Ketika Isaac Newton merumuskan hukum-hukum mekanikanya, dunia sains diguncang oleh sebuah konsepsi baru tentang alam semesta: semesta sebagai mesin raksasa yang bekerja secara deterministik, seperti jam yang terus berdetak menuju masa depan yang telah ditetapkan. Dalam paradigma ini, setiap atom, setiap gerakan, setiap sebab dan akibat seolah telah diprogram sejak awal waktu. Manusia, dalam pandangan ini, tak lebih dari roda gigi kecil dalam mesin kosmik yang tak mengenal kebebasan.
Namun, abad ke-20 menyuguhkan sebuah perubahan mendasar. Fisika modern, yang diwakili oleh teori relativitas dan mekanika kuantum, mengguncang fondasi pandangan Newtonian. Paradoks pun muncul: di satu sisi, mekanika kuantum memberi tempat khusus bagi pengamat dalam membentuk realitas fisik. Eksperimen menunjukkan bahwa apa yang terjadi di tingkat mikroskopik tidak sepenuhnya independen dari tindakan pengamatan—realitas tidak lagi bersifat objektif sepenuhnya. Ini membuka pintu bagi interpretasi bahwa kesadaran manusia, dalam batas tertentu, dapat mempengaruhi jalannya dunia.
Namun di sisi lain, teori relativitas Einstein menghadirkan gambaran alam semesta sebagai blok ruang-waktu yang utuh, di mana masa lalu, kini, dan masa depan tidak terpisah secara mutlak. Jika masa depan "sudah ada", apakah itu berarti kita tak kuasa mengubahnya?
Dalam kerangka Newton, semua yang terjadi dapat dijelaskan sebagai akibat dari kondisi sebelumnya, secara matematis dan deterministik. Pandangan ini diperkuat oleh Pierre-Simon Laplace yang membayangkan adanya “kalkulator” superintelejen: makhluk yang mengetahui posisi dan kecepatan seluruh partikel di alam semesta pada suatu waktu akan mampu menghitung seluruh sejarah dan masa depan semesta dengan tepat.
Namun, benarkah prediksi absolut seperti itu mungkin? Donald MacKay, fisikawan dan filsuf, menawarkan bantahan menarik. Misalnya, jika seorang ilmuwan super mampu memprediksi bahwa Anda akan bertepuk tangan dalam waktu sepuluh detik, maka saat dia menginformasikan prediksi tersebut kepada Anda, ia telah mengubah kondisi otak Anda. Informasi baru itu secara otomatis memengaruhi sistem saraf Anda, mengubah hasil yang semula ia prediksi. Maka, sekalipun prediksi itu mungkin benar dalam kerangka mekanistik, ia tetap tidak bisa diketahui oleh Anda sebelum terjadi, karena pemberitahuannya akan mengacaukan sistem yang hendak diprediksi. Dalam hal ini, bahkan dalam dunia deterministik sekalipun, tetap ada celah logis yang menyisakan semacam kehendak bebas.
Lebih jauh lagi, asumsi bahwa alam semesta Newtonian sepenuhnya dapat diprediksi telah digoyang oleh penemuan dalam teori kekacauan (chaos theory). Sistem-sistem tertentu menunjukkan sensitivitas ekstrem terhadap kondisi awal, sehingga perilaku jangka panjangnya menjadi tak tertebak, meskipun bersifat deterministik. Namun pukulan paling kuat terhadap determinisme klasik datang dari dunia mikroskopik—dunia mekanika kuantum.
Prinsip ketidakpastian Heisenberg menyatakan bahwa kita tak pernah bisa mengetahui dengan presisi sempurna posisi dan momentum suatu partikel secara bersamaan. Akibatnya, ada indeterminisme mendalam yang tak dapat dielakkan. Dalam level subatom, peristiwa kadang terjadi tanpa sebab yang jelas. Dunia kuantum tidak berjalan seperti mesin jam, melainkan sebagai ladang probabilitas.
Tetapi, apakah fakta bahwa alam semesta bersifat indeterministik berarti kita benar-benar memiliki kehendak bebas? Ini tidak serta merta. Jika tindakan kita muncul secara acak, tanpa sebab, apakah kita tetap bisa dianggap bertanggung jawab atasnya? Dalam logika moral, tanggung jawab justru mengandaikan bahwa tindakan kita muncul dari karakter, niat, dan pilihan sadar—bukan dari keacakan.
Bayangkan seseorang yang dikenal patuh dan tenang, tiba-tiba melakukan kejahatan. Kaum indeterminis mungkin akan menyatakan bahwa peristiwa itu terjadi secara acak, tanpa sebab sebelumnya, dan karenanya tidak dapat dikutuk. Sebaliknya, kaum determinis akan menilai individu tersebut tetap bertanggung jawab, meski mereka membuka ruang untuk rehabilitasi melalui pendidikan, terapi, atau pengaruh lingkungan lain yang bisa mengubah tindakannya di masa depan. Pandangan deterministik seperti ini justru menjadi dasar dari banyak ajaran agama: bahwa manusia bisa mengubah karakternya menjadi lebih baik melalui pilihan dan tindakan berulang.
Determinisme tidak selalu berarti bahwa kita tak punya kendali. Ia tidak identik dengan fatalisme, yang menyatakan bahwa masa depan telah “tertulis di langit” dan manusia tak punya kuasa apa-apa. Dalam praktiknya, kehidupan kita dipenuhi oleh keputusan-keputusan—besar maupun kecil—yang berdampak nyata terhadap hasil. Kita mungkin tidak bisa mencegah tabrakan asteroid, tetapi kita bisa memilih untuk membantu sesama atau tidak, memilih teh atau kopi, belajar atau menunda, dan semua itu punya konsekuensi.
Namun, kerumitan muncul saat kita menyadari bahwa dalam alam semesta deterministik, keputusan itu sendiri adalah hasil dari kondisi sebelumnya. Ketika Anda memilih teh alih-alih kopi, keputusan itu mungkin ditentukan oleh lingkungan (harga teh lebih murah), kondisi biologis (reaksi tubuh terhadap kafein), atau faktor budaya (teh sebagai tradisi). Maka, meski kita merasa bebas, semua preferensi itu mungkin telah terbentuk sejak lama—bahkan sejak sebelum kita lahir.
Jadi, apa arti kebebasan? Jika kebebasan berarti kemampuan untuk memilih secara berbeda meskipun seluruh kondisi sama persis, maka kebebasan seperti itu tampaknya mustahil dibuktikan. Kita tak bisa mengulang alam semesta dalam kondisi identik untuk menguji apakah keputusan bisa berubah.
Alternatifnya, seperti dikemukakan oleh MacKay, kebebasan bisa berarti bahwa apa yang akan kita lakukan memang ditentukan, tetapi tidak dapat diketahui oleh siapa pun sebelumnya—bahkan oleh diri kita sendiri. Dalam pengertian ini, tindakan kita tidak dapat diprediksi secara absolut. Tapi apakah ini cukup untuk memberi kita rasa bahwa kita benar-benar bebas?
Tulisan ini dirangkum dari buku God and The New Physics
No comments:
Post a Comment