Diskursus mengenai penegakan hukum dan keadilan merupakan masalah besar di negara-negara yang mengalami transisi dari otoritarianisme ke demokrasi. Dan hal itu juga yang saat ini sedang dihadapi oleh bangsa Indonesia, terutama mengenai proses penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu.
Seperti diketahui bersama, di Indonesia belum ada preseden terhadap proses pengadilan bagi pelaku pelanggaran HAM berat yang diselesaikan secara hukum dengan menggunakan norma-norma hukum internasional, kecuali dengan menggunakan instrumen Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Padahal instrumen ini hanya dapat digunakan untuk kasus-kasus kejahatan biasa (ordinary crime), bukan terhadap genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan (extra ordinary crime).
Dalam hal kasus-kasus pelanggaran HAM berat, selalu saja terjadi tarik ulur kepentingan politik antara penguasa lama dengan penguasa baru. Kebijakan negara yang dibuat oleh penguasa baru selalu bergerak di antara penyelesaian secara hukum atau penyelesaian secara politik (damai). Kendati berdasarkan hukum internasional, sesungguhnya negara diwajibakan melakukan pengusutan dan penghukuman terhadap pelaku pelanggaran HAM berat, seringkali ketentuan itu sulit diterapkan karena penguasa lama masih terlalu kuat baik secara politik maupun ekonomi. Dengan asumsi bahwa pelaku pelanggaran HAM berat di masa lalu masih memiliki pengikut cukup banyak dan setia serta mengandung resiko politik yang sangat tinggi bagi keamanan negara, maka para pelaku pelanggaran HAM berat sulit diproses secara hukum atau dibawa ke pengadilan. Sementara alternatif penyelesaian secara politik, baik melalui kompromi ataupun melupakan, justru mengundang problem tersendiri karena masyarakat baik nasional maupun internasional, terutama para korban, dipastikan akan menentangnya.
Selama ini, dalam kasus pelanggaran HAM berat dimana militer terlibat, seringkali [untuk tidak mengatakan selalu] pelanggaran ini direduksi sedemikian rupa menjadi kesalahan prosedur. Dan jika pun terjadi proses pengadilan, baik melalui peradilan koneksitas maupun militer, kesalahan hanya dikenakan pada pelaku lapangan tidak termasuk para pemegang komando yang bertanggung jawab atas dikeluarkannya suatu kebijakan dan/atau operasi militer. Hal ini disebabkan, selain karena instrumen hukum yang digunakan tidak dapat menjangkau penentu kebijakan juga karena masih kuatnya posisi militer secara politik yang tidak menginginkan anggotanya diadili.
Saat ini pemerintah Gus Dur telah mempersiapkan 2 (dua) mekanisme penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu, yaitu melalui mekanisme pengadilan HAM ad hoc dan melalui mekanisme KKR. Khusus untuk tindakan militer, Undang-Undang Pengadilan HAM menyebutkan bahwa komandan militer atau seseorang yang bertindak sebagai komandan militer dapat dipertanggungjawabkan terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh pasukan yang berada di bawah komando dan pengendaliannya secara efektif (by omission) (Pasal 42 ayat (1) UU Pengadilan HAM).
Sebagai sebuah negara yang sedang transisi menuju demokrasi, Indonesia jelas tidak dapat sepenuhnya menerapkan prinsip-prinsip hukum bagi kasus-kasus genosida (genocide) dan kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity) yang terjadi di masa lalu. Tidak hanya karena rumitnya pembuktian kasus pelanggaran HAM, melainkan juga karena bukti-bukti untuk kasus tersebut banyak yang telah hilang --antara lain karena korban dan/atau saksi sudah meninggal atau karena bukti-bukti tertulisnya telah dimusnahkan-- akan tetapi mungkin juga karena kuatnya perlawanan dari pihak militer yang tidak menginginkan anggotanya diadili. Semua ini dapat berakibat pada gagalnya pembentukan negara demokrasi yang menjadi impian selama ini.
Menurut catatan penulis, terdapat beberapa hal yang menarik, sekaligus pula mengundang perdebatan tersendiri dalam UU Pengadilan HAM. Misalnya mengenai diperbolehkannya penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu melalui Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR). Diakuinya lembaga ekstra yudisial untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu, memperlihatkan bahwa undang-undang membenarkan adanya penyelesaian politis atas kasus-kasus pelanggaran HAM berat yang dapat berujung pada pemaafan (amnesti).
