Oleh : Gerrit Gielen
Pada awalnya adalah penciptaan: Dimana waktu dan ruang diciptakan dari yang Satu. Keragaman adalah konsekuensinya: Kehidupan mengambil bentuk yang tak terbatas; ada jumlah tak terbatas bidang pengalaman, ruang, dimensi-dimensi dan dunia untuk dieksplorasi. Hal ini menimbulkan pertanyaan: Mengapa Penciptaan itu terjadi?
Kesatuan meliputi segala sesuatu, dan untuk menyadari bagian dari kesatuan itu, penciptaan diperlukan. Sebagai contoh: cahaya putih adalah gabungan dari semua warna. Untuk mengalami warna-warna itu secara individu, kita dapat memecah cahaya putih dengan menggunakan prisma. Difusi dari cahaya putih menjadi warna-warna pelangi adalah apa yang saya sebut sebagai penciptaan: menciptakan keragaman dari kesatuan.
Hanya ketika kita telah mengalami keindahan dan kualitas dari semua warna individual itu kita akan memahami apakah warna putih itu. Penciptaan – yang menciptakan keragaman – berasal dari keinginan untuk mencapai kesadaran diri. Kita akan memahami keseluruhan hanya ketika kita telah benar-benar mengalami semua bagian individual itu. Kita dapat membandingkan ini dengan perjalanan yang kita buat selama kehidupan kita. Ketika saya masih kecil, saya mengerti bagaimana rasanya menjadi seorang anak, tapi saya belum memahami apa itu jatuh cinta seperti seorang remaja, bagaimana menjadi pria yang sudah menikah, atau seorang ayah. Saya perlu memiliki semua pengalaman-pengalaman itu untuk benar-benar memahami siapa saya sebagai manusia dan untuk benar-benar menemukan kedamaian dalam diri saya.
Dalam perjalanan besar penemuan ini, yang merupakan tujuan dari penciptaan, ada dua kekuatan yang memainkan peran sentral: laki-laki dan perempuan. Kekuatan laki-laki bersifat keluar, energi keingintahuan, energy yang suka berpetualang dan ingin mengalami dan memahami segala sesuatu. Ini adalah kekuatan yang meletakkan dasar munculnya waktu dan ruang. Energi perempuan menciptakan kesadaran kesatuan dalam batin. Melalui sisi feminin, manusia terhubung dengan kesatuan (Satu), dan dengan sisi maskulin, manusia terhubung dengan keragaman (Banyak.) Sisi feminin yang berhubungan dengan dunia batin, dan sisi maskulin yang berhubungan dengan dunia luar, menciptakan realitas nyata.
Energi maskulin memastikan bahwa apa yang unik dan individual dapat dialami dalam segala hal, sedangkan energi perempuan memastikan adanya integrasi dan kesatuan. Tanpa energi perempuan yang mengintegrasikan pengalaman unik individu ke dalam gambaran yang lebih besar, mereka seperti orang tersesat di malam hari.
Dualitas muncul ketika makhluk hidup mulai mengidentifikasi terlalu banyak dengan satu sisi atau sisi yang lain. Dalam kondisi kemanusiaan sekarang, sisi laki-laki merupakan obyek dominan identifikasi kita. Hasilnya adalah munculnya tekanan terhadap sisi perempuan yang menyebabkan hilangnya rasa keterhubungan batin. Rasa ego yang terlalu kuat: ego menempatkan diri di depan yang tidak lagi mengalami rasa ibu yang melindungi. Kemudian mereka merasa kecil dan terancam, dan bereaksi dengan mengumpulkan kekuatan sebanyak mungkin dari alam semesta ini.
Ketika perempuan menjadi energi yang dominan, terlalu banyak perhatian difokuskan pada dunia batin, yang menciptakan dualitas dengan dunia luar. Dunia batin, dunia spiritual, kemudian dilihat sebagai lebih tinggi dan lebih unggul dari realitas luar yang penuh dengan bentuk keanekaragaman dan pluralitas.
Surga: keseimbangan antara perempuan dan laki-laki
Kita bisa melihat bagaimana dualitas bekerja sepanjang sejarah umat manusia. Dalam masa pra-sejarah, ada keseimbangan antara energi laki-laki dan perempuan. Pada saat itu, tidak ada negara, tidak ada batas. Ini adalah jaman surga duniawi yang disebut Lemuria. Di dalam diri saya, ada tayangan saat kehidupan itu ketika saya, bersama dengan malaikat lainnya, sibuk mempersiapkan bumi untuk kedatangan manusia.
“Ini seperti mimpi indah tentang masa lalu. Kami adalah malaikat bercahaya yang bekerja sama dengan ibu bumi, kami menciptakan alam. Kami memiliki kecepatan waktu yang berbeda: Tanaman yang kita buat, kita bisa melihatnya muncul dalam sekejap. Kami saat itu sedang sibuk mempersiapkan bumi untuk kedatangan manusia. Itu adalah saat harapan, saat cinta. Kami berpikir bahwa bumi akan menjadi taman bermain yang sangat indah di mana makhluk dengan kesadaran seperti anak kecil yang sederhana dapat menemukan kehidupan yang nyaman; tempat di mana orang bisa menikmati cinta satu sama lain dan alam sekitarnya. Bagaimana kemudian bisa keliru, Apa yang telah salah“?
Orang-orang yang menghuni Bumi pada saat itu merasakan keterhubungan dalam kehidupan dan mengetahui bahwa ibu bumi ada di sana untuk semua orang. Orang-orang disana menjalani kehidupan dalam harmoni dengan alam. Bumi, seperti udara, ada di sana untuk semua orang, tapi bukan milik kami. Pada saat yang sama, kehidupan adalah suatu perjalanan penemuan, petualangan yang menyenangkan. Pada setiap gunung, ada pemandangan baru; di balik setiap horizon, ada sebuah tempat baru dengan pengalaman baru untuk mengeksplorasi.
Manusia diciptakan dengan rasa penasaran, dengan rasa ingin tahu. Pada hari-hari itu, orang-orang memiliki kesadaran yang ceria, agak terlihat kekanak-kanakan. Mereka menikmati hidup dengan kebahagiaan spontan seperti yang kita lihat pada anak-anak. Kesadaran mereka lebih luas daripada kita: mereka bisa berkomunikasi dengan hewan, tumbuhan, gunung, dan sungai. Adalah wajar bagi mereka saat itu untuk memiliki kontak dengan pemandu spiritual dan dengan makhluk eterik seperti elf dan goblin. Mereka memiliki rasa yang sangat berbeda terhadap waktu dan kehidupan dari hari ke hari.
Dalam perkembangan manusia ini, ada ritme alami, antara energi wanita dan laki-laki dengan lebih atau kurang dominan secara berulang kali. Setelah setiap fase dari penemuan dan eksplorasi, datang fase internalisasi. Sama seperti manusia yang berjalan dengan kaki bergantian kiri dan kanan. Tapi kemudian ia berjalan salah.
Akhir dari surga: ular dan munculnya dualisme
Dalam Alkitab, fase ini digambarkan sebagai kisah simbolik Hawa, yang tergoda oleh ular untuk mencicipi apel yang memberikannya pengetahuan tentang yang baik dan yang jahat.
Apa yang salah? Kemanusiaan pada secara keseluruhan didominasi oleh ras laki-laki, ras yang lebih berfokus pada penemuan dan petualangan. Untuk alasan ini, mereka hadir sebagai manusia dengan keinginan untuk lebih terbebas dari dunia roh. Laki-laki selalu ingin menjalani petualangan dan menemukan. Kemanusiaan secara bertahap menjelma lebih dalam ke bumi dan menjadi materi.
Koneksi dengan roh pemandu mereka – para malaikat yang menemani manusia dalam perjalanan – dan ketaatan pada dunia spiritual, menjadi dianggap kurang penting. Wanita, yang menurut sifatnya lebih terfokus pada dunia batin, lebih terampil dalam menciptakan hubungan ini daripada laki-laki, dan beberapa wanita melakukan hal ini lebih baik daripada wanita lainnya.
Kelompok wanita ini sangat penting bagi masyarakat saat itu dan dengan demikian timbulah kelas pendeta. Ketika kesenjangan antara pendeta dan dunia malaikat yang menyertai umat manusia menjadi lebih besar, kesenjangan ini membuka munculnya kontak dengan sumber-sumber lain yang memiliki niat kurang terpuji. Energi reptil (Ular dari Alkitab) ingin melemahkan umat manusia melalui pemisahan.
Para Pendeta mulai tergoda dengan ide-ide berikut: dunia batin lebih penting daripada dunia luar; wanita lebih selaras dengan dunia batin, lebih baik dari laki-laki dan berhak memimpin laki-laki. Pikiran seperti ini membangkitkan ego mereka, dan mereka mulai secara bertahap merangkul pandangan dunia dualistik ini. Perempuan, dan dunia batin, yang dianggap lebih unggul, mewakili kaum yang “lebih tinggi”. Pria, dunia luar, yang dianggap lebih rendah, mewakili kaum yang “rendah”. Ini adalah gigitan Apel: dualitas, yang disebut pengetahuan tentang yang baik dan yang jahat, mulai masuk ke dalam konsep pemikiran manusia.
