Buku Tarjuman al Asywaq
Buku Tarjuman al Asywaq (Tafsir Kerinduan) berisi kumpulan (kompilasi) puisi dengan komposisi notasi yang beragam. Para santri dapat menyanyikannya dengan langgam lagu (bahar) yang berbeda-beda: Thawil, Kamil, Wafir dan lain-lain. Tidak diketahui secara pasti apakah buku ini ditulis mendahului dua buku besar di atas atau sesudahnya. Meski penting untuk ditelusuri, namun yang paling penting dari itu adalah bahwa dalam buku ini Ibnu Arabi memperlihatkan konsistensi atas gagasan-gagasan besarnya, sebagaimana akan diketahui kemudian.
Tarjuman al Asywaq ditulis ketika dia bermukim di Makkah, tahun 597 H/1214 M. Di kota suci kaum muslimin ini dia bertemu dengan sejumlah ulama besar, para sufi dan sastrawan terkemuka, laki-laki dan perempuan. Mereka adalah orang-orang yang menjalani hidupnya dengan serius. Ibnu Arabi banyak menimba ilmu dari mereka. Tetapi perhatiannya tertumbuk pada beberapa orang perempuan “suci”. Dalam pendahuluan buku ini dia menyebut tiga orang perempuan. Pertama, Fakhr al Nisa, saudara perempuan Syeikh Abu Syuja’ bin Rustam bin Abi Raja al Ishbihani. Perempuan ini adalah sufi terkemuka dan idola para ulama laki-laki dan perempuan. Kepadanya dia mengaji kitab hadits; “Sunan Tirmizi”. Kedua, Qurrah al ‘Ain. Pertemuannya dengan perempuan ini terjadi ketika Ibnu Arabi tengah asyik Tawaf, memutari Ka’bah.
Puisi Ibnu Arabi mengatakan :
Aku sungguh melihat
Sang Kebenaran
Dalam realitas-realitas
Dalam nama-nama
Aku tidak melihat semuanya
Kecuali Aku
Al Hallaj, sufi martir paling fenomenal, misalnya, mengatakan dalam salah satu puisi sufistiknya:
Ruh-Mu dan ruhku bercampur
Bagai arak dan air
Jika sesuatu menyentuh-Mu,
Ia menyentuku
Engkau adalah aku
Dalam segalanya
Kontempelasi Ketuhanan melalui Perempuan
Puisi-puisi Ibnu Arabi seringkali dipahami pembaca awam dan tekstualis sebagai bentuk kerinduan Ibnu Arabi kepada seorang perempuan; sebuah kerinduan birahi, seksual dan erotis (gharami) terhadap tubuh perempuan nan cantik-jelita, yang pernah ditemuinya selama di Makkah: Sayyidah Nizam. Mereka dalam hal ini telah terjebak dalam pemahaman yang amat dangkal, gersang dan tanpa makna. Orang-orang awam memang selalu dan hanya dapat memahami ucapan verbal seseorang atau goresan kata-kata menurut arti lahiriah, literalnya. Mereka teramat sulit untuk bisa mengerti bahwa kata-kata sebenarnya adalah symbol-symbol dari pikiran dan relung hati yang amat dalam. Puisi adalah untaian kata yang sarat makna, penuh nuansa pikiran dan hati yang sulit ditebak. Maka ia memang bisa diberi makna ganda, eksoterik dan esoterik. Dalam puisi-puisi di atas, Ibnu Arabi boleh jadi memang sedang dicekam kerinduan yang membara terhadap seorang perempuan dalam arti secara fisik. Dengan kata lain kecintaan Ibnu Arabi kepadanya tidak hanya secara spiritual dan intelektual, namun juga secara fisik dan psikis. Katanya: “Jika saja tidak mengkhawatirkan jiwa-jiwa rendah yang selalu siap terhadap skandal dan hasrat kebencian, akan aku sebutkan pula di sini keindahan lahiriah sebagaimana jiwanya yang merupakan taman kedermawanan”.
Akan tetapi para pengagumnya menolak tafsir ini. Ungkapan-ungkapan Ibnu Arabi, menurut mereka memang sungguh-sungguh tengah berkontempelasi dan merefleksikan cinta yang menggelora kepada Tuhan. Katanya suatu ketika: “Kontempelasi terhadap Realitas tanpa dukungan formal adalah tidak mungkin, karena Tuhan, Sang Realitas, dalam Esensi-Nya terlampau jauh dari segala kebutuhan alam semesta. Maka bentuk dukungan formal yang paling baik adalah kontempelasi akan Tuhan dalam diri perempuan”. Dengan kata lain, merenungkan ke Ilahian, menurutnya, hanya dapat dicapai dengan merenungkan perempuan.
