Friday, October 31, 2025

Tuhan, Jiwa, dan Sains: Pergeseran Paradigma dalam Memahami Realitas

Selama sebagian besar sejarah peradaban manusia, konsep Tuhan dan jiwa digunakan sebagai penjelasan utama untuk fenomena yang tidak dimengerti. Dalam masyarakat pra-modern, segala yang tak dapat dijelaskan secara langsung dianggap sebagai intervensi adikodrati. Kilatan petir di langit adalah kemarahan dewa; hujan yang turun adalah rahmat ilahi; dan kehidupan yang muncul di muka bumi adalah karya tangan Tuhan yang tak terjangkau nalar.

Pandangan ini, yang dikenal sebagai God of the gaps (Tuhan pengisi kekosongan pengetahuan), bertahan lama karena manusia belum memiliki metode untuk menguji dan memverifikasi hipotesis secara sistematis. Namun, sejak lahirnya sains modern pada abad ke-16 dan 17, pendekatan manusia terhadap pengetahuan mulai berubah secara radikal. Galileo Galilei, Francis Bacon, hingga Isaac Newton menanamkan satu gagasan revolusioner: bahwa alam semesta tunduk pada hukum-hukum alam yang dapat dipahami, diukur, dan diprediksi, tanpa perlu asumsi metafisik sebagai prasyarat utama.
Sejak itu, sains perlahan tapi pasti mengikis wilayah-wilayah misterius yang sebelumnya diisi oleh dogma. Petir, yang dahulu dianggap sebagai panah Zeus atau dentuman kemarahan dewa, kini dipahami sebagai loncatan muatan listrik statis akibat perbedaan potensial di atmosfer. Hujan, yang dulu dianggap hadiah dari langit, kini dijelaskan melalui proses kondensasi, tekanan udara, dan siklus hidrologis. Bahkan pertanyaan mendasar tentang asal-usul kehidupan — salah satu misteri terdalam manusia — mulai disentuh oleh sains melalui teori abiogenesis, eksperimen Miller-Urey, dan eksplorasi struktur kimiawi RNA dan DNA.

Seiring majunya ilmu pengetahuan, satu hal menjadi jelas: tidak ada satu pun teori ilmiah yang valid secara empiris yang mengandalkan asumsi tentang keberadaan Tuhan sebagai entitas kausal. Bukan karena sains menolak Tuhan secara ideologis, tetapi karena keberadaan Tuhan tidak dapat diuji, diobservasi, atau diprediksi melalui metode ilmiah. Tidak ada artikel dalam jurnal sains yang telah melalui peer-review membahas Tuhan sebagai variabel penjelas. Dalam dunia sains, absennya bukti bukan semata-mata ketidaktahuan, melainkan petunjuk bahwa hipotesis tersebut belum (atau mungkin tidak bisa) diverifikasi.

Hal serupa terjadi dengan konsep jiwa. Selama ribuan tahun, jiwa diyakini sebagai entitas tak terlihat namun esensial dalam diri manusia — sumber kesadaran, moralitas, kehendak bebas, dan identitas diri. Filsuf seperti Plato memandang jiwa sebagai substansi yang abadi, terpisah dari tubuh jasmani, yang akan bertahan setelah kematian. Tradisi monoteistik besar — Yudaisme, Kristen, Islam — juga memegang teguh gagasan bahwa manusia memiliki jiwa kekal yang akan diadili dan menerima ganjaran atau hukuman setelah mati.

Namun, sains kehidupan modern — terutama neurologi, psikologi evolusioner, dan biologi molekuler — tidak menemukan bukti tentang entitas non-fisik bernama jiwa. Semua perilaku, emosi, dan keputusan tampaknya dapat dijelaskan secara memadai oleh aktivitas elektro-kimia di otak. Pemindaian fMRI, eksperimen neurologis, serta riset terhadap pasien yang mengalami kerusakan otak menunjukkan bahwa apa yang kita sebut sebagai "kesadaran" dapat dimanipulasi, diubah, bahkan dihancurkan oleh perubahan fisik di dalam otak. Tidak ada satu pun eksperimen yang menemukan bukti keberadaan jiwa sebagai substansi independen.

Bahkan, ketika pengujian dilakukan pada binatang — untuk membuktikan apakah mereka memiliki "jiwa" — hasilnya nihil. Tetapi yang lebih penting adalah bahwa hasil yang sama juga terjadi ketika manusia dijadikan objek eksperimen. Tidak ditemukan entitas yang tidak berfisik, tidak ditemukan "roh", tidak ditemukan "jiwa" di antara sel-sel saraf, neokorteks, atau pusat limbik dalam otak manusia.

Sains bukan sekadar diam karena tidak tahu; ia bersikap skeptis aktif karena seluruh kerangka kerjanya didasarkan pada asas verifikasi dan falsifikasi. Dalam kerangka teori evolusi Darwin, gagasan tentang jiwa menjadi problematis. Jika manusia adalah hasil seleksi alam selama jutaan tahun dari nenek moyang primata, maka sulit untuk mempertahankan gagasan bahwa manusia tiba-tiba “dianugerahi” jiwa yang abadi, sementara simpanse, orangutan, atau lumba-lumba yang memiliki kesadaran, empati, bahkan moralitas dasar — tidak. Di mana garis batasnya? Di mana transisi metafisis dari "makhluk tak berjiwa" ke "makhluk berjiwa"?

Gagasan jiwa tidak hanya tidak didukung bukti, tetapi juga tidak kompatibel dengan prinsip seleksi alam yang gradual dan tanpa tujuan akhir. Jika jiwa adalah entitas ilahi, ia tidak bisa berevolusi. Jika ia muncul secara bertahap, lalu pada tahap mana manusia "mendapatkannya"? Jawaban atas pertanyaan ini terus menjadi batu sandungan teologis dan filosofis dalam dialog antara agama dan sains.

Tentu, banyak ilmuwan secara pribadi masih memegang keyakinan tentang Tuhan atau jiwa. Namun, mereka memisahkan keyakinan pribadi dari praktik ilmiah mereka. Itulah prinsip metodologis sains: memusatkan perhatian hanya pada yang bisa diamati, diuji, dan direplikasi. Maka jangan heran jika dalam jurnal-jurnal kedokteran, biologi, atau ilmu kognitif tidak pernah kita temukan pembahasan serius tentang jiwa — bukan karena sains angkuh, tetapi karena sains tidak bekerja dengan spekulasi.

Sebagian orang akan merasa tidak nyaman dengan kesimpulan ini. Tanpa jiwa, apa yang membuat manusia istimewa? Bukankah kita sekadar kumpulan atom dan impuls listrik? Jawaban sains mungkin terasa dingin dan tanpa penghiburan. Tetapi justru di sanalah letak kekuatan sains: ia tidak menjanjikan penghiburan, melainkan pemahaman. Ia tidak menyuplai makna, tetapi membuka kemungkinan untuk menciptakan makna sendiri. Sains membebaskan manusia dari mitos, tetapi juga memberi kita tanggung jawab untuk menata hidup kita secara sadar, bukan karena janji surga, tetapi karena rasa hormat terhadap hidup itu sendiri.

AOS

No comments:

Post a Comment