Para pendeta mulai menganggap diri mereka lebih penting dan menginginkan kuil-kuil dan rumah yang indah untuk diri mereka sendiri. Masyarakat mulai menetap dalam satu wilayah. Manusia mulai berhenti untuk mengembara dan menemukan hal-hal baru, dan perempuan tetap dominan untuk waktu yang lama. Pria semakin dianggap sebagai makhluk inferior, dan bahkan diperlakukan sebagai budak.
Dominasi perempuan dan luka pada energi laki-laki
Masa pendeta wanita dimulai. Mereka menyatakan pandangan dualistik yang membenarkan kekuasaan dan otoritas mereka serta keunggulan penting perempuan atas laki-laki. Mereka mengklaim bahwa kebenaran hanya berada di dunia batin, dan bahwa hanya perempuan yang memiliki akses ke kebenaran itu. Dunia luar digambarkan sebagai buruk, berbahaya, dan menggoda, dan orang-orang harus dilindungi terhadap dunia buruk ini untuk kebaikan mereka sendiri.
Konsep ini memiliki empat konsekuensi yang luas yang akan menyebabkan luka yang dalam pada energi laki-laki.
Luka pertama: hilangnya keindahan
Harus menetap di satu tempat membutuhkan pertanian yang intensif dan pekerjaan berat: pekerjaan laki-laki. Dorongan alami laki-laki terhadap petualangan, dianggap mencurigakan, yang dengan demikian ditekan lebih jauh. Dorongan ini tidak hilang dengan pekerjaan berat dan membosankan seperti membajak dan panen.
Gambaran tentang bagaimana menjadi orang baik berubah: Yaitu mereka yang menjadi pekerja keras yang handal yang tidak memiliki waktu untuk banyak pikiran. Pria petualang dianggap sebagai gelandangan dan berbahaya bagi masyarakat. Semua ekspresi masa itu merujuk pada pernyataan: “Tidak ada yang meninggal karena kerja keras.” “Manusia harus mencari nafkah dengan keringatnya.” “Iblis bekerja pada tangan yang diam.”
Namun, keinginan untuk petualangan pada pria adalah keinginan untuk mengalami keindahan dan keajaiban alam semesta. Dengan menekan keinginan ini, luka pertama pada energi pria muncul: yaitu hilangnya kemampuan untuk menghargai keindahan. Pria belajar bahwa untuk menikmati keindahan hidup, untuk berpetualang dan mengeksplorasi cara-cara baru kehidupan, dorongan untuk mencipta, untuk menemukan, adalah kualitas “buruk” yang harus ditekan. Laki-laki yang “baik” adalah seorang pekerja keras yang tidak banyak bertanya.
Kita masih melihat konsekuensi dari cara berpikir seperti ini. Lihatlah kota-kota modern yang dirancang dan dibangun hampir secara eksklusif oleh laki-laki bekerja keras dan kurangnya warna dan keindahan hidup. Kita masih melihat di sekitar kita hanyalah energi pelarian dari laki-laki yang tidak bisa beristirahat dan tampaknya tidak tahu apa yang diinginkannya.
Melalui pengembangan ini, laki-laki menjadi hampir sepenuhnya bertanggung jawab untuk penyediaan makanan, membuat mereka lebih penting di dalam masyarakat.
Luka Kedua: hilangnya cinta
Karena pandangan dunia dualistik dari kasta Pendeta, dunia luar menjadi semakin dilihat sebagai berbahaya. Masyarakat mulai menetap di satu tempat dan membutuhkan pelindung. Ini juga merupakan tugas laki-laki: para pemburu menjadi prajurit. Seorang prajurit, namun, tidak seperti seorang pemburu yang baik, ia tidak dapat memiliki perasaan. Seorang tentara yang membunuh manusia lain tidak perlu memiliki perasaan tentang korbannya. Dia tidak bisa membiarkan hal itu ada dalam benaknya bahwa seseorang yang telah ia bunuh pernah menjadi bayi yang memiliki ibu yang mungkin sangat mencintainya dan menginginkan yang terbaik untuknya. Seorang prajurit tidak bisa berpikir: “Sekarang aku telah membunuh anaknya. Bagaimana ini akan mempengaruhi dirinya? Apa yang akan rasakan keluarganya ketika mereka mendengar bahwa dia sudah mati? Berapa banyak air mata ia akan tumpahkan?” Seorang prajurit yang memiliki empati, tidak bisa menjadi seorang pejuang.
Seorang prajurit yang baik menekan batinnya dan bertindak dari pandangan dunia yang sangat dualistik: bahwa yang lain adalah musuh, adalah buruk. Lawannya bukan manusia dan karena itu saya boleh membunuhnya. Sikap ini, tentu saja, mengakibatkan peningkatan dualitas di dunia. Ada semakin banyak pertempuran, makin banyak perang, dan makin banyak perbatasan di dunia. Dan prajurit – laki-laki – menjadi semakin penting; laki-laki yang telah kehilangan koneksi dengan batin mereka.
Ini adalah luka kedua pada energi pria, luka di hati: hilangnya cinta. Seorang pria yang mematikan kekuatan empatinya akan merasa kesepian dan tersesat di alam semesta yang besar, kosong, dan saling bermusuhan.
Luka ketiga: hilangnya kearifan
Dalam masyarakat yang stabil, perubahan dan pembaharuan dipandang dengan kecurigaan. Kekuatan menjadi konservatif; kekuasaan bergandengan tangan dengan rasa takut pada perubahan dan kurangnya fleksibilitas. Spiritualitas yang berbasis cinta pada alam, berubah menjadi berdasarkan rasa takut dualistik dengan segala macam aturan tentang baik dan jahat. Ketika spiritualitas itu menjadi agama yang mapan, diperlukan petugas yang dapat menegakkan aturan agama, jika perlu dengan kekuatan, dan ini menekan inovasi; ini juga menjadi tugas laki-laki. Kebenaran tidak lagi dianggap energi yang hidup dan penuh kasih, yang terbentang secara dinamis dan selalu menunjukkan aspek baru. Kebenaran diterjemahkan menjadi seperangkat aturan yang ditegakkan oleh laki-laki. Pada saat itu, kita melihat munculnya agama otoriter di mana kebenaran didirikan sekali dan untuk semua, dan jika Anda tidak setuju, Anda adalah jahat atau berdosa.
Karena mempertahankan aturan agama sering bertepatan dengan penyebaran agama tersebut, akhirnya meningkatkan peran dari laki-laki. Pria kini menjadi otoritas spiritual. Hal ini memperkuat kecenderungan bahwa pria lebih penting dan lebih kuat. Namun, agama otoriter ini memiliki sedikit kebijaksanaan dan kebenaran. Maka lahirlah luka ketiga dalam energi laki-laki: hilangnya kearifan.
Kemanusiaan masih sangat menderita terhadap ide bahwa perubahan adalah buruk dan bahwa kebenaran telah ditetapkan dalam sebuah buku aturan untuk sekali dan untuk semua.
Luka keempat: hilangnya seksualitas yang lembut
Karena ketegangan meningkat antara kedua jenis kelamin, pengalaman seksualitas juga berada di bawah tekanan; berakibat semakin berkurangnya tempat untuk cinta dan kelembutan. Ketika laki-laki di bawah pendeta yang dominan dianggap sebagai lebih rendah, berhubungan seks dengan seorang laki-laki terlihat sebagai kejahatan yang diperlukan. Dan para wanita mulai menekan energi seksual mereka. Untuk pria, seks menjadi lebih dan lebih terkait dengan ekspresi kemarahan yang ditekan. Di mana sex pertama kali adalah ungkapan cinta untuk wanita, sekarang menjadi ekspresi kekerasan. Nafsu dan amarah terpendam mulai bergabung: fantasi seksual pria sering berwujud kekerasan.
Lahirlah luka keempat: luka di bidang seksualitas. Sejak saat itu, seksualitas lebih sering berkaitan dengan emosi yang ditekan daripada dengan cinta antara pria dan wanita.
Munculnya dominasi laki-laki
Karena pendeta tidak lagi menyatakan spiritualitas yang hidup, mereka akhirnya membuat dirinya menjadi berlebihan. Aturan yang kaku dari sebuah agama dualistik otoriter dapat berfungsi tanpa cinta dan intuisi dari perempuan.
Karena laki-laki secara bertahap bertanggung jawab untuk penyediaan makanan, perlindungan masyarakat, dan penegakan hukum secara tegas dari “kematian” spiritualitas, mereka berada di atas angin. Energi laki-laki menjadi dominan dan terus begitu untuk waktu yang lama.
