Air mendidih dalam suhu berapa derajat Celsius? Ada yang menjawab:
pada suhu 100 derajat Celsius. Apakah salah? Ya bisa salah, bisa benar.
Kalau Anda memasak air di tepi pantai, maka Anda akan mendapati air itu
akan mendidih pada suhu 100 derajat Celsius.
Tetapi, kalau Anda memasak air di puncak gunung, air Anda akan mendidih sebelum 100 derajat Celsius.
Bisa pada 95, 90, atau bahkan 80 derajat Celsius. Kenapa? Ya, karena, titik didih itu ‘bukan konstanta’, yang dimana pun akan mendidih pada suhu 100. Titik didih itu variable terhadap tekanan udara. Semakin tinggi tekanannya semakin tinggi pula titik didihnya, sebaliknya semakin rendah tekanannya, semakin rendah pula titik didihnya. Jadi, kalau begitu, mana yang benar dong?!
TAKDIR air mendidih pada 100 derajat Celsius itu bukan konstanta..! Takdir titik didih itu VARIABLE.
Bakal terjadi seiring dengan perubahan ruang dan waktu. Apakah, Allah sudah menakdirkan air mendidih pada suhu 100? Jawabnya: ya, sudah. Sejak dulu, bersamaan dengan penciptaan alam semesta. Tetapi, disertai dengan kondisi, yakni: KALAU air itu dimasak pada tekanan 1 atmosfer. Kalau tidak 1 atm, ya tidak mendidih di angka 100 itu. Bergantung pada USAHA Anda dalam memperlakukan air yang dimasak itu. Mau dimasak di gunung, atau dimasak di pantai. Atau, dalam press-cooker dengan tekanan tinggi, yang tulang sapi maupun duri bandeng bisa menjadi lunak, karena titik didih airnya meningkat tajam.
Contoh kecil ini bisa Anda kembangkan dalam kehidupan Anda sehari-hari. Ataupun, dalam pengamatan-pengamatan sains yang lebih rumit. Bahwa, segala kejadian atau peristiwa ternyata tidak bebas ruang-waktu.
Setiap peristiwa selalu ditakdirkan BERSAMAAN dengan ruang-waktu dimana kejadian tersebut berlangsung. Ini menjadi argumentasi penjelas secara sederhana, tentang kelemahan pandangan klasik ala Newtonian bahwa ruang & waktu adalah konstanta.
Titik didih air yang 100 derajat itu adalah benar, hanya bagi orang-orang yang tidak pernah memasak di gunung. Alias, bagi orang-orang yang tahunya hanya memasak di pantai. Kalau pingin tahu tentang titik didih air yang 80 derajat Celsius, tanyakanlah kepada orang gunung.
Takdir itu berjalan seiring dengan terpenuhinya kondisi yang dipersyaratkan. Dan ‘perbedaan kondisi’ itu terjadi karena ‘ruang’ dan ‘waktu’ bukan konstanta, melainkan variable. Apakah, ketentuan alias takdir bahwa air mendidih itu bisa beragam: 80, 90, 100 derajat itu sudah ada sejak dulu? Jawabnya: tentu saja. Tetapi, untuk bisa terjadi, ya harus berada di dalam kondisi yang melingkupinya. Begitulah Takdir Anda terjadi.
Bahwa realitas ‘dulu’ dan ‘nanti’ itu sebenarnya tidak ada. Yang ada itu ‘sekarang’. Ruang adalah proyeksi diri-Nya: ‘sekarang’. Waktu juga proyeksi dirinya: ‘sekarang’. Dan seluruh peristiwa adalah proyeksi diri-Nya: ‘sekarang’. Semuanya terjadi secara real-time.
‘Kemarin’ sudah ‘tidak ada’. Sebagaimana ‘besok’ pun ‘tidak ada’. Kemarin adalah sekedar memori peristiwa yang membekas di sistem saraf otak kita. Realitasnya TIDAK ADA lagi. Badan Anda kemarin sudah tidak ada. Karena badan Anda yang sekarang ini sudah berbeda secara substantive dengan kemarin. Rambut sudah lebih panjang atau memutih. Kuku juga. Seluruh organ-organ dan triliunan sel tubuh Anda berbeda dengan sebelumnya, bahkan jika dibandingkan dengan semenit yang lalu.
Realitas adalah SEKARANG. Bukan tadi, atau nanti. Ini tidak bisa dijelaskan oleh teori Einstein, yang memandang ‘tadi’ dan ‘nanti’ itu ada secara parallel dengan ‘sekarang’. Yang begini ini, dengan sangat baik dijelaskan oleh teori holografik. Bahwa semua takdir bisa berlangsung secara real-time: sekarang. Kenapa bisa sekarang? Karena, ruang-waktu-peristiwa adalah sebentuk proyeksi belaka: disini dan sekarang. Sedang dimulai, sedang berlangsung, dan sekaligus diakhiri..!
