Dalam puluhan tahun eksperimen memusingkan, fisikawan
mempertimbangkan sebuah kemungkinan yang menyentak: alam semesta mungkin
tidak masuk akal.
Apakah
alam semesta bersifat alami? Ataukah kita hidup di sebuah gelembung
non-tipikal di dalam multiverse? Hasil-hasil mutakhir di Large Hadron
Collider telah memaksa banyak fisikawan berhadapan dengan kemungkinan
kedua. (Ilustrasi oleh Giovanni Villadoro)
Suatu siang mendung di ujung April, para profesor fisika dan
mahasiswa berdesakan ke dalam aula berpanel kayu di Universitas Columbia
untuk mendengarkan ceramah Nima Arkani-Hamed, teoris kenamaan yang
bertandang dari Institute for Advanced Study di Princeton, New Jersey.
Dengan rambut gelap sebahu yang disisipkan ke belakang telinga,
Arkani-Hamed memaparkan dua implikasi kontradiktif dari hasil-hasil
eksperimen mutakhir di Large Hadron Collider Eropa.“Alam semesta adalah niscaya,” umumnya. “Alam semesta adalah mustahil.”
Penemuan spektakuler boson Higgs pada Juli 2012 mengkonfirmasi teori
berumur hampir 50 tahun tentang bagaimana partikel-partikel unsur
memperoleh massa, yang memungkinkan mereka membentuk struktur besar
semisal galaksi dan manusia. “Fakta bahwa ia terlihat di tempat yang
kita sangka merupakan kemenangan bagi eksperimen, kemenangan bagi teori,
dan indikasi bahwa fisika bekerja,” kata Arkani-Hamed kepada hadirin.
Namun, agar boson Higgs masuk akal dengan massa (atau energi) yang
telah dipatok untuknya, LHC harus menemukan sekawanan partikel lain,
pula. Tapi tak satupun menampakkan diri.
“Alam
semesta adalah mustahil,” kata Nima Arkani-Hamed, 41 tahun, dari
Institute for Advanced Study, dalam ceramah baru-baru ini di Universitas
Columbia. (Natalie Wolchover/Simons Science News)
Dengan penemuan satu partikel saja, eksperimen LHC memperdalam sebuah
persoalan fisika mendalam yang sudah beredar puluhan tahun.
Persamaan-persamaan modern menangkap realitas dengan akurasi mempesona,
memprediksi secara tepat harga konstanta-konstanta alam dan eksistensi
partikel seperti Higgs. Tapi beberapa konstanta—termasuk massa boson
Higgs—berbeda secara eksponensial dari apa yang diindikasikan oleh
hukum-hukum terpercaya ini, sehingga seharusnya menghapus peluang
[eksisnya] kehidupan, kecuali jika alam semesta dibentuk dengan
penyetelan halus dan pembatalan/penetralan.
Yang terancam adalah gagasan “kealamian”, impian Albert Einstein
bahwa hukum alam adalah maha indah, niscaya, dan berdikari. Tanpa itu,
fisikawan menghadapi prospek pahit bahwa hukum-hukum tersebut hanyalah
hasil sembarang dan amburadul dari fluktuasi acak di struktur ruang dan
waktu.
LHC akan melanjutkan penabrakan proton pada 2015 dalam pencarian
jawaban terakhir kalinya. Tapi dalam berbagai makalah, ceramah, dan
wawancara, Arkani-Hamed dan banyak fisikawan terkemuka lain sudah
berhadapan dengan kemungkinan bahwa alam semesta tidak alami. (Namun ada
perselisihan lebar tentang bagaimana membuktikannya.)
“Sepuluh atau dua puluh tahun silam, saya adalah orang yang percaya
teguh pada kealamian,” kata Nathan Seiberg, fisikawan teoritis di
Institute for Advanced Study, di mana Einstein mengajar dari tahun 1933
hingga wafatnya di tahun 1955. “Sekarang saya tidak begitu yakin.
Harapan saya, masih ada sesuatu yang belum kita pikirkan, suatu
mekanisme lain yang akan menjelaskan semua hal ini. Tapi saya tak tahu
apa itu.”
Fisikawan beralasan bahwa jika alam semesta [bersifat] tidak alami,
dengan konstanta-konstanta fundamental improbabel yang memungkinkan
kehidupan, maka harus ada banyak alam semesta agar kasus improbabel kita
terwujud. Jika tidak, kenapa kita begitu beruntung? Ketidakalamian akan
sangat mendongkrak hipotesis multiverse, yang berpandangan bahwa alam
semesta kita adalah satu gelembung dalam buih tak terhingga dan tak
terakses. Menurut teori string, sebuah kerangka populer tapi menimbulkan
polarisasi, jumlah tipe alam semesta yang dapat menggelembung di
multiverse adalah sekitar 10500. Di segelintir alam semesta ini, penetralan peluang akan menghasilkan konstanta-konstanta aneh.