Refleksi dan kontempelasi Spritualitas Ketuhanan Ibnu Arabi seperti ini sebagaimana diungkapkan dalam buku ini rasanya amat sulit dapat dipahami Kontemplasi akan Tuhan dalam diri perempuan”. Dengan kata lain, merenungkan ke Ilahian, menurutnya, hanya dapat dicapai dengan merenungkan perempuan.
Ibnu Arabi mengatakan: “Jika anda mengetahui keadaan-keadaan kami berdua, niscaya anda mengerti satu tempat (maqam) yang tidak dapat dipahami akal pikiran. Ia adalah penyatuan sifat kasar (al qahr) dan kelembutan (al Luthf). Ini mengingatkan kita pada ucapan Abu Sa’id al Jazar : “Dengan cara apakah engkau mengetahui Tuhan?”. Jawabnya adalah dengan penyatuan dua hal yang berlawanan. Ini memang amat sulit untuk dipahami oleh akal, nalar”. Ya, ini pengalaman spritualitas yang menghanyutkan, sangat ruhaniah dan irrasional. Mungkinkah bahwa ini juga adalah gagasan Ibnu Arabi tentang penyatuan yin dan yang atau Maskulinitas dan Feminitas pada satu sisi, dan tentang “Ittihad” atau “Hulul” pada sisi yang lain? Tampaknya dia ingin mengatakan bahwa pengetahuan tentang ketuhanan (ma’rifah Ilahiyyah) hanya bisa ditempuh melalui kontempelasi pada diri perempuan. Atau, melalui perempuanlah Tuhan ditemukan dalam Wujud-Nya yang Maha Sempurna dan Maha Indah.
Mabuk cinta Ibnu Arabi kepada Sang Kekasih juga diungkapkan dengan menyebut realitas-realitas alam; burung-burung yang bernyanyi riang, mata rusa yang menatap tajam, sayap-sayap burung merak yang indah bagai pelangi, bunga-bunga yang mekar-mewangi, taman-taman yang teduh nan meriah bagai pelangi, puing-puing yang menggugah rindu dan mabuk kepayang, tempat-tempat persinggahan yang mengingatkan romantisme masa lalu, padang rumput yang terhampar menghijau, angin yang semilir sepoi-sepoi, musim semi yang penuh bunga warna-warni, mega yang berarak, tenang dan teduh, mata air yang mengalir, mata hari yang menghangatkan, rembulan yang bersinar lembut, senja yang temaram dan seterusnya. Dalam waktu yang sama dia juga mengutarakan isi hatinya yang kelu, merindu dan mencinta ; air mata yang menetes satu-satu, pipi perempuan yang ranum, mata yang sendu, luka di relung-relung sanubari, hari-hari perpisahan yang menghancurkan kalbu, canda ria dan celoteh yang menggemaskan, keriangan yang meledak-ledak, pelukan tubuh yang menggairahkan, nyanyi sunyi yang mengiris dan lain-lain. Ini semua diungkapkan Ibnu Arabi dalam buku kompilasi puisi sufistiknya ini.
Kajian-kajian terhadap pemikiran dan gagasan filosofis Ibnu Arabi ini menunjukkan bahwa fenomena-fenomena alam semesta (kosmos) adalah “tajalliyyat” (Penyingkapan) Tuhan dalam alam semesta. Fenomena alam semesta dalam pandangannya adalah keindahan-keindahan yang menunjukkan Eksistensi Tuhan. “Tak ada pada alam semesta ini kecuali Tuhan. Segala selain Tuhan adalah ketiadaan hakiki”.
Ibnu Arabi menyatakan:
Hatiku telah siap menyambut
Segala realitas
Padang rumput bagi rusa
Kuil para Rahib
Rumah berhala-berhala
Ka’bah orang tawaf
Sabak-sabak Taurat
Lembaran al Qur’an
Aku mabuk Cinta
Kemanapun Dia bergerak
Di situ aku mencinta
Cinta kepada-Nya
Adalah agama dan keyakinanku
Pada akhirnya dia mengatakan: “tidak ada agama yang dipeluk manusia di manapun, setinggi agama yang dibangun di atas cinta dan kerinduan (al mahabbah wa al syauq).
