Monday, July 9, 2018

Jika Kehidupan Ini Jawaban, Maka Apa Pertanyaannya?

Ilmu Pengetahuan, Nalar, Agama, dan Alam Semesta

“Dalam ilmu pengetahuan dan humanisme, pertanyaan ‘siapa kita?’ bukan sekadar salah satu tugas, melainkan inti dari seluruh pencarian ilmu itu sendiri.”
— Erwin Schrödinger

Kehidupan, dalam pengertian paling elementer, adalah gerak—dinamika kesadaran yang berlangsung dalam ruang dan waktu. Namun begitu kita mencoba memahaminya secara mendalam, kehidupan menjelma menjadi misteri yang tak habis dipikirkan. Erwin Schrödinger dalam karyanya What is Life? mencoba menelusuri jawaban dengan pendekatan radikal: menuruni tangga skala hingga ke level molekul dan atom, tempat dunia kuantum memperlihatkan wajahnya yang penuh probabilitas dan ketidakpastian.

Di ranah mikroskopis itu, setiap partikel bergerak dengan cara yang tak terduga. Interaksi mereka membentuk struktur kompleks yang kelak melahirkan entitas seperti manusia. Kita, homo sapiens, adalah hasil akhir dari proses panjang evolusi dan interaksi partikel-partikel dasar. Struktur otak kita, sebagai contoh, adalah jaringan saraf yang sangat rumit, dan untuk memahaminya secara menyeluruh, kita membutuhkan cabang ilmu tersendiri: ilmu saraf.

Bayangkan jika Anda tidak pernah tahu tentang apel—bagaimana otak Anda tahu bahwa yang sedang Anda lihat adalah apel? Tanpa pengetahuan, persepsi kita kosong. Di sinilah kita menyadari bahwa pengetahuan bukan sekadar informasi, tetapi fondasi dari persepsi itu sendiri. Richard Dawkins menyebut kita sebagai the blind watchmaker—perancang buta yang menyusun realitas dari tumpukan ketidaktahuan.

Namun kita belajar. Dan dari belajar, kita memahami. Pertanyaan-pertanyaan mendasar seperti “Siapa kita?”, “Dari mana kita berasal?”, “Mengapa realitas bekerja seperti ini, bukan seperti itu?” adalah katalis dari kemajuan peradaban. Carl Sagan dan Ann Druyan dalam Shadows of Forgotten Ancestors menulis bahwa konsep Tuhan adalah konstruksi manusia—sebuah misteri dangkal dibandingkan misteri terdalam: manusia itu sendiri.

Misteri adalah titik mula dari setiap pencarian. Manusia, sejak dahulu, merespons misteri ini melalui beragam tradisi, dan salah satu tradisi yang paling bertahan hingga kini adalah agama. Agama adalah sistem yang bertumpu pada satu kata kunci: percaya. Namun, kepercayaan yang tidak lahir dari pengetahuan bisa menjadi kebutaan yang sistemik.

Dalam konteks ini, agama—dengan segala dogma dan tafsirnya—sering kali menjadi sistem yang tidak kompatibel dengan penjelasan ilmiah. Ia menggantikan pertanyaan dengan jawaban yang prematur, menyematkan kehendak Tuhan pada segala sesuatu yang tak diketahui. Ini bukan hanya cara berpikir yang malas, tetapi juga berbahaya—karena menutup ruang kritis yang menjadi syarat utama pencarian kebenaran.

Sains, sebaliknya, tumbuh dari pengakuan atas ketidaktahuan. Ia tidak mengklaim semua jawaban, tetapi justru menandai batas-batas pemahaman untuk kemudian menerobosnya. Energi gelap, yang mencakup sekitar 73% dari alam semesta, masih menjadi misteri besar. Namun, sains tidak berpura-pura tahu—ia menunggu, menyelidiki, menguji.

Lihatlah eksperimen di CERN dengan Large Hadron Collider yang memakan waktu hampir lima dekade untuk membuktikan keberadaan partikel Higgs Boson. Tanpa partikel ini, materi takkan memiliki massa, dan alam semesta tidak akan terbentuk sebagaimana adanya. Namun alih-alih merayakan capaian intelektual ini, publik justru menamakannya “Partikel Tuhan”—sebuah cara untuk kembali menempelkan makna religius pada temuan sains, seolah-olah membenarkan kitab suci dengan eksperimen fisika.

Sebagian orang memang merasa lebih nyaman hidup dalam narasi Tuhan. Mungkin karena, seperti dikatakan George Bernard Shaw, hanya 2% populasi dunia yang benar-benar berpikir, 3% lainnya mengira mereka berpikir, dan sisanya—95%—lebih memilih mati daripada menggunakan akalnya. Mungkin inilah sebabnya mengapa agama—yang menawarkan jawaban instan, meski dangkal—lebih populer daripada sains yang menawarkan pertanyaan rumit dan proses panjang.

Namun jika kita ingin menjawab pertanyaan besar tentang kehidupan, syarat utamanya adalah berpikir. Tanpa keberanian untuk berpikir, mustahil kita memahami kenyataan yang kompleks ini. Masyarakat yang terdelusi oleh dogma akan terus terjebak dalam ilusi dunia utopis yang dijanjikan agama, tanpa pernah benar-benar menghadapi kenyataan hidup yang sebenarnya.

Stephen Hawking pernah berkata, “There is no afterlife for broken computers.” Kehidupan, menurutnya, berakhir begitu sistem biologis berhenti bekerja. Pernyataan ini, bila tidak dibarengi dengan pengetahuan dan keterbukaan, hanya akan ditertawakan oleh mereka yang lebih percaya pada janji-janji surgawi ketimbang bukti dan logika. Padahal, justru dari kursi rodanya, Hawking melihat kehidupan lebih luas daripada kita yang berjalan dengan dua kaki tetapi berpikir sempit.

Lalu, apa yang salah dengan 95% manusia di planet ini? Mungkin karena mereka lebih memilih percaya ketimbang berpikir. Agama mematikan pertanyaan dengan jawaban-jawaban absolut, sedangkan sains membuka kemungkinan tak terbatas dengan pertanyaan-pertanyaan baru. Di situlah perbedaan fundamentalnya.

Pada akhirnya, barangkali kehidupan ini memang bukan tentang menemukan jawaban. Mungkin kitalah—manusia itu sendiri—yang merupakan pertanyaannya.

Archer Clear


No comments:

Post a Comment