Kita tidak punya pijakan apa pun untuk mengatakan bahwa Allah ‘sudah’ menakdirkan, atau ‘belum’ menakdirkan. Karena, yang disebut takdir itu adalah ketika ‘terjadi’: sekarang, sebagai proyeksi dari diri-Nya. Baik yang berupa kehendak, maupun peristiwanya. Kehendak Anda semenit yang lalu itu hanya ilusi. Tidak ada realitasnya. Yang ada ialah kehendak sekarang: saat ini. Yang sedang terjadi. Dan semua itu ada dalam kehendak Allah, ditentukan lewat takdir-Nya: saat ini juga. Maka, setiap makhluk di alam semesta ini hanya berpindah dari satu takdir ke takdir lainnya: sekarang.
Karena bagi Allah ‘dulu’ dan ‘nanti’ adalah: ‘sekarang’, maka dengan sendirinya Dia menjadi Maha Mengetahui. Bukan karena waktu berjalan secara urutan ataupun paralel, melainkan karena waktu ‘tidak bergerak’ di dalam-Nya. Dimensi waktu yang bergerak itu adalah jika dipandang secara Einsteinian. Dalam pandangan holografik, waktu tidak bergerak. Karena ‘dulu’ dan ‘nanti’ hanyalah ‘kesan’ yang terbentuk di sistem saraf otak kita. Yang riil itu adalah: ‘sekarang’. Dan, Allah menempatkan seluruh kejadian ‘sekarang’ itu dalam kitab kenyataan bernama Lauh Mahfuzh. Yang bisa dihapus atau ditetapkan secara real-time oleh-Nya, dan langsung menjadi kenyataan. Terserah pada kehendak-Nya.
Untuk Tuhan lebih pantas kita gunakan FREE WILL – ‘kehendak bebas’. Sedangkan untuk manusia lebih pantas disebut free choice – ‘pilihan bebas’. Dari sini saja kita sudah paham seberapa bebas ‘pilihan’ yang dimiliki oleh manusia dibandingkan ‘KEHENDAK’ Tuhan.
Manusia TIDAK BISA berkehendak secara bebas. Yang bisa dia lakukan hanyalah MEMILIH dari apa yang sudah ada di sekitarnya. Bahkan, hanya dari yang dia KETAHUI saja. Tak lebih. Apa yang disebut ‘kebebasan’ itu ternyata secara natural sudah terbatasi dengan sendirinya oleh desain kemanusiaan kita. Saya suka dengan ungkapan ini: You can do every thing under My Rules..!
Bahwa, makhluk bukan lagi ‘bagian’ dari eksistensi Tuhan, melainkan cuma hasil proyeksi dari diri-Nya.
Karena sifatnya proyeksi, maka hasil proyeksinya pasti memiliki derajat lebih rendah. Pasti juga, dimensinya lebih rendah. Pasti juga kualitasnya lebih rendah. Bergantung ini hasil proyeksi berapa kali dari masternya.
Jika sebuah benda berdimensi tiga diproyeksikan sekali, ia akan menjadi benda berdimensi dua. Dan jika diproyeksikan lagi, ia akan menjadi benda berdimensi satu. Dan jika diproyeksikan lagi, dia akan menjadi ‘titik’, yang secara filosofis bermakna ‘ketiadaan’. Alias ilusi belaka. Ada simbolnya, tapi tidak ada isinya.
Dan menariknya, setiap kali kita memperoyeksikan benda, hasilnya selalu kehilangan sejumlah informasi seiring dengan hilangnya salah satu dimensi. Kalau ada sebuah kotak berbentuk kubus Anda sorot dengan lampu proyektor ke dinding, Anda tidak akan bisa lagi melihat ‘ketebalan’ kubus itu. Karena bentuknya sekarang menjadi sebuah ‘bayangan’ kotak tanpa ketebalan. Yang ada cuma panjang dan lebarnya saja.
Selanjutnya, ketika diproyeksikan lagi Anda akan kehilangan sekali lagi sisi panjangnya atau sisi lebarnya.
Karena ia akan membentuk sepotong ‘garis’. Dan akhirnya, ketika diproyeksikan lagi, Anda akan kehilangan semua informasinya.
Jadi, kalau saya ditanya: ‘’Di manakah unsur ‘free-choice’ (atau ‘bebas’nya) ketika peristiwa yang terjadi /kehendak manusia itu merupakan hasil “proyeksi holografik dari sebuah realitas tunggal” dari-Nya?’’
Maka, jawabnya ada dua:
Yang pertama, terjadi kesalahan mendasar secara filosofis (entah disengaja atau tidak) dalam mentranslate free-choice dengan ‘kehendak bebas’. Menurut saya, mestinya diterjemahkan sebagai ‘pilihan bebas’. Disini saya melihat ada kerancuan, atau keambiguan, atau kegamangan.
Yang kedua, jangan membayangkan ‘kehendak’ sebagai sosok materi, yang ketika diproyeksikan akan membentuk sesosok ‘kehendak’ pula. Kehendak adalah ‘daya dorong’ untuk melakukan sesuatu. Bentuknya tentu saja abstrak. Tidak bisa disosokkan. Sama dengan ‘waktu’ yang juga hasil proyeksi dari diri-Nya.
Apakah Allah TAHU bahwa orang yang sakit itu sembuh (‘melihat’ proyeksi holografik diriNya yang real-time itu)? Ataukah Allah ‘menunggu’ respon dari manusia sakit itu untuk ‘mengubah’ takdirnya? Ataukah Allah tidak memiliki foreknowledge sama sekali?
