Oleh: Natalie Wolchover
24 Mei 2013
Sumber: Quanta Magazine
Dalam puluhan tahun eksperimen memusingkan, fisikawan mempertimbangkan sebuah kemungkinan yang menyentak: alam semesta mungkin tidak masuk akal.
Suatu siang mendung di ujung April, para profesor fisika dan mahasiswa berdesakan ke dalam aula berpanel kayu di Universitas Columbia untuk mendengarkan ceramah Nima Arkani-Hamed, teoris kenamaan yang bertandang dari Institute for Advanced Study di Princeton, New Jersey. Dengan rambut gelap sebahu yang disisipkan ke belakang telinga, Arkani-Hamed memaparkan dua implikasi kontradiktif dari hasil-hasil eksperimen mutakhir di Large Hadron Collider Eropa.“Alam semesta adalah niscaya,” umumnya. “Alam semesta adalah mustahil.”
Penemuan spektakuler boson Higgs pada Juli 2012 mengkonfirmasi teori berumur hampir 50 tahun tentang bagaimana partikel-partikel unsur memperoleh massa, yang memungkinkan mereka membentuk struktur besar semisal galaksi dan manusia. “Fakta bahwa ia terlihat di tempat yang kita sangka merupakan kemenangan bagi eksperimen, kemenangan bagi teori, dan indikasi bahwa fisika bekerja,” kata Arkani-Hamed kepada hadirin.
Namun, agar boson Higgs masuk akal dengan massa (atau energi) yang telah dipatok untuknya, LHC harus menemukan sekawanan partikel lain, pula. Tapi tak satupun menampakkan diri.
Dengan penemuan satu partikel saja, eksperimen LHC memperdalam sebuah persoalan fisika mendalam yang sudah beredar puluhan tahun. Persamaan-persamaan modern menangkap realitas dengan akurasi mempesona, memprediksi secara tepat harga konstanta-konstanta alam dan eksistensi partikel seperti Higgs. Tapi beberapa konstanta—termasuk massa boson Higgs—berbeda secara eksponensial dari apa yang diindikasikan oleh hukum-hukum terpercaya ini, sehingga seharusnya menghapus peluang [eksisnya] kehidupan, kecuali jika alam semesta dibentuk dengan penyetelan halus dan pembatalan/penetralan.
Yang terancam adalah gagasan “kealamian”, impian Albert Einstein bahwa hukum alam adalah maha indah, niscaya, dan berdikari. Tanpa itu, fisikawan menghadapi prospek pahit bahwa hukum-hukum tersebut hanyalah hasil sembarang dan amburadul dari fluktuasi acak di struktur ruang dan waktu.
LHC akan melanjutkan penabrakan proton pada 2015 dalam pencarian jawaban terakhir kalinya. Tapi dalam berbagai makalah, ceramah, dan wawancara, Arkani-Hamed dan banyak fisikawan terkemuka lain sudah berhadapan dengan kemungkinan bahwa alam semesta tidak alami. (Namun ada perselisihan lebar tentang bagaimana membuktikannya.)
“Sepuluh atau dua puluh tahun silam, saya adalah orang yang percaya teguh pada kealamian,” kata Nathan Seiberg, fisikawan teoritis di Institute for Advanced Study, di mana Einstein mengajar dari tahun 1933 hingga wafatnya di tahun 1955. “Sekarang saya tidak begitu yakin. Harapan saya, masih ada sesuatu yang belum kita pikirkan, suatu mekanisme lain yang akan menjelaskan semua hal ini. Tapi saya tak tahu apa itu.”
Fisikawan beralasan bahwa jika alam semesta [bersifat] tidak alami, dengan konstanta-konstanta fundamental improbabel yang memungkinkan kehidupan, maka harus ada banyak alam semesta agar kasus improbabel kita terwujud. Jika tidak, kenapa kita begitu beruntung? Ketidakalamian akan sangat mendongkrak hipotesis multiverse, yang berpandangan bahwa alam semesta kita adalah satu gelembung dalam buih tak terhingga dan tak terakses. Menurut teori string, sebuah kerangka populer tapi menimbulkan polarisasi, jumlah tipe alam semesta yang dapat menggelembung di multiverse adalah sekitar 10500. Di segelintir alam semesta ini, penetralan peluang akan menghasilkan konstanta-konstanta aneh.
