Wednesday, August 10, 2016

Haruskah Sains Berunding dengan Agama?

Oleh: Lawrence M. Krauss dan Richard Dawkins

(Sumber: Scientific American, Juli 2007, hal. 88-91)


Dua pembela sains kenamaan saling bertukar pandangan perihal bagaimana ilmuwan sebaiknya mendekati agama dan para pemeluknya.

Pendahuluan Editor
Walaupun kedua penulis berada di pihak sains, mereka tidak selalu sependapat tentang cara terbaik dalam menentang ancaman bermotif agama terhadap praktek atau pelajaran ilmiah. Kraus, fisikawan terkemuka, sering masuk sorotan publik untuk mempertahankan teori evolusi dalam kurikulum sains sekolah dan menjauhkan varian-varian kreasionisme ilmiah semu darinya. Sebuah surat terbuka dikirimnya kepada Paus Benediktus XVI di tahun 2005, mendesak Paus agar tidak membangun tembok baru antara sains dan agama, agar memimpin Vatikan dalam menegaskan kembali pengakuan Gereja Katolik terhadap seleksi alam sebagai teori ilmiah yang sah.

Dawkins, biolog evolusi, penulis subur dan dosen, juga merupakan pengkritik fasih terhadap segala upaya meruntuhkan penalaran ilmiah. Namun secara umum dia kurang menampakkan perhatian dibanding Krauss dalam menggapai koeksistensi damai antara sains dan agama. Judul buku laris Dawkins, The God Delusion, barangkali paling merangkum pendapatnya soal keyakinan agama.

Kedua sekutu ini membandingkan catatan dari garis depan di sela jeda konferensi pembahasan benturan sains dan agama yang diselenggarakan di Salk Institute for Biological Studies di San Diego akhir tahun lalu. Dalam dialog yang mereka reproduksi di sini, para penulis menjelaskan taktik masing-masing untuk melawan musuh dan menangani beberapa pertanyaan yang dihadapi semua ilmuwan ketika memutuskan apakah mau dan bagaimana caranya berunding dengan kaum beriman perihal sains: apakah tujuannya untuk mengajarkan sains ataukah mendiskreditkan agama? Bisakah kedua pandangan saling memperkaya? Apakah agama memang buruk secara bawaan? Dalam versi panjang percakapan mereka yang tersedia di www.sciam.com/ontheweb, kedua penulis juga menggali apakah sains dapat menguji “Hipotesis Tuhan”.

Krauss: Saya dan Anda telah mencurahkan sedikit waktu untuk mencoba membuat masyarakat bergairah terhadap sains, sambil berupaya menjelaskan dasar-dasar pemahaman ilmiah mutakhir mengenai alam semesta. Jadi rasanya pantas untuk bertanya apa yang mesti menjadi tujuan utama seorang ilmuwan ketika membicarakan atau menuliskan agama. Saya penasaran mana yang lebih penting: memanfaatkan kontras antara sains dan agama untuk mengajarkan sains atau mencoba menempatkan agama di tempatnya? Saya kira saya ingin lebih berkonsentrasi pada isu pertama, dan Anda ingin lebih berkonsentrasi pada isu kedua.

Saya bilang begini karena jika kita berharap untuk mengajari masyarakat, maka sudah jelas kita perlu menjangkau mereka, memahami dari mana mereka berasal, kalau kita ingin memikat mereka supaya memikirkan sains. Saya sering berkata kepada para guru, contohnya, bahwa kekeliruan terbesar yang mereka buat adalah menganggap murid-murid mereka tertarik pada apa yang mereka katakan. Mengajar adalah memikat. Memberitahu masyarakat, di sisi lain, bahwa keyakinan terdalam mereka sebetulnya pandir—jikapun memang pandir—dan karenanya mereka mesti mendengarkan kami demi mempelajari kebenaran, pada akhirnya mengalahkan pedagogi susulan. Sebagai alternatif lain, jika tujuan utama mendiskusikan subjek ini adalah untuk menempatkan agama dalam konteksnya yang pantas, maka barangkali ada gunanya menggoncang masyarakat agar mempertanyakan keyakinan mereka.

