Dulu saya tidak mengerti…sekarang saya
Mengerti… Cinta akan berakhir Bahagia…Cinta akan Selalu berakhir
Bahagia…dulu saya pikir, Cinta adalah kondisi-kondisi yang
menyertainya…Pasang surutnya…Kegembiraan Kesedihannya…Suka
Dukanya…ternyata bukan…bahkan juga bukan bersatu ataupun Berpisah…Cinta
bukan itu semua….Cinta sesungguhnya akan Berakhir Bahagia…apapun
kondisinya…apapun situasinya… Cinta akan Selalu Berakhir Bahagia…
Imam Al-Ghazali mengatakan, “Jika kita ingin mengenal diri, maka ketahuilah dua hal dengan sebenar-benarnya, pertama, hati, dan kedua, jiwa (ruh). Al-Ghazali juga menekankan, bahwa:“Kemuliaan manusia tidak ditentukan oleh kesiapannya mengenal Allah, tetapi dalam kesiapannya mengenali hatinya. Jika manusia telah mengenali hatinya, maka ia telah mengenali diri sendiri. Jika ia telah mengenali diri sendiri, maka ia telah mengenal Tuhannya.”
Rumi meninggal dan dikubur dalam Kubah Hijau [Qubat-ul-Azra’] yang bertuliskan, “Saat kami meninggal, jangan cari kuburan kami di tanah, tapi carilah di hati manusia.”
Seorang penyair Hindustan berkata, “Hasrat untuk melihat kekasih membawaku ke dunia, dan hasrat yang sama untuk melihat kekasih membawaku ke surga."
Cinta adalah api di dalam jiwa, ia adalah nyala api bila hati dinyalakan, dan ia adalah asap bila ia menjelma melalui tubuh.
Bila cinta dipusatkan pada satu obyek, ia adalah cinta. Bila diarahkan ke beberapa obyek, ia disebut kasih. Bila seperti kabut, ia disebut nafsu. Bila cenderung kepada moral, ia adalah kebaktian. Bila diperuntukkan bagi Allah, Yang Mahaberada dan Mahaperkasa, yang merupakan Keberadaan Total, ia disebut cinta ilahi, pecinta itu disebut suci.
Tiada daya yang lebih besar daripada cinta. Semua kekuatan muncul ketika cinta bangkit di dalam Hati.
Untuk membaca pikiran, untuk mengirimkan dan menerima pesan telepati, orang mencoba proses-proses fisik dengan sia-sia. Andai mereka tahu bahwa rahasia semua itu berada di dalam cinta!
Konsentrasi, yang merupakan rahasia setiap pencapaian dalam hidup, dan faktor terpenting dalam semua aspek hidup, terutama dalam jalur agama dan mistisisme, namun semua itu merupakan hal yang alami dalam cinta. Orang tanpa cinta akan menghabiskan waktu bertahun-tahun dalam jalur ini, dan akan selalu gagal untuk memusatkan pikiran mereka pada satu obyek. Tetapi cinta memaksa pecinta, menahan visi tentang kekasihnya di depan pandangannya. Maka pecinta tak perlu berkonsentrasi dalam pikirannya. Cintanya sendiri adalah konsentrasi yang memberinya penguasaan atas semua hal di dunia.
“Daya manusia adalah kekuatan tubuhnya, tetapi daya cinta adalah keperkasaan Allah.”
“Kebahagiaan seorang pecinta terletak di dalam kebahagiaan kekasihnya.”
Orang yang kolot berkata, “Ini baik, itu buruk. Ini benar, itu salah,” tetapi bagi seorang Sufi sumber semua perbuatan baik adalah cinta. Orang mungkin berkata bahwa cinta pun merupakan sumber perbuatan buruk, tetapi tidak demikian; sumbernya adalah tiadanya cinta.
Amal baik kita terbuat dari cinta, dan dosa-dosa kita disebabkan oleh tiadanya cinta. Cinta mengubah dosa menjadi kebaikan. Semua orang berkata, “Aku cinta,” atau “Aku telah mencintai,” tetapi sangat jarang cinta yang senantiasa meningkat sejak dimulai. Bagi pecinta sejati, sungguh aneh mendengar orang berkata, “Aku telah mencintinya, tetapi kini aku tak mencintainya lagi.”
Cinta harus secara mutlak bebas dari pementingan diri sendiri, karena bila tidak, ia tak akan menghasilkan cahaya yang benar. Bila api tak menyala, ia tak memberi cahaya, hanya asap yang keluar darinya, asap yang menyebalkan. Demikianlah cinta yang mementingkan diri sendiri; baik cinta kepada manusia maupun kepada Allah, ia tak berbuah karena meskipun tampak seperti cinta kepada orang lain maupun kepada Allah, ia sesungguhnya adalah cinta kepada diri sendiri.
Hafiz berkata tentang menyerah kepada kehendak kekasih: “Aku telah memecahkan gelas kehendakku ketika berbenturan dengan kehendak kekasihku.
Meskipun cinta adalah cahaya, ia menjadi kegelapan bila hukumnya tidak dipahami. Seperti air yang dapat membersihkan semua benda, air itu menjadi lumpur bila bercampur tanah. Demikian pula cinta, bila tidak dipahami dengan benar dan bila salah arah, ia menjadi kutukan, bukan berkah.
Ada lima dosa utama terhadap cinta, yang mengubah madu menjadi racun. Pertama, bila demi cintanya pecinta merampas kebebasan dan kebahagiaan kekasihnya. Kedua, bila pecinta membiarkan kecemburuan atau kepahitan dalam cinta. Ketiga, bila pecinta ragu, tak percaya, dan curiga kepada orang yang dicintainya. Keempat, bila cinta menyusut akibat membiarkan kesedihan, masalah, kesulitan, dan penderitaan yang datang dalam jalur cinta. Kelima, bila pecinta memaksakan kehendaknya sendiri, bukan menyerah kepada kehendak kekasih. Itu semua adalah penyebab alami dari petaka dalam hati yang mencinta, seperti penyakit bagi tubuh fisik. Lenyapnya kesehatan membuat hidup menyedihkan, demikian pula lenyapnya cinta membuat hati tertekan. Hanya pecinta yang menghindari kesalahan di atas akan memperoleh manfaat dari cinta, dan tiba dengan selamat di tempat tujuannya.
