Monday, July 1, 2019

Waktu

Dua revolusi besar memunculkan fisika baru: teori kuantum dan teori relativitas. Yang terakhir, terutama berkat karya Einstein, adalah teori tentang ruang, waktu dan gerak. Konsekuensinya sama-sama mencengangkan dan mendasar seperti teori kuantum, dan menantang banyak gagasan berharga tentang hakikat alam semesta. Tidak ada yang istimewa kecuali pembahasan teori itu atas waktu –suatu persoalan yang menjadi perhatian yang intens dan lama dalam semua agama besar dunia.

Waktu begitu fundamental bagi pengalaman kita akan dunia sehingga setiap upaya memainkannya akan menemui skeptisisme dan penolakan besar. Setiap pekan ada saja saintis amatir yang ingin menemukan kesalahan dalam karya Einstein, dengan berupaya memperbaiki pengertian umum, konsep tradisional waktu, meskipun hampir sembilan puluh tahun semenjak keberhasilannya tak ada satu pun eksperimen yang merusak prediksi dari teori relativitas.

Gagasan kita tentang identitas personal –diri, jiwa—terkait erat dengan memori dan pengalaman yang kekal. Tidak cukup menyatakan ‘Saya ada’ saat ini. Menjadi individu menunjukkan kontinuitas pengalaman berikut sifat-sifat yang menyertainya, seperti memori. Banyak nada emosional dan keagamaan yang kuat terhadap klaim-klaim fisika baru dan terhadap daya tarik mendalam yang dimiliki baik oleh para saintis maupun orang awam, atas konsekuensi teori relativitas.

Yang disebut teori relativitas khusus, yang muncul pada 1905, lahir dari upaya-upaya untuk menyelaraskan konflik nyata antara gerak benda material dan meningkatnya gangguan elektromagnetik. Secara khusus, perilaku sinyal cahaya tampaknya menjadi pelanggaran mencolok prinsip terkenal bahwa semua gerak yang sama murni relatif. Hasilnya adalah bahwa Einstein memperbaiki prinsip relativitas, bahkan ketika sinyal cahaya terlibat, malah dikorbankan.

Korban pertama dari teori khusus tersebut adalah keyakinan bahwa waktu itu mutlak dan universal. Einstein menunjukkan bahwa waktu, sebenarnya, elastis dan dapat direnggangkan dan susut oleh gerak. Masing-masing pengamat mempunyai skala waktu personalnya sendiri, dan secara umum skala tersebut tidak sejalan dengan skala orang lain. Dalam kerangka kita sendiri, waktu tidak pernah tampak terdistorsi, tetapi relatif bagi pengamat lain yang bergerak dengan cara berbeda, waktu kita dapat dibuka di luar langkah waktu mereka.

Ketergelinciran skala waktu yang aneh ini membuka jalan bagi sejenis perjalanan waktu. Dalam pengertian tertentu, kita semua adalah pejalan dalam waktu, yang mengarah pada masa depan, akan tetapi elastisitas waktu memungkinkan sebagian orang sampai pada masa depan lebih cepat ketimbang yang lainnya. Gerak yang cepat memungkinkan Anda untuk meletakkan rem pada skala waktu Anda sendiri, dan membiarkan dunia berjalan sebagaimana maunya. Pada prinsipnya, kita dapat mencapai tahun 2020 dalam beberapa jam. Saat ini kecepatan roket yang ada, yang baru menyerupai jam atom, dapat menunjukkan ketergelinciran menit. Kunci bagi akibat ini adalah kecepatan cahaya. Semakin didekati, relung waktu semakin menaik. Teori tersebut melarang setiap orang untuk memutus rintangan cahaya, yang mengakibatkan pembalikan waktu.

Akibat yang luar biasa ini menimpa ruang, yang juga elastis. Ketika waktu dibentangkan, ruang menyusut. Ketika berdesak-desakan dalam kereta di stasiun kereta, jam stasiun bergerak sedikit lebih lambat jika dilihat dari sudut pandang Anda, dibandingkan dengan gerak kuli di peron. Sebaga gantinya, peron tampak agak lebih pendek menurut Anda. Tentu kita tidak pernah akan melihat akibat semacam itu karena akibat tersebut terlalu kecil pada tingkat kecepatan biasa, akan tetapi akibat tersebut dengan mudah dapat diukut berdasarkan instrumen yang sensitif.