Dawkins: Fakta bahwa saya menganggap agama sebagai sains yang buruk, sedangkan Anda menganggapnya pelengkap sains, pasti membiaskan kita ke arah sedikit berlainan. Saya sependapat dengan Anda bahwa mengajar adalah memikat, dan menjauhi audiens sebelum mengawalinya adalah strategi yang buruk. Mungkin saya bisa memperbaiki teknik pikat saya. Tapi tak ada yang mengagumi pemikat tak jujur, dan saya penasaran seberapa jauh Anda siap “menjangkau”. Kiranya Anda takkan menjangkau Penganut Bumi Datar. Tidak pula, barangkali, menjangkau Kreasionis Bumi Muda yang mengira seluruh alam semesta dimulai setelah Zaman Batu Pertengahan. Tapi barangkali Anda akan menjangkau Kreasionis Bumi Tua yang mengira Tuhan memulai segala sesuatunya dan kemudian mengintervensi dari waktu ke waktu untuk membantu evolusi dalam transisi-transisi sulit. Perbedaan antara kita cuma bersifat kuantitatif. Anda siap menjangkau sedikit lebih jauh daripada saya, tapi saya kira tidak sejauh itu.

Krauss: Biar saya perjelas apa yang dimaksud dengan menjangkau. Saya tidak bermaksud menyerah pada miskonsepsi tapi justru mencari cara pikat untuk menunjukkan kepada masyarakat bahwa ini memang miskonsepsi. Izinkan saya beri contoh. Kadangkala saya berdebat dengan kreasionis maupun penggandrung penculikan alien. Kedua kelompok mempunyai miskonsepsi serupa tentang sifat penjelasan: mereka merasa kita tidak mengerti apa-apa jika tidak mengerti segalanya. Dalam debat, mereka mengambil suatu klaim kabur, misalnya bahwa pada 1962 sekumpulan orang di Mongolia Luar melihat sebuah piring terbang melayang di atas gereja. Lalu mereka bertanya apakah saya kenal dengan episode yang satu ini, dan jika saya bilang tidak, mereka selalu berkata, “Kalau kau belum mempelajari setiap episode semacam itu, maka kau tak bisa berargumen bahwa penculikan alien tak mungkin terjadi.”

Ternyata saya bisa membuat setiap kelompok memikirkan ucapan mereka dengan memanfaatkan kelompok lain sebagai antitesis. Yakni, kepada kreasionis saya bertanya, “Kalian percaya dengan piring terbang?” Niscaya mereka menjawab “tidak”. Lalu saya bertanya, “Kenapa? Kalian sudah pelajari semua klaim tersebut?” Demikian pula kepada penggemar penculikan alien saya bertanya, “Kalian percaya dengan Kreasionisme Bumi Muda?” dan mereka menjawab “tidak”, ingin tampak ilmiah. Lalu saya bertanya, “Kenapa? Kalian sudah pelajari setiap klaim tandingan?” Poin yang saya buat untuk setiap kelompok adalah bahwa cukup masuk akal mendasarkan ekspektasi teoritis pada banyak bukti yang ada, tanpa mempelajari setiap klaim tandingan yang samar. Teknik “mengajar” ini telah berhasil dalam mayoritas kasus, kecuali kesempatan-kesempatan langka di mana ternyata saya berdebat dengan pemercaya penculikan alien yang sekaligus seorang kreasionis!

Dawkins: Saya suka klarifikasi Anda atas apa yang dimaksud “menjangkau”. Tapi perkenankan saya memperingatkan betapa mudahnya itu disalahpahami. Saya pernah menulis dalam resensi buku New York Times, “Jika Anda bertemu seseorang yang mengaku tak percaya evolusi, Anda aman untuk menyebut orang itu jahil, bodoh, atau gila (atau jahat, tapi saya agak tidak mempertimbangkannya).” Kalimat ini dikutip berulangkali demi mendukung pandangan bahwa saya pencakap besar yang fanatik, intoleran, berpikir tertutup, dan kelewatan. Tapi perhatikan kalimatnya. Itu tidak dikarang untuk memikat. Anda, Lawrence, hafal betul bahwa itu pernyataan fakta yang sederhana dan apa adanya.