Kesabaran, pengorbanan, penyerahan, kekuatan, dan pengabdian dibutuhkan dalam cinta, dan tiada sesuatu kecuali harapan, hingga ia bersatu dengan kekasihnya. Pengorbanan dibutuhkan dalam cinta untuk memberi semuanya: kekayaan, harta milik, tubuh, hati, dan jiwa. Tiada lagi “Aku” yang tersisa, yang ada hanya “engkau”, sampai “engkau” itu berubah menjadi “aku”.
Orang-orang yang menghindari cinta dalam hidup karena takut akan deritanya, mengalami kerugian yang lebih besar dari pecinta, yang dengan kehilangan diri memperoleh semuanya.
Derita cinta pada saatnya akan menjadi kehidupan dari pecinta. Sakit dari luka hatinya
memberinya kegembiraan yang tak dapat diberikan oleh apapun juga. Hati yang terbakar menjadi lampu penerang di jalan yang ditempuh pecinta, meringankan jalannya sampai ke tujuan.
Kenikmatan hidup itu membutakan, hanya cinta saja yang membersihkan karat dari hati, cermin dari jiwa.
Pecinta membiarkan hatinya yang liar untuk dikasihani di depan kekasih, menempatkannya di telapak tangannya.
Ia meletakkan hatinya di kaki sang kekasih yang memperlakukannya dengan dingin, sementara ia berseru, “Lebih lembut, kekasihku, yang lembut! Itu adalah hatiku, itu adalah hatiku.”
Hati si pecinta mengeluarkan air mata darah. Pecinta menekan hatinya, mencegahnya agar tidak berlari kepada kekasihnya.
Pecinta itu mengeluh bahwa hatinya tak setia karena meninggalkannya dan pergi ke kekasihnya.
Cinta mengemis agar kekasih mengembalikan hatinya bila hati itu sudah tak digunakannya lagi.
Tempat tinggal hati adalah di dalam pelukan kekasihnya.
Luka dalam hati adalah mawar bagi pecinta, rasa sakit adalah keindahannya.
Ia menangis agar dapat meneteskan air asin kepadanya untuk membuatnya cerdas, agar ia dapat sepenuhnya menikmati derita yang manis.
Pecinta cemburu kepada perhatian yang dicurahkan pesaing terhadap kekasihnya.
Bila pecinta menceritakan kisah cintanya kepada kawan-kawannya, mereka akan menangis bersamanya.
Pecinta mencium tanah yang diinjak kekasihnya ketika berjalan. Ia iri kepada kesempatan yang dimiliki sepatu kekasihnya. Pecinta menggelar permadani di pintu bagi sang kekasih.
Alis sang kekasih adalah Mihrab, pintu lengkung pada masjid. Tahi lalat di pipi kekasih adalah noda ajaib yang mengungkapkan rahasia langit dan bumi kepadanya.
Debu di bawah kaki kekasih baginya merupakan tanah sakral dari Ka’bah.
Wajah kekasih adalah Al Qur’an yang terbuka, dan ia mambaca Alif, huruf dan huruf simbolik dari nama Allah, dalam sifat sang kekasih.
Pecinta minum anggur Kauthar, yang keluar dari mata kekasih. Pandangan kekasih membuatnya mabuk.
Suara gelang kekasih membuatnya hidup.
Pecinta puas dengan melihat kekasih meskipun dalam mimpi, bukan dalam keadaan terjaga.
Kegembiraan dalam arti yang nyata hanya diketahui oleh seorang pecinta.
Orang tanpa cinta hanya mengetahui namanya, ia tidak mengetahui kenyataannya. Perbedaannya seperti manusia dan batu. Dengan semua perjuangan dan kesulitan hidup, manusia lebih suka menjadi manusia daripada menjadi batu yang tak tersentuh oleh perjuangan atau kesulitan, karena dengan perjuangan dan kesulitan, kegembiraan hidup menjadi sangat besar. Dengan semua derita dan kesedihan yang harus ditemui pecinta di dalam cinta, kegembiraannya dalam cinta tak dapat dibayangkan, karena cinta adalah hidup, dan tanpa cinta berarti mati.
“Para malaikat akan meninggalkan kebebasan mereka di surga, andai mereka tahu kegembiraan ketika cinta bersemi pada orang muda.”
KISAH SURDAS
Hal ini dijelaskan dalam kehidupan Surdas, seorang pemusik dan penyair India. Dengan sangat mendalam ia mencintai seorang penyanyi dan senang melihatnya. Kecintaannya meningkat hingga ia tak dapat hidup tanpa dia dalam sehari saja. Suatu ketika terjadi hujan lebat yang berlangsung berminggu-minggu dan seluruh negeri banjir. Tak ada cara untuk bepergian, jalan-jalan tak dapat dilalui, tetapi tak ada sesuatu pun yang dapat menghalangi Surdas untuk menemui kekasihnya seperti yang dijanjikan. Ia berangkat dalam hujan lebat, tetapi di tengah jalan ia terhalang sungai yang banjir dan tak dapat diseberangi. Tak ada perahu yang tampak; maka Surdas meloncat ke dalam sungai dan mencoba berenang. Ombak sungai yang kasar mempermainkannya, mengangkatnya dan menceburkannya seolah-olah ia jatuh dari gunung ke dalam jurang. Untung, ia menjatuhi sebuah mayat, yang diperlakukannya seperti sebatang kayu, ia meraihnya dan berpegang kepadanya. Pada akhirnya, setelah perjuangan yang keras, ia sampai ke rumah kekasihnya. Ia menemukan pintu rumah itu terkunci. Waktu itu telah larut malam dan setiap suara akan mengganggu tetangga. Maka ia mencoba memanjat rumah dan masuk melalui jendela atas. Ia berpegang pada ular kobra yang tampak seperti tali yang tergantung, berpikir bahwa ‘tali’ itu segaja dipasang di sana untuknya oleh kekasihnya.