Dalam gambaran demikian, tidak semua hal tentang alam semesta
tersebut bersifat niscaya/mutlak, sehingga tak bisa diprediksi. Edward
Witten, teoris string di Institute, berkata lewat surel, “Saya akan
bahagia jika interpretasi multiverse tidak benar, sebagian karena ia
berpotensi membatasi kemampuan kita untuk memahami hukum fisika. Tapi
kita tak diajak berunding ketika alam semesta diciptakan.”
“Sebagian orang membencinya,” kata Raphael Bousso, fisikawan di
Universitas California, Berkeley, yang membantu mengembangkan skenario
multiverse. “Tapi saya cuma berpikir kita tidak bisa menganalisanya atas
dasar emosional. Ini kemungkinan logis yang semakin disukai di tengah
absennya kealamian di LHC.”
Apa yang LHC temukan atau tidak temukan dalam operasi berikutnya
mungkin akan menopang salah satu dari dua kemungkinan: kita hidup di
alam semesta amat rumit tapi berdiri sendiri, atau kita menghuni
gelembung non-tipikal di multiverse. “Kita akan jauh lebih pintar lima
atau sepuluh tahun dari sekarang berkat LHC,’ kata Seiberg. “Jadi itu
menggairahkan. Ini ada dalam jangkauan.”
Kebetulan Kosmik
Einstein pernah menulis
bahwa bagi seorang ilmuwan, “perasaan keagamaan mengambil bentuk
kekaguman ekstatik pada harmoni hukum alam” dan “perasaan ini adalah
prinsip penuntun hidup dan kerjanya”. Bahkan, sepanjang abad 20,
keyakinan mengakar kuat bahwa hukum alam bersifat harmonis—keyakinan
pada “kealamian”—terbukti menjadi tuntunan andal untuk menemukan
kebenaran.
“Kealamian mempunyai rekam jejak,” kata Arkani-Hamed dalam sebuah
wawancara. Bahkan, konstanta-konstanta fisika (massa partikel dan
atribut tetap alam semesta lainnya) disyaratkan timbul langsung dari
hukum fisika, alih-alih dari penetralan improbabel. Berulangkali,
kapanpun suatu konstanta dirasa tersetel halus, seakan-akan harga
awalnya diset secara ajaib untuk mengimbangi efek-efek lain, fisikawan
curiga ada sesuatu yang terlewatkan. Mereka akan mencari dan pasti
menemukan partikel atau fitur yang secara materil mengeset konstanta
tersebut, meniadakan penetralan halus.
Kali ini, kemampuan alam semesta untuk menyembuhkan diri rupanya
gagal. Boson Higgs mempunyai massa 126 GeV, tapi interaksi dengan
partikel-partikel lain semestinya menambah sekitar
10.000.000.000.000.000.000 GeV pada massanya. Ini mengimplikasikan bahwa
“massa lugas” Higgs, atau harga pemulai sebelum partikel lain
mempengaruhinya, kebetulan merupakan bilangan negatif dari bilangan
raksasa tersebut, membuahkan penetralan nyaris sempurna yang menyisakan
jejak Higgs: 126 GeV.
Fisikawan sudah melewati tiga generasi akselerator partikel untuk
mencari partikel-partikel baru, diusulkan oleh teori supersimetri, yang
akan mendorong massa Higgs turun sebanyak partikel familiar mendorongnya
naik. Tapi sejauh ini mereka keluar dengan tangan kosong.
LHC versi upgrade akan menjelajahi skala-skala energi
semakin tinggi dalam operasi berikutnya, tapi jikapun partikel-partikel
baru ditemukan, mereka hampir pasti terlalu berat untuk mempengaruhi
massa Higgs secara tepat. Higgs akan tetap sekurangnya 10 atau 100 kali
terlalu ringan. Fisikawan berbeda pendapat apakah ini dapat diterima di
alam semesta alami dan berdiri sendiri. “Disetel halus sedikit—mungkin
itu memang terjadi,” kata Lisa Randall, profesor di Universitas Harvard.
Tapi menurut pendapat Arkani-Hamed, “disetel sedikit mirip dengan hamil
sedikit. Tepatnya tidak eksis.”