Tampaknya Indonesia ingin belajar dari pengalaman negara-negara yang penah mengalami transisi dari otoritarianisme ke demokrasi. Di negara-negara ini KKR atau lembaga sejenisnya terbukti cukup efektif untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu. Misalnya Chile dan Argentina yang hanya memberi mandat terbatas kepada KKR untuk penyelidikan kasus-kasus ekstra yudisial dan penghilangan paksa (disappearances), atau di Afrika Selatan, Guatemala dan El salvador dimana KKR memiliki mandat yang menjangkau hampir semua tipe pelanggaran HAM berat.
Di Indonesia, walaupun UU Pengadilan HAM telah mengintrodusir lembaga rekonsiliasi, tetapi tidak ada ketegasan mengenai ruang lingkup kewenangan dalam draft UU tentang KKR. Hal ini menimbulkan banyak kekhawatiran, seperti terjadinya pelimpahan seluruh kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu semata-mata melalui KKR sehingga pengadilan HAM ad hoc sama sekali tidak berfungsi, atau bisa saja terjadi kemungkinan overlapping dalam penanganan suatu kasus pelanggaran HAM berat. Beranjak dari sini penulis mencoba memberikan beberapa paparan mengenai lingkup kewenangan dan prasyarat dijalankannya KKR di satu sisi dan pengadilan HAM ad hoc di sisi lain dengan tolok ukur retroaktif yang dimulai sejak dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 sampai pada masa peralihan kekuasaan Mei 1998.
Pada masa-masa tersebut, terdapat dugaan mengenai telah terjadinya serangkaian tindakan negara yang melanggar HAM secara sistematis, terencana dan meluas, seperti pembunuhan dan penculikan aktivis, penangkapan tanpa prosedur tokoh-tokoh masyumi, pembuangan orang-orang yang dituduh PKI ke pulau Buru, tragedi Tanjung Priok, tragedi Trisakti, Papua, Penyerbuan 27 Juli 1996, Haur Koneng, hingga konflik etnis dan agama di Maluku dan Pontianak.
Dari seluruh kasus di atas, tidak seluruhnya memiliki alat bukti lengkap, yang apabila dipaksakan untuk diajukan ke pengadilan akan berakibat pada bebasnya terdakwa. Hal ini harus dicegah karena realitas sosio-politik telah memberikan preseden bahwa masyarakat tidak pernah mau menerima suatu putusan bebas atas orang yang dituduh melakukan pelanggaran hukum. Faktor ini menjadi pertimbangan dalam proyeksi penyelesaian pelanggaran HAM berat, baik melalui prosedur pengadilan maupun di luar itu, dengan diintrodusirnya prinsip rekonsiliasi melalui KKR.
Sebagaimana prinsip dasarnya, KKR adalah sebuah format penegakan hukum pada masyarakat transisi, sekaligus sebagai proses penyadaran sosial untuk saling menghargai dan tidak mengulangi lagi perbuatan yang sama di masa lalu. Di sini penulis mencoba mengelaborasi beberapa prasyarat yang harus dipenuhi untuk diselenggarakannya suatu mekanisme KKR, berdasarkan kondisi sosial politik dimana pelanggaran HAM berat tersebut terjadi.
Pertama, kasus tersebut mendapat dukungan masyarakat yang secara nyata telah mendorong negara untuk melakukan pelanggaran HAM. Ini bisa dan biasanya terjadi dalam suatu negara yang peralihan kekuasannya berjalan luar biasa (tidak normal). Kedua, tidak adanya bukti-bukti yang cukup. Faktor ini jelas untuk mengantisipasi putusan bebas bagi terdakwa/tertuduh dan tidak mungkin dituntut, dengan tuntutan yang sama, untuk kedua kalinya karena berdasarkan alasan ne bis in idem. Ketiga, adanya kebutuhan yang sangat mendesak (emergency) sehingga dengan terpaksa dilakukan pelanggaran. Keadaan demikian merupakan sesuatu yang lazim terjadi di banyak negara dunia ketiga, dimana dalam keadaan yang sangat mendesak negara dapat melakukan tindakan-tindakan yang --apabila dalam keadaan normal-- dianggap sebagai pelanggaran.