Kekasihnya terkejut ketika melihatnya. Ia tak dapat mengerti mengapa pecintanya berhasil datang, dan kesan cintanya tampak semakin besar dari sebelumnya. Gadis itu seolah-olah diberi inspirasi oleh cinta lelaki itu. Di matanya, lelaki itu bukan lagi manusia, tetapi telah meningkat menjadi malaikat, terutama setelah ia tahu bahwa pecintanya telah menganggap mayat sebagai kayu dan ular kobra sebagai tali. Ia melihat bagaimana kematian dikalahkan oleh lelaki pecintanya. Ia berkata kepadanya, “Hai pemuda, cintamu lebih besar dari cinta rata-rata manusia, dan andai cintamu diperuntukkan bagi Allah, betapa besarnya kegembiraan yang akan engkau peroleh! Karena itu, bangkitlah, angkatlah cintamu terhadap bentuk dan materi, dan arahkan cintamu kepada ruh Allah.” Lelaki itu mematuhi saran itu seperti anak kecil, meninggalkan gadis itu dengan berat hati dan sejak itu ia berkelana di dalam hutan-hutan di India.
Bertahun-tahun ia berkelana di hutan-hutan, menyebut-nyebut nama Kekasih ilahinya dan mencari perlindungan di dalam tangan-Nya. Ia mengunjungi tempat-tempat sakral, tempat-tempat ziarah, dan secara kebetulan ia tiba di tepi sebuah sungai sakral, di tempat itu wanita-wanita dari kota datang setiap pagi ketika matahari terbit untuk mengisi tempayan mereka dengan air suci. Surdas, yang duduk di sana sambil memikirkan Allah, terpesona oleh keindahan salah satu wanita yang datang.
Karena hatinya adalah lentera, ia tak perlu lama untuk menyala. Ia mengikuti wanita itu. Ketika memasuki rumahnya, wanita itu berkata kepada suaminya,”Seorang suci melihatku di sungai dan mengikutiku sampai ke rumah, dan ia masih berdiri di luar.” Si suami segera keluar dan melihat lelaki itu. Ia berkata, “Hai Maharaja, apa yang membuatmu berdiri di situ? Adakah sesuatu yang dapat kulakukan untukmu?” Surdas berkata, “Siapakah wanita yang tadi memasuki rumah ini?” Ia menjawab, “Dia isteriku; aku dan dia siap melayani orang suci seperti anda.” Surdas berkata, “Suruhlah dia datang, hai orang yang diberkahi, agar aku dapat melihatnya sekali lagi.”
Ketika wanita itu keluar, Surdas melihatnya sekali dan berkata, “Hai Ibu, bawakan aku dua buah [paku] pines.” Dan ketika benda yang diminta itu diberikan kepadanya, ia membungkuk kepada pesona dan kecantikan wanita itu sekali lagi, kemudian menusukkan pines itu ke kedua matanya sambil berkata, “Hai mataku, engkau tak akan lagi melihat dan tergoda oleh keindahan duniawi dan membawaku turun dari surga ke bumi.” Maka ia menjadi buta sejak itu; lagu-lagunya mengenai kesempurnaan ilahi masih terus hidup dan dinyanyikan oleh orang-orang India yang mencintai Allah; dan bila seorang Hindu buta, orang memanggilnya Surdas sebagai penghormatan.
“Meskipun aku hanya mencintai satu, tetapi ia abadi,” kata Mohi. Cinta hanya dapat ada bila hanya ada satu obyek di depan kita, bukan banyak obyek. Bila obyeknya banyak, tidak akan ada kesetiaan. “Bila di tempat bagi satu terdapat dua, keistimewaan yang satu itu hilang. Karena alasan itu, aku tak ingin potret kekasihku dibuat.” Yang satu itu ialah Allah, yang tak berbentuk dan tak bernama, yang abadi, yang bersama kita selamanya.
Cinta bagi satu orang, betapa pun dalamnya, tentu berbatas. Kesempurnaan cinta terletak pada ukuran besarnya. “Kecenderungan cinta adalah untuk mengembang, dari satu atom hingga ke seluruh alam semesta, dari satu kekasih duniawi hingga Allah.”
Cinta kepada manusia adalah primitif dan tidak lengkap, tetapi diperlukan untuk memulai. Orang tak akan dapat berkata, “Aku mencintai Allah,” bila ia tak memiliki cinta kepada sesama manusia. Namun ketika cinta mencapai kulminasi pada Allah, ia telah mencapai kesempurnaannya.
Cinta menciptakan cinta di dalam manusia dan lebih banyak lagi dengan Allah. Itu merupakan sifat cinta. Bila anda mencintai Allah, Allah mengirimkan cinta-Nya lebih banyak kepada anda. Bila anda mencarinya di malam hari, Dia akan mengikuti anda pada siang harinya. Di mana pun anda, dalam kegiatan anda, dalam transaksi bisnis, pertolongan, perlindungan dan kehadiran ilahi akan mengikuti anda.
Ungkapan cinta terletak di dalam kekaguman tanpa kata, kontemplasi, pelayanan, perhatian untuk menyenangkan kekasih, dan kehati-hatian untuk menghindari ketidaksukaan kekasih. Ungkapan cinta demikian oleh seorang pecinta akan menyenangkan kekasih, yang kebanggaannya tak dapat dipuaskan dengan cara lain. Keridhaan kekasih merupakan satu-satunya tujuan pecinta, tak ada harga yang terlalu mahal untuk memperolehnya.
