Gambar Besar, Sifat Dasar Realitas
Dalam kartun Road Runner, Wile E. Coyote sering digambarkan berlari melewati tepi jurang dan, alih-alih langsung jatuh seperti yang diprediksi oleh hukum gravitasi, ia justru melayang-layang di udara hingga akhirnya menyadari bahwa tidak ada lagi tanah di bawah kakinya—barulah ia jatuh. Dalam banyak hal, kita semua adalah Wile E. Coyote. Sepanjang sejarah, manusia telah merenungkan tempatnya di alam semesta dan mencari tahu mengapa kita ada di sini. Berbagai jawaban telah diajukan, seringkali saling bertentangan, namun untuk waktu yang lama kita berbagi keyakinan bahwa kehidupan memiliki makna yang melekat—bahwa ada alasan di balik keberadaan kita, tujuan yang menanti untuk ditemukan. Keyakinan ini menjadi fondasi dari cara kita memahami dan menjalani kehidupan.
Faktanya, landasan lama telah runtuh, dan kita baru mulai berani melihat ke bawah. Namun, tidak semua yang terlepas dari pijakan pasti jatuh. Jika Wile E. Coyote memiliki roket pendorong, ia bisa terbang dengan keinginannya sendiri. Demikian pula, kita kini dituntut untuk merakit "roket pemikiran" kita sendiri—kerangka konseptual yang mampu membawa kita melampaui kehilangan makna lama menuju pemahaman baru tentang realitas.
Pertanyaan mengenai sifat dasar realitas telah lama menjadi inti dari pemikiran filsafat, dikenal sebagai pertanyaan ontologis—mengenai apa yang benar-benar ada dan bagaimana strukturnya. Ontologi berbeda dengan epistemologi, yang berfokus pada bagaimana kita memperoleh pengetahuan. Dalam ranah ontologi, berbagai pendekatan berkembang: realisme versus idealisme, monisme versus dualisme, materialisme versus spiritualisme, bahkan perdebatan tentang apakah entitas seperti warna, kesadaran, atau moralitas benar-benar "nyata".
Kepercayaan pada Tuhan hanyalah satu bagian dari kerangka ontologis seseorang. Agama, meskipun sering kali mencakup kepercayaan kepada Tuhan, jauh lebih kompleks. Ia adalah fenomena sosial, historis, dan budaya yang mencakup nilai, praktik, institusi, dan warisan kolektif. Di sisi lain, humanisme muncul sebagai pendekatan sekuler yang tetap mengangkat nilai-nilai kemanusiaan, meskipun tanpa fondasi religius. Dalam konteks ini, naturalisme menjadi pandangan ontologis yang umum di kalangan ateis dan agnostik.
Naturalisme menyatakan bahwa hanya ada satu dunia: dunia alam. Ia beroperasi menurut pola-pola yang dapat dipahami melalui hukum alam dan penyelidikan ilmiah. Tidak ada entitas supernatural atau tujuan kosmik yang melampaui alam itu sendiri. Hidup dan kesadaran bukanlah entitas yang terpisah dari materi, melainkan muncul dari sistem kompleks yang terdiri atas unsur-unsur dasar. Dalam naturalisme, makna dan tujuan bukanlah pemberian dari luar, melainkan hasil konstruksi manusia yang lahir dari pengalaman dan interaksi kita di dunia ini.
Pandangan ini memiliki akar panjang, bahkan sebelum berkembangnya sains modern. Kita menemukannya dalam filsafat Yunani kuno, Buddhisme, dan pemikiran Tiongkok klasik seperti Wang Chong. Namun, baru dalam beberapa abad terakhir, seiring pesatnya kemajuan ilmu pengetahuan, argumen untuk naturalisme menjadi semakin kuat dan sulit untuk diabaikan.
Ontologi masyarakat awam cenderung pluralistik: kita menganggap bahwa manusia, batu, hewan, udara, dan bintang adalah entitas berbeda dengan sifat-sifat esensial yang unik. Kita juga cenderung menganggap entitas non-material seperti angka, nilai moral, atau cita-cita sebagai bagian dari realitas. Namun, sains telah mengarah pada penyatuan dan penyederhanaan. Filsuf seperti Thales menyatakan bahwa segala sesuatu berasal dari air; para pemikir Hindu kuno menyebut Brahman sebagai realitas tunggal yang mendasari segalanya. Dalam sains modern, proses penyatuan ini terlihat dalam berbagai pencapaian: dari Newton yang menjelaskan gravitasi universal, hingga Darwin yang menunjukkan kesatuan kehidupan, dan Einstein yang menyatukan ruang dan waktu.
Hasil dari perkembangan ini adalah pandangan dunia yang jauh lebih sederhana dan terpadu. Setiap objek yang kita temui—meja, manusia, bintang—pada akhirnya tersusun dari partikel yang sama. Tidak ada batas mutlak antara benda hidup dan tak hidup, atau antara langit dan bumi. Semua adalah bagian dari satu sistem fisik yang koheren.
Meskipun demikian, naturalisme tetap membuat klaim yang berat dan tidak selalu intuitif. Kita merasakan bahwa kehidupan dan kesadaran lebih dari sekadar kombinasi partikel. Ketika kita menatap mata orang yang kita cintai, kita tidak merasa sedang melihat sekadar struktur kimia. Kita merasakan makna, koneksi, dan keajaiban. Dorongan untuk mencari makna transenden atau menjawab pertanyaan "Mengapa?" adalah bagian alami dari pengalaman manusia. Naturalisme, sebaliknya, mengatakan bahwa mungkin itu bukanlah pertanyaan yang tepat untuk diajukan—atau setidaknya bukan pertanyaan yang dijawab oleh sains.
