Thursday, July 26, 2018

Mitos Asal-Usul, Penciptaan, dan Agama

Semua bangsa memiliki mitos asal-usul untuk menjelaskan dari mana mereka berasal. Dalam mitologi suku Aborigin Tasmania, dewa bernama Moinee dikalahkan oleh dewa bernama Dromerdeener dalam pertempuran di antara bintang-bintang. Moinee jatuh ke daratan Tasmania. Sebelum mati, ia ingin memberikan berkat terakhirnya kepada tempat persemayaman terakhirnya sehingga ia memutuskan untuk menciptakan manusia. Namun, dia terburu-buru dan lupa memberi lutut kepada manusia. Sebaliknya, justru menambah ekor seperti kangguru, yang berarti makhluk ciptaannya itu tidak bisa duduk. Karena itu, mereka menjerit memohon pertolongan.

Dromerdeener yang perkasa, yang masih berkeliling langit dalam pawai kemenangannya, mendengar jeritan mereka dan turun untuk melihat apa yang terjadi. Dia jatuh iba dan lekas mengabulkan permohonan manusia; memberikan lutut yang bisa ditekuk dan menghilangkan ekor. Dalam versi lain mitos Tasmania itu, Moinee memanggil manusia pertama yang diberi nama Parlevar ke langit. Saat itu, Parlevar tidak bisa duduk karena berekor seperti kangguru dan memiliki lutut yang tidak bisa ditekuk. Melihat itu, sang dewa pesaing, Dromerdeener datang menyelamatkan. Dia memberi lutut yang tepat dan memotong ekornya, lalu menyembuhkan luka dengan lemak. Parlevar kemudian turun ke Tasmania menyusuri jalanan langit (Bima sakti).

Orang Norse dari Skandinavia, terkenal sebagai Viking, memiliki dewa-dewi seperti halnya Yunani dan Romawi. Pemimpin para dewa itu adalah Odin, terkadang disebut Wotan atau Woden (asal nama kata Wednesday—hari bagi Dewa Odin). Dia memiliki anak, Thor (Thursday—hari bagi Dewa Thor). Suatu hari Odin sedang berjalan-jalan di pesisir pantai bersama saudara-saudaranya, dan menemukan dua batang pohon.

DNA dari Surga

Oleh: Richard Dawkins

Kisah penciptaan dapat ditemui di setiap kebudayaan. Selama beribu tahun kisah semacam itu bertahan sebagai sebuah kepercayaan hingga diguncang oleh sebuah pemikiran yang diusung dua raksasa ilmiah: Charles Darwin dan Alfred Wallace. Manusia sebelumnya puas dengan penjelasan bahwa kuda memang berasal dari kuda, yang diperanakkan oleh kuda, dan seterusnya, dan seterusnya. Lalu pertanyaannya adalah darimana datangnya kuda pertama? Jawaban versi kisah penciptaan adalah “dari sononya”, entah diciptakan oleh yang namanya Dewa atau Tuhan. Teori evolusi memberikan jawaban lain. Setiap keturunan menghasilkan variasi yang sedikit berbeda dengan induknya sehingga setelah akumulasi variasi keturunan berjuta tahun kemudian, dapat menghasilkan keturunan yang kadang berbeda seperti langit dan bumi. Bayangkan saja perbedaan antara anjing Chihuahua dan anjing Saint Bernard yang dulunya berasal dari satu keturunan anjing, padahal mereka baru berpisah dari cabang evolusinya kurang lebih 10.000 tahun yang lalu, saat anjing pertama kali dijinakkan oleh manusia. Masalahnya, teori evolusi meskipun sederhana, seringkali salah dimengerti karena publisitas yang terlalu berpihak. Setiap kali orang mendengar teori evolusi, yang terpikir pasti tentang teori yang mengatakan bahwa manusia berasal dari kera. Untuk menjawab itulah buku “Sungai dari Firdaus” menjadi penting, dan ia ditulis dalam bahasa yang mudah dipahami oleh orang yang tidak pernah mendalami biologi evolusioner sekalipun.