Dalam gambaran demikian, tidak semua hal tentang alam semesta tersebut bersifat niscaya/mutlak, sehingga tak bisa diprediksi. Edward Witten, teoris string di Institute, berkata lewat surel, “Saya akan bahagia jika interpretasi multiverse tidak benar, sebagian karena ia berpotensi membatasi kemampuan kita untuk memahami hukum fisika. Tapi kita tak diajak berunding ketika alam semesta diciptakan.”
“Sebagian orang membencinya,” kata Raphael Bousso, fisikawan di Universitas California, Berkeley, yang membantu mengembangkan skenario multiverse. “Tapi saya cuma berpikir kita tidak bisa menganalisanya atas dasar emosional. Ini kemungkinan logis yang semakin disukai di tengah absennya kealamian di LHC.”
Apa yang LHC temukan atau tidak temukan dalam operasi berikutnya mungkin akan menopang salah satu dari dua kemungkinan: kita hidup di alam semesta amat rumit tapi berdiri sendiri, atau kita menghuni gelembung non-tipikal di multiverse. “Kita akan jauh lebih pintar lima atau sepuluh tahun dari sekarang berkat LHC,’ kata Seiberg. “Jadi itu menggairahkan. Ini ada dalam jangkauan.”
Einstein pernah menulis
bahwa bagi seorang ilmuwan, “perasaan keagamaan mengambil bentuk
kekaguman ekstatik pada harmoni hukum alam” dan “perasaan ini adalah
prinsip penuntun hidup dan kerjanya”. Bahkan, sepanjang abad 20,
keyakinan mengakar kuat bahwa hukum alam bersifat harmonis—keyakinan
pada “kealamian”—terbukti menjadi tuntunan andal untuk menemukan
kebenaran.
“Kealamian mempunyai rekam jejak,” kata Arkani-Hamed dalam sebuah wawancara. Bahkan, konstanta-konstanta fisika (massa partikel dan atribut tetap alam semesta lainnya) disyaratkan timbul langsung dari hukum fisika, alih-alih dari penetralan improbabel. Berulangkali, kapanpun suatu konstanta dirasa tersetel halus, seakan-akan harga awalnya diset secara ajaib untuk mengimbangi efek-efek lain, fisikawan curiga ada sesuatu yang terlewatkan. Mereka akan mencari dan pasti menemukan partikel atau fitur yang secara materil mengeset konstanta tersebut, meniadakan penetralan halus.
Kali ini, kemampuan alam semesta untuk menyembuhkan diri rupanya gagal. Boson Higgs mempunyai massa 126 GeV, tapi interaksi dengan partikel-partikel lain semestinya menambah sekitar 10.000.000.000.000.000.000 GeV pada massanya. Ini mengimplikasikan bahwa “massa lugas” Higgs, atau harga pemulai sebelum partikel lain mempengaruhinya, kebetulan merupakan bilangan negatif dari bilangan raksasa tersebut, membuahkan penetralan nyaris sempurna yang menyisakan jejak Higgs: 126 GeV.
Fisikawan sudah melewati tiga generasi akselerator partikel untuk mencari partikel-partikel baru, diusulkan oleh teori supersimetri, yang akan mendorong massa Higgs turun sebanyak partikel familiar mendorongnya naik. Tapi sejauh ini mereka keluar dengan tangan kosong.