Energi pria yang dominan ini, bagaimanapun, adalah energi laki-laki yang terluka: seorang pria yang telah kehilangan rasa keindahan, hatinya dan kebijaksanaannya. Perempuan dipandang sebagai obyek seks rendahan dan sering menjadi korban perasaan seksual menyimpang yang muncul dari tradisi kekerasan. Perempuan mengingatkan laki-laki pada perasaannya dan perasaan mereka adalah berbahaya dan jahat, sehingga wanita dianggap jahat. Karena kebenaran ini telah dijamin dalam peraturan dan perintah, kemampuan intuitif dan spiritual alami dari wanita menjadi terlihat buruk dan berbahaya. Pembakaran penyihir yang mengerikan, yang di beberapa tempat di dunia masih berlangsung, dimulai pada hari-hari tersebut. Wanita semakin sedikit dan lebih sedikit memiliki hak dan menjadi semakin tertindas. Akhirnya, mereka hanya dianggap cocok untuk melahirkan dan membesarkan anak-anak. Pada Abad Pertengahan, perempuan bahkan dianggap oleh banyak teolog sebagai makhluk tanpa jiwa.
Surga telah ditinggalkan: terjadilah masa-masa perang, kekejaman, pemisahan, dan kepalsuan, masa yang mengakibatkan luka yang dalam pada energi perempuan. Kemanusiaan yang terpisah yang tidak lagi mampu melindungi diri. Ular itu telah mencapai tujuannya: manusia tidak lagi terhubung pada kebenaran hidup dan rentan terhadap ide-ide palsu. Seseorang yang memeluk pandangan dualistik merasa takut, dan seseorang yang memiliki rasa takut akan mudah untuk dimanipulasi: Anda menekan orang lain jika dia tidak mendengarkan Anda, ia akan menjadi korban dari apa yang ia takuti.
Pengaruh makhluk luar bumi dan munculnya Atlantis
Orang-orang yang membenci energi feminin adalah manusia rentan. Mereka merindukan untuk bimbingan yang lebih tinggi, tetapi pada saat yang sama mereka menolak solusi alami yang ditawarkan energi perempuan: mengandalkan intuisi Anda dan batin mengetahui. Mereka kemudian menemukan solusi palsu: kekuasaan di dunia luar yang mengaku sebagai yang “lebih tinggi”. Tapi mereka kemudian menjadi benar-benar terbuka untuk dimanipulasi.
Di masa lalu, konsekuensi dari kerentanan ini adalah bahwa manusia menjadi alat permainan untuk semua jenis pasukan Galactic. Manusia yang telah kehilangan koneksi dengan energy feminin membiarkan diri mereka terpikat dengan mudah oleh sesuatu yang dianggap mukjizat dan oleh kekuatan peradaban yang maju secara teknis. Segera, perwakilan dari peradaban ini dilihat oleh manusia sebagai dewa. Manusia dimanipulasi dengan segala cara yang mungkin, dan juga secara genetik. Banyak cerita tentang dewa-dewa kuno, seperti dewa-dewa Yunani yang terkenal, dengan semua kesalahan dan kekejaman manusia mulai saat itu. Jawaban untuk pertanyaan: “Apakah para dewa itu sesungguhnya kosmonot?” menurut pendapat saya, “Ya.”.
Penindasan berakhir ketika sekelompok jiwa luar angkasa yang canggih/maju memutuskan untuk hidup di bumi untuk membantu umat manusia untuk berkembang. Mereka menciptakan semacam manusia super yang berkembang biak; yang juga dikenal sebagai orang Atlantis atau orang bintang. Mereka secara fisik lebih tinggi dari orang bumi dan memiliki kemampuan intelektual yang tinggi; mata ketiga mereka juga sangat maju. Tujuan mereka adalah dua: untuk membebaskan umat manusia dan bumi dari pengaruh asing yang tidak diinginkan dan untuk membawa umat manusia ke dalam kontak lagi dengan alam spiritualitas. Yang terakhir bisa dicapai dengan mengembalikan keseimbangan antara energi laki-laki dan perempuan.
Era Atlantic dimulai: sebuah periode dalam sejarah umat manusia yang berlangsung sekitar seratus ribu tahun. Selama periode ini, ada perbedaan yang tajam antara makhluk luar angkasa yang menjelma, yang menganggap diri mereka sebagai pemimpin kemanusiaan yang tercerahkan – yang disebut hirarki spiritual – dan manusia yang dianggap kurang sadar. Orang-orang bintang, dan Atlantis, berhadap-hadapan dengan orang-orang bumi.
Namun, kelahiran Atlantis membawa dalam dirinya benih kejatuhannya. Dalam rangka untuk membebaskan umat manusia dari pengaruh asing, orang-orang bintang di Bumi malah membangun dominasi yang besar: mereka adalah kelas penguasa dan menganggap orang bumi sebagai bawahan mereka. Ini bertentangan dengan niat spiritual awal mereka. Memiliki kekuasaan atas orang bumi tidak sejalan dengan tujuan untuk membebaskan manusia secara batin. Spiritualitas orang-orang bintang belum benar-benar satu hati. Mereka masih membawa motif kekuasaan.
Kaum Atlantis melihat orang-orang bumi sebagai makhluk bodoh hanya cocok untuk kerja paksa. Mereka mulai melihat diri mereka sebagai superior dan lebih sering menyalahgunakan kekuatan mata ketiga mereka. Selain itu, di mana orang Atlantis menganggap laki-laki dan perempuan sama, itu tidak terjadi pada bawahan mereka, yaitu orang-orang bumi. Bagi mereka, laki-laki yang mendominasi. Ini cocok bagi orang Atlantis karena laki-laki lebih cocok untuk mengikuti perintah mereka dan membangun kota-kota mereka yang megah. Orang Atlantis sangat memahami bahwa selama wanita ditekan, mereka bisa tetap mengendalikan manusia dan mereka bisa melakukan apa yang mereka inginkan.
Kekuasaan yang korup, dan ini juga terjadi dengan Atlantis. Mereka mulai semakin menikmati kekuasaan mereka, keberhasilan nyata dan tak terkalahkan. Mereka semakin menyalahgunakan kekuatan mata ketiga mereka. Mata ketiga ini sering disebut agni, chakra api, dan diperlukan air untuk menghapus kekuatan ini. Banyak yang telah ditulis tentang tenggelamnya Atlantis. Namun, alasan terdalam untuk itu adalah tindakan pengorbanan diri. Makhluk Atlantis yang lebih berkembang sangat mengerti bahwa mereka hanya bisa membantu umat manusia dengan melakukan itu, dan ini hanya bisa dicapai dengan menghancurkan Atlantis. Hanya dengan cara ini dualitas antara orang bintang dan orang-orang bumi akan terhapus.
Saya mengingat episode ini dari kehidupan sebelumnya.. “Saya berdiri di atas gedung yang indah, menara putih yang indah. Saya melihat keluar. Saya baru saja bertengkar dengan seorang wanita. Ia telah bersama dengan saya untuk waktu yang lama,. tapi dia meninggalkan saya sekarang untuk selamanya. Saya sedih atas kepergiannya. Dia ingin hidup di antara orang-orang bumi untuk membantu mereka sebagai semacam pekerja sosial. Kesenjangan antara kami, Atlantis yang berkuasa, dan orang-orang bumi adalah besar. Kami melihat mereka sebagai bentuk kehidupan yang lebih rendah. Ketika saya menyelaraskan dengan jiwa wanita itu, saya merasa bahwa dia pada dasarnya adalah jiwa bumi yang telah lahir di antara orang Atlantis,. Itu sebabnya keinginannya untuk membantu orang Bumi begitu besar. Dia juga bertubuh agak kecil dan rambutnya berwarna merah, yang tidak biasa di antara orang Atlantis. Saya berjalan ke kamar, dan di tengah-tengah ruangan ada simbol kuat tergambar di lantai. Jika Anda berada di tengah-tengah simbol itu, Anda dapat meninggalkan tubuh Anda sangat mudah dan secara permanen.
Saya menyadari bahwa apa yang wanita itu ingin lakukan adalah hal yang benar, tetapi itu tidak akan berhasil, dia adalah pengecualian. Selama Atlantis masih ada, orang-orang Bumi akan tetap menjadi bawahan. Ini sudah berlangsung selama ribuan tahun. Kesenjangan ini terlalu besar, kekuasaan terlalu adiktif, terlalu lazim.
Jauh di dalam batin saya, saya merasakan bagaimana kekuatan mengubah muncul di dalam diri saya terhadap Atlantis. Saya terhubung dengan kekuatan itu dan berkata: “Ya, lakukan saja, saya merasa bahwa saya bukanlah satu-satunya, banyak orang lain yang merasa bahwa itu sudah cukup, hal ini tidak bisa terus berlangsung seperti ini, ada rasa sakit antara orang-orang bumi, dan bumi itu sendiri, ini sudah keterlaluan. Ada ada dalam diri kita keinginan untuk perubahan, kerinduan untuk petualangan baru. Sebuah kedalaman yang lebih dalam hidup.”
Saya kemudian pergi dan berdiri di atas symbol itu dan saya melepaskan tubuh saya. Saya tahu ketika saya dilahirkan kembali Atlantis tidak akan lagi berada di sana; Saya tidak akan lagi menjadi bagian dari mereka.”