Selain dalam karya terbesarnya, Futûhat al-Makkiyah (“Pencerahan-pencerahan Mekkah”), dalam Tarjuman al-Asywaq inilah Ibn ‘Arabî juga banyak menuangkan perenungannya tentang ‘cinta’: cinta kepada Nizham yang cantik jelita; dan akhirnya cinta yang melampaui kata-kata. Atas dasar ini pula, Ibn ‘Arabî dituduh mengajarkan erotisme oleh sebagian ulama Aleppo waktu itu, namun ia segera menyanggahnya.
Teks Ibn ‘Arabî yang lain, yaitu Fushûs al-Hikam. Di dalam bab Hikmah Fardiyah fî Kalimat Muhammadiyah, Ibn ‘Arabî menulis: “Fasyuhûduhu li al-haqqi fi al-mar-ati atammu wa akmalu. Menjumpai Tuhan dalam diri seorang perempuan itu cara yang paling sempurna.”Kenapa? “Liannahu yusyâhidu al-haqqa min haytsu huwa fâ’ilun wa munfa’ilun. Karena dengan cara itu, seorang lelaki dapat menjumpai Tuhan dengan cara aktif sekaligus reseptif.”
Syair-Syair Erotis Ibn Arab, Sejumlah karyanya banyak mengundang kontroversi dari para ulama.
As-Syekh al-Akbar (Guru Teragung), demikian Ibn Arabi sering disapa. Ada pula yang menyapanya Muhyiddin (Penghidup Agama), atau al Kabrit Al Ahmar (Belerang Merah). Sang pengusung ajaran wihdat al-wujud ini merupakan sosok yang kontroversial. Syair-syair mistisnya disenandungkan dengan bahasa erotis sehingga mengundang reaksi dari kalangan fuqaha.
Nama Muhyidin Ibn Arabi, mengingatkan pada tokoh sufi seperti Al-Hallaj (Baghdad), Syekh Siti Jenar, dan Hamzah Fansuri. Syair-syair maupun ungkapan-ungkapannya banyak mengandung kontroversi. Namun demikian, bila dicermati secara saksama, apa yang diucapkan atau tertulis dalam syairnya, menggambarkan kecintaan dan kedekatan sang tokoh dengan Tuhannya.
Profesor Nicholson telah menterjemahkan salah satu puisi yang paling mengejutkan kalangan agamawan yang saleh dan meyakini bahwa kepercayaan mereka merupakan jalan bagi penyelamatan manusia:
Hatiku bisa menjelma berbagai bentuk: Sebuah biara bagi pendeta, dupa untuk berhala, Sebuah padang rumput bagi rusa-rusa. Aku lah Ka’bah bagi orang-orang yang shalat, Lembaran-lembaran Taurat dan al-Qur’an.Cinta adalah agama yang kupegang: ke mana pun. Kendaraan dalam melangkah, Cinta tetap agama dan keyakinanku.
Orang yang berpikiran romantis mungkin memahaminya dengan makna yang biasa dikenal, jenis cinta kuantitatif yang secara otomatis oleh pikirannya dikaitkan dengan kata-kata, “Itulah yang dimaksud Ibnu Arabi.” Bagi Sufi yang biasa menggunakan tema “cinta”, Sufisme hanyalah satu bagian, terbatas, dimana di baliknya, di bawah keadaan-keadaan biasa, tidak pernah dirambah oleh orang kebanyakan.
Dalam sebuah syair ia katakan:
“Bila engkau nyatakan transenden (murni), engkau telah membatasi Tuhan. Dan bila engkau nyatakan imanen (murni), maka engkau telah mendefinisikan Tuhan.”
Seluruh pengetahuan tentang ketuhanan (ma’rifat Ilahuyyah) hanya bisa ditempuh melalui kontempelasi pada eksistensi perempuan. Melalui permenungan atas Wujud Dia Yang Maha Sempurna, Maha Indah ditemukan.