LHC versi upgrade akan menjelajahi skala-skala energi semakin tinggi dalam operasi berikutnya, tapi jikapun partikel-partikel baru ditemukan, mereka hampir pasti terlalu berat untuk mempengaruhi massa Higgs secara tepat. Higgs akan tetap sekurangnya 10 atau 100 kali terlalu ringan. Fisikawan berbeda pendapat apakah ini dapat diterima di alam semesta alami dan berdiri sendiri. “Disetel halus sedikit—mungkin itu memang terjadi,” kata Lisa Randall, profesor di Universitas Harvard. Tapi menurut pendapat Arkani-Hamed, “disetel sedikit mirip dengan hamil sedikit. Tepatnya tidak eksis.”
Jika partikel-partikel baru tidak muncul dan Higgs tetap tersetel halus secara besar-besaran, maka hipotesis multiverse akan menjadi pusat perhatian. “Bukan berarti ia benar,” kata Bousso, pendukung lama gambaran multiverse, “tapi berarti ia satu-satunya permainan di kota.”
Segelintir fisikawan—utamanya Joe Lykken dari Fermi National Accelerator Laboratory di Batavia, Illinois, dan Alessandro Strumia dari University Pisa di Italia—melihat opsi ketiga. Mereka bilang fisikawan mungkin salah mengukur efek-efek partikel lain terhadap massa Higgs dan bahwa ketika dikalkulasi dengan cara berbeda, massanya tampak alami. “Kealamian termodifikasi” ini goyah ketika partikel tambahan, contohnya konstituen gaib dark matter, diikutkan dalam kalkulasi—tapi jalur non-ortodoks ini dapat membuahkan ide-ide lain. “Saya tak mau menganjurkan, tapi sekadar membahas konsekuensinya,” kata Strumia dalam sebuah ceramah awal bulan ini di Brookhaven National Laboratory.
Namun, kealamian termodifikasi tidak bisa memperbaiki persoalan kealamian lebih besar yang ada dalam fisika: fakta bahwa kosmos tidak serta-merta dibinasakan oleh energinya sendiri sesaat pasca Big Bang.
Energi yang terbangun ke dalam ruang vakum (dikenal sebagai energi vakum, dark energy,
atau konstanta kosmologis) adalah setriliun triliun triliun triliun
triliun triliun triliun triliun triliun triliun kali lebih kecil
daripada yang terkalkulasi sebagai harga alaminya, walaupun
swa-destruktif. Tak ada teori tentang apa yang dapat memperbaiki selisih
raksasa ini secara alami. Tapi sudah jelas konstanta kosmologis harus
disetel halus secara besar-besaran untuk mencegah alam semesta meledak
cepat atau kolaps menjadi titik. Itu harus disetel halus agar kehidupan
mempunyai peluang [untuk eksis].
Untuk menjelaskan kemujuran absurd ini, ide multiverse telah menjadi arus utama di kalangan kosmologi selama beberapa dasawarsa terakhir. Ia mendapat genjotan kredibilitas pada 1987 ketika fisikawan peraih Hadiah Nobel, Steven Weinberg, kini profesor di Universitas Texas, Austin, mengkalkulasi bahwa konstanta kosmologis alam semesta kita diduga ada dalam skenario multiverse. Di antara alam-alam semesta potensial yang mampu menunjang kehidupan—alam-alam semesta yang dapat diamati dan direnungkan—alam semesta kita termasuk yang paling kurang tersetel halus. “Andai konstanta kosmologis jauh lebih besar dari harga teramati, katakanlah selisihnya sebesar faktor 10, maka kita tidak akan punya galaksi,” jelas Alexander Vilenkin, kosmolog dan teoris multiverse di Universitas Tufts. “Sulit dibayangkan bagaimana kehidupan dapat eksis di alam semesta demikian.”
Mayoritas fisikawan partikel berharap akan ketemu penjelasan yang lebih dapat diuji untuk persoalan konstanta kosmologis. Sejauh ini belum. Alhasil, kata fisikawan, ketidakalamian Higgs menjadikan ketidakalamian konstanta kosmologis lebih signifikan. Arkani-Hamed menduga isu-isu ini bahkan terkait. “Kita tidak paham fakta dasar dan luar biasa tentang alam semesta kita,” katanya. “Itu besar dan ada hal-hal besar di dalamnya.”