Kejahilan bukan kejahatan. Menyebut seseorang jahil bukanlah penghinaan. Kita semua jahil tentang sebagian besar hal yang belum diketahui. Saya jahil sama sekali tentang bisbol, dan saya berani bilang Anda pun jahil sama sekali tentang kriket. Jika saya bilang pada seseorang yang percaya umur dunia adalah 6.000 tahun bahwa dirinya jahil, saya sedang memujinya dengan asumsi bahwa dia tidak bodoh, gila, atau jahat.

Krauss: Harus dikatakan bahwa saya sependapat dengan Anda soal ini. Menurut saya, kejahilan sering menjadi masalah, dan, untungnya, kejahilan paling mudah ditangani. Tidaklah peyoratif untuk menyebut seseorang jahil jika dia menyalahpahami isu-isu sains.

Dawkins: Sebagai gantinya, saya senang untuk sependapat dengan Anda bahwa saya bisa, dan barangkali mestinya, mengatakannya secara lebih bijaksana. Semestinya saya menjangkau secara lebih memikat. Tapi ada batasan. Anda akan berhenti sebelum ekstrim berikut:
“Yang terhormat Kreasionis Bumi Muda, saya sangat menghormati keyakinan Anda bahwa dunia berumur 6.000 tahun. Meski demikian, dengan rendah hati dan lemah-lembut saya nyatakan bahwa jika Anda membaca buku geologi, atau penanggalan radioisotop, atau kosmologi, atau arkeologi, atau sejarah, atau ilmu hewan, Anda akan merasa terpesona (bersamaan dengan Alkitab tentu saja), dan Anda akan mulai mengerti kenapa hampir semua orang terpelajar, termasuk teolog, menduga umur dunia diukur dalam angka miliaran tahun, bukan ribuan.”

Perkenankan saya mengusulkan strategi pikat alternatif. Alih-alih berpura-pura menghormati pendapat bebal, bagaimana kalau kasih-sayang yang sedikit kasar? Dramatiskan kepada Kreasionis Bumi Muda mengenai besarnya selisih antara keyakinannya dan keyakinan para ilmuwan: “6.000 tahun bukan sedikit berbeda dari 4,6 miliar tahun. Itu berbeda jauh, wahai yang terhormat Kreasionis Bumi Muda. Itu sama dengan Anda mengklaim jarak dari New York ke San Fransisco bukan 3.400 mil tapi 7,8 yar. Tentu saja saya hormati hak Anda untuk tidak sependapat dengan ilmuwan, tapi barangkali Anda takkan terlalu terluka dan tersakiti bila diberitahu—sebagai persoalan aritmetika deduktif dan tak terbantahkan—besaran aktual ketidaksepakatan yang Anda tanggung.”

Krauss: Saya tidak menganggap usulan Anda adalah “kasih-sayang yang kasar”. Justru itulah yang saya anjurkan, yakni cara kreatif dan memikat dalam menjelaskan besaran dan sifat miskonsepsi. Sebagian orang akan senantiasa terpedaya, tanpa peduli fakta, tapi sudah pasti bukan mereka yang coba kita jangkau. Melainkan mayoritas masyarakat yang mungkin punya pikiran terbuka terhadap sains tapi tidak tahu banyak tentangnya atau belum pernah terpapar bukti ilmiah. Dalam kaitan ini, perkenankan saya mengemukakan pertanyaan lain. Mungkin Anda akan percaya betul-betul dengan ini: bisakah sains memperkaya agama, atau haruskah ia selalu menghancurkannya?

Pertanyaan ini terbersit karena baru-baru ini saya diminta berbicara untuk simposium sains dan agama di sebuah kampus Katolik. Sepertinya saya dipandang sebagai seseorang yang berminat mendamaikan keduanya. Setelah setuju untuk memberi kuliah, ternyata saya diserahi judul Sains Memperkaya Agama. Terlepas dari kecemasan awal saya, semakin jauh saya pikirkan judulnya, semakin banyak dasar pemikiran yang dapat saya carikan. Kebutuhan untuk percaya pada kecerdasan ilahi tanpa adanya bukti langsung merupakan, baik atau buruk, komponen fundamental banyak jiwa manusia. Saya rasa kita takkan membersihkan umat manusia dari keyakinan agama melebihi keinginan untuk membersihkannya dari cinta romantis atau banyak aspek irasional kognisi manusia yang fundamental. Meski tak ada sangkut pautnya dengan komponen rasional ilmiah, aspek-aspek tersebut sama riilnya dan barangkali sama-sama patut diagungkan bila kita mempertimbangkan perikemanusiaan kita.