Distorsi waktu semacam ini adalah tipu muslihat sains-fiksi, tetapi sama sekali tidak ada yang fiktif mengenai hal itu. Distorsi tersebut benar-benar terjadi. Salah satu fenomena yang aneh adalah apa yang disebut paradoks kembar. Pada pasangan kembar, saat yang satunya berpindah-pindah menabrak bintang yang dekat, dengan menyentuh rintangan cahaya, pasangannya tinggal di rumah menunggunya untuk kembali sepuluh tahun lagi. Ketika roket kembali, pasangan yang tinggal di bumi melihat saudaranya baru bertambah usia setahun dari sepuluh tahun pertumbuhan umurnya. Kecepatan tinggi memungkinkan untuk mengalami hanya satu tahun dari sepuluh tahun berlalu di bumi.

Einstein kemudian menggeneralisasi teorinya hingga meliputi dampak gravitasi. Teori relativitas umum yang ditimbulkannya memasukkan gravitasi, bukan sebagai daya, tetapi suatu distorsi ruang-waktu. Dalam teori ini, ruang-waktu bukanlah ‘datar’, yang tunduk pada kaidah-kaidah umum geometri akademis, tetapi berbentuk kurva atau melengkung, yang menimbulkan lengkungan ruang dan lengkungan waktu.

Semakin kuat gravitasi, semakin berat lengkung waktu. Sebagian bintang diketahui ketika tarikan gravitasinya begitu kuat sehingga waktu yang ada saat itu diperlambat. Jika gravitasi bintang semacam itu beberapa kali lebih bear, lengkung waktu akan meningkat hingga, pada nilai kritis gravitasi, waktu akan berhenti sama sekali. Dilihat dari bumi, permukaan bintang akan beku dalam keadaan terhenti. Namun, kita tidak dapat melihat hal yang luar biasa ini, karena cahaya yang kita gunakan untuk melihatnya juga terperangkap oleh tarikan gravitasi serupa. Bintang akan tampak hitam. Teori menunjukaan bahwa sebuah bintang dalam kondisi demikian tidak lagi dapat diam, tetapi akan mengalah pada gravitasinya sendiri dengan meninggalkan suatu ‘lubang’ dalam ruang –sebuah lubang hitam.

Karena itu, lubang hitam menggambarkan rute cepat menuju ‘kekekalan’. Sekali masuk lubang, ia akan terpenjara dalam lengkung waktu, tidak dapat kembali ke luar alam semesta lagi. Agar timbul dari lubang, ia harus keluar sebelum masuk. Ini sia-sia dan menunjukkan tidak ada jalan keluar. Cengkeraman yang tak terelakkan dari gravitasi lubang menyeret astronot (yang sial) menuju keganjilan, yang pada detik-mikro kemudian, dia mencapai batas waktu dan kemusnahan.

Revolusi dalam konsepsi kita tentang waktu yang menyertai teori relativitas dengan baik dapat diringkas oleh ucapan bahwa, sebelumnya, waktu dipandang sebagai mutlak, tetap dan universal. Tapi saat ini, waktu dilihat bersifat dinamis. Ia dapat membentang dan menyusut, melengkung dan bahkan berhenti sama sekali pada keganjilan. Kecepatan jam tidaklah mutlak, tetapi terkait dengan kondisi gerak atau situasi gravitasi pengamat.