Menurut saya, pertanyaan ketiga ini muncul dikarenakan belum utuhnya pemahaman penanya terhadap konsep holografik. Bahwa di dalam teori holografik tidak ada istilah ‘forekowledge’ ataupun ‘menunggu’, seakan-akan Allah berada di dalam deret waktu. Atau katakanlah: meliputi waktu. Karena, intisari konsep holografik adalah kejadian SEKARANG. Tidak ada masa lalu dan akan datang.
Adanya interaksi real-time antar benda itu bisa dijelaskan dengan teori holografik. Yakni, seluruh realitas ini sebenarnya adalah ilusi semata. Sekedar proyeksi dari sebuah realitas yang ‘lebih dalam’, di balik apa yang bisa kita observasi.
Ia menganalogikan demikian. Ada seekor ikan di dalam sebuah aquarium besar. Di semua sisi aquarium itu dipasangi kamera: depan-belakang, kanan-kiri, dan atas-bawah. Keenam kamera itu lantas dihubungkan dengan enam buah monitor di ruangan yang berbeda. Kita, sebagai pengamat, tidak menyaksikan ikan itu secara langsung, melainkan lewat keenam layar monitor. Tentu, seluruh kamera akan menangkap gambar ikan dari sisi yang berbeda-beda: kepala, ekor, sirip atas, bawah, dan samping.
Maka, apakah yang terjadi ketika ikan itu bergerak? Seluruh layar monitor pun akan menampilkan ‘ikan yang berbeda’. Monitor satu, menampilkan gerakan kepala. Monitor dua menampilkan gerakan ekor. Dan monitor-monitor lain menampilkan sirip-sirip, serta bagian tubuh lainnya. Dan lihatlah, semuanya terjadi secara serentak..! Tanpa membutuhkan waktu proses.
Bahkan seandainya seluruh monitor itu dipisahkan dalam jarak miliaran tahun cahaya, seluruh layar monitor akan menampilkan perubahan itu secara real-time, terhadap peristiwa tunggal yang terjadi di dalam aquarium tersebut. Tidak ada interaksi antar-benda yang melebihi kecepatan cahaya disini. Karena, seluruh apa yang kita lihat memang bukan realitas, melainkan sekedar proyeksi dari sesuatu yang tunggal belaka..!
Begitulah realitas alam semesta menurut paradigma holografik. Seluruh materi, energi, ruang, dan waktu ini tak lebih hanya proyeksi dari sebuah ‘Realitas Tunggal’ yang tersembunyi di balik segala yang bisa kita observasi.
Mekanisme holografik ini pula yang bisa menjelaskan, kenapa sistem memori di otak kita demikian canggihnya. Bahwa sistem memori itu tidak terjadi secara terpusat di salah satu bagian otak saja, melainkan terpencar ke seluruh bagian otak. Ini sangat sesuai dengan mekanisme holografik, dimana perpaduan gelombang yang berinterferensi itu terjadi di semua titik-titik cahaya yang diproyeksikan. Dan bisa mencapai variasi dalam jumlah tak berhingga, hanya dengan mengubah sedikit sudut pancaran sinar laser yang ditembakkan ke pelat film.
Di setiap perpaduan gelombang itulah memori holografik tersimpan. Dan sudah terbukti dalam berbagai penelitian holografik, bahwa dalam setiap senti meter kubik pelat film hologram bisa tersimpan memori sebesar 10 miliar bit informasi. Sebuah kapasitas memori yang luar biasa besar, yang sangat bersesuaian dengan fenomena kerja memori otak kita.
Dengan teori holografik ini pula bisa dijelaskan, kenapa otak manusia bisa ’melihat’ gelombang suara dan ’mendengar’ gelombang cahaya. Termasuk bisa menangkap berbagai frekuensi yang memapar seluruh permukaan tubuh ataupun langsung menuju ke otak. Berbagai penelitian menunjukkan ternyata range frekuensi panca indera kita itu jauh lebih lebar dari yang diperkirakan selama ini. Seluruh tubuh kita bisa menangkap frekuensi alam semesta di sekitarnya, dan merekamnya secara holografik di dalam otak kita.
Dengan cara ini pula bisa dijelaskan, kenapa seseorang bisa melakukan hubungan-hubungan telepati dengan orang lain, dan menangkap tanda-tanda alam di sekitarnya secara radiatif langsung ke otaknya.
Maka ringkas kata, saya cuma ingin menggambarkan kepada Anda semua, bahwa pemahaman manusia terhadap realitas alam semesta ke masa depan boleh jadi akan mengalami revolusi besar-besaran seiring dengan diterimanya teori holografik secara luas. Pijakannya sangat kuat, didukung oleh berbagai data yang semakin terbukti ke masa depan. Bahwa, segala realitas ini tak lebih hanya sebuah hologram yang diproyeksikan ke kanvas alam semesta dari ’Realitas Sejati’ yang berada di balik segala yang bisa kita observasi..!
Alam semesta dengan segala peristiwanya ini, tak lebih hanya bayangan semu dari Dia yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana..! Hanya manusia yang tinggi hati dan tak tahu diri saja yang merasa dirinya ‘ada’, apalagi mengira akan ‘eksis selama-lamanya’. Dalam berbagai firman-Nya, Allah telah menjelaskan bahwa kehidupan ini sebenarnya semu dan menipu. Allah mengibaratkan diri-Nya sebagai pelita, dan segala ciptaan-Nya sebagai cahaya. Yang nyata tentu saja adalah pelita, sedangkan cahaya hanya pancaran dari sang pelita.