Para penguasa Atlantic yang menginginkan perubahan menjadi apa yang sekarang kita sebut Lightworkers. Selama berabad-abad, mereka kemudian akan dianiaya dan ditindas oleh manusia ketika mereka mencoba untuk membawa manusia kembali berhubungan dengan kebenaran batin yang datang kepada kami melalui energi perempuan.
Setelah Kejatuhan: Kutukan Atlantis
Era Atlantis meninggalkan jejak yang tidak bisa hilang tentang manusia dalam hubungannya dengan bagaimana masyarakat seharusnya: gagasan bahwa ada semacam kelas atas orang-orang yang istimewa dan kelas orang-orang yang melayani. Selama berabad-abad, manusia harus diatur oleh apa yang disebut bangsawan, orang-orang yang percaya atas dasar kelahiran mereka, bisa berdiri di atas orang lain dan memiliki hak untuk mendominasi mereka. Kaum bangsawan muncul dari memori orang bumi bagaimana Atlantis berperilaku terhadap mereka. Begitu bangsa diciptakan di suatu tempat, kelas aristokrat istimewa segera muncul; memori bawah sadar dari Atlantis bertanggung jawab untuk itu.
Seperti halnya dengan Atlantis, bahwa perempuan sama dengan laki-laki, perempuan diperbolehkan untuk menjadi pemimpin kelas bawah dari orang Bumi. Beberapa ribu tahun kemudian, ketika perempuan dianggap lebih rendah, beberapa pengingat Atlantis ini mengijinkan wanita sebagai pemimpin di negara-negara yang didominasi kaum bangsawan. Misalnya, di negara seperti Belanda, wanita diterima sebagai seorang Ratu di saat wanita belum memiliki hak untuk memilih. Pemimpin perempuan diterima, asalkan mereka berasal dari “darah biru” – mereferensi ke Atlantis – yang, atas dasar asal mereka, bisa berdiri di atas orang-orang biasa.
Setelah jatuhnya Atlantis, kesatuan artifisial yang telah dicapai orang Atlantis ini juga menghilang: kemudian muncul perbatasan dan negara. Lagi-lagi, manusia berusaha menciptakan Atlantis dari energi laki-laki. Kerajaan besar kuno: Babel, Asyura, Persia, Kekaisaran Romawi, semua adalah upaya untuk menciptakan kembali Atlantis. Dan karena masing-masing negara-negara itu mencoba membangun Atlantis Baru, ada perang yang hampir terus menerus.
Namun, semua upaya untuk menyatukan umat manusia melalui pertempuran ditakdirkan untuk gagal. Persatuan hanya bisa timbul ketika ia datang dari dalam, bukan dengan memaksakan dari atas. Inilah yang akhirnya dipahami oleh orang Atlantis dan karena itu sebabnya mengapa mereka mengubah diri menjadi Lightworkers. Kutukan Atlantik adalah bahwa manusia mencoba untuk menciptakan kembali Atlantis, lagi dan lagi. Keinginan untuk menciptakan sebuah kerajaan yang memaksakan kehendaknya, keinginan untuk hidup di kota-kota megah kuno, yang tidak menghormati alam, aturan kelas atas oleh orang dengan “darah biru”, semua itu adalah konsekuensi dari memori Atlantis.
Sekarang, justru orang Atlantis itu sendiri yang menginginkan hal yang berbeda: mereka adalah Lightworkers hari ini. Jiwa-jiwa ini mengingat persis bagaimana, melalui penyalahgunaan kekuasaan, hal yang salah di masa lalu dan mereka akan melakukan yang terbaik untuk melindungi manusia terhadap bencana masa depan. Untungnya, semakin banyak orang yang mulai mendengarkan.
Kembalinya para lightworkers
Ketika orang Atlantis lama terlahir kembali sebagai manusia di antara manusia, mereka benar-benar belajar apa artinya menjadi manusia dan hanya dengan melakukan itu kemudian mereka menjadi Lightworkers: pembawa cinta dan inspirasi. Mereka sering mengalami kekerasan dan dianiaya karena peran mereka, namun, sementara itu, mereka menanam benih cahaya dan harapan. Mereka yang memiliki hubungan yang kuat dengan intuisi mereka memberikan kemanusiaan seni yang indah dan kemajuan ilmu pengetahuan dan sosial. Dan di banyak tempat di dunia ini hidup wanita-wanita yang pemberani, para penyembuh, yang tetap bertahan pada kemampuan mereka sendiri dan berani berdiri untuk spiritualitas asli mereka. Mereka telah membantu banyak sekali orang dan menanam benih cahaya tak terhitung banyaknya dalam hati orang-orang. Tapi sering mereka akhirnya dibakar.
Seorang pria yang menghargai apa yang original di dalam dirinya sendiri, mulai merangkul energy feminin lagi. Seorang wanita yang menghargai energy maskulin dalam dirinya, menghubungkan orang-orang di sekelilingnya dengan sumber kasih dan kebenaran dalam dirinya. Secara bertahap Cahaya itu mulai meningkat.
“Kasihilah musuhmu”, kata Yesus. Cinta yang melampaui dualitas. Cinta memberi cahaya. Seperti jika Anda pergi dengan membawa lampu di tangan Anda untuk mencari kegelapan, tapi di mana pun Anda berada di sana tampaknya tidak ada kegelapan, karena cahaya lampu Anda bersinar di sana. Kegelapan tidak ada; kegelapan ada karena tidak adanya cahaya. Dualitas tidak benar-benar ada; dualitas adalah kurangnya cinta. Setiap kali kita benar-benar terbuka terhadap orang lain, kita menemukan bahwa orang lain sama seperti kita. Dualitas yang kita anggap nyata sebelumnya menjadi tidak ada sama sekali, itu adalah ilusi.
Meskipun melalui banyak perang, manusia berkembang lebih lanjut dan mengalami kemajuan secara teknis dan sosial. Terjadi perkembangan sosial yang penting termasuk penghapusan perbudakan, emansipasi wanita, dan penghapusan pekerja anak. Di bidang teknologi, kemanusiaan telah maju sejauh ini dengan kemampuan membangun sebuah roket yang bisa pergi ke bulan. Dan manusia mendarat di Bulan, mereka melihat bumi dan menemukan rumah mereka lebih indah dari sebelumnya. Mereka melihat Bumi yang berwarna biru mencolok – tanpa batas – dan menyadari dalam hati mereka bahwa Bumi adalah tempat kehidupan yang indah dan kita telah menyalahgunakannya. Mereka membawa kembali gambaran indah dan cerita tentang Bumi. Mereka berbagi pengalaman spiritual mereka.
Perjalanan ke Bulan, yang merupakan simbol kuno dari perempuan, bermakna puncak dari energi laki-laki. Hal ini seperti benih yang meletus dari laki-laki. Setelah ini terjadi, ada perasaan kelembutan dan ketenangan; perempuan diberikan kembali ruangnya.
Kemanusiaan menjadi keseluruhan
Selama tahun enam puluhan, proses penyembuhan yang besar mulai terjadi. Pria mulai memanjangkan rambut mereka, menandai pulihnya koneksi mereka dengan batin perempuan. Dari semua sisi, manusia dibantu untuk mengatasi dualitas dan menjadi sadar akan keterkaitan seluruh kehidupan. Ilmu pengetahuan mengembangkan hipotesis Gaia : gagasan bahwa Bumi adalah satu organisme hidup. Ini adalah perubahan radikal terhadap teori evolusi “maskulin” yang menyatakan bahwa bumi terdiri dari banyak organisme yang saling melawan satu sama lain: pertarungan semua melawan semua. Teori Gaia adalah bagian dari teori yang jauh lebih besar; yaitu, bahwa seluruh alam semesta yang tak terbatas ini adalah Tunggal: kita semua adalah Satu.
Menjadi keseluruhan juga berarti penyatuan. Dan memang manusia sibuk menemukan kesatuan dan keterkaitan batin. Orang-orang melakukan perjalanan terus menerus, dan pertemuan persahabatan sedang berlangsung antara orang-orang dari budaya yang berbeda. Berkat munculnya bahasa Inggris sebagai bahasa pemersatu dan internet, sekarang saya bisa, untuk pertama kalinya dalam sejarah manusia, berkomunikasi dengan hampir semua orang. Kita juga mulai semakin merangkul nilai-nilai yang sama di Bumi: Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia.
Integrasi juga berarti bahwa kita menyadari bahwa kita adalah satu. Kita bukan pria atau wanita; kita adalah manusia. Kedua energy maskulin dan feminin ada di dalam diri kita. Merasakan itu dan mengintegrasikan itu membuat kita lengkap, membuat kita berdiri di Bumi sebagai cahaya yang bersinar. Maka akan ada perdamaian; kedamaian batin yang tercermin dalam harmoni dengan sesama manusia, dengan Bumi dan dengan alam semesta itu sendiri.