Kebanggaan akan keindahan langit dipuaskan dengan mengagungkan-Nya, keindahan sejati satu satunya yang berhak atas segala pujian. Tiadanya kesadaran dari pihak manusia yang membuatnya melupakan keindahan-Nya dalam segala hal dan mengakui tiap keindahan secara terpisah, menyukai yang satu dan tak menyukai yang lain. Dalam pandangan orang yang tahu, mulai dari bagian keindahan terkecil hingga keindahan mutlak alam semesta, semua menjadi satu keberadaan tunggal Kekasih ilahi.
“Semua yang lain menghilang ketika gagasan mengenai kekasih menguasai pikiran pecinta”
“Dunia mengumandangkan keinginan pecinta.”
“Ka’bah seorang pecinta adalah tempat tinggal kekasihnya.”
“Sesungguhnya cinta adalah penyembuh dari lukanya sendiri”
“Apapun yang dilakukan pecinta bagi kekasihnya, itu tak pernah terlalu besar.”
“Cinta berarti penderitaan, tetapi pecinta sendiri berada di atas semua penderitaan.”
“Sang kekasih adalah semua dalam semua, pecinta hanya menutupinya. Kekasih adalah semua yang hidup, dan pecinta adalah benda mati.”
Cinta diarahkan oleh kecerdasan. Karena itu tiap orang memilih obyek cintanya sesuai dengan tingkat evolusinya. Obyek itu tampak baginya paling berhak atas cinta menurut tingkatan evolusinya. Di Timur ada pepatah, “Sebagaimana jiwa, demikianlah malaikatnya.” Keledai lebih menyukai rumput berduri daripada mawar.
Seorang perawan desa sedang pergi untuk menemui kekasihnya. Ia melewati seorang Mullah yang sedang melakukan shalat. Karena tidak tahu, ia berjalan di depan Mullah itu, suatu hal yang dilarang oleh agama. Mullah itu sangat marah, hingga ketika gadis itu kembali lewat di dekatnya, ia memarahinya. Ia berkata. “Alangkah berdosanya, hai gadis muda, berjalan di depanku ketika aku sedang shalat.” Gadis itu berkata, “Apa artinya shalat?” Dijawab, “Aku sedang memikirkan Allah, Tuhan langit dan bumi.” Gadis itu berkata, “Maafkan aku, aku belum tahu Allah dan shalat bagi-Nya, tetapi tadi aku sedang berjalan menuju kekasihku dan memikirkan kekasihku, hingga aku tak melihatmu sedang shalat. Aku heran bagaimana anda yang sedang memikirkan Allah dapat melihatku?” Perkataan gadis itu sangat berkesan pada Mullah hingga ia berkata, “Sejak saat ini, hai gadis, engkau adalah guruku. Akulah yang harus belajar darimu.”
Tumbuhnya cinta adalah kematian ego. Cinta yang sempurna sepenuhnya membebaskan pecinta dari pementingan diri sendiri, karena cinta dapat disebut juga dengan peniadaan [annihilation]. “Sesiapa yang memasuki sekolah cinta, pelajaran pertama yang diterima adalah menjadi bukan apa-apa.”
Ada kisah mengenai Rabiah, seorang Sufi besar, bahwa ia pernah melihat Muhammad dalam visinya dan ia ditanya oleh Nabi, “Hai Rabiah, siapa yang kau cintai?” Ia menjawab, “Allah.” Nabi berkatka, “Bukan Rasul-Nya?” ia menjawab, “Hai Guru yang diberkahi, siapa di dunia ini yang mengetahuimu tetapi tak mencintaimu? Tetapi kini hatiku begitu tenggelam dalam Allah hingga aku tak dapat melihat sesuatu kecuali Dia.”
Bagi mereka yang melihat Allah, Rasul dan Mursyid lenyap dari pandangan. Mereka hanya melihat Allah di dalam Mursyid dan Rasul. Mereka melihat segala sesuatu sebagai Allah dan tak melihat yang lain.
Dengan kebaktian kepada mursyid, murid belajar mencintai, berdiri dengan kerendahan anak kecil, pada wajah setiap makhluk di bumi ia melihat bayangan wajah mursyidnya. Bila Rasul yang diidealkan, ia melihat semua yang indah terefleksi di dalam kesempurnaan Rasul yang tidak tampak.Kemudian ia menjadi independen bahkan dari keutamaan, yang juga memiliki kutub yang berseberangan, dan pada kenyataannya tidak ada, karena itu hanya perbandingan yang membuat sesuatu lebih baik daripada yang lain. Ia hanya mencintai Allah, kesempurnaan yang ideal, yang tak dapat dibandingkan.
Kemudian ia sendiri berubah menjadi cinta, dan karya cinta telah diselesaikan. Kemudian pecinta sendiri berubah menjadi sumber cinta, asal cinta, dan ia hidup dalam kehidupan Allah, yang disebut Baqa bi-Allah. Kepribadiannya menjadi kepribadian ilahi. Kemudian pikirannya menjadi pikiran Allah, perkataannya menjadi perkataan Allah, perbuatannya menjadi perbuatan Allah, dan ia sendiri menjadi cinta, pecinta, dan kekasih sekaligus.
“Dengan reasoning, kamu memang tergoda untuk mengetahui jawabannya. Tapi jika jawabannya tidak kunjung datang, itu merupakan sebuah isyarat agar kita berhenti dan mulai menggunakan cara berikutnya. Yaitu … letting go.”