Ya, semua realitas ini, termasuk diri kita ternyata hanyalah hologram dari diri-Nya.
Maka, globe sudah terhampar dengan koordinat ruang-waktu dalam bentuk garis-garis lintang dan garis bujurnya. Peristiwa yang akan kita temui pun sudah terhampar di permukaan globe itu. Tinggal, Anda sebagai ‘pengamat sekaligus pelaku’ akan bergerak kemana untuk ‘membentuk sejarah’ Anda masing-masing. Semua bergantung ‘kehendak’ dan keinginan Anda untuk menciptakan sejarah Anda sendiri, di dalam ruang dan waktu yang sebenarnya sudah terhampar beserta segala peristiwanya.
Setiap peristiwa sedang dimulai, dijalani, dan diakhiri oleh setiap orang yang menempuh sejarahnya masing-masing. Tetapi, karena setiap orang harus melewati dimensi waktu secara berurutan, semua peristiwa itu tampak ‘seakan-akan serial’. Padahal semua peristiwa itu sudah eksis di alam semesta ‘secara paralel’.
Semua realitas ini semu belaka. Bagaikan bayang-bayang tiga dimensi dari foto hologram yang sebenarnya merupakan efek holografik yang ditembakkan di lembaran kertas foto yang dua dimensi. Ya, efek tiga dimensi yang terjadi pada lembaran kertas foto itu semu belaka.
Sama dengan realitas kehidupan ini, dimana kanvas alam semesta yang kosong ‘ditembak’ dengan pancaran ‘sinar ilahiah’ melewati ‘master film’ holografik berupa kitab peristiwa Lauh Mahfuzh. Hasilnya adalah efek hologram di kanvas ‘ketiadaan’ yang menghasilkan variable ruang-waktu-materi-energi-informasi. Kombinasi simultan dari berbagai variable itulah yang membentuk berbagai peristiwa sebagai sejarah personal maupun kolektif.
Semua itu tampak nyata, karena Allah menciptakan perangkat ‘kamera dan monitor’ yang sangat canggih berupa panca indera dan otak. Sistem saraf yang dikomandoi otak inilah sebenarnya yang membuat segala efek hologram itu menjadi tampak nyata. Bisa dipahami secara berurutan di dalam ruang dan waktu, serta terlihat berinteraksi secara material dan energial.
Lantas, apa substansi dasar dari eksistensi manusia ini? Jawabnya adalah: ruh. Dengan ruh itulah seseorang ‘berkehendak’ untuk melewati sejarah kehidupannya. Melintasi berbagai peristiwa yang sudah terhampar di alam semesta, untuk membentuk urutan unik secara personal maupun kolektif. Dan menariknya, saya kira Anda pun sudah tahu, bahwa ruh itu ternyata juga hasil ‘proyeksi holografik’ dari sifat-sifat Ilahiah dalam skala makhluk. Saat DIA menghembuskan sebagian ruh-Nya, manusia lantas memperoleh sifat-sifat-Nya, diantaranya adalah ‘berkehendak’.
Maka, kalau kemudian ada yang bertanya: kehendak saya ini bebas ataukah terikat pada kehendak Allah?
Saya kira sekarang Anda sudah bisa menjawab sendiri, bahwa segala kehendak ini tak lain hanyalah kehendak Dzat Penguasa Jagat Semesta, Yang Maha Berkehendak dan Maha Bijaksana. Sedangkan kehendak manusia, hanyalah proyeksi holografik dari kehendak Allah yang derajatnya sangat parsial bergantung pada sudut pandang kita dalam melihatnya. Persis gambar-gambar semu hologram yang bisa berubah-ubah ketika dilihat dari sisi yang berbeda..!
“Apa yang Tuhan Inginkan/What God Wants”. Jika Anda belum membaca buku kecil ini sebelumnya, mungkin ada baiknya untuk menengok kembali sebagian dari isi buku ini.
Di dalamnya kita diberitahu bahwa ketika kita benar-benar memahami apa yang Tuhan inginkan, “manusia akan mengetahui bahwa jawabannya adalah: tidak ada. Tidak ada sama sekali. Bagaimana mungkin Tuhan menginginkan apa-apa jika Tuhan telah memilikinya, jika Ia adalah Segalanya yang mungkin Tuhan inginkan?
Ketika kita mengetahui ini, kita akan memahami kehidupan ini bukanlah sebuah sekolah, juga bukan sebuah waktu pengujian. Jika Tuhan tidak menginginkan apa-apa, tidak ada alasan untuk sebuah ujian. Jika manusia adalah Satu dengan Tuhan, tidak ada yang perlu dipelajari, yang diperlukan hanyalah untuk mengingat apa yang telah kita lupakan.
Jadi hari ini, setiap saat, dengan setiap keputusan tentang apa yang akan saya makan, apa yang akan saya pakai, apa yang akan saya pikirkan, apa yang saya katakan, apa yang akan saya lakukan-saya akan mencoba untuk bertanya pada diri sendiri: Jika Tuhan berada di sini sekarang , bekerja di dalam aku, melalui aku, seperti aku, apa yang akan Tuhan lakukan sekarang?