Dawkins: Sebagai bisik-bisik, pesimisme perikemanusiaan semacam itu populer di kalangan rasionalis sampai pada derajat masokisme. Seolah-olah Anda dan yang lain dalam konferensi tersebut, di mana dialog dimulai secara positif, menikmati ide bahwa umat manusia terus-menerus ditakdirkan tidak [berpikir] nalar. Tapi saya rasa irasionalitas tak ada kaitannya dengan cinta romantis atau syair atau emosi yang begitu dekat dengan apa saja yang membuat hidup layak dijalani. Itu semua tak ada sangkut pautnya dengan rasionalitas. Barangkali bersinggungan dengannya. Bagaimanapun, saya setuju sekali dengan semua itu, begitu pula Anda. Keyakinan irasional dan takhayul adalah urusan berbeda sama sekali. Untuk mengakui bahwa kita tak pernah bisa dibersihkan darinya—bahwa itu bagian tak terbatalkan dari sifat manusia—merupakan kekeliruan Anda dan, saya kira, mayoritas kolega dan teman Anda. Bukankah agak merendahkan jika beranggapan manusia secara umum tak mampu melepaskan diri darinya?

Medan Tempur Keyakinan
Dalam survey tahun 2005 terhadap para anggota US National Science Teachers Association:
  • 30% merasakan tekanan untuk menghilangkan [teori] evolusi dari pelajaran mereka.
  • 31% merasakan tekanan untuk memasukan alternatif non-ilmiah selain evolusi ke dalam pelajaran mereka.
Dalam survey Baylor Religion tahun 2006 terhadap 1.721 orang dewasa AS:
  • 69% menganggap doa semestinya diperbolehkan di sekolah-sekolah.
  • 25% menganggap sebagian penampakan UFO adalah kapal antariksa dari planet lain.
  • 88% menolak pemikiran bahwa Tuhan lebih menyukai partai politik tertentu.
  • 69% menolak pemikiran bahwa Tuhan lebih menyukai AS dalam urusan duniawi.
Dalam jajak pendapat Newsweek tahun 2007 terhadap 1.004 orang dewasa AS:
  • 48% menganggap Tuhan menciptakan manusia dalam wujudnya yang sekarang dalam 10.000 tahun belakangan.
  • 30% menganggap manusia berevolusi dari bentuk kehidupan yang lebih sederhana, dan Tuhan memandu proses tersebut.
  • 48% menganggap teori evolusi ditopang kuat oleh bukti, sedangkan 39% menganggap teori tersebut tidak memiliki penopang kuat.
Krauss: Saya tidak begitu yakin bahwa saya bersih dari keyakinan irasional, sekurangnya keyakinan irasional tentang diri saya sendiri. Tapi jika keyakinan agama adalah bagian sentral dari pengalaman hidup banyak orang, menurut saya pertanyaannya bukan bagaimana kita dapat membersihkan dunia dari Tuhan tapi sejauh mana sains dapat sekurangnya melunakkan keyakinan ini dan memotong aspek-aspek paling irasional dan berbahaya dalam fundamentalisme agama. Itu pastinya salah satu cara sains memperkaya agama.

Dalam kuliah saya untuk kelompok Katolik tersebut, contohnya, saya mengambil pedoman dari buku teranyar Anda dan menjelaskan bagaimana prinsip-prinsip ilmiah, termasuk persyaratan untuk tidak selektif dalam memilih data, menetapkan kita tak boleh memilih-milih fundamentalisme seseorang. Jika seseorang percaya bahwa homoseksualitas adalah abominasi karena Alkitab menyatakan demikian, dia harus menerima hal-hal lain yang dikatakan dalam Alkitab, termasuk kebolehan membunuh anak-anaknya sendiri jika tidak patuh atau keabsahan hak untuk tidur dengan ayahnya sendiri jika dia perlu memiliki anak dan tak ada pria lain di sekelilingnya, dan seterusnya.
Lebih jauh, sains dapat secara langsung membuktikan ketidakbenaran banyak penafsiran harfiah destruktif semacam itu atas kitab suci, termasuk contohnya gagasan bahwa kaum wanita hanyalah barang bergerak, yang bertentangan dengan penjelasan biologi mengenai peran biologis perempuan secara umum dan kemampuan intelektual wanita dan pria secara khusus. Dalam pengertian yang sama yang ditunjukkan Galileo, saat dia menyatakan Tuhan tak mungkin memberi manusia otak jika “dia” tidak menghendaki orang-orang memakainya untuk mempelajari alam, sudah pasti sains memperkaya agama.