Multiverse berubah menjadi lebih dari sekadar argumen hand-waving di tahun 2000, ketika Bousso dan Joe Polchinski, profesor fisika teoritis di Universitas California, Santa Barbara, menemukan mekanisme yang dapat melahirkan panorama alam-alam semesta paralel. (Istilah hand-waving dipakai secara akademis untuk menunjukkan klaim-klaim tak terbukti dan langkah-langkah terlewatkan dalam pembuktian—penj.) Teori string, “theory of everything” hipotetis yang memandang partikel sebagai garis-garis kecil bervibrasi, mengusulkan ruang-waktu adalah 10-dimensi. Pada skala manusia, kita merasakan tiga dimensi ruang dan satu dimensi waktu saja, tapi teoris string berargumen enam dimensi tambahan tersimpul rapat di setiap titik di struktur realitas 4-D kita. Bousso dan Polchinski mengkalkulasi ada sekitar 10500 cara berbeda untuk ketersimpulan enam dimensi itu (semuanya mengikat besaran energi bervariasi), memungkinkan eksisnya sederet alam semesta yang berlimpah dan beragam. Dengan kata lain, kealamian tidak diperlukan. Tidak ada alam semesta tunggal, niscaya, sempurna.
“Tentu saja itu menjadi momen aha bagi saya,” kata Bousso. Tapi makalah tersebut memicu kemarahan.
“Fisikawan partikel, khususnya teoris string, punya impian memprediksi semua konstanta alam,” jelas Bousso. “Segalanya akan muncul dari matematika dan pi dan angka dua. Lalu kami masuk dan bilang, ‘Dengar, itu takkan terjadi, dan ada alasan kenapa itu takkan terjadi. Kita memikirkan ini ke arah yang salah.’”
Big Bang, dalam skenario multiverse Bousso-Polchinski, merupakan
sebuah fluktuasi. Simpul kompak enam-dimensi yang menyusun satu jahitan
di kain/struktur realitas berubah bentuk secara tiba-tiba, melepas
energi yang membentuk gelembung ruang dan waktu. Atribut alam semesta
baru ini ditentukan oleh untung-untungan: besaran energi yang terlepas
selama fluktuasi. Mayoritas alam semesta yang mewujud dengan cara ini
dipadati energi vakum; mereka mengembang atau kolaps begitu cepat
sehingga kehidupan tidak bisa muncul di sana. Tapi beberapa alam semesta
non-tipikal, di mana penetralan improbabel membuahkan harga konstanta
kosmologis yang kecil, sangat mirip dengan punya kita.
Dalam sebuah makalah bulan lalu untuk situs pracetak fisika arXiv.org, Bousso dan kolega Berkeley-nya, Lawrence Hall, berargumen bahwa massa Higgs juga masuk akal dalam skenario multiverse. Mereka menemukan, alam-alam semesta gelembung yang mengandung cukup visible matter (dibanding dark matter) untuk menunjang kehidupan seringkali mempunyai partikel-partikel supersimetris di luar kisaran energi LHC, dan sebuah boson Higgs yang tersetel halus. Demikian pula, fisikawan lain menunjukkan pada 1997 bahwa andai boson Higgs lima kali lebih berat dari harga sekarang, itu akan mencegah terbentuknya atom-atom selain hidrogen, lagi-lagi menghasilkan alam semesta tanpa kehidupan.
Terlepas dari semua penjelasan sukses ini, banyak fisikawan khawatir tidak banyak yang didapat dengan mengadopsi pandangan multiverse. Alam semesta paralel tidak bisa diuji; parahnya lagi, alam semesta tak alami menolak untuk dipahami. “Tanpa kealamian, kita akan kehilangan motivasi untuk mencari fisika baru,” kata Kfir Blum, fisikawan di Institute for Advanced Study. “Kita tahu itu ada, tapi tak ada argumen alot kenapa kita mesti menemukannya.” Sentiman ini digaungkan berulang-ulang: “Saya lebih suka alam semesta bersifat alami,” kata Randall.