(Ibnu Arabi)
Cinta Segitiga
Ibn ‘Arabî dalam Tarjuman al-Asywaq juga tampak menggambarkan cinta yang berbentuk segitiga. Mari kita coba simak alunan syairnya:
Betapa rinduku begitu panjang/
Kepada gadis kecil penulis prosa/
Nizham, mimbar, dan bayan//
Dialah putri raja-raja Persia/
Negeri megah dari Ashbihan//
Putri Irak, putri imamku/
Sementara aku sebaliknya, hanyalah keturunan orang Yaman//
Andai kalian tahu betapa kami berdua/
Saling menghidangkan cawan-cawan cinta
Meski tanpa jari-jemari//
Apakah kalian tahu, wahai tuan/
Dua tubuh yang berbeda dapat bersatu//
Cinta kami berdua yang menuntun kami bicara/
Dengan manis, dengan indah, meski tanpa kata-kata//
Nicaya kalian tahu meski hilang akal/
Bahwa orang Yaman dan Irak bisa berpelukan
Syair itu ditulis di Mekkah oleh Ibn ‘Arabî untuk dipersembahkan kepada Nizham. Sekilas, memang tampak adanya nuansa erotisme dalam syair itu. Ibn ‘Arabî menyukai gadis Irak atas kecantikannya. Karena hal inilah Ibn ‘Arabî dikecam oleh beberapa ulama sezamannya.
Namun, cinta Ibn ‘Arabî nyatanya melampaui kata-kata. Bahasa sudah tidak bisa menjamahnya. Satu-satunya pilihan, Ibn ‘Arabî mengungkapkan rasa cintanya dengan figur seorang wanita. Di luar penggambaran itu semua, Ibn ‘Arabî sejatinya menghasrati “Yang-Metafisik”: yang di luar bahasa, ‘Yang Negatif’. Jadilah cinta Ibn ‘Arabî berbentuk segitiga: dirinya, Nizham, dan Yang-Metafisik. Hal ini menyerupai model persahabatan (yang merupakan bagian dari cinta) Platonik. Platon, dalam dialog bejudul Lysis, melalui tokoh Sokrates menggambarkan bahwa persahabatan yang sejati selalu mengandaikan adanya “pihak ketiga”. Di luar dua orang yang saling bersahabat, yang saling mencintai, ada satu hal yang diinginkan bersama, yaitu ‘kebaikan’. ‘Kebaikan’ itulah yang menjadi dasar persahabatan, dasar percintaan, dan dasar kasih sayang.
Gambaran cinta Ibn ‘Arabî kepada Nizham itu persis seperti cinta Platonik. Cinta yang menghasrati Yang-Ideal. Cinta yang bisa jadi non-resiprokal. Pertanyaanya: kenapa pilihan Ibn ‘Arabî itu dijatuhkan kepada Nizham yang merupakan seorang perempuan?
Hal itu terjawab dalam teks Ibn ‘Arabî yang lain, yaitu Fushûs al-Hikam. Di dalam bab Hikmah Fardiyah fî Kalimat Muhammadiyah, Ibn ‘Arabî menulis: “Fasyuhûduhu li al-haqqi fi al-mar-ati atammu wa akmalu. Menjumpai Tuhan dalam diri seorang perempuan itu cara yang paling sempurna.” Kenapa? “Liannahu yusyâhidu al-haqqa min haytsu huwa fâ’ilun wa munfa’ilun. Karena dengan cara itu, seorang lelaki dapat menjumpai Tuhan dengan cara aktif sekaligus reseptif.”
Arabî menggambarkan bahwa perempuan adalah simbol jiwa yang aktif (fâ’il) dan sekaligus reseptif (munfa’il). Sementara jiwa laki-laki melulu bersifat aktif, namun tak memiliki kemampuan reseptif. Atas alasan itulah, cinta Ibn ‘Arabî kepada Yang-Metafisik dijembatani oleh kehadiran seorang perempuan bernama Nizham.
Nizham semata-mata hanya sebagai jembatan, yang apabila Ibn ‘Arabî sudah sampai kepada Yang-Dituju jembatan itu bisa tidak dipakai. Nizham bisa hilang, ketika Ibn ‘Arabî sudah ‘terbakar’ (fana’). Cinta yang tadinya berbentuk segitiga, akhirnya lenyap, dan hanya akan tinggal berdua: Ibn ‘Arabî dan Sang Kekasih Sejati.