“Letting go itu bukannya tidak peduli, dik. Letting go itu membiarkan sebuah mekanisme lain bekerja, dan yang jelas itu bukan mekanisme reasoning. Sebab reasoning yang selalu mengumpul-ngumpulkan itu ada batasnya …”
Sumber: Kriya YN
-Master Ivan Prapanza-
Jika kita tidak bersabar ketika berada dalam musim dingin, maka kita
akan kehilangan keindahan musim semi yang cantik, kehangatan musim panas
yang menjanjikan harapan. Dan kita tidak akan memanen hasil pada musim
gugur. Kegelapan malam tidak selamanya bertahan, esok akan ada fajar
yang mengusir kegelapan. Ada harapan ada kegembiraan, dan tersenyumlah.Imam Al-Ghazali mengatakan, “Jika kita ingin mengenal diri, maka ketahuilah dua hal dengan sebenar-benarnya, pertama, hati, dan kedua, jiwa (ruh). Al-Ghazali juga menekankan, bahwa:“Kemuliaan manusia tidak ditentukan oleh kesiapannya mengenal Allah, tetapi dalam kesiapannya mengenali hatinya. Jika manusia telah mengenali hatinya, maka ia telah mengenali diri sendiri. Jika ia telah mengenali diri sendiri, maka ia telah mengenal Tuhannya.”
Rumi meninggal dan dikubur dalam Kubah Hijau [Qubat-ul-Azra’] yang bertuliskan, “Saat kami meninggal, jangan cari kuburan kami di tanah, tapi carilah di hati manusia.”
Seorang penyair Hindustan berkata, “Hasrat untuk melihat kekasih membawaku ke dunia, dan hasrat yang sama untuk melihat kekasih membawaku ke surga."
Cinta adalah api di dalam jiwa, ia adalah nyala api bila hati dinyalakan, dan ia adalah asap bila ia menjelma melalui tubuh.
Bila cinta dipusatkan pada satu obyek, ia adalah cinta. Bila diarahkan ke beberapa obyek, ia disebut kasih. Bila seperti kabut, ia disebut nafsu. Bila cenderung kepada moral, ia adalah kebaktian. Bila diperuntukkan bagi Allah, Yang Mahaberada dan Mahaperkasa, yang merupakan Keberadaan Total, ia disebut cinta ilahi, pecinta itu disebut suci.
Tiada daya yang lebih besar daripada cinta. Semua kekuatan muncul ketika cinta bangkit di dalam Hati.
Untuk membaca pikiran, untuk mengirimkan dan menerima pesan telepati, orang mencoba proses-proses fisik dengan sia-sia. Andai mereka tahu bahwa rahasia semua itu berada di dalam cinta!
Konsentrasi, yang merupakan rahasia setiap pencapaian dalam hidup, dan faktor terpenting dalam semua aspek hidup, terutama dalam jalur agama dan mistisisme, namun semua itu merupakan hal yang alami dalam cinta. Orang tanpa cinta akan menghabiskan waktu bertahun-tahun dalam jalur ini, dan akan selalu gagal untuk memusatkan pikiran mereka pada satu obyek. Tetapi cinta memaksa pecinta, menahan visi tentang kekasihnya di depan pandangannya. Maka pecinta tak perlu berkonsentrasi dalam pikirannya. Cintanya sendiri adalah konsentrasi yang memberinya penguasaan atas semua hal di dunia.
“Daya manusia adalah kekuatan tubuhnya, tetapi daya cinta adalah keperkasaan Allah.”
“Kebahagiaan seorang pecinta terletak di dalam kebahagiaan kekasihnya.”
Orang yang kolot berkata, “Ini baik, itu buruk. Ini benar, itu salah,” tetapi bagi seorang Sufi sumber semua perbuatan baik adalah cinta. Orang mungkin berkata bahwa cinta pun merupakan sumber perbuatan buruk, tetapi tidak demikian; sumbernya adalah tiadanya cinta.
Amal baik kita terbuat dari cinta, dan dosa-dosa kita disebabkan oleh tiadanya cinta. Cinta mengubah dosa menjadi kebaikan. Semua orang berkata, “Aku cinta,” atau “Aku telah mencintai,” tetapi sangat jarang cinta yang senantiasa meningkat sejak dimulai. Bagi pecinta sejati, sungguh aneh mendengar orang berkata, “Aku telah mencintinya, tetapi kini aku tak mencintainya lagi.”
Cinta harus secara mutlak bebas dari pementingan diri sendiri, karena bila tidak, ia tak akan menghasilkan cahaya yang benar. Bila api tak menyala, ia tak memberi cahaya, hanya asap yang keluar darinya, asap yang menyebalkan. Demikianlah cinta yang mementingkan diri sendiri; baik cinta kepada manusia maupun kepada Allah, ia tak berbuah karena meskipun tampak seperti cinta kepada orang lain maupun kepada Allah, ia sesungguhnya adalah cinta kepada diri sendiri.
Hafiz berkata tentang menyerah kepada kehendak kekasih: “Aku telah memecahkan gelas kehendakku ketika berbenturan dengan kehendak kekasihku.
Meskipun cinta adalah cahaya, ia menjadi kegelapan bila hukumnya tidak dipahami. Seperti air yang dapat membersihkan semua benda, air itu menjadi lumpur bila bercampur tanah. Demikian pula cinta, bila tidak dipahami dengan benar dan bila salah arah, ia menjadi kutukan, bukan berkah.
Ada lima dosa utama terhadap cinta, yang mengubah madu menjadi racun. Pertama, bila demi cintanya pecinta merampas kebebasan dan kebahagiaan kekasihnya. Kedua, bila pecinta membiarkan kecemburuan atau kepahitan dalam cinta. Ketiga, bila pecinta ragu, tak percaya, dan curiga kepada orang yang dicintainya. Keempat, bila cinta menyusut akibat membiarkan kesedihan, masalah, kesulitan, dan penderitaan yang datang dalam jalur cinta. Kelima, bila pecinta memaksakan kehendaknya sendiri, bukan menyerah kepada kehendak kekasih. Itu semua adalah penyebab alami dari petaka dalam hati yang mencinta, seperti penyakit bagi tubuh fisik. Lenyapnya kesehatan membuat hidup menyedihkan, demikian pula lenyapnya cinta membuat hati tertekan. Hanya pecinta yang menghindari kesalahan di atas akan memperoleh manfaat dari cinta, dan tiba dengan selamat di tempat tujuannya.