Sumber: Kriya YN
Tetapi, kalau Anda memasak air di puncak gunung, air Anda akan mendidih sebelum 100 derajat Celsius.
Bisa pada 95, 90, atau bahkan 80 derajat Celsius. Kenapa? Ya, karena, titik didih itu ‘bukan konstanta’, yang dimana pun akan mendidih pada suhu 100. Titik didih itu variable terhadap tekanan udara. Semakin tinggi tekanannya semakin tinggi pula titik didihnya, sebaliknya semakin rendah tekanannya, semakin rendah pula titik didihnya. Jadi, kalau begitu, mana yang benar dong?!
TAKDIR air mendidih pada 100 derajat Celsius itu bukan konstanta..! Takdir titik didih itu VARIABLE.
Bakal terjadi seiring dengan perubahan ruang dan waktu. Apakah, Allah sudah menakdirkan air mendidih pada suhu 100? Jawabnya: ya, sudah. Sejak dulu, bersamaan dengan penciptaan alam semesta. Tetapi, disertai dengan kondisi, yakni: KALAU air itu dimasak pada tekanan 1 atmosfer. Kalau tidak 1 atm, ya tidak mendidih di angka 100 itu. Bergantung pada USAHA Anda dalam memperlakukan air yang dimasak itu. Mau dimasak di gunung, atau dimasak di pantai. Atau, dalam press-cooker dengan tekanan tinggi, yang tulang sapi maupun duri bandeng bisa menjadi lunak, karena titik didih airnya meningkat tajam.
Contoh kecil ini bisa Anda kembangkan dalam kehidupan Anda sehari-hari. Ataupun, dalam pengamatan-pengamatan sains yang lebih rumit. Bahwa, segala kejadian atau peristiwa ternyata tidak bebas ruang-waktu.
Setiap peristiwa selalu ditakdirkan BERSAMAAN dengan ruang-waktu dimana kejadian tersebut berlangsung. Ini menjadi argumentasi penjelas secara sederhana, tentang kelemahan pandangan klasik ala Newtonian bahwa ruang & waktu adalah konstanta.
Titik didih air yang 100 derajat itu adalah benar, hanya bagi orang-orang yang tidak pernah memasak di gunung. Alias, bagi orang-orang yang tahunya hanya memasak di pantai. Kalau pingin tahu tentang titik didih air yang 80 derajat Celsius, tanyakanlah kepada orang gunung.
Takdir itu berjalan seiring dengan terpenuhinya kondisi yang dipersyaratkan. Dan ‘perbedaan kondisi’ itu terjadi karena ‘ruang’ dan ‘waktu’ bukan konstanta, melainkan variable. Apakah, ketentuan alias takdir bahwa air mendidih itu bisa beragam: 80, 90, 100 derajat itu sudah ada sejak dulu? Jawabnya: tentu saja. Tetapi, untuk bisa terjadi, ya harus berada di dalam kondisi yang melingkupinya. Begitulah Takdir Anda terjadi.
Bahwa realitas ‘dulu’ dan ‘nanti’ itu sebenarnya tidak ada. Yang ada itu ‘sekarang’. Ruang adalah proyeksi diri-Nya: ‘sekarang’. Waktu juga proyeksi dirinya: ‘sekarang’. Dan seluruh peristiwa adalah proyeksi diri-Nya: ‘sekarang’. Semuanya terjadi secara real-time.
‘Kemarin’ sudah ‘tidak ada’. Sebagaimana ‘besok’ pun ‘tidak ada’. Kemarin adalah sekedar memori peristiwa yang membekas di sistem saraf otak kita. Realitasnya TIDAK ADA lagi. Badan Anda kemarin sudah tidak ada. Karena badan Anda yang sekarang ini sudah berbeda secara substantive dengan kemarin. Rambut sudah lebih panjang atau memutih. Kuku juga. Seluruh organ-organ dan triliunan sel tubuh Anda berbeda dengan sebelumnya, bahkan jika dibandingkan dengan semenit yang lalu.
Realitas adalah SEKARANG. Bukan tadi, atau nanti. Ini tidak bisa dijelaskan oleh teori Einstein, yang memandang ‘tadi’ dan ‘nanti’ itu ada secara parallel dengan ‘sekarang’. Yang begini ini, dengan sangat baik dijelaskan oleh teori holografik. Bahwa semua takdir bisa berlangsung secara real-time: sekarang. Kenapa bisa sekarang? Karena, ruang-waktu-peristiwa adalah sebentuk proyeksi belaka: disini dan sekarang. Sedang dimulai, sedang berlangsung, dan sekaligus diakhiri..!
Kita tidak punya pijakan apa pun untuk mengatakan bahwa Allah ‘sudah’ menakdirkan, atau ‘belum’ menakdirkan. Karena, yang disebut takdir itu adalah ketika ‘terjadi’: sekarang, sebagai proyeksi dari diri-Nya. Baik yang berupa kehendak, maupun peristiwanya. Kehendak Anda semenit yang lalu itu hanya ilusi. Tidak ada realitasnya. Yang ada ialah kehendak sekarang: saat ini. Yang sedang terjadi. Dan semua itu ada dalam kehendak Allah, ditentukan lewat takdir-Nya: saat ini juga. Maka, setiap makhluk di alam semesta ini hanya berpindah dari satu takdir ke takdir lainnya: sekarang.