Tapi sebuah teori lambat-laun bisa disenangi oleh fisikawan. Setelah lebih dari satu dasawarsa beradaptasi dengan multiverse, Arkani-Hamed kini merasa itu masuk akal—dan sebuah rute layak untuk memahami cara-cara dunia kita. “Poin bagusnya adalah, menurut saya, hasil apapun di LHC akan menyetir kita dengan derajat kekuatan berbeda-beda ke salah satu lintasan bercabang ini,” katanya. “Pemilihan semacam ini sangat penting.”
Kealamian boleh jadi berhasil lewat. Atau boleh jadi ia harapan palsu di sebuah saku multiverse yang aneh tapi nyaman.
Seperti kata Arkani-Hamed kepada hadirin di Columbia, “simak terus”.
Sumber: Sainstory
24 Mei 2013
Sumber: Quanta Magazine
Dalam puluhan tahun eksperimen memusingkan, fisikawan mempertimbangkan sebuah kemungkinan yang menyentak: alam semesta mungkin tidak masuk akal.
Suatu siang mendung di ujung April, para profesor fisika dan mahasiswa berdesakan ke dalam aula berpanel kayu di Universitas Columbia untuk mendengarkan ceramah Nima Arkani-Hamed, teoris kenamaan yang bertandang dari Institute for Advanced Study di Princeton, New Jersey. Dengan rambut gelap sebahu yang disisipkan ke belakang telinga, Arkani-Hamed memaparkan dua implikasi kontradiktif dari hasil-hasil eksperimen mutakhir di Large Hadron Collider Eropa.“Alam semesta adalah niscaya,” umumnya. “Alam semesta adalah mustahil.”
Penemuan spektakuler boson Higgs pada Juli 2012 mengkonfirmasi teori berumur hampir 50 tahun tentang bagaimana partikel-partikel unsur memperoleh massa, yang memungkinkan mereka membentuk struktur besar semisal galaksi dan manusia. “Fakta bahwa ia terlihat di tempat yang kita sangka merupakan kemenangan bagi eksperimen, kemenangan bagi teori, dan indikasi bahwa fisika bekerja,” kata Arkani-Hamed kepada hadirin.
Namun, agar boson Higgs masuk akal dengan massa (atau energi) yang telah dipatok untuknya, LHC harus menemukan sekawanan partikel lain, pula. Tapi tak satupun menampakkan diri.
Dengan penemuan satu partikel saja, eksperimen LHC memperdalam sebuah persoalan fisika mendalam yang sudah beredar puluhan tahun. Persamaan-persamaan modern menangkap realitas dengan akurasi mempesona, memprediksi secara tepat harga konstanta-konstanta alam dan eksistensi partikel seperti Higgs. Tapi beberapa konstanta—termasuk massa boson Higgs—berbeda secara eksponensial dari apa yang diindikasikan oleh hukum-hukum terpercaya ini, sehingga seharusnya menghapus peluang [eksisnya] kehidupan, kecuali jika alam semesta dibentuk dengan penyetelan halus dan pembatalan/penetralan.
Yang terancam adalah gagasan “kealamian”, impian Albert Einstein bahwa hukum alam adalah maha indah, niscaya, dan berdikari. Tanpa itu, fisikawan menghadapi prospek pahit bahwa hukum-hukum tersebut hanyalah hasil sembarang dan amburadul dari fluktuasi acak di struktur ruang dan waktu.
LHC akan melanjutkan penabrakan proton pada 2015 dalam pencarian jawaban terakhir kalinya. Tapi dalam berbagai makalah, ceramah, dan wawancara, Arkani-Hamed dan banyak fisikawan terkemuka lain sudah berhadapan dengan kemungkinan bahwa alam semesta tidak alami. (Namun ada perselisihan lebar tentang bagaimana membuktikannya.)