Sumber: Henkykuntarto’s Blog _ Wellcome to my spiritual blog
Pada awalnya adalah penciptaan: Dimana waktu dan ruang diciptakan dari yang Satu. Keragaman adalah konsekuensinya: Kehidupan mengambil bentuk yang tak terbatas; ada jumlah tak terbatas bidang pengalaman, ruang, dimensi-dimensi dan dunia untuk dieksplorasi. Hal ini menimbulkan pertanyaan: Mengapa Penciptaan itu terjadi?
Kesatuan meliputi segala sesuatu, dan untuk menyadari bagian dari kesatuan itu, penciptaan diperlukan. Sebagai contoh: cahaya putih adalah gabungan dari semua warna. Untuk mengalami warna-warna itu secara individu, kita dapat memecah cahaya putih dengan menggunakan prisma. Difusi dari cahaya putih menjadi warna-warna pelangi adalah apa yang saya sebut sebagai penciptaan: menciptakan keragaman dari kesatuan.
Hanya ketika kita telah mengalami keindahan dan kualitas dari semua warna individual itu kita akan memahami apakah warna putih itu. Penciptaan – yang menciptakan keragaman – berasal dari keinginan untuk mencapai kesadaran diri. Kita akan memahami keseluruhan hanya ketika kita telah benar-benar mengalami semua bagian individual itu. Kita dapat membandingkan ini dengan perjalanan yang kita buat selama kehidupan kita. Ketika saya masih kecil, saya mengerti bagaimana rasanya menjadi seorang anak, tapi saya belum memahami apa itu jatuh cinta seperti seorang remaja, bagaimana menjadi pria yang sudah menikah, atau seorang ayah. Saya perlu memiliki semua pengalaman-pengalaman itu untuk benar-benar memahami siapa saya sebagai manusia dan untuk benar-benar menemukan kedamaian dalam diri saya.
Dalam perjalanan besar penemuan ini, yang merupakan tujuan dari penciptaan, ada dua kekuatan yang memainkan peran sentral: laki-laki dan perempuan. Kekuatan laki-laki bersifat keluar, energi keingintahuan, energy yang suka berpetualang dan ingin mengalami dan memahami segala sesuatu. Ini adalah kekuatan yang meletakkan dasar munculnya waktu dan ruang. Energi perempuan menciptakan kesadaran kesatuan dalam batin. Melalui sisi feminin, manusia terhubung dengan kesatuan (Satu), dan dengan sisi maskulin, manusia terhubung dengan keragaman (Banyak.) Sisi feminin yang berhubungan dengan dunia batin, dan sisi maskulin yang berhubungan dengan dunia luar, menciptakan realitas nyata.
Energi maskulin memastikan bahwa apa yang unik dan individual dapat dialami dalam segala hal, sedangkan energi perempuan memastikan adanya integrasi dan kesatuan. Tanpa energi perempuan yang mengintegrasikan pengalaman unik individu ke dalam gambaran yang lebih besar, mereka seperti orang tersesat di malam hari.
Dualitas muncul ketika makhluk hidup mulai mengidentifikasi terlalu banyak dengan satu sisi atau sisi yang lain. Dalam kondisi kemanusiaan sekarang, sisi laki-laki merupakan obyek dominan identifikasi kita. Hasilnya adalah munculnya tekanan terhadap sisi perempuan yang menyebabkan hilangnya rasa keterhubungan batin. Rasa ego yang terlalu kuat: ego menempatkan diri di depan yang tidak lagi mengalami rasa ibu yang melindungi. Kemudian mereka merasa kecil dan terancam, dan bereaksi dengan mengumpulkan kekuatan sebanyak mungkin dari alam semesta ini.
Ketika perempuan menjadi energi yang dominan, terlalu banyak perhatian difokuskan pada dunia batin, yang menciptakan dualitas dengan dunia luar. Dunia batin, dunia spiritual, kemudian dilihat sebagai lebih tinggi dan lebih unggul dari realitas luar yang penuh dengan bentuk keanekaragaman dan pluralitas.
Surga: keseimbangan antara perempuan dan laki-laki
Kita bisa melihat bagaimana dualitas bekerja sepanjang sejarah umat manusia. Dalam masa pra-sejarah, ada keseimbangan antara energi laki-laki dan perempuan. Pada saat itu, tidak ada negara, tidak ada batas. Ini adalah jaman surga duniawi yang disebut Lemuria. Di dalam diri saya, ada tayangan saat kehidupan itu ketika saya, bersama dengan malaikat lainnya, sibuk mempersiapkan bumi untuk kedatangan manusia.
“Ini seperti mimpi indah tentang masa lalu. Kami adalah malaikat bercahaya yang bekerja sama dengan ibu bumi, kami menciptakan alam. Kami memiliki kecepatan waktu yang berbeda: Tanaman yang kita buat, kita bisa melihatnya muncul dalam sekejap. Kami saat itu sedang sibuk mempersiapkan bumi untuk kedatangan manusia. Itu adalah saat harapan, saat cinta. Kami berpikir bahwa bumi akan menjadi taman bermain yang sangat indah di mana makhluk dengan kesadaran seperti anak kecil yang sederhana dapat menemukan kehidupan yang nyaman; tempat di mana orang bisa menikmati cinta satu sama lain dan alam sekitarnya. Bagaimana kemudian bisa keliru, Apa yang telah salah“?
Orang-orang yang menghuni Bumi pada saat itu merasakan keterhubungan dalam kehidupan dan mengetahui bahwa ibu bumi ada di sana untuk semua orang. Orang-orang disana menjalani kehidupan dalam harmoni dengan alam. Bumi, seperti udara, ada di sana untuk semua orang, tapi bukan milik kami. Pada saat yang sama, kehidupan adalah suatu perjalanan penemuan, petualangan yang menyenangkan. Pada setiap gunung, ada pemandangan baru; di balik setiap horizon, ada sebuah tempat baru dengan pengalaman baru untuk mengeksplorasi.
Manusia diciptakan dengan rasa penasaran, dengan rasa ingin tahu. Pada hari-hari itu, orang-orang memiliki kesadaran yang ceria, agak terlihat kekanak-kanakan. Mereka menikmati hidup dengan kebahagiaan spontan seperti yang kita lihat pada anak-anak. Kesadaran mereka lebih luas daripada kita: mereka bisa berkomunikasi dengan hewan, tumbuhan, gunung, dan sungai. Adalah wajar bagi mereka saat itu untuk memiliki kontak dengan pemandu spiritual dan dengan makhluk eterik seperti elf dan goblin. Mereka memiliki rasa yang sangat berbeda terhadap waktu dan kehidupan dari hari ke hari.
Dalam perkembangan manusia ini, ada ritme alami, antara energi wanita dan laki-laki dengan lebih atau kurang dominan secara berulang kali. Setelah setiap fase dari penemuan dan eksplorasi, datang fase internalisasi. Sama seperti manusia yang berjalan dengan kaki bergantian kiri dan kanan. Tapi kemudian ia berjalan salah.
Akhir dari surga: ular dan munculnya dualisme
Dalam Alkitab, fase ini digambarkan sebagai kisah simbolik Hawa, yang tergoda oleh ular untuk mencicipi apel yang memberikannya pengetahuan tentang yang baik dan yang jahat.
Apa yang salah? Kemanusiaan pada secara keseluruhan didominasi oleh ras laki-laki, ras yang lebih berfokus pada penemuan dan petualangan. Untuk alasan ini, mereka hadir sebagai manusia dengan keinginan untuk lebih terbebas dari dunia roh. Laki-laki selalu ingin menjalani petualangan dan menemukan. Kemanusiaan secara bertahap menjelma lebih dalam ke bumi dan menjadi materi.
Koneksi dengan roh pemandu mereka – para malaikat yang menemani manusia dalam perjalanan – dan ketaatan pada dunia spiritual, menjadi dianggap kurang penting. Wanita, yang menurut sifatnya lebih terfokus pada dunia batin, lebih terampil dalam menciptakan hubungan ini daripada laki-laki, dan beberapa wanita melakukan hal ini lebih baik daripada wanita lainnya.
Kelompok wanita ini sangat penting bagi masyarakat saat itu dan dengan demikian timbulah kelas pendeta. Ketika kesenjangan antara pendeta dan dunia malaikat yang menyertai umat manusia menjadi lebih besar, kesenjangan ini membuka munculnya kontak dengan sumber-sumber lain yang memiliki niat kurang terpuji. Energi reptil (Ular dari Alkitab) ingin melemahkan umat manusia melalui pemisahan.
Para Pendeta mulai tergoda dengan ide-ide berikut: dunia batin lebih penting daripada dunia luar; wanita lebih selaras dengan dunia batin, lebih baik dari laki-laki dan berhak memimpin laki-laki. Pikiran seperti ini membangkitkan ego mereka, dan mereka mulai secara bertahap merangkul pandangan dunia dualistik ini. Perempuan, dan dunia batin, yang dianggap lebih unggul, mewakili kaum yang “lebih tinggi”. Pria, dunia luar, yang dianggap lebih rendah, mewakili kaum yang “rendah”. Ini adalah gigitan Apel: dualitas, yang disebut pengetahuan tentang yang baik dan yang jahat, mulai masuk ke dalam konsep pemikiran manusia.