Ketiga faktor tersebut menjadi pertimbangan bagi penyidik apakah suatu kasus pelanggaran HAM berat diselesaikan melalui mekanisme pengadilan ataukah KKR. Misalnya pembantaian tokoh-tokoh PKI 1965-1966. Terlepas dari adanya manipulasi fakta yang baru diketahui kemudian, saat itu masyarakat meyakini bahwa PKI merupakan momok bagi kontinuitas kehidupan agama-agama yang diartikulasikan dalam bentuk pembantaian. Begitupun untuk kasus penembakan misterius (petrus), rata-rata masyarakat mendukung tindakan ini walaupun diketahui bahwa hal tersebut merupakan pelanggaran HAM berat. Selain itu juag alat-alat bukti tidak mencukupi --kecuali anggapan terhadap pernyataan Soeharto dalam biografinya-- untuk menyebutkan bahwa tindakan tersebut dilakukan secara sistematis (salah satu unsur pelanggaran HAM berat) dan keadaan saat itu memang memaksa orang (negara?) untuk mengambil tindakan darurat terhadap para preman yang sudah sangat patologis.
Seluruh proposisi di atas sebatas menunjukkan bahwa terdapat persoalan besar dalam menentukan yurisdikasi dua lembaga penyelesaian pelanggaran HAM berat di Indonesia. Pelimpahan suatu kasus kepada pengadilan HAM ad hoc, yang akhirnya hanya akan menghasilkan putusan bebas merupakan tindakan yang tidak dapat diterima masyarakat. Sementara pelimpahan seluruh kasus pelanggaran HAM berat kepada KKR hanya akan menjadikan pengadilan HAM ad hoc tidak memiliki kekuasaan sama sekali.
Semua ini harus menjadi pertimbangan untuk mencegah baik terjadinya pelumpuhan pengadilan HAM ad hoc maupun terjadinya overlap kekuasaan antara pengadilan HAM ad hoc dengan KKR. Pertimbangan ini diajukan dengan tujuan untuk menjaga alur demokrasi dan perubahan masyarakat sesuai dengan hukum. Tetapi tentunya seluruhnya sangat tergantung pada kehendak politik negara (political will) dalam menegakkan hukum.
Asmar Oemar Saleh, Mantan Deputi Ham, Kantor MenegHam RI
Seperti diketahui bersama, di Indonesia belum ada preseden terhadap proses pengadilan bagi pelaku pelanggaran HAM berat yang diselesaikan secara hukum dengan menggunakan norma-norma hukum internasional, kecuali dengan menggunakan instrumen Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Padahal instrumen ini hanya dapat digunakan untuk kasus-kasus kejahatan biasa (ordinary crime), bukan terhadap genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan (extra ordinary crime).
Dalam hal kasus-kasus pelanggaran HAM berat, selalu saja terjadi tarik ulur kepentingan politik antara penguasa lama dengan penguasa baru. Kebijakan negara yang dibuat oleh penguasa baru selalu bergerak di antara penyelesaian secara hukum atau penyelesaian secara politik (damai). Kendati berdasarkan hukum internasional, sesungguhnya negara diwajibakan melakukan pengusutan dan penghukuman terhadap pelaku pelanggaran HAM berat, seringkali ketentuan itu sulit diterapkan karena penguasa lama masih terlalu kuat baik secara politik maupun ekonomi. Dengan asumsi bahwa pelaku pelanggaran HAM berat di masa lalu masih memiliki pengikut cukup banyak dan setia serta mengandung resiko politik yang sangat tinggi bagi keamanan negara, maka para pelaku pelanggaran HAM berat sulit diproses secara hukum atau dibawa ke pengadilan. Sementara alternatif penyelesaian secara politik, baik melalui kompromi ataupun melupakan, justru mengundang problem tersendiri karena masyarakat baik nasional maupun internasional, terutama para korban, dipastikan akan menentangnya.
Selama ini, dalam kasus pelanggaran HAM berat dimana militer terlibat, seringkali [untuk tidak mengatakan selalu] pelanggaran ini direduksi sedemikian rupa menjadi kesalahan prosedur. Dan jika pun terjadi proses pengadilan, baik melalui peradilan koneksitas maupun militer, kesalahan hanya dikenakan pada pelaku lapangan tidak termasuk para pemegang komando yang bertanggung jawab atas dikeluarkannya suatu kebijakan dan/atau operasi militer. Hal ini disebabkan, selain karena instrumen hukum yang digunakan tidak dapat menjangkau penentu kebijakan juga karena masih kuatnya posisi militer secara politik yang tidak menginginkan anggotanya diadili.