Manfaat sains lainnya dikemukakan secara meyakinkan oleh Carl Sagan, yang, seperti saya dan Anda, bukan orang beragama. Meski begitu, dalam kompilasi Kuliah Gifford 1985 di Skotlandia mengenai sains dan agama yang diterbitkan setelah kematiannya, dia menunjukkan keajaiban standar agama sebetulnya terlalu rabun, terlalu terbatas. Satu dunia terlalu kecil untuk Tuhan riil. Luasnya alam semesta kita, yang diungkap oleh sains, jauh lebih besar. Selain itu, sekarang bisa kita tambahkan, mengingat tren mutakhir dalam fisika teoritis, bahwa satu alam semesta mungkin terlalu kecil dan bahwa kita ingin mulai berpikir dalam perspektif kumpulan alam semesta. Namun saya buru-buru menambahkan, memperkaya agama sangat berbeda dari menyediakan bukti penopang untuk agama. Saya yakin sains tidak melakukan ini.

Dawkins: Ya, saya suka sentimen Sagan itu, dan saya senang Anda menonjolkannya. Saya meringkasnya untuk penerbit-penerbit kuliah tersebut pada sampul bukunya: “Apakah Carl Sagan orang beragama? Dia jauh lebih dari itu. Dia meninggalkan dunia pertengahan, parokial, dan piciknya kaum agama konvensional; meninggalkan teolog, pendeta, dan mullah yang berkubang dalam kemiskinan spiritual berpikiran sempit. Dia meninggalkan mereka, karena dia punya lebih banyak hal untuk bersikap agamis. Mereka punya mitos Zaman Perunggu, takhayul abad pertengahan, dan khayalan kekanakan. Dia punya alam semesta.” Rasanya tak ada yang dapat saya tambahkan dalam menjawab pertanyaan Anda soal apakah sains bisa memperkaya agama. Itu bisa saja, dalam pengertian yang Anda dan Sagan maksud. Tapi saya benci disalahpahami sebagai penyokong agama.

Krauss: Saya ingin menutup dengan isu yang menurut saya adalah pokok banyak perdebatan mutakhir di kalangan ilmuwan berkenaan dengan agama: apakah agama memang buruk secara bawaan? Di sini saya akui, pandangan saya telah berevolusi selama tahun-tahun ini, walaupun Anda mungkin berargumen pada dasarnya saya telah melunak. Tentu saja ada banyak bukti bahwa agama bertanggungjawab atas banyak kejahatan, dan saya sering bilang, seperti halnya Anda, tak ada yang mau menabrakkan pesawat ke gedung tinggi dengan sengaja kalau bukan karena keyakinan bahwa Tuhan berada di pihaknya.

Sebagai seorang ilmuwan, saya rasa peran saya adalah untuk bersikap keberatan ketika keyakinan agama membuat orang-orang mengajarkan kebohongan soal dunia. Dalam hal ini, saya ingin berargumen, sebaiknya kita menghormati perasaan beragama tidak lebih atau tidak kurang dari kecenderungan metafisik lain, tapi itu tidak boleh dihormati ketika keliru. Keliru di sini maksudnya adalah keyakinan yang nyata-nyata bertentangan dengan bukti empiris. Bumi bukan berumur 6.000 tahun. Matahari tidak diam di langit. Manusia Kennewick bukan Indian Umatilla. Yang perlu diberantas bukan keyakinan agama, atau agama, melainkan kejahilan. Agama menjadi musuh hanya ketika terancam oleh pengetahuan.