Para pendeta mulai menganggap diri mereka lebih penting dan menginginkan kuil-kuil dan rumah yang indah untuk diri mereka sendiri. Masyarakat mulai menetap dalam satu wilayah. Manusia mulai berhenti untuk mengembara dan menemukan hal-hal baru, dan perempuan tetap dominan untuk waktu yang lama. Pria semakin dianggap sebagai makhluk inferior, dan bahkan diperlakukan sebagai budak.
Dominasi perempuan dan luka pada energi laki-laki
Masa pendeta wanita dimulai. Mereka menyatakan pandangan dualistik yang membenarkan kekuasaan dan otoritas mereka serta keunggulan penting perempuan atas laki-laki. Mereka mengklaim bahwa kebenaran hanya berada di dunia batin, dan bahwa hanya perempuan yang memiliki akses ke kebenaran itu. Dunia luar digambarkan sebagai buruk, berbahaya, dan menggoda, dan orang-orang harus dilindungi terhadap dunia buruk ini untuk kebaikan mereka sendiri.
Konsep ini memiliki empat konsekuensi yang luas yang akan menyebabkan luka yang dalam pada energi laki-laki.
Luka pertama: hilangnya keindahan
Harus menetap di satu tempat membutuhkan pertanian yang intensif dan pekerjaan berat: pekerjaan laki-laki. Dorongan alami laki-laki terhadap petualangan, dianggap mencurigakan, yang dengan demikian ditekan lebih jauh. Dorongan ini tidak hilang dengan pekerjaan berat dan membosankan seperti membajak dan panen.
Gambaran tentang bagaimana menjadi orang baik berubah: Yaitu mereka yang menjadi pekerja keras yang handal yang tidak memiliki waktu untuk banyak pikiran. Pria petualang dianggap sebagai gelandangan dan berbahaya bagi masyarakat. Semua ekspresi masa itu merujuk pada pernyataan: “Tidak ada yang meninggal karena kerja keras.” “Manusia harus mencari nafkah dengan keringatnya.” “Iblis bekerja pada tangan yang diam.”
Namun, keinginan untuk petualangan pada pria adalah keinginan untuk mengalami keindahan dan keajaiban alam semesta. Dengan menekan keinginan ini, luka pertama pada energi pria muncul: yaitu hilangnya kemampuan untuk menghargai keindahan. Pria belajar bahwa untuk menikmati keindahan hidup, untuk berpetualang dan mengeksplorasi cara-cara baru kehidupan, dorongan untuk mencipta, untuk menemukan, adalah kualitas “buruk” yang harus ditekan. Laki-laki yang “baik” adalah seorang pekerja keras yang tidak banyak bertanya.
Kita masih melihat konsekuensi dari cara berpikir seperti ini. Lihatlah kota-kota modern yang dirancang dan dibangun hampir secara eksklusif oleh laki-laki bekerja keras dan kurangnya warna dan keindahan hidup. Kita masih melihat di sekitar kita hanyalah energi pelarian dari laki-laki yang tidak bisa beristirahat dan tampaknya tidak tahu apa yang diinginkannya.
Melalui pengembangan ini, laki-laki menjadi hampir sepenuhnya bertanggung jawab untuk penyediaan makanan, membuat mereka lebih penting di dalam masyarakat.
Luka Kedua: hilangnya cinta
Karena pandangan dunia dualistik dari kasta Pendeta, dunia luar menjadi semakin dilihat sebagai berbahaya. Masyarakat mulai menetap di satu tempat dan membutuhkan pelindung. Ini juga merupakan tugas laki-laki: para pemburu menjadi prajurit. Seorang prajurit, namun, tidak seperti seorang pemburu yang baik, ia tidak dapat memiliki perasaan. Seorang tentara yang membunuh manusia lain tidak perlu memiliki perasaan tentang korbannya. Dia tidak bisa membiarkan hal itu ada dalam benaknya bahwa seseorang yang telah ia bunuh pernah menjadi bayi yang memiliki ibu yang mungkin sangat mencintainya dan menginginkan yang terbaik untuknya. Seorang prajurit tidak bisa berpikir: “Sekarang aku telah membunuh anaknya. Bagaimana ini akan mempengaruhi dirinya? Apa yang akan rasakan keluarganya ketika mereka mendengar bahwa dia sudah mati? Berapa banyak air mata ia akan tumpahkan?” Seorang prajurit yang memiliki empati, tidak bisa menjadi seorang pejuang.
Seorang prajurit yang baik menekan batinnya dan bertindak dari pandangan dunia yang sangat dualistik: bahwa yang lain adalah musuh, adalah buruk. Lawannya bukan manusia dan karena itu saya boleh membunuhnya. Sikap ini, tentu saja, mengakibatkan peningkatan dualitas di dunia. Ada semakin banyak pertempuran, makin banyak perang, dan makin banyak perbatasan di dunia. Dan prajurit – laki-laki – menjadi semakin penting; laki-laki yang telah kehilangan koneksi dengan batin mereka.
Ini adalah luka kedua pada energi pria, luka di hati: hilangnya cinta. Seorang pria yang mematikan kekuatan empatinya akan merasa kesepian dan tersesat di alam semesta yang besar, kosong, dan saling bermusuhan.
Luka ketiga: hilangnya kearifan
Dalam masyarakat yang stabil, perubahan dan pembaharuan dipandang dengan kecurigaan. Kekuatan menjadi konservatif; kekuasaan bergandengan tangan dengan rasa takut pada perubahan dan kurangnya fleksibilitas. Spiritualitas yang berbasis cinta pada alam, berubah menjadi berdasarkan rasa takut dualistik dengan segala macam aturan tentang baik dan jahat. Ketika spiritualitas itu menjadi agama yang mapan, diperlukan petugas yang dapat menegakkan aturan agama, jika perlu dengan kekuatan, dan ini menekan inovasi; ini juga menjadi tugas laki-laki. Kebenaran tidak lagi dianggap energi yang hidup dan penuh kasih, yang terbentang secara dinamis dan selalu menunjukkan aspek baru. Kebenaran diterjemahkan menjadi seperangkat aturan yang ditegakkan oleh laki-laki. Pada saat itu, kita melihat munculnya agama otoriter di mana kebenaran didirikan sekali dan untuk semua, dan jika Anda tidak setuju, Anda adalah jahat atau berdosa.
Karena mempertahankan aturan agama sering bertepatan dengan penyebaran agama tersebut, akhirnya meningkatkan peran dari laki-laki. Pria kini menjadi otoritas spiritual. Hal ini memperkuat kecenderungan bahwa pria lebih penting dan lebih kuat. Namun, agama otoriter ini memiliki sedikit kebijaksanaan dan kebenaran. Maka lahirlah luka ketiga dalam energi laki-laki: hilangnya kearifan.
Kemanusiaan masih sangat menderita terhadap ide bahwa perubahan adalah buruk dan bahwa kebenaran telah ditetapkan dalam sebuah buku aturan untuk sekali dan untuk semua.
Luka keempat: hilangnya seksualitas yang lembut
Karena ketegangan meningkat antara kedua jenis kelamin, pengalaman seksualitas juga berada di bawah tekanan; berakibat semakin berkurangnya tempat untuk cinta dan kelembutan. Ketika laki-laki di bawah pendeta yang dominan dianggap sebagai lebih rendah, berhubungan seks dengan seorang laki-laki terlihat sebagai kejahatan yang diperlukan. Dan para wanita mulai menekan energi seksual mereka. Untuk pria, seks menjadi lebih dan lebih terkait dengan ekspresi kemarahan yang ditekan. Di mana sex pertama kali adalah ungkapan cinta untuk wanita, sekarang menjadi ekspresi kekerasan. Nafsu dan amarah terpendam mulai bergabung: fantasi seksual pria sering berwujud kekerasan.
Lahirlah luka keempat: luka di bidang seksualitas. Sejak saat itu, seksualitas lebih sering berkaitan dengan emosi yang ditekan daripada dengan cinta antara pria dan wanita.
Munculnya dominasi laki-laki
Karena pendeta tidak lagi menyatakan spiritualitas yang hidup, mereka akhirnya membuat dirinya menjadi berlebihan. Aturan yang kaku dari sebuah agama dualistik otoriter dapat berfungsi tanpa cinta dan intuisi dari perempuan.
Karena laki-laki secara bertahap bertanggung jawab untuk penyediaan makanan, perlindungan masyarakat, dan penegakan hukum secara tegas dari “kematian” spiritualitas, mereka berada di atas angin. Energi laki-laki menjadi dominan dan terus begitu untuk waktu yang lama.