Kekasih merinduiku
Berhasrat memandangku
Aku lebih merindui-Nya
jiwa kami gemetar
Dan keputusan bertemu menghalang
Aku perintih
dia merintih
Buku Tarjuman al Asywaq (Tafsir Kerinduan) berisi kumpulan (kompilasi) puisi dengan komposisi notasi yang beragam. Para santri dapat menyanyikannya dengan langgam lagu (bahar) yang berbeda-beda: Thawil, Kamil, Wafir dan lain-lain. Tidak diketahui secara pasti apakah buku ini ditulis mendahului dua buku besar di atas atau sesudahnya. Meski penting untuk ditelusuri, namun yang paling penting dari itu adalah bahwa dalam buku ini Ibnu Arabi memperlihatkan konsistensi atas gagasan-gagasan besarnya, sebagaimana akan diketahui kemudian.
Tarjuman al Asywaq ditulis ketika dia bermukim di Makkah, tahun 597 H/1214 M. Di kota suci kaum muslimin ini dia bertemu dengan sejumlah ulama besar, para sufi dan sastrawan terkemuka, laki-laki dan perempuan. Mereka adalah orang-orang yang menjalani hidupnya dengan serius. Ibnu Arabi banyak menimba ilmu dari mereka. Tetapi perhatiannya tertumbuk pada beberapa orang perempuan “suci”. Dalam pendahuluan buku ini dia menyebut tiga orang perempuan. Pertama, Fakhr al Nisa, saudara perempuan Syeikh Abu Syuja’ bin Rustam bin Abi Raja al Ishbihani. Perempuan ini adalah sufi terkemuka dan idola para ulama laki-laki dan perempuan. Kepadanya dia mengaji kitab hadits; “Sunan Tirmizi”. Kedua, Qurrah al ‘Ain. Pertemuannya dengan perempuan ini terjadi ketika Ibnu Arabi tengah asyik Tawaf, memutari Ka’bah.
Puisi Ibnu Arabi mengatakan :
Aku sungguh melihat
Sang Kebenaran
Dalam realitas-realitas
Dalam nama-nama
Aku tidak melihat semuanya
Kecuali Aku
Al Hallaj, sufi martir paling fenomenal, misalnya, mengatakan dalam salah satu puisi sufistiknya:
Ruh-Mu dan ruhku bercampur
Bagai arak dan air
Jika sesuatu menyentuh-Mu,
Ia menyentuku
Engkau adalah aku
Dalam segalanya
Kontempelasi Ketuhanan melalui Perempuan
Puisi-puisi Ibnu Arabi seringkali dipahami pembaca awam dan tekstualis sebagai bentuk kerinduan Ibnu Arabi kepada seorang perempuan; sebuah kerinduan birahi, seksual dan erotis (gharami) terhadap tubuh perempuan nan cantik-jelita, yang pernah ditemuinya selama di Makkah: Sayyidah Nizam. Mereka dalam hal ini telah terjebak dalam pemahaman yang amat dangkal, gersang dan tanpa makna. Orang-orang awam memang selalu dan hanya dapat memahami ucapan verbal seseorang atau goresan kata-kata menurut arti lahiriah, literalnya. Mereka teramat sulit untuk bisa mengerti bahwa kata-kata sebenarnya adalah symbol-symbol dari pikiran dan relung hati yang amat dalam. Puisi adalah untaian kata yang sarat makna, penuh nuansa pikiran dan hati yang sulit ditebak. Maka ia memang bisa diberi makna ganda, eksoterik dan esoterik. Dalam puisi-puisi di atas, Ibnu Arabi boleh jadi memang sedang dicekam kerinduan yang membara terhadap seorang perempuan dalam arti secara fisik. Dengan kata lain kecintaan Ibnu Arabi kepadanya tidak hanya secara spiritual dan intelektual, namun juga secara fisik dan psikis. Katanya: “Jika saja tidak mengkhawatirkan jiwa-jiwa rendah yang selalu siap terhadap skandal dan hasrat kebencian, akan aku sebutkan pula di sini keindahan lahiriah sebagaimana jiwanya yang merupakan taman kedermawanan”.
Akan tetapi para pengagumnya menolak tafsir ini. Ungkapan-ungkapan Ibnu Arabi, menurut mereka memang sungguh-sungguh tengah berkontempelasi dan merefleksikan cinta yang menggelora kepada Tuhan. Katanya suatu ketika: “Kontempelasi terhadap Realitas tanpa dukungan formal adalah tidak mungkin, karena Tuhan, Sang Realitas, dalam Esensi-Nya terlampau jauh dari segala kebutuhan alam semesta. Maka bentuk dukungan formal yang paling baik adalah kontempelasi akan Tuhan dalam diri perempuan”. Dengan kata lain, merenungkan ke Ilahian, menurutnya, hanya dapat dicapai dengan merenungkan perempuan.