Antiklerikalisme, Ateisme dan Kritik Agama

Ateisme adalah sebuah momok di negeri ini, hampir sejelek sang iblis itu sendiri. Ia disamakan dengan pemadat, pelacur, pembunuh, dan pemerkosa. Ia tak punya tempat hidup di negeri yang “beragama” ini.

Untuk itu marilah kita mundur dalam sejarah. Ateisme lahir dari sejarah yang panjang, sebagai salah satu anak dari modernisme. Meskipun cikal bakal ateisme sebenarnya sudah muncul dari Xenophanes di zaman Yunani Kuno, yang mengatakan bahwa dewa-dewa yang ada hanyalah gambaran manusia saja dan tidak mungkin dewa yang agung kelakuannya sama dengan manusia, modernisme tetap menjadi ibu kandung dari ateisme, terlebih ateisme yang menjadi lawan dari teisme, khususnya teisme versi Yudeo-Kristiani.

Modernisme lahir di dalam sebuah kondisi di mana dogma merajalela, dan manusia tidak mempunyai tempat. Semua segi kehidupan dilihat dari sudut pandang agama yang dogmatis. Manusia tidak memiliki tempat di dunia ini, sebuah panggung sandiwara di mana ia menjadi pemain di dalamnya. Hidupnya bukanlah miliknya, melainkan milik Tuhan yang menilainya, yang memberinya surga bila ia memainkan perannya dengan sesuai, dan neraka untuk yang menentangnya, tanpa berpikir mengapa sesuatu boleh atau tidak boleh dilakukan.

Modernisme, dipicu juga oleh gerakan Reformasi Protestan, yang melahirkan subjektivisme, yaitu percaya pada pemikiran sendiri, seperti tercermin dalam semboyan pencerahan “sapere aude”, aku berpikir untuk diriku sendiri. Protestanisme, walaupun pada dirinya masih dogmatis dengan hanya percaya pada kitab suci, ia telah membuka jalan ke subjektivisme dengan memberikan kebebasan dalam mengartikan kitab suci. Tafsir kitab suci yang mulanya hanya menjadi hak kaum pendeta, menjadi milik semua umat beriman karena Tuhan diyakini menyapa setiap orang secara sama melalui kitab suci.

Wednesday, July 18, 2018

Mengetuk Pintu Surga

Oleh: Kupret El-kazhiem

Judul Buku: Knocking on Heaven's Door: How Physics and Scientific Thinking Illuminate the Universe and the Modern World
Penulis: Lisa Randall
Penerbit: HarperCollins, 2011

Dalam buku yang ditulis oleh Steven Weinberg “Dreams Of The Final Theory” di mana intinya adalah para ilmuwan sedang mencoba untuk menemukan teori yang bisa menyatukan semua gaya yang bekerja di alam semesta ini, seperti gaya gravitasi, elektromagnetism, weak force and strong force. Karena jika mengacu pada Big Bang, keempat gaya tersebut pernah berada dalam satu force yang sama, yang itu digambarkan oleh Michio Kaku sebagai a solid diamond, kemudian tidak diketahui secara akurat mengapa keempat gaya tersebut berdiri secara independen.

Debat Antara Richard Dawkins and Francis Collins

Sumber:http://old.richarddawkins.net/articles/4047-god-vs-science-a-debate-between-richard-dawkins-and-francis-collins

Diterjemahkan oleh TACU

Sains modern dan agama sama-sama bermaksud menjelaskan cara alam semesta bekerja. Yang tersebut pertama menjelaskan melalui materi (natural) dan kedua melalui hal gaib (supernatural). Sejak beberapa abad yang lalu kemajuan sains mendorong gerakan ateisme (anti-Tuhan) yang menolak keberadaan Tuhan samasekali. Sebaliknya agama bersikukuh pada kehadiran Tuhan.