Energi pria yang dominan ini, bagaimanapun, adalah energi laki-laki yang terluka: seorang pria yang telah kehilangan rasa keindahan, hatinya dan kebijaksanaannya. Perempuan dipandang sebagai obyek seks rendahan dan sering menjadi korban perasaan seksual menyimpang yang muncul dari tradisi kekerasan. Perempuan mengingatkan laki-laki pada perasaannya dan perasaan mereka adalah berbahaya dan jahat, sehingga wanita dianggap jahat. Karena kebenaran ini telah dijamin dalam peraturan dan perintah, kemampuan intuitif dan spiritual alami dari wanita menjadi terlihat buruk dan berbahaya. Pembakaran penyihir yang mengerikan, yang di beberapa tempat di dunia masih berlangsung, dimulai pada hari-hari tersebut. Wanita semakin sedikit dan lebih sedikit memiliki hak dan menjadi semakin tertindas. Akhirnya, mereka hanya dianggap cocok untuk melahirkan dan membesarkan anak-anak. Pada Abad Pertengahan, perempuan bahkan dianggap oleh banyak teolog sebagai makhluk tanpa jiwa.
Surga telah ditinggalkan: terjadilah masa-masa perang, kekejaman, pemisahan, dan kepalsuan, masa yang mengakibatkan luka yang dalam pada energi perempuan. Kemanusiaan yang terpisah yang tidak lagi mampu melindungi diri. Ular itu telah mencapai tujuannya: manusia tidak lagi terhubung pada kebenaran hidup dan rentan terhadap ide-ide palsu. Seseorang yang memeluk pandangan dualistik merasa takut, dan seseorang yang memiliki rasa takut akan mudah untuk dimanipulasi: Anda menekan orang lain jika dia tidak mendengarkan Anda, ia akan menjadi korban dari apa yang ia takuti.
Pengaruh makhluk luar bumi dan munculnya Atlantis
Orang-orang yang membenci energi feminin adalah manusia rentan. Mereka merindukan untuk bimbingan yang lebih tinggi, tetapi pada saat yang sama mereka menolak solusi alami yang ditawarkan energi perempuan: mengandalkan intuisi Anda dan batin mengetahui. Mereka kemudian menemukan solusi palsu: kekuasaan di dunia luar yang mengaku sebagai yang “lebih tinggi”. Tapi mereka kemudian menjadi benar-benar terbuka untuk dimanipulasi.
Di masa lalu, konsekuensi dari kerentanan ini adalah bahwa manusia menjadi alat permainan untuk semua jenis pasukan Galactic. Manusia yang telah kehilangan koneksi dengan energy feminin membiarkan diri mereka terpikat dengan mudah oleh sesuatu yang dianggap mukjizat dan oleh kekuatan peradaban yang maju secara teknis. Segera, perwakilan dari peradaban ini dilihat oleh manusia sebagai dewa. Manusia dimanipulasi dengan segala cara yang mungkin, dan juga secara genetik. Banyak cerita tentang dewa-dewa kuno, seperti dewa-dewa Yunani yang terkenal, dengan semua kesalahan dan kekejaman manusia mulai saat itu. Jawaban untuk pertanyaan: “Apakah para dewa itu sesungguhnya kosmonot?” menurut pendapat saya, “Ya.”.
Penindasan berakhir ketika sekelompok jiwa luar angkasa yang canggih/maju memutuskan untuk hidup di bumi untuk membantu umat manusia untuk berkembang. Mereka menciptakan semacam manusia super yang berkembang biak; yang juga dikenal sebagai orang Atlantis atau orang bintang. Mereka secara fisik lebih tinggi dari orang bumi dan memiliki kemampuan intelektual yang tinggi; mata ketiga mereka juga sangat maju. Tujuan mereka adalah dua: untuk membebaskan umat manusia dan bumi dari pengaruh asing yang tidak diinginkan dan untuk membawa umat manusia ke dalam kontak lagi dengan alam spiritualitas. Yang terakhir bisa dicapai dengan mengembalikan keseimbangan antara energi laki-laki dan perempuan.
Era Atlantic dimulai: sebuah periode dalam sejarah umat manusia yang berlangsung sekitar seratus ribu tahun. Selama periode ini, ada perbedaan yang tajam antara makhluk luar angkasa yang menjelma, yang menganggap diri mereka sebagai pemimpin kemanusiaan yang tercerahkan – yang disebut hirarki spiritual – dan manusia yang dianggap kurang sadar. Orang-orang bintang, dan Atlantis, berhadap-hadapan dengan orang-orang bumi.
Namun, kelahiran Atlantis membawa dalam dirinya benih kejatuhannya. Dalam rangka untuk membebaskan umat manusia dari pengaruh asing, orang-orang bintang di Bumi malah membangun dominasi yang besar: mereka adalah kelas penguasa dan menganggap orang bumi sebagai bawahan mereka. Ini bertentangan dengan niat spiritual awal mereka. Memiliki kekuasaan atas orang bumi tidak sejalan dengan tujuan untuk membebaskan manusia secara batin. Spiritualitas orang-orang bintang belum benar-benar satu hati. Mereka masih membawa motif kekuasaan.
Kaum Atlantis melihat orang-orang bumi sebagai makhluk bodoh hanya cocok untuk kerja paksa. Mereka mulai melihat diri mereka sebagai superior dan lebih sering menyalahgunakan kekuatan mata ketiga mereka. Selain itu, di mana orang Atlantis menganggap laki-laki dan perempuan sama, itu tidak terjadi pada bawahan mereka, yaitu orang-orang bumi. Bagi mereka, laki-laki yang mendominasi. Ini cocok bagi orang Atlantis karena laki-laki lebih cocok untuk mengikuti perintah mereka dan membangun kota-kota mereka yang megah. Orang Atlantis sangat memahami bahwa selama wanita ditekan, mereka bisa tetap mengendalikan manusia dan mereka bisa melakukan apa yang mereka inginkan.
Kekuasaan yang korup, dan ini juga terjadi dengan Atlantis. Mereka mulai semakin menikmati kekuasaan mereka, keberhasilan nyata dan tak terkalahkan. Mereka semakin menyalahgunakan kekuatan mata ketiga mereka. Mata ketiga ini sering disebut agni, chakra api, dan diperlukan air untuk menghapus kekuatan ini. Banyak yang telah ditulis tentang tenggelamnya Atlantis. Namun, alasan terdalam untuk itu adalah tindakan pengorbanan diri. Makhluk Atlantis yang lebih berkembang sangat mengerti bahwa mereka hanya bisa membantu umat manusia dengan melakukan itu, dan ini hanya bisa dicapai dengan menghancurkan Atlantis. Hanya dengan cara ini dualitas antara orang bintang dan orang-orang bumi akan terhapus.
Saya mengingat episode ini dari kehidupan sebelumnya.. “Saya berdiri di atas gedung yang indah, menara putih yang indah. Saya melihat keluar. Saya baru saja bertengkar dengan seorang wanita. Ia telah bersama dengan saya untuk waktu yang lama,. tapi dia meninggalkan saya sekarang untuk selamanya. Saya sedih atas kepergiannya. Dia ingin hidup di antara orang-orang bumi untuk membantu mereka sebagai semacam pekerja sosial. Kesenjangan antara kami, Atlantis yang berkuasa, dan orang-orang bumi adalah besar. Kami melihat mereka sebagai bentuk kehidupan yang lebih rendah. Ketika saya menyelaraskan dengan jiwa wanita itu, saya merasa bahwa dia pada dasarnya adalah jiwa bumi yang telah lahir di antara orang Atlantis,. Itu sebabnya keinginannya untuk membantu orang Bumi begitu besar. Dia juga bertubuh agak kecil dan rambutnya berwarna merah, yang tidak biasa di antara orang Atlantis. Saya berjalan ke kamar, dan di tengah-tengah ruangan ada simbol kuat tergambar di lantai. Jika Anda berada di tengah-tengah simbol itu, Anda dapat meninggalkan tubuh Anda sangat mudah dan secara permanen.
Saya menyadari bahwa apa yang wanita itu ingin lakukan adalah hal yang benar, tetapi itu tidak akan berhasil, dia adalah pengecualian. Selama Atlantis masih ada, orang-orang Bumi akan tetap menjadi bawahan. Ini sudah berlangsung selama ribuan tahun. Kesenjangan ini terlalu besar, kekuasaan terlalu adiktif, terlalu lazim.
Jauh di dalam batin saya, saya merasakan bagaimana kekuatan mengubah muncul di dalam diri saya terhadap Atlantis. Saya terhubung dengan kekuatan itu dan berkata: “Ya, lakukan saja, saya merasa bahwa saya bukanlah satu-satunya, banyak orang lain yang merasa bahwa itu sudah cukup, hal ini tidak bisa terus berlangsung seperti ini, ada rasa sakit antara orang-orang bumi, dan bumi itu sendiri, ini sudah keterlaluan. Ada ada dalam diri kita keinginan untuk perubahan, kerinduan untuk petualangan baru. Sebuah kedalaman yang lebih dalam hidup.”
Saya kemudian pergi dan berdiri di atas symbol itu dan saya melepaskan tubuh saya. Saya tahu ketika saya dilahirkan kembali Atlantis tidak akan lagi berada di sana; Saya tidak akan lagi menjadi bagian dari mereka.”