Dawkins: Saya pikir kita sependapat sekali di sini. Dan walaupun istilah “kebohongan” terlalu kuat, karena mengimplikasikan niat untuk menipu, saya bukan termasuk orang yang meninggikan argumen moral di atas persoalan benar tidaknya keyakinan agama. Baru-baru ini saya bertemu, dan disiarkan televisi, dengan politisi kawakan Inggris Tony Benn, mantan menteri teknologi yang menyebut dirinya seorang Nasrani. Dalam diskusi kami, menjadi sangat jelas bahwa dia sama sekali tidak tertarik pada pertanyaan apakah keyakinan Kristen benar atau tidak; perhatian tunggalnya adalah apakah keyakinan tersebut bermoral. Dia keberatan terhadap sains dengan alasan itu tak punya pedoman moral. Saat saya protes bahwa pedoman moral bukanlah inti sains, dia kurang-lebih bertanya, lantas apa kegunaan sains. Sebuah contoh klasik dari sindrom yang oleh filsuf Daniel Dennet disebut “keyakinan pada keyakinan”.

Contoh lain adalah orang-orang yang menganggap kebenaran atau ketidakbenaran keyakinan agama kurang penting dibanding kemampuan agama untuk menghibur dan memberikan tujuan hidup. Saya kira Anda akan sependapat dengan saya bahwa kita tidak keberatan terhadap orang-orang yang mendatangkan hiburan dari manapun yang mereka pilih dan tidak keberatan terhadap pedoman moral yang kuat. Tapi persoalan nilai moral atau pelipur agama—apapun caranya—harus tetap dipisahkan dalam pikiran kita dari nilai kebenaran agama. Saya sering kesulitan meyakinkan kaum agama akan perbedaan ini, sampai saya berpikir bahwa kita pemikat ilmiah sedang menempuh perjuangan yang sulit.

Penulis
Lawrence M. Krauss
Lawrence M. Krauss adalah Ambrose Swasey Professor dan direktur Center for Education and Research in Cosmology and Astrophysics di Case Western Reserve University. Penulis tujuh buku populer dan lusinan ulasan untuk terbitan nasional, radio, dan televisi, dia juga memberi kuliah secara luas di bidang sains dan kebijakan publik. Di antara banyak tanda jasa ilmiahnya, dia mempunyai keunikan dengan menerima penghargaan tertinggi dari ketiga komunitas fisika AS. Di waktu senggang, dia memainkan The Planets bersama Cleveland Orchestra, menjadi juri Sundance Film Festival, dan menulis empat artikel untuk Scientific American.

Richard Dawkins
Richard Dawkins adalah Charles Simonyi Professor of the Public Understanding of Science di Universitas Oxford. Sembilan bukunya telah memberinya gelar doktor kehormatan di bidang sastra dan sains, dan dia merupakan Fellow di Royal Society dan Royal Society of Literature. Penghargaan untuknya sudah banyak, termasuk Cosmos International Prize, Nakayama Prize for Human Science, dan Shakespeare Prize for Distinguished Contributions to British Culture. Pada 2006, dia mendirikan Richard Dawkins Foundation for Reason and Science. Pedoman baru untuk sekolah-sekolah di Inggris menganjurkan agar para siswa memerankan tokoh semacam Galileo, Darwin, dan Dawkins saat memperdebatkan sains dan kreasionisme.

Untuk Digali Lebih Jauh
  • Unweaving the Rainbow. Richard Dawkins. Houghton Mifflin, 1998.
  • Questions That Plague Physics. Lawrence M. Krauss dan Claudia Driefus dalam Scientific American, Vol. 291, No. 2, hal. 82–85; Agustus 2004.
  • The God Delusion. Richard Dawkins. Houghton Mifflin, 2006.
  • Hiding in the Mirror: The Quest for Alternate Realities, from Plato to String Theory. Lawrence M. Krauss. Penguin, 2006.
  • Beyond Belief: Science, Religion, Reason and Survival, video konferensi dan latar belakang: http://beyondbelief2006.org/
  • Situs resmi Richard Dawkins: http://richarddawkins.net/
  • Laman Lawrence M. Krauss: www.phys.cwru.edu/~krauss/

    Sumber: sainstory

No comments:

Post a Comment