Kesabaran, pengorbanan, penyerahan, kekuatan, dan pengabdian dibutuhkan dalam cinta, dan tiada sesuatu kecuali harapan, hingga ia bersatu dengan kekasihnya. Pengorbanan dibutuhkan dalam cinta untuk memberi semuanya: kekayaan, harta milik, tubuh, hati, dan jiwa. Tiada lagi “Aku” yang tersisa, yang ada hanya “engkau”, sampai “engkau” itu berubah menjadi “aku”.
Orang-orang yang menghindari cinta dalam hidup karena takut akan deritanya, mengalami kerugian yang lebih besar dari pecinta, yang dengan kehilangan diri memperoleh semuanya.
Derita cinta pada saatnya akan menjadi kehidupan dari pecinta. Sakit dari luka hatinya
memberinya kegembiraan yang tak dapat diberikan oleh apapun juga. Hati yang terbakar menjadi lampu penerang di jalan yang ditempuh pecinta, meringankan jalannya sampai ke tujuan.
Kenikmatan hidup itu membutakan, hanya cinta saja yang membersihkan karat dari hati, cermin dari jiwa.
Pecinta membiarkan hatinya yang liar untuk dikasihani di depan kekasih, menempatkannya di telapak tangannya.
Ia meletakkan hatinya di kaki sang kekasih yang memperlakukannya dengan dingin, sementara ia berseru, “Lebih lembut, kekasihku, yang lembut! Itu adalah hatiku, itu adalah hatiku.”
Hati si pecinta mengeluarkan air mata darah. Pecinta menekan hatinya, mencegahnya agar tidak berlari kepada kekasihnya.
Pecinta itu mengeluh bahwa hatinya tak setia karena meninggalkannya dan pergi ke kekasihnya.
Cinta mengemis agar kekasih mengembalikan hatinya bila hati itu sudah tak digunakannya lagi.
Tempat tinggal hati adalah di dalam pelukan kekasihnya.
Luka dalam hati adalah mawar bagi pecinta, rasa sakit adalah keindahannya.
Ia menangis agar dapat meneteskan air asin kepadanya untuk membuatnya cerdas, agar ia dapat sepenuhnya menikmati derita yang manis.
Pecinta cemburu kepada perhatian yang dicurahkan pesaing terhadap kekasihnya.
Bila pecinta menceritakan kisah cintanya kepada kawan-kawannya, mereka akan menangis bersamanya.
Pecinta mencium tanah yang diinjak kekasihnya ketika berjalan. Ia iri kepada kesempatan yang dimiliki sepatu kekasihnya. Pecinta menggelar permadani di pintu bagi sang kekasih.
Alis sang kekasih adalah Mihrab, pintu lengkung pada masjid. Tahi lalat di pipi kekasih adalah noda ajaib yang mengungkapkan rahasia langit dan bumi kepadanya.
Debu di bawah kaki kekasih baginya merupakan tanah sakral dari Ka’bah.
Wajah kekasih adalah Al Qur’an yang terbuka, dan ia mambaca Alif, huruf dan huruf simbolik dari nama Allah, dalam sifat sang kekasih.
Pecinta minum anggur Kauthar, yang keluar dari mata kekasih. Pandangan kekasih membuatnya mabuk.
Suara gelang kekasih membuatnya hidup.
Pecinta puas dengan melihat kekasih meskipun dalam mimpi, bukan dalam keadaan terjaga.
Kegembiraan dalam arti yang nyata hanya diketahui oleh seorang pecinta.
Orang tanpa cinta hanya mengetahui namanya, ia tidak mengetahui kenyataannya. Perbedaannya seperti manusia dan batu. Dengan semua perjuangan dan kesulitan hidup, manusia lebih suka menjadi manusia daripada menjadi batu yang tak tersentuh oleh perjuangan atau kesulitan, karena dengan perjuangan dan kesulitan, kegembiraan hidup menjadi sangat besar. Dengan semua derita dan kesedihan yang harus ditemui pecinta di dalam cinta, kegembiraannya dalam cinta tak dapat dibayangkan, karena cinta adalah hidup, dan tanpa cinta berarti mati.
“Para malaikat akan meninggalkan kebebasan mereka di surga, andai mereka tahu kegembiraan ketika cinta bersemi pada orang muda.”
KISAH SURDAS
Hal ini dijelaskan dalam kehidupan Surdas, seorang pemusik dan penyair India. Dengan sangat mendalam ia mencintai seorang penyanyi dan senang melihatnya. Kecintaannya meningkat hingga ia tak dapat hidup tanpa dia dalam sehari saja. Suatu ketika terjadi hujan lebat yang berlangsung berminggu-minggu dan seluruh negeri banjir. Tak ada cara untuk bepergian, jalan-jalan tak dapat dilalui, tetapi tak ada sesuatu pun yang dapat menghalangi Surdas untuk menemui kekasihnya seperti yang dijanjikan. Ia berangkat dalam hujan lebat, tetapi di tengah jalan ia terhalang sungai yang banjir dan tak dapat diseberangi. Tak ada perahu yang tampak; maka Surdas meloncat ke dalam sungai dan mencoba berenang. Ombak sungai yang kasar mempermainkannya, mengangkatnya dan menceburkannya seolah-olah ia jatuh dari gunung ke dalam jurang. Untung, ia menjatuhi sebuah mayat, yang diperlakukannya seperti sebatang kayu, ia meraihnya dan berpegang kepadanya. Pada akhirnya, setelah perjuangan yang keras, ia sampai ke rumah kekasihnya. Ia menemukan pintu rumah itu terkunci. Waktu itu telah larut malam dan setiap suara akan mengganggu tetangga. Maka ia mencoba memanjat rumah dan masuk melalui jendela atas. Ia berpegang pada ular kobra yang tampak seperti tali yang tergantung, berpikir bahwa ‘tali’ itu segaja dipasang di sana untuknya oleh kekasihnya.