“Sepuluh atau dua puluh tahun silam, saya adalah orang yang percaya teguh pada kealamian,” kata Nathan Seiberg, fisikawan teoritis di Institute for Advanced Study, di mana Einstein mengajar dari tahun 1933 hingga wafatnya di tahun 1955. “Sekarang saya tidak begitu yakin. Harapan saya, masih ada sesuatu yang belum kita pikirkan, suatu mekanisme lain yang akan menjelaskan semua hal ini. Tapi saya tak tahu apa itu.”
Fisikawan beralasan bahwa jika alam semesta [bersifat] tidak alami, dengan konstanta-konstanta fundamental improbabel yang memungkinkan kehidupan, maka harus ada banyak alam semesta agar kasus improbabel kita terwujud. Jika tidak, kenapa kita begitu beruntung? Ketidakalamian akan sangat mendongkrak hipotesis multiverse, yang berpandangan bahwa alam semesta kita adalah satu gelembung dalam buih tak terhingga dan tak terakses. Menurut teori string, sebuah kerangka populer tapi menimbulkan polarisasi, jumlah tipe alam semesta yang dapat menggelembung di multiverse adalah sekitar 10500. Di segelintir alam semesta ini, penetralan peluang akan menghasilkan konstanta-konstanta aneh.
Dalam gambaran demikian, tidak semua hal tentang alam semesta tersebut bersifat niscaya/mutlak, sehingga tak bisa diprediksi. Edward Witten, teoris string di Institute, berkata lewat surel, “Saya akan bahagia jika interpretasi multiverse tidak benar, sebagian karena ia berpotensi membatasi kemampuan kita untuk memahami hukum fisika. Tapi kita tak diajak berunding ketika alam semesta diciptakan.”
“Sebagian orang membencinya,” kata Raphael Bousso, fisikawan di Universitas California, Berkeley, yang membantu mengembangkan skenario multiverse. “Tapi saya cuma berpikir kita tidak bisa menganalisanya atas dasar emosional. Ini kemungkinan logis yang semakin disukai di tengah absennya kealamian di LHC.”
Apa yang LHC temukan atau tidak temukan dalam operasi berikutnya mungkin akan menopang salah satu dari dua kemungkinan: kita hidup di alam semesta amat rumit tapi berdiri sendiri, atau kita menghuni gelembung non-tipikal di multiverse. “Kita akan jauh lebih pintar lima atau sepuluh tahun dari sekarang berkat LHC,’ kata Seiberg. “Jadi itu menggairahkan. Ini ada dalam jangkauan.”
Kebetulan Kosmik
“Kealamian mempunyai rekam jejak,” kata Arkani-Hamed dalam sebuah wawancara. Bahkan, konstanta-konstanta fisika (massa partikel dan atribut tetap alam semesta lainnya) disyaratkan timbul langsung dari hukum fisika, alih-alih dari penetralan improbabel. Berulangkali, kapanpun suatu konstanta dirasa tersetel halus, seakan-akan harga awalnya diset secara ajaib untuk mengimbangi efek-efek lain, fisikawan curiga ada sesuatu yang terlewatkan. Mereka akan mencari dan pasti menemukan partikel atau fitur yang secara materil mengeset konstanta tersebut, meniadakan penetralan halus.
Kali ini, kemampuan alam semesta untuk menyembuhkan diri rupanya gagal. Boson Higgs mempunyai massa 126 GeV, tapi interaksi dengan partikel-partikel lain semestinya menambah sekitar 10.000.000.000.000.000.000 GeV pada massanya. Ini mengimplikasikan bahwa “massa lugas” Higgs, atau harga pemulai sebelum partikel lain mempengaruhinya, kebetulan merupakan bilangan negatif dari bilangan raksasa tersebut, membuahkan penetralan nyaris sempurna yang menyisakan jejak Higgs: 126 GeV.