Jika partikel-partikel baru tidak muncul dan Higgs tetap tersetel
halus secara besar-besaran, maka hipotesis multiverse akan menjadi pusat
perhatian. “Bukan berarti ia benar,” kata Bousso, pendukung lama
gambaran multiverse, “tapi berarti ia satu-satunya permainan di kota.”
Segelintir fisikawan—utamanya Joe Lykken dari Fermi National
Accelerator Laboratory di Batavia, Illinois, dan Alessandro Strumia dari
University Pisa di Italia—melihat opsi ketiga. Mereka bilang fisikawan
mungkin salah mengukur efek-efek partikel lain terhadap massa Higgs dan
bahwa ketika dikalkulasi dengan cara berbeda, massanya tampak alami. “Kealamian termodifikasi” ini goyah ketika partikel tambahan, contohnya konstituen gaib dark matter,
diikutkan dalam kalkulasi—tapi jalur non-ortodoks ini dapat membuahkan
ide-ide lain. “Saya tak mau menganjurkan, tapi sekadar membahas
konsekuensinya,” kata Strumia dalam sebuah ceramah awal bulan ini di
Brookhaven National Laboratory.
Brookhaven
Forum 2013. David Curtin, kiri, peneliti pascadoktoral di Stony Brook
University, dan Alessandro Strumia, fisikawan di National Institute for
Nuclear Physics di Italia, membahas ide “kealamian termodifikasi” milik
Strumia, yang mempertanyakan asumsi lama tentang bagaimana mengkalkulasi
harga alami massa boson Higgs. (Thomas Lin/Simons Science News)
Namun, kealamian termodifikasi tidak bisa memperbaiki persoalan
kealamian lebih besar yang ada dalam fisika: fakta bahwa kosmos tidak
serta-merta dibinasakan oleh energinya sendiri sesaat pasca Big Bang.
Dilema Gelap
Energi yang terbangun ke dalam ruang vakum (dikenal sebagai energi vakum, dark energy,
atau konstanta kosmologis) adalah setriliun triliun triliun triliun
triliun triliun triliun triliun triliun triliun kali lebih kecil
daripada yang terkalkulasi sebagai harga alaminya, walaupun
swa-destruktif. Tak ada teori tentang apa yang dapat memperbaiki selisih
raksasa ini secara alami. Tapi sudah jelas konstanta kosmologis harus
disetel halus secara besar-besaran untuk mencegah alam semesta meledak
cepat atau kolaps menjadi titik. Itu harus disetel halus agar kehidupan
mempunyai peluang [untuk eksis].
Untuk menjelaskan kemujuran absurd ini, ide multiverse telah menjadi
arus utama di kalangan kosmologi selama beberapa dasawarsa terakhir. Ia
mendapat genjotan kredibilitas pada 1987 ketika fisikawan peraih Hadiah
Nobel, Steven Weinberg, kini profesor di Universitas Texas, Austin,
mengkalkulasi bahwa konstanta kosmologis alam semesta kita diduga ada dalam skenario multiverse. Di antara alam-alam semesta potensial yang mampu menunjang
kehidupan—alam-alam semesta yang dapat diamati dan direnungkan—alam
semesta kita termasuk yang paling kurang tersetel halus. “Andai
konstanta kosmologis jauh lebih besar dari harga teramati, katakanlah
selisihnya sebesar faktor 10, maka kita tidak akan punya galaksi,” jelas
Alexander Vilenkin, kosmolog dan teoris multiverse di Universitas
Tufts. “Sulit dibayangkan bagaimana kehidupan dapat eksis di alam
semesta demikian.”
Mayoritas fisikawan partikel berharap akan ketemu penjelasan yang
lebih dapat diuji untuk persoalan konstanta kosmologis. Sejauh ini
belum. Alhasil, kata fisikawan, ketidakalamian Higgs menjadikan
ketidakalamian konstanta kosmologis lebih signifikan. Arkani-Hamed
menduga isu-isu ini bahkan terkait. “Kita tidak paham fakta dasar dan
luar biasa tentang alam semesta kita,” katanya. “Itu besar dan ada
hal-hal besar di dalamnya.”