Saat ini pemerintah Gus Dur telah mempersiapkan 2 (dua) mekanisme penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu, yaitu melalui mekanisme pengadilan HAM ad hoc dan melalui mekanisme KKR. Khusus untuk tindakan militer, Undang-Undang Pengadilan HAM menyebutkan bahwa komandan militer atau seseorang yang bertindak sebagai komandan militer dapat dipertanggungjawabkan terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh pasukan yang berada di bawah komando dan pengendaliannya secara efektif (by omission) (Pasal 42 ayat (1) UU Pengadilan HAM).
Sebagai sebuah negara yang sedang transisi menuju demokrasi, Indonesia jelas tidak dapat sepenuhnya menerapkan prinsip-prinsip hukum bagi kasus-kasus genosida (genocide) dan kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity) yang terjadi di masa lalu. Tidak hanya karena rumitnya pembuktian kasus pelanggaran HAM, melainkan juga karena bukti-bukti untuk kasus tersebut banyak yang telah hilang --antara lain karena korban dan/atau saksi sudah meninggal atau karena bukti-bukti tertulisnya telah dimusnahkan-- akan tetapi mungkin juga karena kuatnya perlawanan dari pihak militer yang tidak menginginkan anggotanya diadili. Semua ini dapat berakibat pada gagalnya pembentukan negara demokrasi yang menjadi impian selama ini.
Menurut catatan penulis, terdapat beberapa hal yang menarik, sekaligus pula mengundang perdebatan tersendiri dalam UU Pengadilan HAM. Misalnya mengenai diperbolehkannya penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu melalui Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR). Diakuinya lembaga ekstra yudisial untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu, memperlihatkan bahwa undang-undang membenarkan adanya penyelesaian politis atas kasus-kasus pelanggaran HAM berat yang dapat berujung pada pemaafan (amnesti).
Tampaknya Indonesia ingin belajar dari pengalaman negara-negara yang penah mengalami transisi dari otoritarianisme ke demokrasi. Di negara-negara ini KKR atau lembaga sejenisnya terbukti cukup efektif untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu. Misalnya Chile dan Argentina yang hanya memberi mandat terbatas kepada KKR untuk penyelidikan kasus-kasus ekstra yudisial dan penghilangan paksa (disappearances), atau di Afrika Selatan, Guatemala dan El salvador dimana KKR memiliki mandat yang menjangkau hampir semua tipe pelanggaran HAM berat.
Di Indonesia, walaupun UU Pengadilan HAM telah mengintrodusir lembaga rekonsiliasi, tetapi tidak ada ketegasan mengenai ruang lingkup kewenangan dalam draft UU tentang KKR. Hal ini menimbulkan banyak kekhawatiran, seperti terjadinya pelimpahan seluruh kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu semata-mata melalui KKR sehingga pengadilan HAM ad hoc sama sekali tidak berfungsi, atau bisa saja terjadi kemungkinan overlapping dalam penanganan suatu kasus pelanggaran HAM berat. Beranjak dari sini penulis mencoba memberikan beberapa paparan mengenai lingkup kewenangan dan prasyarat dijalankannya KKR di satu sisi dan pengadilan HAM ad hoc di sisi lain dengan tolok ukur retroaktif yang dimulai sejak dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 sampai pada masa peralihan kekuasaan Mei 1998.
Pada masa-masa tersebut, terdapat dugaan mengenai telah terjadinya serangkaian tindakan negara yang melanggar HAM secara sistematis, terencana dan meluas, seperti pembunuhan dan penculikan aktivis, penangkapan tanpa prosedur tokoh-tokoh masyumi, pembuangan orang-orang yang dituduh PKI ke pulau Buru, tragedi Tanjung Priok, tragedi Trisakti, Papua, Penyerbuan 27 Juli 1996, Haur Koneng, hingga konflik etnis dan agama di Maluku dan Pontianak.