Segelintir orang beragama lantas kasak-kusuk dengan gerakan kreasionisme. Gerakan itu selalu dipecundangi bersama-sama atau terpisah oleh kalangan ateis dan ilmuwan beragama dalam setiap kesempatan. Ateis dan ilmuwan beragama sekubu dalam melawan kreasionisme. Tapi apa jadinya bila keduanya dihadapkan satu-sama lain untuk membahas sains dan ketuhanan?

Berikut ini terjemahan perdebatan wakil kedua pihak sekubu tentang sains dan ketuhanan (bukan membahas sains dan agama). Kubu ateis diwakili oleh zoolog Richard Dawkins. Ia ilmuwan biologi yang termasyhur sebagai penutur fasih teori evolusi, dan kemudian ateisme. Dawkins dikenal sebagai ilmuwan jurubicara ateis. Buku terbaru Dawkins berjudul God Delusion termasuk laris-manis di dunia.

Lawan debat Dawkins adalah genetikawan Francis Collins, yang kini jadi ilmuwan jurubicara kaum beragama. Collins pernah menjadi Director of the National Human Genome Research Institute. Ia memimpin 2.400 berbagai bangsa untuk memetakan tiga milyar gen. Pada usia 27 tahun ia masuk Kristen dari sebelumnya ateis. Dua tahun yang lalu ia menulis buku The Language of God: A Scientist Presents Evidence for Belief. 

Sekalipun beragama, Collins cenderung berpihak pada deisme daripada mendukung teisme. Deisme berpendapat bahwa Tuhan ada di luar Alam-Semesta dan tidak campur-tangan pada kehidupan sehari-hari manusia. Ada pun teisme (landasan teologi sebagian besar Samawi) berpendapat bahwa Tuhan hadir dan turun-tangan dalam kehidupan sehari-hari, misalnya dengan mengabulkan doa.

Kedua ilmuwan kelas kakap dipertemukan oleh majalah TIME di Time & Life Building, New York City pada November 2006 untuk membahas perbedaan pendapat mereka.

Berikut ini terjemahan perdebatan mereka. Selamat menikmati!

Wawancara Singkat dengan Lisa Randall

Lisa Randall, theoretical particle physicist at Harvard, explained the strange physics of string theory and tiny extra dimensions in her first book, Warped Passages. She met The Daily Beast for a cappuccino at L.A. Burdicks to discuss how scientific progress happens, the largest particle accelerator ever made, the origin of mass, the future of physics, and her most recent book Knocking on Heaven’s Door.

Diterjemahkan oleh: TACU

Salah satu motif utama buku Randall adalah proses penemuan saintifik yang terkadang tampak sembarangan, sehingga dunia terlihat kabur ketika sains mencoba melampaui batasan terjauh dari pengetahuan ilmiah. Pada skala biasa dalam kehidupan sehari-hari kita memiliki sejumlah besar data yang mengkonfirmasi pemahaman kita tentang fisika. Tetapi pada skala yang tidak familier, seperti energi terkecil, yang terbesar, kita berbenturan dengan batas-batas pengalaman. Ini tidak berarti bahwa kita tidak harus mempercayai fisika—jauh daripada itu, karena fisika modern telah disusun dan diverifikasi dengan prediksi-prediksi yang keakuratannya sangat mencengangkan—tetapi juga memperkenalkan apakah itu ketidakpastian ilmiah, atau potensi untuk penemuan-penemuan baru yang lebih luar biasa.

The Large Hadron Collider (LHC) di Swiss, adalah mesin yang paling rumit yang dibangun dan akselerator partikel paling kuat di dunia. Saat ini, LHC menempatkan kita pada lingkup pengetahuan. Dalam bukunya, Randall berhasil mengubah percobaan ini pada skala yang jauh dan tidak familier ke dalam tindakan penting dalam drama kosmik.