Kekasihnya terkejut ketika melihatnya. Ia tak dapat mengerti mengapa pecintanya berhasil datang, dan kesan cintanya tampak semakin besar dari sebelumnya. Gadis itu seolah-olah diberi inspirasi oleh cinta lelaki itu. Di matanya, lelaki itu bukan lagi manusia, tetapi telah meningkat menjadi malaikat, terutama setelah ia tahu bahwa pecintanya telah menganggap mayat sebagai kayu dan ular kobra sebagai tali. Ia melihat bagaimana kematian dikalahkan oleh lelaki pecintanya. Ia berkata kepadanya, “Hai pemuda, cintamu lebih besar dari cinta rata-rata manusia, dan andai cintamu diperuntukkan bagi Allah, betapa besarnya kegembiraan yang akan engkau peroleh! Karena itu, bangkitlah, angkatlah cintamu terhadap bentuk dan materi, dan arahkan cintamu kepada ruh Allah.” Lelaki itu mematuhi saran itu seperti anak kecil, meninggalkan gadis itu dengan berat hati dan sejak itu ia berkelana di dalam hutan-hutan di India.
Bertahun-tahun ia berkelana di hutan-hutan, menyebut-nyebut nama Kekasih ilahinya dan mencari perlindungan di dalam tangan-Nya. Ia mengunjungi tempat-tempat sakral, tempat-tempat ziarah, dan secara kebetulan ia tiba di tepi sebuah sungai sakral, di tempat itu wanita-wanita dari kota datang setiap pagi ketika matahari terbit untuk mengisi tempayan mereka dengan air suci. Surdas, yang duduk di sana sambil memikirkan Allah, terpesona oleh keindahan salah satu wanita yang datang.
Karena hatinya adalah lentera, ia tak perlu lama untuk menyala. Ia mengikuti wanita itu. Ketika memasuki rumahnya, wanita itu berkata kepada suaminya,”Seorang suci melihatku di sungai dan mengikutiku sampai ke rumah, dan ia masih berdiri di luar.” Si suami segera keluar dan melihat lelaki itu. Ia berkata, “Hai Maharaja, apa yang membuatmu berdiri di situ? Adakah sesuatu yang dapat kulakukan untukmu?” Surdas berkata, “Siapakah wanita yang tadi memasuki rumah ini?” Ia menjawab, “Dia isteriku; aku dan dia siap melayani orang suci seperti anda.” Surdas berkata, “Suruhlah dia datang, hai orang yang diberkahi, agar aku dapat melihatnya sekali lagi.”
Ketika wanita itu keluar, Surdas melihatnya sekali dan berkata, “Hai Ibu, bawakan aku dua buah [paku] pines.” Dan ketika benda yang diminta itu diberikan kepadanya, ia membungkuk kepada pesona dan kecantikan wanita itu sekali lagi, kemudian menusukkan pines itu ke kedua matanya sambil berkata, “Hai mataku, engkau tak akan lagi melihat dan tergoda oleh keindahan duniawi dan membawaku turun dari surga ke bumi.” Maka ia menjadi buta sejak itu; lagu-lagunya mengenai kesempurnaan ilahi masih terus hidup dan dinyanyikan oleh orang-orang India yang mencintai Allah; dan bila seorang Hindu buta, orang memanggilnya Surdas sebagai penghormatan.
“Meskipun aku hanya mencintai satu, tetapi ia abadi,” kata Mohi. Cinta hanya dapat ada bila hanya ada satu obyek di depan kita, bukan banyak obyek. Bila obyeknya banyak, tidak akan ada kesetiaan. “Bila di tempat bagi satu terdapat dua, keistimewaan yang satu itu hilang. Karena alasan itu, aku tak ingin potret kekasihku dibuat.” Yang satu itu ialah Allah, yang tak berbentuk dan tak bernama, yang abadi, yang bersama kita selamanya.
Cinta bagi satu orang, betapa pun dalamnya, tentu berbatas. Kesempurnaan cinta terletak pada ukuran besarnya. “Kecenderungan cinta adalah untuk mengembang, dari satu atom hingga ke seluruh alam semesta, dari satu kekasih duniawi hingga Allah.”
Cinta kepada manusia adalah primitif dan tidak lengkap, tetapi diperlukan untuk memulai. Orang tak akan dapat berkata, “Aku mencintai Allah,” bila ia tak memiliki cinta kepada sesama manusia. Namun ketika cinta mencapai kulminasi pada Allah, ia telah mencapai kesempurnaannya.
Cinta menciptakan cinta di dalam manusia dan lebih banyak lagi dengan Allah. Itu merupakan sifat cinta. Bila anda mencintai Allah, Allah mengirimkan cinta-Nya lebih banyak kepada anda. Bila anda mencarinya di malam hari, Dia akan mengikuti anda pada siang harinya. Di mana pun anda, dalam kegiatan anda, dalam transaksi bisnis, pertolongan, perlindungan dan kehadiran ilahi akan mengikuti anda.
Ungkapan cinta terletak di dalam kekaguman tanpa kata, kontemplasi, pelayanan, perhatian untuk menyenangkan kekasih, dan kehati-hatian untuk menghindari ketidaksukaan kekasih. Ungkapan cinta demikian oleh seorang pecinta akan menyenangkan kekasih, yang kebanggaannya tak dapat dipuaskan dengan cara lain. Keridhaan kekasih merupakan satu-satunya tujuan pecinta, tak ada harga yang terlalu mahal untuk memperolehnya.