Karena bagi Allah ‘dulu’ dan ‘nanti’ adalah: ‘sekarang’, maka dengan sendirinya Dia menjadi Maha Mengetahui. Bukan karena waktu berjalan secara urutan ataupun paralel, melainkan karena waktu ‘tidak bergerak’ di dalam-Nya. Dimensi waktu yang bergerak itu adalah jika dipandang secara Einsteinian. Dalam pandangan holografik, waktu tidak bergerak. Karena ‘dulu’ dan ‘nanti’ hanyalah ‘kesan’ yang terbentuk di sistem saraf otak kita. Yang riil itu adalah: ‘sekarang’. Dan, Allah menempatkan seluruh kejadian ‘sekarang’ itu dalam kitab kenyataan bernama Lauh Mahfuzh. Yang bisa dihapus atau ditetapkan secara real-time oleh-Nya, dan langsung menjadi kenyataan. Terserah pada kehendak-Nya.
Untuk Tuhan lebih pantas kita gunakan FREE WILL – ‘kehendak bebas’. Sedangkan untuk manusia lebih pantas disebut free choice – ‘pilihan bebas’. Dari sini saja kita sudah paham seberapa bebas ‘pilihan’ yang dimiliki oleh manusia dibandingkan ‘KEHENDAK’ Tuhan.
Manusia TIDAK BISA berkehendak secara bebas. Yang bisa dia lakukan hanyalah MEMILIH dari apa yang sudah ada di sekitarnya. Bahkan, hanya dari yang dia KETAHUI saja. Tak lebih. Apa yang disebut ‘kebebasan’ itu ternyata secara natural sudah terbatasi dengan sendirinya oleh desain kemanusiaan kita. Saya suka dengan ungkapan ini: You can do every thing under My Rules..!
Bahwa, makhluk bukan lagi ‘bagian’ dari eksistensi Tuhan, melainkan cuma hasil proyeksi dari diri-Nya.
Karena sifatnya proyeksi, maka hasil proyeksinya pasti memiliki derajat lebih rendah. Pasti juga, dimensinya lebih rendah. Pasti juga kualitasnya lebih rendah. Bergantung ini hasil proyeksi berapa kali dari masternya.
Jika sebuah benda berdimensi tiga diproyeksikan sekali, ia akan menjadi benda berdimensi dua. Dan jika diproyeksikan lagi, ia akan menjadi benda berdimensi satu. Dan jika diproyeksikan lagi, dia akan menjadi ‘titik’, yang secara filosofis bermakna ‘ketiadaan’. Alias ilusi belaka. Ada simbolnya, tapi tidak ada isinya.
Dan menariknya, setiap kali kita memperoyeksikan benda, hasilnya selalu kehilangan sejumlah informasi seiring dengan hilangnya salah satu dimensi. Kalau ada sebuah kotak berbentuk kubus Anda sorot dengan lampu proyektor ke dinding, Anda tidak akan bisa lagi melihat ‘ketebalan’ kubus itu. Karena bentuknya sekarang menjadi sebuah ‘bayangan’ kotak tanpa ketebalan. Yang ada cuma panjang dan lebarnya saja.
Selanjutnya, ketika diproyeksikan lagi Anda akan kehilangan sekali lagi sisi panjangnya atau sisi lebarnya.
Karena ia akan membentuk sepotong ‘garis’. Dan akhirnya, ketika diproyeksikan lagi, Anda akan kehilangan semua informasinya.
Jadi, kalau saya ditanya: ‘’Di manakah unsur ‘free-choice’ (atau ‘bebas’nya) ketika peristiwa yang terjadi /kehendak manusia itu merupakan hasil “proyeksi holografik dari sebuah realitas tunggal” dari-Nya?’’
Maka, jawabnya ada dua:
Yang pertama, terjadi kesalahan mendasar secara filosofis (entah disengaja atau tidak) dalam mentranslate free-choice dengan ‘kehendak bebas’. Menurut saya, mestinya diterjemahkan sebagai ‘pilihan bebas’. Disini saya melihat ada kerancuan, atau keambiguan, atau kegamangan.
Yang kedua, jangan membayangkan ‘kehendak’ sebagai sosok materi, yang ketika diproyeksikan akan membentuk sesosok ‘kehendak’ pula. Kehendak adalah ‘daya dorong’ untuk melakukan sesuatu. Bentuknya tentu saja abstrak. Tidak bisa disosokkan. Sama dengan ‘waktu’ yang juga hasil proyeksi dari diri-Nya.
Apakah Allah TAHU bahwa orang yang sakit itu sembuh (‘melihat’ proyeksi holografik diriNya yang real-time itu)? Ataukah Allah ‘menunggu’ respon dari manusia sakit itu untuk ‘mengubah’ takdirnya? Ataukah Allah tidak memiliki foreknowledge sama sekali?