Monday, July 9, 2018

Alam Semesta Jauh Lebih Cerdas Dari Manusia

Oleh: Archer Clear

Alam Semesta lebih nyata dari Tuhan-Tuhan imaginer, itu fakta dan tidak ada pengetahuan yang lebih baik dari fakta, di luar itu saya lebih senang menyebutnya tidak tahu. – Archer Clear

Bayangkan, bahwa kehidupan kita di atas planet ini bisa saja hilang dalam seketika (instan), “monster-monster” pembunuh ada di sekitar kita, lihat gunung ada volcano disana, lihat laut ada tsunami yang siap menggulung setiap waktu, di darat ada gempa bumi, lihat ke langit ada meteor, astroid yang setiap detik siap manghantam planet bumi.

Semua itu adalah alami, Natural Behavior is Uncertainty, sifat ketidakpastian itu adalah bawaan alam yang masih belum dimengerti secara baik oleh manusia, untuk itu jika mengacu pada teori Darwin, bahwa bukan yang paling pintar atau yang paling kuat yang akan dapat bertahan hidup di atas planet ini, tapi mereka yang paling bisa melakukan adaptasi atas perubahan-perubahan yang ditawarkan oleh alam (nature).

Pertanyaannya, apakah kita sebagai manusia merupakan entitas yang “penting” di alam semesta ini, jawabannya sudah sangat jelas “tidak Penting” dan saya kira konsep-konsep tentang Tuhan, kehidupan setelah kematian, surga dan neraka adalah ciptaan manusia untuk mengisi ketidakmengertiannya atas apa yang terjadi dalam kehidupannya sejak hari pertama hingga dia kembali menjadi bagian dari alam semesta ini.

Jika Kehidupan Ini Jawaban, Maka Apa Pertanyaannya?

Ilmu Pengetahuan, Nalar, Agama, dan Alam Semesta

“Dalam ilmu pengetahuan dan humanisme, pertanyaan ‘siapa kita?’ bukan sekadar salah satu tugas, melainkan inti dari seluruh pencarian ilmu itu sendiri.”
— Erwin Schrödinger

Kehidupan, dalam pengertian paling elementer, adalah gerak—dinamika kesadaran yang berlangsung dalam ruang dan waktu. Namun begitu kita mencoba memahaminya secara mendalam, kehidupan menjelma menjadi misteri yang tak habis dipikirkan. Erwin Schrödinger dalam karyanya What is Life? mencoba menelusuri jawaban dengan pendekatan radikal: menuruni tangga skala hingga ke level molekul dan atom, tempat dunia kuantum memperlihatkan wajahnya yang penuh probabilitas dan ketidakpastian.

Alam Semesta Tanpa Tujuan: Sebuah Renungan Kosmologis

Oleh: Lawrence M. Krauss

Di antara ilusi terbesar yang dihadapi manusia adalah anggapan bahwa alam semesta memiliki tujuan dan perancangan yang disengaja. Kesan akan adanya maksud agung seolah-olah tertanam dalam segala aspek dunia di sekitar kita—sebuah ilusi yang begitu kuat hingga sains harus berulang kali menantangnya.

Kita sering terpikat oleh kenyataan bahwa kondisi di Bumi tampaknya begitu sempurna untuk menopang kehidupan: letaknya yang stabil mengelilingi Matahari, keberadaan air, senyawa karbon, iklim yang bersahabat—semuanya tampak mendukung narasi bahwa planet ini memang "dirancang" untuk kehidupan. Namun, dengan lebih dari 100 miliar sistem tata surya hanya di galaksi Bima Sakti, dan dengan melimpahnya unsur-unsur seperti hidrogen, karbon, dan oksigen, maka secara statistik, kondisi-kondisi seperti itu sangat mungkin muncul di berbagai titik di kosmos. Kehidupan bukanlah anomali yang ajaib, tetapi probabilitas yang alami.