Fisikawan sudah melewati tiga generasi akselerator partikel untuk mencari partikel-partikel baru, diusulkan oleh teori supersimetri, yang akan mendorong massa Higgs turun sebanyak partikel familiar mendorongnya naik. Tapi sejauh ini mereka keluar dengan tangan kosong.
LHC versi upgrade akan menjelajahi skala-skala energi semakin tinggi dalam operasi berikutnya, tapi jikapun partikel-partikel baru ditemukan, mereka hampir pasti terlalu berat untuk mempengaruhi massa Higgs secara tepat. Higgs akan tetap sekurangnya 10 atau 100 kali terlalu ringan. Fisikawan berbeda pendapat apakah ini dapat diterima di alam semesta alami dan berdiri sendiri. “Disetel halus sedikit—mungkin itu memang terjadi,” kata Lisa Randall, profesor di Universitas Harvard. Tapi menurut pendapat Arkani-Hamed, “disetel sedikit mirip dengan hamil sedikit. Tepatnya tidak eksis.”
Jika partikel-partikel baru tidak muncul dan Higgs tetap tersetel halus secara besar-besaran, maka hipotesis multiverse akan menjadi pusat perhatian. “Bukan berarti ia benar,” kata Bousso, pendukung lama gambaran multiverse, “tapi berarti ia satu-satunya permainan di kota.”
Segelintir fisikawan—utamanya Joe Lykken dari Fermi National Accelerator Laboratory di Batavia, Illinois, dan Alessandro Strumia dari University Pisa di Italia—melihat opsi ketiga. Mereka bilang fisikawan mungkin salah mengukur efek-efek partikel lain terhadap massa Higgs dan bahwa ketika dikalkulasi dengan cara berbeda, massanya tampak alami. “Kealamian termodifikasi” ini goyah ketika partikel tambahan, contohnya konstituen gaib dark matter, diikutkan dalam kalkulasi—tapi jalur non-ortodoks ini dapat membuahkan ide-ide lain. “Saya tak mau menganjurkan, tapi sekadar membahas konsekuensinya,” kata Strumia dalam sebuah ceramah awal bulan ini di Brookhaven National Laboratory.
Namun, kealamian termodifikasi tidak bisa memperbaiki persoalan kealamian lebih besar yang ada dalam fisika: fakta bahwa kosmos tidak serta-merta dibinasakan oleh energinya sendiri sesaat pasca Big Bang.
Dilema Gelap
Untuk menjelaskan kemujuran absurd ini, ide multiverse telah menjadi arus utama di kalangan kosmologi selama beberapa dasawarsa terakhir. Ia mendapat genjotan kredibilitas pada 1987 ketika fisikawan peraih Hadiah Nobel, Steven Weinberg, kini profesor di Universitas Texas, Austin, mengkalkulasi bahwa konstanta kosmologis alam semesta kita diduga ada dalam skenario multiverse. Di antara alam-alam semesta potensial yang mampu menunjang kehidupan—alam-alam semesta yang dapat diamati dan direnungkan—alam semesta kita termasuk yang paling kurang tersetel halus. “Andai konstanta kosmologis jauh lebih besar dari harga teramati, katakanlah selisihnya sebesar faktor 10, maka kita tidak akan punya galaksi,” jelas Alexander Vilenkin, kosmolog dan teoris multiverse di Universitas Tufts. “Sulit dibayangkan bagaimana kehidupan dapat eksis di alam semesta demikian.”
Mayoritas fisikawan partikel berharap akan ketemu penjelasan yang lebih dapat diuji untuk persoalan konstanta kosmologis. Sejauh ini belum. Alhasil, kata fisikawan, ketidakalamian Higgs menjadikan ketidakalamian konstanta kosmologis lebih signifikan. Arkani-Hamed menduga isu-isu ini bahkan terkait. “Kita tidak paham fakta dasar dan luar biasa tentang alam semesta kita,” katanya. “Itu besar dan ada hal-hal besar di dalamnya.”