Kebanggaan akan keindahan langit dipuaskan dengan mengagungkan-Nya, keindahan sejati satu satunya yang berhak atas segala pujian. Tiadanya kesadaran dari pihak manusia yang membuatnya melupakan keindahan-Nya dalam segala hal dan mengakui tiap keindahan secara terpisah, menyukai yang satu dan tak menyukai yang lain. Dalam pandangan orang yang tahu, mulai dari bagian keindahan terkecil hingga keindahan mutlak alam semesta, semua menjadi satu keberadaan tunggal Kekasih ilahi.
“Semua yang lain menghilang ketika gagasan mengenai kekasih menguasai pikiran pecinta”
“Dunia mengumandangkan keinginan pecinta.”
“Ka’bah seorang pecinta adalah tempat tinggal kekasihnya.”
“Sesungguhnya cinta adalah penyembuh dari lukanya sendiri”
“Apapun yang dilakukan pecinta bagi kekasihnya, itu tak pernah terlalu besar.”
“Cinta berarti penderitaan, tetapi pecinta sendiri berada di atas semua penderitaan.”
“Sang kekasih adalah semua dalam semua, pecinta hanya menutupinya. Kekasih adalah semua yang hidup, dan pecinta adalah benda mati.”
Cinta diarahkan oleh kecerdasan. Karena itu tiap orang memilih obyek cintanya sesuai dengan tingkat evolusinya. Obyek itu tampak baginya paling berhak atas cinta menurut tingkatan evolusinya. Di Timur ada pepatah, “Sebagaimana jiwa, demikianlah malaikatnya.” Keledai lebih menyukai rumput berduri daripada mawar.
Seorang perawan desa sedang pergi untuk menemui kekasihnya. Ia melewati seorang Mullah yang sedang melakukan shalat. Karena tidak tahu, ia berjalan di depan Mullah itu, suatu hal yang dilarang oleh agama. Mullah itu sangat marah, hingga ketika gadis itu kembali lewat di dekatnya, ia memarahinya. Ia berkata. “Alangkah berdosanya, hai gadis muda, berjalan di depanku ketika aku sedang shalat.” Gadis itu berkata, “Apa artinya shalat?” Dijawab, “Aku sedang memikirkan Allah, Tuhan langit dan bumi.” Gadis itu berkata, “Maafkan aku, aku belum tahu Allah dan shalat bagi-Nya, tetapi tadi aku sedang berjalan menuju kekasihku dan memikirkan kekasihku, hingga aku tak melihatmu sedang shalat. Aku heran bagaimana anda yang sedang memikirkan Allah dapat melihatku?” Perkataan gadis itu sangat berkesan pada Mullah hingga ia berkata, “Sejak saat ini, hai gadis, engkau adalah guruku. Akulah yang harus belajar darimu.”
Tumbuhnya cinta adalah kematian ego. Cinta yang sempurna sepenuhnya membebaskan pecinta dari pementingan diri sendiri, karena cinta dapat disebut juga dengan peniadaan [annihilation]. “Sesiapa yang memasuki sekolah cinta, pelajaran pertama yang diterima adalah menjadi bukan apa-apa.”
Ada kisah mengenai Rabiah, seorang Sufi besar, bahwa ia pernah melihat Muhammad dalam visinya dan ia ditanya oleh Nabi, “Hai Rabiah, siapa yang kau cintai?” Ia menjawab, “Allah.” Nabi berkatka, “Bukan Rasul-Nya?” ia menjawab, “Hai Guru yang diberkahi, siapa di dunia ini yang mengetahuimu tetapi tak mencintaimu? Tetapi kini hatiku begitu tenggelam dalam Allah hingga aku tak dapat melihat sesuatu kecuali Dia.”
Bagi mereka yang melihat Allah, Rasul dan Mursyid lenyap dari pandangan. Mereka hanya melihat Allah di dalam Mursyid dan Rasul. Mereka melihat segala sesuatu sebagai Allah dan tak melihat yang lain.
Dengan kebaktian kepada mursyid, murid belajar mencintai, berdiri dengan kerendahan anak kecil, pada wajah setiap makhluk di bumi ia melihat bayangan wajah mursyidnya. Bila Rasul yang diidealkan, ia melihat semua yang indah terefleksi di dalam kesempurnaan Rasul yang tidak tampak.Kemudian ia menjadi independen bahkan dari keutamaan, yang juga memiliki kutub yang berseberangan, dan pada kenyataannya tidak ada, karena itu hanya perbandingan yang membuat sesuatu lebih baik daripada yang lain. Ia hanya mencintai Allah, kesempurnaan yang ideal, yang tak dapat dibandingkan.
Kemudian ia sendiri berubah menjadi cinta, dan karya cinta telah diselesaikan. Kemudian pecinta sendiri berubah menjadi sumber cinta, asal cinta, dan ia hidup dalam kehidupan Allah, yang disebut Baqa bi-Allah. Kepribadiannya menjadi kepribadian ilahi. Kemudian pikirannya menjadi pikiran Allah, perkataannya menjadi perkataan Allah, perbuatannya menjadi perbuatan Allah, dan ia sendiri menjadi cinta, pecinta, dan kekasih sekaligus.
“Dengan reasoning, kamu memang tergoda untuk mengetahui jawabannya. Tapi jika jawabannya tidak kunjung datang, itu merupakan sebuah isyarat agar kita berhenti dan mulai menggunakan cara berikutnya. Yaitu … letting go.”
“Letting go itu bukannya tidak peduli, dik. Letting go itu membiarkan sebuah mekanisme lain bekerja, dan yang jelas itu bukan mekanisme reasoning. Sebab reasoning yang selalu mengumpul-ngumpulkan itu ada batasnya …”
Sumber: Kriya YN
artikel ini sangat fantastis!
ReplyDeleteterimakasih aos
salam cinta,
ruangguru
keren ini!
ReplyDeletebest regards,
https://marketing.ruangguru.com/bimbel