Membebaskan waktu dari bungkus universalitas, dan membiarkan masing-masing waktu pengamat derlalu dengan independen, memaksa kita meninggalkan sejumlah asumsi yang sudah banyak dikenal. Misalnya, tidak ada kesepakatan bulat tentang pilihan ‘sekarang’. Dalam paradoks kembar, pada roket yang sedang berada dalam perjalanannya mungkin akan bertanya: “Apa yang dilakukan kembaranku di bumi sekarang?” Akan tetapi, ‘sekarang’ dari sudut roket adalah momen yang sangat berbeda dengan ‘sekarang’ di bumi. Ada gagasan bahwa urutan waktu dari dua peristiwa mungkin tampak berbeda bagi pengamat yang berbeda, dan itu tampak paradoks. Dapatkah sasaran hancur sebelum senjata menyala? Untunglah bagi hubugan sebab-akibat, hal itu tidak akan terjadi.

Salah satu konsekuensi dari fakta bahwa tidak ada momen ‘sekarang’ yang universal adalah pembagian waktu yang teratur ke dalam masa lalu, masa kini dan masa depan. Terlepasnya masa lalu, masa kini dan masa depan merupakan suatu langkah yang sangat mendasar, karena godaan untuk berasumsi bahwa hanya masa kini yang ‘benar-benar ada’ adalah besar. Sudah biasa diduga, tanpa berpikir, bahwa masa depan belum terbentuk dan barangkali belum ditetapkan; masa lalu telah berlalu, diingat dan lepas. Masa lalu dan masa depan, kalau seseorang mau meyakini, itu tidak ada. Hanya ada satu saat realitas tampak terjadi ‘pada suatu waktu’. Masa lalu, masa kini, dan masa depan pasti sama-sama nyata, karena masa lalu seseorang adalah masa kini dan masa depan orang lain.

Sayangnya konsep ini memang sangat sulit dipahami bahkan oleh fisikawan sekalipun. Waktu bukan sekadar skala dan sebagai sebuah urutan peristiwa yang terjadi. Persepsi prikologis dan pengindraan kita terhadap waktu agaknya lebih elementer ketimbang terhadap orientasi ruang atau materi. Ia merupakan pengalaman internal, bukan jasmani, yang kemudian dicurigai bahwa waktu sebenarnya tidak ‘mengalir’ sama sekali; semua itu hanya dalam pikiran.

Citra waktu yang naif pasti ditemukan dalam seni dan sastra: perjalanan waktu, sungai waktu, gerbong pertempuran waktu, gerak waktu. Sering dikatakan bahwa ‘sekarang’ atau ‘saat ini’ dari kesadaran kita bergerak terus sepanjang waktu dari masa lalu hingga masa depan, sehingga akhirnya tahun 2020 akan menjadi ‘sekarang’, demikian pula saat di mana kita membaca tulisan ini sekarang akan berlalu dan menjadi sejarah. Citra tersebut tidak dapat dipisahkan dari perasaan kehendak bebas kita. Masa depan tampaknya belum terbentuk, dan dengan demikian dapat dibentuk oleh tindakan kita sebelum masa depan itu tiba. Namun percayakah semua itu adalah sampah?

Dalam mengatur urusan sehari-hari, kita banyak bergantung pada konsep masa lalu, masa kini dan masa depan, dan tidak pernah mempertanyakan bahwa waktu benar-benar ‘berlalu’. Namun harus disadari bahwa semakin dalam kita menyelidiki konsep-konsep ini semakin ambigu dan tak bermakna pula konsep-konsep tersebut. Jikalau ada makna bagi konsep-konsep ini, maka tampaknya cenderung masuk ke dalam psikologi ketimbang fisika.

Ini memunculkan pertanyaan teologis yang pelik. Apakah tuhan mengalami berlalunya waktu? Kaum kristiani percaya bahwa tuhan itu kekal. Namun ‘kekal’ telah diartikan dalam dua pengertian yang berbeda. Dalam pengertian yang sederhana, kekal berarti abadi, atau ada tanpa awal atau berakhir selama durasi waktu yang tak berhingga. Akan tetapi, ada keberatan besar terhadap gagasan tuhan semacam itu. Tuhan yang ada dalam waktu harus tunduk pada perubahan. Akan tetapi, apa yang menyebabkan perubahan tersebut? Jika tuhan adalah sebab bagi segala yang ada, apalah artinya berbicara tentang sebab tertinggi yang juga mengalami perubahan?