Para penguasa Atlantic yang menginginkan perubahan menjadi apa yang sekarang kita sebut Lightworkers. Selama berabad-abad, mereka kemudian akan dianiaya dan ditindas oleh manusia ketika mereka mencoba untuk membawa manusia kembali berhubungan dengan kebenaran batin yang datang kepada kami melalui energi perempuan.
Setelah Kejatuhan: Kutukan Atlantis
Era Atlantis meninggalkan jejak yang tidak bisa hilang tentang manusia dalam hubungannya dengan bagaimana masyarakat seharusnya: gagasan bahwa ada semacam kelas atas orang-orang yang istimewa dan kelas orang-orang yang melayani. Selama berabad-abad, manusia harus diatur oleh apa yang disebut bangsawan, orang-orang yang percaya atas dasar kelahiran mereka, bisa berdiri di atas orang lain dan memiliki hak untuk mendominasi mereka. Kaum bangsawan muncul dari memori orang bumi bagaimana Atlantis berperilaku terhadap mereka. Begitu bangsa diciptakan di suatu tempat, kelas aristokrat istimewa segera muncul; memori bawah sadar dari Atlantis bertanggung jawab untuk itu.
Seperti halnya dengan Atlantis, bahwa perempuan sama dengan laki-laki, perempuan diperbolehkan untuk menjadi pemimpin kelas bawah dari orang Bumi. Beberapa ribu tahun kemudian, ketika perempuan dianggap lebih rendah, beberapa pengingat Atlantis ini mengijinkan wanita sebagai pemimpin di negara-negara yang didominasi kaum bangsawan. Misalnya, di negara seperti Belanda, wanita diterima sebagai seorang Ratu di saat wanita belum memiliki hak untuk memilih. Pemimpin perempuan diterima, asalkan mereka berasal dari “darah biru” – mereferensi ke Atlantis – yang, atas dasar asal mereka, bisa berdiri di atas orang-orang biasa.
Setelah jatuhnya Atlantis, kesatuan artifisial yang telah dicapai orang Atlantis ini juga menghilang: kemudian muncul perbatasan dan negara. Lagi-lagi, manusia berusaha menciptakan Atlantis dari energi laki-laki. Kerajaan besar kuno: Babel, Asyura, Persia, Kekaisaran Romawi, semua adalah upaya untuk menciptakan kembali Atlantis. Dan karena masing-masing negara-negara itu mencoba membangun Atlantis Baru, ada perang yang hampir terus menerus.
Namun, semua upaya untuk menyatukan umat manusia melalui pertempuran ditakdirkan untuk gagal. Persatuan hanya bisa timbul ketika ia datang dari dalam, bukan dengan memaksakan dari atas. Inilah yang akhirnya dipahami oleh orang Atlantis dan karena itu sebabnya mengapa mereka mengubah diri menjadi Lightworkers. Kutukan Atlantik adalah bahwa manusia mencoba untuk menciptakan kembali Atlantis, lagi dan lagi. Keinginan untuk menciptakan sebuah kerajaan yang memaksakan kehendaknya, keinginan untuk hidup di kota-kota megah kuno, yang tidak menghormati alam, aturan kelas atas oleh orang dengan “darah biru”, semua itu adalah konsekuensi dari memori Atlantis.
Sekarang, justru orang Atlantis itu sendiri yang menginginkan hal yang berbeda: mereka adalah Lightworkers hari ini. Jiwa-jiwa ini mengingat persis bagaimana, melalui penyalahgunaan kekuasaan, hal yang salah di masa lalu dan mereka akan melakukan yang terbaik untuk melindungi manusia terhadap bencana masa depan. Untungnya, semakin banyak orang yang mulai mendengarkan.
Kembalinya para lightworkers
Ketika orang Atlantis lama terlahir kembali sebagai manusia di antara manusia, mereka benar-benar belajar apa artinya menjadi manusia dan hanya dengan melakukan itu kemudian mereka menjadi Lightworkers: pembawa cinta dan inspirasi. Mereka sering mengalami kekerasan dan dianiaya karena peran mereka, namun, sementara itu, mereka menanam benih cahaya dan harapan. Mereka yang memiliki hubungan yang kuat dengan intuisi mereka memberikan kemanusiaan seni yang indah dan kemajuan ilmu pengetahuan dan sosial. Dan di banyak tempat di dunia ini hidup wanita-wanita yang pemberani, para penyembuh, yang tetap bertahan pada kemampuan mereka sendiri dan berani berdiri untuk spiritualitas asli mereka. Mereka telah membantu banyak sekali orang dan menanam benih cahaya tak terhitung banyaknya dalam hati orang-orang. Tapi sering mereka akhirnya dibakar.
Seorang pria yang menghargai apa yang original di dalam dirinya sendiri, mulai merangkul energy feminin lagi. Seorang wanita yang menghargai energy maskulin dalam dirinya, menghubungkan orang-orang di sekelilingnya dengan sumber kasih dan kebenaran dalam dirinya. Secara bertahap Cahaya itu mulai meningkat.
“Kasihilah musuhmu”, kata Yesus. Cinta yang melampaui dualitas. Cinta memberi cahaya. Seperti jika Anda pergi dengan membawa lampu di tangan Anda untuk mencari kegelapan, tapi di mana pun Anda berada di sana tampaknya tidak ada kegelapan, karena cahaya lampu Anda bersinar di sana. Kegelapan tidak ada; kegelapan ada karena tidak adanya cahaya. Dualitas tidak benar-benar ada; dualitas adalah kurangnya cinta. Setiap kali kita benar-benar terbuka terhadap orang lain, kita menemukan bahwa orang lain sama seperti kita. Dualitas yang kita anggap nyata sebelumnya menjadi tidak ada sama sekali, itu adalah ilusi.
Meskipun melalui banyak perang, manusia berkembang lebih lanjut dan mengalami kemajuan secara teknis dan sosial. Terjadi perkembangan sosial yang penting termasuk penghapusan perbudakan, emansipasi wanita, dan penghapusan pekerja anak. Di bidang teknologi, kemanusiaan telah maju sejauh ini dengan kemampuan membangun sebuah roket yang bisa pergi ke bulan. Dan manusia mendarat di Bulan, mereka melihat bumi dan menemukan rumah mereka lebih indah dari sebelumnya. Mereka melihat Bumi yang berwarna biru mencolok – tanpa batas – dan menyadari dalam hati mereka bahwa Bumi adalah tempat kehidupan yang indah dan kita telah menyalahgunakannya. Mereka membawa kembali gambaran indah dan cerita tentang Bumi. Mereka berbagi pengalaman spiritual mereka.
Perjalanan ke Bulan, yang merupakan simbol kuno dari perempuan, bermakna puncak dari energi laki-laki. Hal ini seperti benih yang meletus dari laki-laki. Setelah ini terjadi, ada perasaan kelembutan dan ketenangan; perempuan diberikan kembali ruangnya.
Kemanusiaan menjadi keseluruhan
Selama tahun enam puluhan, proses penyembuhan yang besar mulai terjadi. Pria mulai memanjangkan rambut mereka, menandai pulihnya koneksi mereka dengan batin perempuan. Dari semua sisi, manusia dibantu untuk mengatasi dualitas dan menjadi sadar akan keterkaitan seluruh kehidupan. Ilmu pengetahuan mengembangkan hipotesis Gaia : gagasan bahwa Bumi adalah satu organisme hidup. Ini adalah perubahan radikal terhadap teori evolusi “maskulin” yang menyatakan bahwa bumi terdiri dari banyak organisme yang saling melawan satu sama lain: pertarungan semua melawan semua. Teori Gaia adalah bagian dari teori yang jauh lebih besar; yaitu, bahwa seluruh alam semesta yang tak terbatas ini adalah Tunggal: kita semua adalah Satu.
Menjadi keseluruhan juga berarti penyatuan. Dan memang manusia sibuk menemukan kesatuan dan keterkaitan batin. Orang-orang melakukan perjalanan terus menerus, dan pertemuan persahabatan sedang berlangsung antara orang-orang dari budaya yang berbeda. Berkat munculnya bahasa Inggris sebagai bahasa pemersatu dan internet, sekarang saya bisa, untuk pertama kalinya dalam sejarah manusia, berkomunikasi dengan hampir semua orang. Kita juga mulai semakin merangkul nilai-nilai yang sama di Bumi: Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia.
Integrasi juga berarti bahwa kita menyadari bahwa kita adalah satu. Kita bukan pria atau wanita; kita adalah manusia. Kedua energy maskulin dan feminin ada di dalam diri kita. Merasakan itu dan mengintegrasikan itu membuat kita lengkap, membuat kita berdiri di Bumi sebagai cahaya yang bersinar. Maka akan ada perdamaian; kedamaian batin yang tercermin dalam harmoni dengan sesama manusia, dengan Bumi dan dengan alam semesta itu sendiri.
Sumber: Henkykuntarto’s Blog _ Wellcome to my spiritual blog
No comments:
Post a Comment