Refleksi dan kontempelasi Spritualitas Ketuhanan Ibnu Arabi seperti ini sebagaimana diungkapkan dalam buku ini rasanya amat sulit dapat dipahami Kontemplasi akan Tuhan dalam diri perempuan”. Dengan kata lain, merenungkan ke Ilahian, menurutnya, hanya dapat dicapai dengan merenungkan perempuan.
Ibnu Arabi mengatakan: “Jika anda mengetahui keadaan-keadaan kami berdua, niscaya anda mengerti satu tempat (maqam) yang tidak dapat dipahami akal pikiran. Ia adalah penyatuan sifat kasar (al qahr) dan kelembutan (al Luthf). Ini mengingatkan kita pada ucapan Abu Sa’id al Jazar : “Dengan cara apakah engkau mengetahui Tuhan?”. Jawabnya adalah dengan penyatuan dua hal yang berlawanan. Ini memang amat sulit untuk dipahami oleh akal, nalar”. Ya, ini pengalaman spritualitas yang menghanyutkan, sangat ruhaniah dan irrasional. Mungkinkah bahwa ini juga adalah gagasan Ibnu Arabi tentang penyatuan yin dan yang atau Maskulinitas dan Feminitas pada satu sisi, dan tentang “Ittihad” atau “Hulul” pada sisi yang lain? Tampaknya dia ingin mengatakan bahwa pengetahuan tentang ketuhanan (ma’rifah Ilahiyyah) hanya bisa ditempuh melalui kontempelasi pada diri perempuan. Atau, melalui perempuanlah Tuhan ditemukan dalam Wujud-Nya yang Maha Sempurna dan Maha Indah.
Mabuk cinta Ibnu Arabi kepada Sang Kekasih juga diungkapkan dengan menyebut realitas-realitas alam; burung-burung yang bernyanyi riang, mata rusa yang menatap tajam, sayap-sayap burung merak yang indah bagai pelangi, bunga-bunga yang mekar-mewangi, taman-taman yang teduh nan meriah bagai pelangi, puing-puing yang menggugah rindu dan mabuk kepayang, tempat-tempat persinggahan yang mengingatkan romantisme masa lalu, padang rumput yang terhampar menghijau, angin yang semilir sepoi-sepoi, musim semi yang penuh bunga warna-warni, mega yang berarak, tenang dan teduh, mata air yang mengalir, mata hari yang menghangatkan, rembulan yang bersinar lembut, senja yang temaram dan seterusnya. Dalam waktu yang sama dia juga mengutarakan isi hatinya yang kelu, merindu dan mencinta ; air mata yang menetes satu-satu, pipi perempuan yang ranum, mata yang sendu, luka di relung-relung sanubari, hari-hari perpisahan yang menghancurkan kalbu, canda ria dan celoteh yang menggemaskan, keriangan yang meledak-ledak, pelukan tubuh yang menggairahkan, nyanyi sunyi yang mengiris dan lain-lain. Ini semua diungkapkan Ibnu Arabi dalam buku kompilasi puisi sufistiknya ini.
Kajian-kajian terhadap pemikiran dan gagasan filosofis Ibnu Arabi ini menunjukkan bahwa fenomena-fenomena alam semesta (kosmos) adalah “tajalliyyat” (Penyingkapan) Tuhan dalam alam semesta. Fenomena alam semesta dalam pandangannya adalah keindahan-keindahan yang menunjukkan Eksistensi Tuhan. “Tak ada pada alam semesta ini kecuali Tuhan. Segala selain Tuhan adalah ketiadaan hakiki”.
Ibnu Arabi menyatakan:
Hatiku telah siap menyambut
Segala realitas
Padang rumput bagi rusa
Kuil para Rahib
Rumah berhala-berhala
Ka’bah orang tawaf
Sabak-sabak Taurat
Lembaran al Qur’an
Aku mabuk Cinta
Kemanapun Dia bergerak
Di situ aku mencinta
Cinta kepada-Nya
Adalah agama dan keyakinanku
Pada akhirnya dia mengatakan: “tidak ada agama yang dipeluk manusia di manapun, setinggi agama yang dibangun di atas cinta dan kerinduan (al mahabbah wa al syauq).
