Sunday, September 9, 2018

Mekanika Kuantum dan Kehendak Bebas: Tantangan terhadap Determinisme

Oleh: Tom Hartsfield

Apakah manusia benar-benar memiliki kehendak bebas, ataukah semua tindakan dan keputusan kita hanyalah hasil dari proses deterministik yang tak terelakkan? Sebagian ilmuwan fisika dan neurologi berpandangan bahwa alam semesta bersifat deterministik—bahwa setiap kejadian, termasuk pikiran dan perilaku manusia, telah ditentukan sebelumnya oleh hukum-hukum alam dan kondisi awal semesta.

Dalam pandangan deterministik yang ketat, apabila seseorang memiliki pengetahuan sempurna tentang keadaan setiap partikel di alam semesta, termasuk posisi dan kecepatannya, serta memahami sepenuhnya hukum-hukum fisika yang mengatur interaksinya, maka mereka dapat memprediksi dengan tepat setiap peristiwa yang akan terjadi, termasuk tindakan manusia. Contoh klasiknya adalah perhitungan gerak benda langit: kita dapat menentukan secara akurat lintasan asteroid atau posisi satelit dengan mengandalkan hukum gravitasi dan dinamika Newtonian. Ilmu pengetahuan modern tumbuh dari keberhasilan luar biasa pendekatan ini.

Namun, jika diterapkan pada kesadaran dan kehendak manusia, pandangan ini menjadi masalah filosofis yang dalam. Apakah pikiran hanyalah mesin biologis yang beroperasi menurut hukum fisika? Apakah keputusan kita hanyalah hasil aktivitas deterministik dari jaringan saraf dalam otak? Jika demikian, maka "kehendak bebas" hanyalah ilusi. Kita tidak memilih, melainkan menjalankan keputusan yang sudah diprogram oleh keadaan sebelumnya—persis seperti bola biliar yang menggelinding di meja atau komet yang mengikuti lintasan tertentu.

Inilah kesimpulan ekstrem dari fisika klasik. Namun, fisika tidak berhenti pada Newton. Masuklah mekanika kuantum—teori revolusioner abad ke-20 yang mengubah cara pandang kita terhadap realitas fisik secara mendasar. Dalam dunia subatomik, mekanika kuantum menunjukkan bahwa proses fisik tidak sepenuhnya dapat diprediksi. Keadaan partikel tidak dapat diketahui secara pasti sebelum diukur, dan hasil pengukuran bersifat probabilistik. Ketidakpastian ini bukan akibat ketidaktahuan kita, melainkan bawaan dari struktur realitas itu sendiri.

Sebagian fisikawan sempat berharap bahwa ketidakpastian ini hanyalah produk dari “variabel tersembunyi” yang belum ditemukan. Namun, harapan ini diuji keras oleh fisikawan John Bell pada tahun 1964. Dalam makalah terkenalnya, Bell menyusun apa yang kini dikenal sebagai Teorema Bell—sebuah argumen matematis yang menunjukkan bahwa jika mekanika kuantum benar, maka tidak mungkin ada teori tersembunyi yang bersifat lokal dan deterministik yang dapat menjelaskan fenomena kuantum. Bell mengajukan suatu ketimpangan (Bell’s Inequality) yang dapat diuji secara eksperimental.

Eksperimen-eksperimen sejak itu, termasuk yang paling mutakhir, telah secara konsisten mendukung prediksi mekanika kuantum dan melanggar ketimpangan Bell. Ini berarti kita dihadapkan pada pilihan sulit: menyerah pada ide determinisme mutlak, atau menolak adanya realitas obyektif yang independen dari pengamatan.

Mayoritas komunitas fisika akhirnya menerima bahwa mekanika kuantum menunjukkan sifat dasar alam yang tidak deterministik. Artinya, ada batasan mendasar terhadap apa yang bisa kita ketahui dan prediksi tentang masa depan. Tidak semua kejadian ditentukan secara mekanis sejak permulaan waktu. Dalam ruang probabilistik yang ditawarkan oleh mekanika kuantum, terbuka celah untuk kebebasan tindakan.

Dengan demikian, kehendak bebas—selama ini dibayangi oleh mesin deterministik Newtonian—mendapat angin segar dari dunia kuantum. Dalam dunia yang tidak sepenuhnya dapat diprediksi, keputusan manusia mungkin bukan sekadar hasil reaksi berantai molekuler, melainkan bagian dari realitas yang secara intrinsik terbuka dan belum ditentukan.

No comments:

Post a Comment