Multiverse berubah menjadi lebih dari sekadar argumen hand-waving di tahun 2000, ketika Bousso dan Joe Polchinski, profesor fisika teoritis di Universitas California, Santa Barbara, menemukan mekanisme yang dapat melahirkan panorama alam-alam semesta paralel. (Istilah hand-waving dipakai secara akademis untuk menunjukkan klaim-klaim tak terbukti dan langkah-langkah terlewatkan dalam pembuktian—penj.) Teori string, “theory of everything” hipotetis yang memandang partikel sebagai garis-garis kecil bervibrasi, mengusulkan ruang-waktu adalah 10-dimensi. Pada skala manusia, kita merasakan tiga dimensi ruang dan satu dimensi waktu saja, tapi teoris string berargumen enam dimensi tambahan tersimpul rapat di setiap titik di struktur realitas 4-D kita. Bousso dan Polchinski mengkalkulasi ada sekitar 10500 cara berbeda untuk ketersimpulan enam dimensi itu (semuanya mengikat besaran energi bervariasi), memungkinkan eksisnya sederet alam semesta yang berlimpah dan beragam. Dengan kata lain, kealamian tidak diperlukan. Tidak ada alam semesta tunggal, niscaya, sempurna.
“Tentu saja itu menjadi momen aha bagi saya,” kata Bousso. Tapi makalah tersebut memicu kemarahan.
“Fisikawan partikel, khususnya teoris string, punya impian memprediksi semua konstanta alam,” jelas Bousso. “Segalanya akan muncul dari matematika dan pi dan angka dua. Lalu kami masuk dan bilang, ‘Dengar, itu takkan terjadi, dan ada alasan kenapa itu takkan terjadi. Kita memikirkan ini ke arah yang salah.’”
Kehidupan di Multiverse
Dalam sebuah makalah bulan lalu untuk situs pracetak fisika arXiv.org, Bousso dan kolega Berkeley-nya, Lawrence Hall, berargumen bahwa massa Higgs juga masuk akal dalam skenario multiverse. Mereka menemukan, alam-alam semesta gelembung yang mengandung cukup visible matter (dibanding dark matter) untuk menunjang kehidupan seringkali mempunyai partikel-partikel supersimetris di luar kisaran energi LHC, dan sebuah boson Higgs yang tersetel halus. Demikian pula, fisikawan lain menunjukkan pada 1997 bahwa andai boson Higgs lima kali lebih berat dari harga sekarang, itu akan mencegah terbentuknya atom-atom selain hidrogen, lagi-lagi menghasilkan alam semesta tanpa kehidupan.
Terlepas dari semua penjelasan sukses ini, banyak fisikawan khawatir tidak banyak yang didapat dengan mengadopsi pandangan multiverse. Alam semesta paralel tidak bisa diuji; parahnya lagi, alam semesta tak alami menolak untuk dipahami. “Tanpa kealamian, kita akan kehilangan motivasi untuk mencari fisika baru,” kata Kfir Blum, fisikawan di Institute for Advanced Study. “Kita tahu itu ada, tapi tak ada argumen alot kenapa kita mesti menemukannya.” Sentiman ini digaungkan berulang-ulang: “Saya lebih suka alam semesta bersifat alami,” kata Randall.
Tapi sebuah teori lambat-laun bisa disenangi oleh fisikawan. Setelah lebih dari satu dasawarsa beradaptasi dengan multiverse, Arkani-Hamed kini merasa itu masuk akal—dan sebuah rute layak untuk memahami cara-cara dunia kita. “Poin bagusnya adalah, menurut saya, hasil apapun di LHC akan menyetir kita dengan derajat kekuatan berbeda-beda ke salah satu lintasan bercabang ini,” katanya. “Pemilihan semacam ini sangat penting.”
Kealamian boleh jadi berhasil lewat. Atau boleh jadi ia harapan palsu di sebuah saku multiverse yang aneh tapi nyaman.
Seperti kata Arkani-Hamed kepada hadirin di Columbia, “simak terus”.
Sumber: Sainstory
No comments:
Post a Comment