Menurut saya, pertanyaan ketiga ini muncul dikarenakan belum utuhnya pemahaman penanya terhadap konsep holografik. Bahwa di dalam teori holografik tidak ada istilah ‘forekowledge’ ataupun ‘menunggu’, seakan-akan Allah berada di dalam deret waktu. Atau katakanlah: meliputi waktu. Karena, intisari konsep holografik adalah kejadian SEKARANG. Tidak ada masa lalu dan akan datang.
Adanya interaksi real-time antar benda itu bisa dijelaskan dengan teori holografik. Yakni, seluruh realitas ini sebenarnya adalah ilusi semata. Sekedar proyeksi dari sebuah realitas yang ‘lebih dalam’, di balik apa yang bisa kita observasi.
Ia menganalogikan demikian. Ada seekor ikan di dalam sebuah aquarium besar. Di semua sisi aquarium itu dipasangi kamera: depan-belakang, kanan-kiri, dan atas-bawah. Keenam kamera itu lantas dihubungkan dengan enam buah monitor di ruangan yang berbeda. Kita, sebagai pengamat, tidak menyaksikan ikan itu secara langsung, melainkan lewat keenam layar monitor. Tentu, seluruh kamera akan menangkap gambar ikan dari sisi yang berbeda-beda: kepala, ekor, sirip atas, bawah, dan samping.
Maka, apakah yang terjadi ketika ikan itu bergerak? Seluruh layar monitor pun akan menampilkan ‘ikan yang berbeda’. Monitor satu, menampilkan gerakan kepala. Monitor dua menampilkan gerakan ekor. Dan monitor-monitor lain menampilkan sirip-sirip, serta bagian tubuh lainnya. Dan lihatlah, semuanya terjadi secara serentak..! Tanpa membutuhkan waktu proses.
Bahkan seandainya seluruh monitor itu dipisahkan dalam jarak miliaran tahun cahaya, seluruh layar monitor akan menampilkan perubahan itu secara real-time, terhadap peristiwa tunggal yang terjadi di dalam aquarium tersebut. Tidak ada interaksi antar-benda yang melebihi kecepatan cahaya disini. Karena, seluruh apa yang kita lihat memang bukan realitas, melainkan sekedar proyeksi dari sesuatu yang tunggal belaka..!
Begitulah realitas alam semesta menurut paradigma holografik. Seluruh materi, energi, ruang, dan waktu ini tak lebih hanya proyeksi dari sebuah ‘Realitas Tunggal’ yang tersembunyi di balik segala yang bisa kita observasi.
Mekanisme holografik ini pula yang bisa menjelaskan, kenapa sistem memori di otak kita demikian canggihnya. Bahwa sistem memori itu tidak terjadi secara terpusat di salah satu bagian otak saja, melainkan terpencar ke seluruh bagian otak. Ini sangat sesuai dengan mekanisme holografik, dimana perpaduan gelombang yang berinterferensi itu terjadi di semua titik-titik cahaya yang diproyeksikan. Dan bisa mencapai variasi dalam jumlah tak berhingga, hanya dengan mengubah sedikit sudut pancaran sinar laser yang ditembakkan ke pelat film.
Di setiap perpaduan gelombang itulah memori holografik tersimpan. Dan sudah terbukti dalam berbagai penelitian holografik, bahwa dalam setiap senti meter kubik pelat film hologram bisa tersimpan memori sebesar 10 miliar bit informasi. Sebuah kapasitas memori yang luar biasa besar, yang sangat bersesuaian dengan fenomena kerja memori otak kita.
Dengan teori holografik ini pula bisa dijelaskan, kenapa otak manusia bisa ’melihat’ gelombang suara dan ’mendengar’ gelombang cahaya. Termasuk bisa menangkap berbagai frekuensi yang memapar seluruh permukaan tubuh ataupun langsung menuju ke otak. Berbagai penelitian menunjukkan ternyata range frekuensi panca indera kita itu jauh lebih lebar dari yang diperkirakan selama ini. Seluruh tubuh kita bisa menangkap frekuensi alam semesta di sekitarnya, dan merekamnya secara holografik di dalam otak kita.
Dengan cara ini pula bisa dijelaskan, kenapa seseorang bisa melakukan hubungan-hubungan telepati dengan orang lain, dan menangkap tanda-tanda alam di sekitarnya secara radiatif langsung ke otaknya.
Maka ringkas kata, saya cuma ingin menggambarkan kepada Anda semua, bahwa pemahaman manusia terhadap realitas alam semesta ke masa depan boleh jadi akan mengalami revolusi besar-besaran seiring dengan diterimanya teori holografik secara luas. Pijakannya sangat kuat, didukung oleh berbagai data yang semakin terbukti ke masa depan. Bahwa, segala realitas ini tak lebih hanya sebuah hologram yang diproyeksikan ke kanvas alam semesta dari ’Realitas Sejati’ yang berada di balik segala yang bisa kita observasi..!
Alam semesta dengan segala peristiwanya ini, tak lebih hanya bayangan semu dari Dia yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana..! Hanya manusia yang tinggi hati dan tak tahu diri saja yang merasa dirinya ‘ada’, apalagi mengira akan ‘eksis selama-lamanya’. Dalam berbagai firman-Nya, Allah telah menjelaskan bahwa kehidupan ini sebenarnya semu dan menipu. Allah mengibaratkan diri-Nya sebagai pelita, dan segala ciptaan-Nya sebagai cahaya. Yang nyata tentu saja adalah pelita, sedangkan cahaya hanya pancaran dari sang pelita.