Dari seluruh kasus di atas, tidak seluruhnya memiliki alat bukti lengkap, yang apabila dipaksakan untuk diajukan ke pengadilan akan berakibat pada bebasnya terdakwa. Hal ini harus dicegah karena realitas sosio-politik telah memberikan preseden bahwa masyarakat tidak pernah mau menerima suatu putusan bebas atas orang yang dituduh melakukan pelanggaran hukum. Faktor ini menjadi pertimbangan dalam proyeksi penyelesaian pelanggaran HAM berat, baik melalui prosedur pengadilan maupun di luar itu, dengan diintrodusirnya prinsip rekonsiliasi melalui KKR.
Sebagaimana prinsip dasarnya, KKR adalah sebuah format penegakan hukum pada masyarakat transisi, sekaligus sebagai proses penyadaran sosial untuk saling menghargai dan tidak mengulangi lagi perbuatan yang sama di masa lalu. Di sini penulis mencoba mengelaborasi beberapa prasyarat yang harus dipenuhi untuk diselenggarakannya suatu mekanisme KKR, berdasarkan kondisi sosial politik dimana pelanggaran HAM berat tersebut terjadi.
Pertama, kasus tersebut mendapat dukungan masyarakat yang secara nyata telah mendorong negara untuk melakukan pelanggaran HAM. Ini bisa dan biasanya terjadi dalam suatu negara yang peralihan kekuasannya berjalan luar biasa (tidak normal). Kedua, tidak adanya bukti-bukti yang cukup. Faktor ini jelas untuk mengantisipasi putusan bebas bagi terdakwa/tertuduh dan tidak mungkin dituntut, dengan tuntutan yang sama, untuk kedua kalinya karena berdasarkan alasan ne bis in idem. Ketiga, adanya kebutuhan yang sangat mendesak (emergency) sehingga dengan terpaksa dilakukan pelanggaran. Keadaan demikian merupakan sesuatu yang lazim terjadi di banyak negara dunia ketiga, dimana dalam keadaan yang sangat mendesak negara dapat melakukan tindakan-tindakan yang --apabila dalam keadaan normal-- dianggap sebagai pelanggaran.
Ketiga faktor tersebut menjadi pertimbangan bagi penyidik apakah suatu kasus pelanggaran HAM berat diselesaikan melalui mekanisme pengadilan ataukah KKR. Misalnya pembantaian tokoh-tokoh PKI 1965-1966. Terlepas dari adanya manipulasi fakta yang baru diketahui kemudian, saat itu masyarakat meyakini bahwa PKI merupakan momok bagi kontinuitas kehidupan agama-agama yang diartikulasikan dalam bentuk pembantaian. Begitupun untuk kasus penembakan misterius (petrus), rata-rata masyarakat mendukung tindakan ini walaupun diketahui bahwa hal tersebut merupakan pelanggaran HAM berat. Selain itu juag alat-alat bukti tidak mencukupi --kecuali anggapan terhadap pernyataan Soeharto dalam biografinya-- untuk menyebutkan bahwa tindakan tersebut dilakukan secara sistematis (salah satu unsur pelanggaran HAM berat) dan keadaan saat itu memang memaksa orang (negara?) untuk mengambil tindakan darurat terhadap para preman yang sudah sangat patologis.
Seluruh proposisi di atas sebatas menunjukkan bahwa terdapat persoalan besar dalam menentukan yurisdikasi dua lembaga penyelesaian pelanggaran HAM berat di Indonesia. Pelimpahan suatu kasus kepada pengadilan HAM ad hoc, yang akhirnya hanya akan menghasilkan putusan bebas merupakan tindakan yang tidak dapat diterima masyarakat. Sementara pelimpahan seluruh kasus pelanggaran HAM berat kepada KKR hanya akan menjadikan pengadilan HAM ad hoc tidak memiliki kekuasaan sama sekali.
Semua ini harus menjadi pertimbangan untuk mencegah baik terjadinya pelumpuhan pengadilan HAM ad hoc maupun terjadinya overlap kekuasaan antara pengadilan HAM ad hoc dengan KKR. Pertimbangan ini diajukan dengan tujuan untuk menjaga alur demokrasi dan perubahan masyarakat sesuai dengan hukum. Tetapi tentunya seluruhnya sangat tergantung pada kehendak politik negara (political will) dalam menegakkan hukum.
Asmar Oemar Saleh, Mantan Deputi Ham, Kantor MenegHam RI
terimakasih..
ReplyDeletesalam,
bimbel online ipa