Naturalisme tidak menawarkan kepastian; ia menyisakan banyak hal yang belum diketahui. Kita belum tahu bagaimana kehidupan bermula, bagaimana kesadaran muncul, atau hukum fisika yang paling mendasar. Namun demikian, naturalisme mengklaim bahwa, meski tanpa jawaban akhir, ia adalah kerangka kerja terbaik yang kita miliki untuk memahami realitas secara konsisten dan dapat diuji.
Pandangan dunia ini tidak selalu terbentuk dari refleksi sadar, melainkan sering diwariskan melalui budaya. Banyak orang hidup dalam kerangka berpikir di mana manusia dianggap memiliki tempat istimewa dan tujuan kosmis, meskipun hal ini tidak lagi selaras dengan pemahaman ilmiah kita. Karena itu, tantangan besar kita adalah menjembatani pemahaman ilmiah tentang alam semesta dengan cara kita berbicara dan berpikir tentang makna hidup.
Di kalangan mereka yang menerima sains, sering ada asumsi diam-diam bahwa hal-hal seperti kebebasan, moralitas, dan tujuan hidup akan mudah dijelaskan. Kita hanyalah sekumpulan atom, dan seharusnya cukup untuk bersikap baik. Namun, kenyataannya lebih rumit. Konflik nilai, perbedaan pandangan, dan kerumitan kehidupan sosial menunjukkan bahwa etika dan makna tidak dapat direduksi pada slogan sederhana.
Pada akhirnya, hidup adalah sesuatu yang fana. Kita akan mati, dan dunia akan terus berputar tanpa kita. Dalam keterbatasan ini, muncul pertanyaan mendasar: seperti apa kehidupan yang layak dijalani? Bagaimana menyeimbangkan keluarga dan pekerjaan, tindakan dan perenungan? Alam semesta tidak memberikan jawaban eksplisit atas pertanyaan tersebut. Kita harus menciptakannya sendiri—dengan keberanian, kecerdasan, dan imajinasi.
Satu hal yang tidak pernah benar-benar dijelaskan oleh Star Trek adalah bagaimana sebenarnya mesin transporter bekerja. Apakah alat itu membongkar tubuh Anda hingga ke tingkat atom, mengirimkan partikel-partikel tersebut ke lokasi tujuan, lalu menyusunnya kembali? Atau justru hanya mengirimkan cetak biru dari susunan atom Anda—semacam informasi digital tentang diri Anda—kemudian membangun kembali versi Anda dari materi lokal di tempat tujuan? Dalam banyak episode, para awak kapal tampaknya mengasumsikan bahwa atom-atom asli Anda benar-benar berpindah melewati ruang, namun hal itu menjadi rumit saat kita mengingat episode “The Enemy Within.”
Dalam episode tersebut, terjadi malfungsi pada transporter yang menyebabkan Kapten Kirk “terbelah” menjadi dua sosok berbeda yang masing-masing berpijak pada aspek kepribadiannya: satu adalah Kirk yang kita kenal, rasional dan berintegritas; satu lagi adalah versi dirinya yang liar dan agresif. Tentu, penonton merasa terbantu karena versi “jahat” Kirk dengan cepat dicakar wajahnya oleh Yeoman Rand—membuat keduanya mudah dibedakan. Namun, pertanyaannya menjadi jauh lebih menggelisahkan jika dua versi tersebut identik secara sempurna, tanpa cacat atau tanda.
Kondisi seperti itu membawa kita ke dalam wilayah filsafat identitas pribadi—pertanyaan klasik yang dipertajam oleh pemikiran Derek Parfit. Bayangkan suatu mesin yang dapat membongkar seseorang dan kemudian menciptakan beberapa salinan sempurna dari individu tersebut, menggunakan materi yang berbeda namun tetap setia pada struktur aslinya. Siapakah dari mereka, jika ada, yang dapat dikatakan sebagai “yang asli”?
Jika hanya ada satu salinan, kebanyakan dari kita mungkin akan menerimanya sebagai kelanjutan dari diri yang sebelumnya, meskipun dibangun dari atom-atom baru. Bagaimanapun, tubuh manusia pun secara alami mengalami pergantian atom secara konstan sepanjang waktu. Tapi bagaimana jika duplikat itu dibuat sementara individu aslinya tetap hidup, lalu sesaat kemudian yang asli mati secara tragis? Apakah duplikat tersebut tetap bisa disebut orang yang sama?
Pertanyaan-pertanyaan ini menantang gagasan intuitif kita tentang diri dan kontinuitas. Mereka tidak hanya mempertanyakan teknologi fiksi ilmiah, tetapi menyentuh sesuatu yang jauh lebih dalam—apa sebenarnya yang membuat kita tetap menjadi diri kita dari waktu ke waktu? Jika pikiran, ingatan, dan kepribadian dapat disalin dan dipindahkan, lalu di mana letak “aku” yang sejati? Dalam dunia naturalisme, di mana tidak ada jiwa abadi yang berdiri terpisah dari tubuh, pertanyaan semacam ini menjadi semakin penting—dan sekaligus semakin sulit dijawab.
______________
No comments:
Post a Comment