Selain dalam karya terbesarnya, Futûhat al-Makkiyah (“Pencerahan-pencerahan Mekkah”), dalam Tarjuman al-Asywaq inilah Ibn ‘Arabî juga banyak menuangkan perenungannya tentang ‘cinta’: cinta kepada Nizham yang cantik jelita; dan akhirnya cinta yang melampaui kata-kata. Atas dasar ini pula, Ibn ‘Arabî dituduh mengajarkan erotisme oleh sebagian ulama Aleppo waktu itu, namun ia segera menyanggahnya.
Teks Ibn ‘Arabî yang lain, yaitu Fushûs al-Hikam. Di dalam bab Hikmah Fardiyah fî Kalimat Muhammadiyah, Ibn ‘Arabî menulis: “Fasyuhûduhu li al-haqqi fi al-mar-ati atammu wa akmalu. Menjumpai Tuhan dalam diri seorang perempuan itu cara yang paling sempurna.”Kenapa? “Liannahu yusyâhidu al-haqqa min haytsu huwa fâ’ilun wa munfa’ilun. Karena dengan cara itu, seorang lelaki dapat menjumpai Tuhan dengan cara aktif sekaligus reseptif.”
Syair-Syair Erotis Ibn Arab, Sejumlah karyanya banyak mengundang kontroversi dari para ulama.
As-Syekh al-Akbar (Guru Teragung), demikian Ibn Arabi sering disapa. Ada pula yang menyapanya Muhyiddin (Penghidup Agama), atau al Kabrit Al Ahmar (Belerang Merah). Sang pengusung ajaran wihdat al-wujud ini merupakan sosok yang kontroversial. Syair-syair mistisnya disenandungkan dengan bahasa erotis sehingga mengundang reaksi dari kalangan fuqaha.
Nama Muhyidin Ibn Arabi, mengingatkan pada tokoh sufi seperti Al-Hallaj (Baghdad), Syekh Siti Jenar, dan Hamzah Fansuri. Syair-syair maupun ungkapan-ungkapannya banyak mengandung kontroversi. Namun demikian, bila dicermati secara saksama, apa yang diucapkan atau tertulis dalam syairnya, menggambarkan kecintaan dan kedekatan sang tokoh dengan Tuhannya.
Profesor Nicholson telah menterjemahkan salah satu puisi yang paling mengejutkan kalangan agamawan yang saleh dan meyakini bahwa kepercayaan mereka merupakan jalan bagi penyelamatan manusia:
Hatiku bisa menjelma berbagai bentuk: Sebuah biara bagi pendeta, dupa untuk berhala, Sebuah padang rumput bagi rusa-rusa. Aku lah Ka’bah bagi orang-orang yang shalat, Lembaran-lembaran Taurat dan al-Qur’an.Cinta adalah agama yang kupegang: ke mana pun. Kendaraan dalam melangkah, Cinta tetap agama dan keyakinanku.
Orang yang berpikiran romantis mungkin memahaminya dengan makna yang biasa dikenal, jenis cinta kuantitatif yang secara otomatis oleh pikirannya dikaitkan dengan kata-kata, “Itulah yang dimaksud Ibnu Arabi.” Bagi Sufi yang biasa menggunakan tema “cinta”, Sufisme hanyalah satu bagian, terbatas, dimana di baliknya, di bawah keadaan-keadaan biasa, tidak pernah dirambah oleh orang kebanyakan.
Dalam sebuah syair ia katakan:
“Bila engkau nyatakan transenden (murni), engkau telah membatasi Tuhan. Dan bila engkau nyatakan imanen (murni), maka engkau telah mendefinisikan Tuhan.”
Seluruh pengetahuan tentang ketuhanan (ma’rifat Ilahuyyah) hanya bisa ditempuh melalui kontempelasi pada eksistensi perempuan. Melalui permenungan atas Wujud Dia Yang Maha Sempurna, Maha Indah ditemukan.
