka dari buku
The Grand Design yang ditulis oleh
Stephen Hawking bersama
Leonard Mlodinow.
Beruntunglah kita, karena bagi kita yang termasuk golongan yang tidak
punya waktu untuk merenungkan hal-hal di atas, sudah ada orang-orang
yang memikirkannya bagi kita. Beruntunglah saya, karna bisa membaca buku
tersebut. Sepanjang sejarah, kita belum pernah sedekat ini dalam
mencapai jawaban atas pertanyaan-pertanyaan di atas.
Sebelum era
Thales of Miletus,
manusia dikuasai cara berpikir mitologis dalam menjelaskan segala
sesuatu. Manusia belum mengenal sains. Dewa-dewi diyakini terlibat dalam
segala sesuatu, termasuk asal-usul alam semesta. Walau masih tergolong
primitif, pemikiran Thales dianggap sebagai kegiatan berfilsafat pertama
karena mencoba menjelaskan dunia dan gejala-gejala di dalamnya tanpa
bersandar pada mitos melainkan pada rasio manusia. Menurut
Aristoteles,
Thales lah yang pertama kali mengembangkan gagasan bahwa dunia bisa
dimengerti, bahwa kejadian-kejadian rumit di sekeliling kita bisa
direduksi ke kaidah-kaidah sederhana dan dijelaskan tanpa perlu membawa
penjelasan mitos atau teologis.