Ya, semua realitas ini, termasuk diri kita ternyata hanyalah hologram dari diri-Nya.
Maka, globe sudah terhampar dengan koordinat ruang-waktu dalam bentuk garis-garis lintang dan garis bujurnya. Peristiwa yang akan kita temui pun sudah terhampar di permukaan globe itu. Tinggal, Anda sebagai ‘pengamat sekaligus pelaku’ akan bergerak kemana untuk ‘membentuk sejarah’ Anda masing-masing. Semua bergantung ‘kehendak’ dan keinginan Anda untuk menciptakan sejarah Anda sendiri, di dalam ruang dan waktu yang sebenarnya sudah terhampar beserta segala peristiwanya.
Setiap peristiwa sedang dimulai, dijalani, dan diakhiri oleh setiap orang yang menempuh sejarahnya masing-masing. Tetapi, karena setiap orang harus melewati dimensi waktu secara berurutan, semua peristiwa itu tampak ‘seakan-akan serial’. Padahal semua peristiwa itu sudah eksis di alam semesta ‘secara paralel’.
Semua realitas ini semu belaka. Bagaikan bayang-bayang tiga dimensi dari foto hologram yang sebenarnya merupakan efek holografik yang ditembakkan di lembaran kertas foto yang dua dimensi. Ya, efek tiga dimensi yang terjadi pada lembaran kertas foto itu semu belaka.
Sama dengan realitas kehidupan ini, dimana kanvas alam semesta yang kosong ‘ditembak’ dengan pancaran ‘sinar ilahiah’ melewati ‘master film’ holografik berupa kitab peristiwa Lauh Mahfuzh. Hasilnya adalah efek hologram di kanvas ‘ketiadaan’ yang menghasilkan variable ruang-waktu-materi-energi-informasi. Kombinasi simultan dari berbagai variable itulah yang membentuk berbagai peristiwa sebagai sejarah personal maupun kolektif.
Semua itu tampak nyata, karena Allah menciptakan perangkat ‘kamera dan monitor’ yang sangat canggih berupa panca indera dan otak. Sistem saraf yang dikomandoi otak inilah sebenarnya yang membuat segala efek hologram itu menjadi tampak nyata. Bisa dipahami secara berurutan di dalam ruang dan waktu, serta terlihat berinteraksi secara material dan energial.
Lantas, apa substansi dasar dari eksistensi manusia ini? Jawabnya adalah: ruh. Dengan ruh itulah seseorang ‘berkehendak’ untuk melewati sejarah kehidupannya. Melintasi berbagai peristiwa yang sudah terhampar di alam semesta, untuk membentuk urutan unik secara personal maupun kolektif. Dan menariknya, saya kira Anda pun sudah tahu, bahwa ruh itu ternyata juga hasil ‘proyeksi holografik’ dari sifat-sifat Ilahiah dalam skala makhluk. Saat DIA menghembuskan sebagian ruh-Nya, manusia lantas memperoleh sifat-sifat-Nya, diantaranya adalah ‘berkehendak’.
Maka, kalau kemudian ada yang bertanya: kehendak saya ini bebas ataukah terikat pada kehendak Allah?
Saya kira sekarang Anda sudah bisa menjawab sendiri, bahwa segala kehendak ini tak lain hanyalah kehendak Dzat Penguasa Jagat Semesta, Yang Maha Berkehendak dan Maha Bijaksana. Sedangkan kehendak manusia, hanyalah proyeksi holografik dari kehendak Allah yang derajatnya sangat parsial bergantung pada sudut pandang kita dalam melihatnya. Persis gambar-gambar semu hologram yang bisa berubah-ubah ketika dilihat dari sisi yang berbeda..!
“Apa yang Tuhan Inginkan/What God Wants”. Jika Anda belum membaca buku kecil ini sebelumnya, mungkin ada baiknya untuk menengok kembali sebagian dari isi buku ini.
Di dalamnya kita diberitahu bahwa ketika kita benar-benar memahami apa yang Tuhan inginkan, “manusia akan mengetahui bahwa jawabannya adalah: tidak ada. Tidak ada sama sekali. Bagaimana mungkin Tuhan menginginkan apa-apa jika Tuhan telah memilikinya, jika Ia adalah Segalanya yang mungkin Tuhan inginkan?
Ketika kita mengetahui ini, kita akan memahami kehidupan ini bukanlah sebuah sekolah, juga bukan sebuah waktu pengujian. Jika Tuhan tidak menginginkan apa-apa, tidak ada alasan untuk sebuah ujian. Jika manusia adalah Satu dengan Tuhan, tidak ada yang perlu dipelajari, yang diperlukan hanyalah untuk mengingat apa yang telah kita lupakan.
Jadi hari ini, setiap saat, dengan setiap keputusan tentang apa yang akan saya makan, apa yang akan saya pakai, apa yang akan saya pikirkan, apa yang saya katakan, apa yang akan saya lakukan-saya akan mencoba untuk bertanya pada diri sendiri: Jika Tuhan berada di sini sekarang , bekerja di dalam aku, melalui aku, seperti aku, apa yang akan Tuhan lakukan sekarang?
Sumber: Kriya YN
No comments:
Post a Comment