(Ibnu Arabi)
Cinta Segitiga
Ibn ‘Arabî dalam Tarjuman al-Asywaq juga tampak menggambarkan cinta yang berbentuk segitiga. Mari kita coba simak alunan syairnya:
Betapa rinduku begitu panjang/
Kepada gadis kecil penulis prosa/
Nizham, mimbar, dan bayan//
Dialah putri raja-raja Persia/
Negeri megah dari Ashbihan//
Putri Irak, putri imamku/
Sementara aku sebaliknya, hanyalah keturunan orang Yaman//
Andai kalian tahu betapa kami berdua/
Saling menghidangkan cawan-cawan cinta
Meski tanpa jari-jemari//
Apakah kalian tahu, wahai tuan/
Dua tubuh yang berbeda dapat bersatu//
Cinta kami berdua yang menuntun kami bicara/
Dengan manis, dengan indah, meski tanpa kata-kata//
Nicaya kalian tahu meski hilang akal/
Bahwa orang Yaman dan Irak bisa berpelukan
Syair itu ditulis di Mekkah oleh Ibn ‘Arabî untuk dipersembahkan kepada Nizham. Sekilas, memang tampak adanya nuansa erotisme dalam syair itu. Ibn ‘Arabî menyukai gadis Irak atas kecantikannya. Karena hal inilah Ibn ‘Arabî dikecam oleh beberapa ulama sezamannya.
Namun, cinta Ibn ‘Arabî nyatanya melampaui kata-kata. Bahasa sudah tidak bisa menjamahnya. Satu-satunya pilihan, Ibn ‘Arabî mengungkapkan rasa cintanya dengan figur seorang wanita. Di luar penggambaran itu semua, Ibn ‘Arabî sejatinya menghasrati “Yang-Metafisik”: yang di luar bahasa, ‘Yang Negatif’. Jadilah cinta Ibn ‘Arabî berbentuk segitiga: dirinya, Nizham, dan Yang-Metafisik. Hal ini menyerupai model persahabatan (yang merupakan bagian dari cinta) Platonik. Platon, dalam dialog bejudul Lysis, melalui tokoh Sokrates menggambarkan bahwa persahabatan yang sejati selalu mengandaikan adanya “pihak ketiga”. Di luar dua orang yang saling bersahabat, yang saling mencintai, ada satu hal yang diinginkan bersama, yaitu ‘kebaikan’. ‘Kebaikan’ itulah yang menjadi dasar persahabatan, dasar percintaan, dan dasar kasih sayang.
Gambaran cinta Ibn ‘Arabî kepada Nizham itu persis seperti cinta Platonik. Cinta yang menghasrati Yang-Ideal. Cinta yang bisa jadi non-resiprokal. Pertanyaanya: kenapa pilihan Ibn ‘Arabî itu dijatuhkan kepada Nizham yang merupakan seorang perempuan?
Hal itu terjawab dalam teks Ibn ‘Arabî yang lain, yaitu Fushûs al-Hikam. Di dalam bab Hikmah Fardiyah fî Kalimat Muhammadiyah, Ibn ‘Arabî menulis: “Fasyuhûduhu li al-haqqi fi al-mar-ati atammu wa akmalu. Menjumpai Tuhan dalam diri seorang perempuan itu cara yang paling sempurna.” Kenapa? “Liannahu yusyâhidu al-haqqa min haytsu huwa fâ’ilun wa munfa’ilun. Karena dengan cara itu, seorang lelaki dapat menjumpai Tuhan dengan cara aktif sekaligus reseptif.”
Arabî menggambarkan bahwa perempuan adalah simbol jiwa yang aktif (fâ’il) dan sekaligus reseptif (munfa’il). Sementara jiwa laki-laki melulu bersifat aktif, namun tak memiliki kemampuan reseptif. Atas alasan itulah, cinta Ibn ‘Arabî kepada Yang-Metafisik dijembatani oleh kehadiran seorang perempuan bernama Nizham.
Nizham semata-mata hanya sebagai jembatan, yang apabila Ibn ‘Arabî sudah sampai kepada Yang-Dituju jembatan itu bisa tidak dipakai. Nizham bisa hilang, ketika Ibn ‘Arabî sudah ‘terbakar’ (fana’). Cinta yang tadinya berbentuk segitiga, akhirnya lenyap, dan hanya akan tinggal berdua: Ibn ‘Arabî dan Sang Kekasih Sejati.
Kekasih merinduiku
Berhasrat memandangku
Aku lebih merindui-Nya
jiwa kami gemetar
Dan keputusan bertemu menghalang
Aku perintih
dia merintih
(Ibnu Arobi)
Sumber: Kriya YN
Sumber: Kriya YN
brilian!
ReplyDeleteterimakasih aos
salam,
ruanguji