Multiverse berubah menjadi lebih dari sekadar argumen hand-waving
di tahun 2000, ketika Bousso dan Joe Polchinski, profesor fisika
teoritis di Universitas California, Santa Barbara, menemukan mekanisme
yang dapat melahirkan panorama alam-alam semesta paralel. (Istilah hand-waving
dipakai secara akademis untuk menunjukkan klaim-klaim tak terbukti dan
langkah-langkah terlewatkan dalam pembuktian—penj.) Teori string, “theory of everything”
hipotetis yang memandang partikel sebagai garis-garis kecil bervibrasi,
mengusulkan ruang-waktu adalah 10-dimensi. Pada skala manusia, kita
merasakan tiga dimensi ruang dan satu dimensi waktu saja, tapi teoris
string berargumen enam dimensi tambahan tersimpul rapat di setiap titik
di struktur realitas 4-D kita. Bousso dan Polchinski mengkalkulasi ada sekitar 10500
cara berbeda untuk ketersimpulan enam dimensi itu (semuanya mengikat
besaran energi bervariasi), memungkinkan eksisnya sederet alam semesta
yang berlimpah dan beragam. Dengan kata lain, kealamian tidak
diperlukan. Tidak ada alam semesta tunggal, niscaya, sempurna.
“Tentu saja itu menjadi momen aha bagi saya,” kata Bousso. Tapi makalah tersebut memicu kemarahan.
“Fisikawan partikel, khususnya teoris string, punya impian
memprediksi semua konstanta alam,” jelas Bousso. “Segalanya akan muncul
dari matematika dan pi dan angka dua. Lalu kami masuk dan bilang,
‘Dengar, itu takkan terjadi, dan ada alasan kenapa itu takkan terjadi.
Kita memikirkan ini ke arah yang salah.’”
Kehidupan di Multiverse
Big Bang, dalam skenario multiverse Bousso-Polchinski, merupakan
sebuah fluktuasi. Simpul kompak enam-dimensi yang menyusun satu jahitan
di kain/struktur realitas berubah bentuk secara tiba-tiba, melepas
energi yang membentuk gelembung ruang dan waktu. Atribut alam semesta
baru ini ditentukan oleh untung-untungan: besaran energi yang terlepas
selama fluktuasi. Mayoritas alam semesta yang mewujud dengan cara ini
dipadati energi vakum; mereka mengembang atau kolaps begitu cepat
sehingga kehidupan tidak bisa muncul di sana. Tapi beberapa alam semesta
non-tipikal, di mana penetralan improbabel membuahkan harga konstanta
kosmologis yang kecil, sangat mirip dengan punya kita.
Dalam sebuah makalah bulan lalu untuk situs pracetak fisika arXiv.org,
Bousso dan kolega Berkeley-nya, Lawrence Hall, berargumen bahwa massa
Higgs juga masuk akal dalam skenario multiverse. Mereka menemukan,
alam-alam semesta gelembung yang mengandung cukup visible matter (dibanding dark matter)
untuk menunjang kehidupan seringkali mempunyai partikel-partikel
supersimetris di luar kisaran energi LHC, dan sebuah boson Higgs yang
tersetel halus. Demikian pula, fisikawan lain menunjukkan pada 1997
bahwa andai boson Higgs lima kali lebih berat dari harga sekarang, itu
akan mencegah terbentuknya atom-atom selain hidrogen, lagi-lagi
menghasilkan alam semesta tanpa kehidupan.
Dalam
skenario multiverse, sederet alam semesta gelembung yang berlimpah dan
beragam berfluktuasi menjadi eksis di dalam vakum lebih besar. Sebagian
kecil alam semesta memiliki atribut fisikal yang kondusif bagi
kehidupan.
Terlepas dari semua penjelasan sukses ini, banyak fisikawan khawatir
tidak banyak yang didapat dengan mengadopsi pandangan multiverse. Alam
semesta paralel tidak bisa diuji; parahnya lagi, alam semesta tak alami
menolak untuk dipahami. “Tanpa kealamian, kita akan kehilangan motivasi
untuk mencari fisika baru,” kata Kfir Blum, fisikawan di Institute for
Advanced Study. “Kita tahu itu ada, tapi tak ada argumen alot kenapa
kita mesti menemukannya.” Sentiman ini digaungkan berulang-ulang: “Saya
lebih suka alam semesta bersifat alami,” kata Randall.
Tapi sebuah teori lambat-laun bisa disenangi oleh fisikawan. Setelah
lebih dari satu dasawarsa beradaptasi dengan multiverse, Arkani-Hamed
kini merasa itu masuk akal—dan sebuah rute layak untuk memahami
cara-cara dunia kita. “Poin bagusnya adalah, menurut saya, hasil apapun
di LHC akan menyetir kita dengan derajat kekuatan berbeda-beda ke salah
satu lintasan bercabang ini,” katanya. “Pemilihan semacam ini sangat
penting.”
Kealamian boleh jadi berhasil lewat. Atau boleh jadi ia harapan palsu di sebuah saku multiverse yang aneh tapi nyaman.
Seperti kata Arkani-Hamed kepada hadirin di Columbia, “simak terus”.
No comments:
Post a Comment