Spesies cerdas Homo sapiens, yang menjadi pewaris sekaligus pelaku peradaban modern, muncul sekitar 300.000 hingga 400.000 tahun lalu di Afrika. Kemunculannya bukanlah suatu kebetulan, melainkan hasil dari proses evolusi biologis yang sangat panjang dan kompleks selama jutaan tahun. Evolusi ini, terutama pada sistem saraf pusat dan otak, telah memungkinkan manusia bukan hanya bertahan hidup, tetapi juga mengembangkan kesadaran diri, bahasa, imajinasi, serta—yang sangat unik—kemampuan untuk mengalami dan merumuskan makna dari pengalaman spiritual.
Di sisi lain, alam semesta telah eksis jauh lebih lama. Bumi terbentuk sekitar 4,5 miliar tahun yang lalu. Sejak awal, inti planet ini telah memancarkan medan magnetik yang sangat kuat dan stabil. Medan magnet ini berperan dalam banyak aspek geofisika, termasuk perlindungan terhadap radiasi kosmik dan pengaturan kehidupan di permukaan. Selain itu, di ruang antarbintang maupun antargalaksi, kita tahu bahwa gelombang elektromagnetik dan radiasi kosmik terus-menerus memancar, membentuk lanskap fisik yang luas dan energetik. Di tengah lingkungan kosmik dan geofisik yang demikian inilah otak manusia berkembang—dan dengan itu pula muncul kemungkinan bagi pengalaman spiritual untuk menjadi bagian dari kehidupan manusia.
Friday, October 31, 2025
Tuhan, Jiwa, dan Sains: Pergeseran Paradigma dalam Memahami Realitas
Selama sebagian besar sejarah peradaban manusia, konsep Tuhan dan jiwa digunakan sebagai penjelasan utama untuk fenomena yang tidak dimengerti. Dalam masyarakat pra-modern, segala yang tak dapat dijelaskan secara langsung dianggap sebagai intervensi adikodrati. Kilatan petir di langit adalah kemarahan dewa; hujan yang turun adalah rahmat ilahi; dan kehidupan yang muncul di muka bumi adalah karya tangan Tuhan yang tak terjangkau nalar.
Pandangan ini, yang dikenal sebagai God of the gaps (Tuhan pengisi kekosongan pengetahuan), bertahan lama karena manusia belum memiliki metode untuk menguji dan memverifikasi hipotesis secara sistematis. Namun, sejak lahirnya sains modern pada abad ke-16 dan 17, pendekatan manusia terhadap pengetahuan mulai berubah secara radikal. Galileo Galilei, Francis Bacon, hingga Isaac Newton menanamkan satu gagasan revolusioner: bahwa alam semesta tunduk pada hukum-hukum alam yang dapat dipahami, diukur, dan diprediksi, tanpa perlu asumsi metafisik sebagai prasyarat utama.
Pandangan ini, yang dikenal sebagai God of the gaps (Tuhan pengisi kekosongan pengetahuan), bertahan lama karena manusia belum memiliki metode untuk menguji dan memverifikasi hipotesis secara sistematis. Namun, sejak lahirnya sains modern pada abad ke-16 dan 17, pendekatan manusia terhadap pengetahuan mulai berubah secara radikal. Galileo Galilei, Francis Bacon, hingga Isaac Newton menanamkan satu gagasan revolusioner: bahwa alam semesta tunduk pada hukum-hukum alam yang dapat dipahami, diukur, dan diprediksi, tanpa perlu asumsi metafisik sebagai prasyarat utama.
Subscribe to:
Comments (Atom)