Waktu bukanlah sifat ilahi, tetapi dapat diubah, secara fisik, bahkan oleh menipulasi manusia. Karena itu, tuhan yang ada dalam waktu dalam pengertian tertentu ‘terperangkap’ dalam cara kerja alam semesta fisik. Dalam kasus ini, posisi tuhan sendiri tentu tidak aman. Jelasnya, tuhan tidak dapat menjadi mahakuasa jika dia tunduk pada fisika waktu, juga tidak dapat dipandang sebagai pencipta alam semesta jika dia tidak menciptakan waktu. Sebenarnya, karena ruang dan waktu tak terpisahkan, tuhan yang tidak menciptakan waktu juga berarti tidak menciptakan ruang. Sebagaimana pada tulisan-tulisan sebelumnya, sekali ruang-waktu mengada, kemunculan materi dan tatanan dalam alam semesta dapat terjadi secara otomatis sebagai hasil dari aktivitas alamiah yang sempurna. Jadi, banyak orang akan mengatakan bahwa tuhan sebenarnya tidak dibutuhkan sebagai pencipta secuali menciptakan (ruang-)waktu.

Maka, kita terdorong pada makna lain dari kata kekal (abadi). Konsep tuhan melampaui waktu bermula setidak-tidaknya dari Agustinus yang menegaskan bahwa tuhan menciptakan waktu. Pandangan ini memperoleh dukungan dari teolog kristen. St. Anselmus mengungkapkan gagasan sebagai berikut: “Engkau (Tuhan) ada bukan kemarin, hari ini atau besok, tetapi Engkau ada langsung di luar waktu.”

Tuhan yang abadi bebas dari masalah yang disebutkan di atas, tetapi ditimpa kesulitan-kesulitan yang telah beberapa kali dibahas di tulisan-tulisan sebelumnya. Dia tidak dapat menjadi tuhan personal yang berpikir, bercakap-cakap, merasakan, merencanakan dan sebagainya, karena semua itu adalah aktivitas temporal. Sulit melihat bagaimana tuhan yang abadi (ada di luar ruang-waktu) dapat bertindak sepanjang waktu, meskipun yang demikian bukan hal yang mustahil. Tuhan yang abadi tidak dapat dipandang sebagai personal atau individu menurut pengertian manapun yang kita ketahui.

Kesalahan penilaian itu telah mendorong sejumlah teolog menolak pandangan tentang tuhan yang kekal ini. Paul Tillich menulis: “Jika kita menyebut Tuhan hidup, kita tegaskan bahwa Dia meliputi yang temporal dan, dengan demikian, juga berhubungan dengan bentuk waktu”. Sentimen yang serupa juga dikemukakan oleh Karl Barth: “Tanpa temporalitas utuh Tuhan, isi pesan Kristen tidak memiliki makna.”

Fisika waktu juga memiliki implikasi yang menarik bagi kepercayaan bahwa tuhan maha tahu. Jika tuhan kekal, dia tidak dapat dikatakan berpikir, karena berpikir merupakan aktivitas temporal. Akan tetapi, dapatkah wujud yang abadi memiliki pengetahuan? Memperoleh pengetahuan jelas melibatkan waktu, tetapi mengetahui seperti itu tidak. Jika tuhan mengetahui, misalnya, posisi setiap atom hari ini, maka pengetahuan terseut akan berubah besok. Karena itu, mengetahui secara abadi pasti melibatkan pengetahuan tuhan akan segala peristiwa sepanjang waktu.

Jadi, ada suatu kesulitan besar dan fundamental dalam upaya menyelaraskan semua sifat (tradisional) tuhan. Fisika modern, dengan temuannya tentang perubahan waktu, memunculkan keretakan antara kemahakuasaan tuhan dengan eksistensi personalnya. Sulit mengatakan bahwa tuhan dapat memiliki sifat-sifat ini sekaligus, meskipun tak sedikit pula kaum beragama yang dengan gegabah menabrakan dan mencampuradukan sifat-sifat ini demi mempertahankan argumen-argumen warisan kitab suci mereka.

Sumber: Free Thinker

No comments:

Post a Comment