Saturday, October 20, 2018

Kehendak Bebas dan Determinisme (Bagian II)

Salah satu pandangan mengenai kebebasan manusia menyatakan bahwa meskipun peristiwa-peristiwa di dunia tampak disebabkan, tidak semua penyebab berasal dari dalam alam semesta fisik. Pandangan ini berakar dalam dualisme pikiran-tubuh, yang menempatkan kesadaran atau pikiran manusia sebagai entitas non-fisik yang tetap dapat memengaruhi dunia fisik. Jika benar, maka tidak semua peristiwa fisik bersifat deterministik karena campur tangan dari luar sistem fisik—yaitu pikiran.

Namun hal ini segera memunculkan pertanyaan lanjutan: apa yang menyebabkan pikiran memilih sebagaimana ia memilih? Jika penyebabnya tetap berasal dari dunia fisik, kita kembali pada determinisme murni. Jika penyebabnya non-fisik, tetapi berada di luar kendali individu, maka tak ada perbedaan praktis antara determinisme fisik dan non-fisik. Di sisi lain, jika individu mampu mengendalikan penyebab itu, pertanyaan baru muncul: apa yang menyebabkan mereka mengendalikan penyebab tersebut dengan cara tertentu? Haruskah kita mundur tanpa akhir dalam rangkaian sebab yang semuanya berasal dari diri sendiri? Dapatkah kita berhenti pada konsep “kausalitas-diri”—sebuah penyebab tanpa sebab eksternal? Tapi apakah konsep ini benar-benar bermakna?

Indeterminisme Kuantum: Harapan Baru atau Ilusi Kebebasan?

Fisikawan modern seringkali menganggap konflik antara kehendak bebas dan determinisme sudah ketinggalan zaman, karena mekanika kuantum menyingkap kenyataan bahwa di tingkat fundamental, dunia bersifat acak. Namun, ini bukan penyelesaian masalah, melainkan hanya mengubah bentuknya.

Fluktuasi kuantum bersifat tak terprediksi, tetapi apakah ketidakterdugaan itu identik dengan kebebasan? Misalnya, jika fluktuasi kuantum menyebabkan neuron menyala secara tidak normal, maka hasilnya bukanlah keputusan bebas, melainkan kerusakan. Jika suatu perangkat acak dipasang ke otak dan menyebabkan Anda mengangkat tangan tanpa maksud, tidak ada orang yang akan menyebutnya tindakan bebas. Maka, indeterminisme tidak serta-merta mendukung gagasan kehendak bebas—bahkan bisa menafikannya.

Namun, ada harapan di kalangan pendukung model “pikiran di luar materi”, yang menyatakan bahwa fluktuasi kuantum menyediakan celah kecil tempat “akal” atau “jiwa” bisa masuk dan memberi arah. Di titik-titik kritis sistem saraf, kemungkinan terbuka untuk neuron menyala atau tidak. Pikiran—tanpa melanggar hukum fisika—bisa “mendorong” hasil probabilistik ke arah tertentu. Ini adalah versi halus dari intervensi mental, di mana pikiran “menyentuh” dunia fisik tanpa mencederai hukum sebab-akibat.

Pikiran, Realitas, dan Kuantum: Siapa yang Menentukan?

Akan tetapi, pendekatan ini belum menyelesaikan paradoks utama mekanika kuantum: bahwa realitas tidak terdefinisikan hingga diamati. Dalam pengamatan kuantum, pikiran bukan sekadar penerima informasi, tetapi penentu realitas—menentukan apakah posisi atau momentum partikel yang direalisasikan. Ini menunjukkan bahwa kesadaran memiliki peran aktif dalam membentuk dunia fisik.

Namun kembali, kita dihadapkan pada pertanyaan filosofis yang sama: jika Anda bisa memilih untuk mengukur posisi atau kecepatan partikel, apa yang menyebabkan Anda memilih yang satu dan bukan yang lain? Jika keputusan itu memiliki sebab, di mana letak kebebasan? Jika tanpa sebab, apakah ia sungguh “bebas” atau justru acak?

Tanggung Jawab, Kejahatan, dan Peran Tuhan

Persoalan kehendak bebas memiliki konsekuensi etis. Jika segala sesuatu telah ditentukan sejak awal, apakah pantas seseorang dimintai pertanggungjawaban atas tindakannya? Jika tidak ada pilihan nyata, maka konsep kesalahan dan kejahatan kehilangan maknanya. Dalam dunia deterministik, manusia ibarat aktor yang terjebak dalam skenario yang sudah ditulis sebelumnya.

Situasi ini semakin rumit ketika dimasukkan unsur teologis: posisi Tuhan dalam dunia yang deterministik atau indeterministik. Jika Tuhan memiliki rencana, mengapa tidak diciptakan saja dunia yang mengikuti rencana itu dengan pasti? Jika dunia justru mengandung unsur ketidakpastian kuantum, apakah itu berarti Tuhan melepaskan sebagian kekuasaan-Nya? Dan jika demikian, apakah Tuhan tetap Mahakuasa?

Beberapa teolog berargumen bahwa Tuhan secara sadar melepaskan sebagian kekuasaan-Nya demi memberi ruang bagi kebebasan makhluk. Ia membiarkan manusia membuat keputusan, bahkan jika itu berarti melawan kehendak-Nya. Namun argumen ini menimbulkan pertanyaan baru: apakah sesuatu yang Mahakuasa bisa secara logis melepaskan sebagian kekuasaannya? Dan jika bisa, apakah Dia juga turut bertanggung jawab atas kejahatan yang timbul karena pilihan bebas itu?

David Hume pernah menyatakan bahwa jika Tuhan menciptakan dunia yang penuh kejahatan, maka Dia tidak Maha Pemurah. Namun jika Dia tidak sanggup mencegahnya, maka Dia tidak Mahakuasa. Jika Tuhan bisa mencegah kejahatan dan memilih tidak melakukannya, apakah Ia tetap bisa dianggap baik?

Kekekalan Tuhan dan Masalah Waktu

Tambahan teka-teki muncul dalam doktrin Kristen tentang Tuhan yang kekal—di luar waktu. Kehendak bebas tampaknya memerlukan waktu: pilihan dibuat pada suatu saat, di antara beberapa kemungkinan. Tetapi bagaimana mungkin ada “pilihan” dalam kekekalan? Dan jika Tuhan sudah mengetahui masa depan secara sempurna, di mana letak kebebasan manusia dalam “mewujudkan” rencana-Nya?

Ironisnya, mungkin justru keterbatasan manusialah—ketidaktahuan kita akan masa depan—yang membuat kehendak bebas mungkin. Tuhan yang tidak terikat oleh waktu tidak perlu memilih dalam pengertian manusiawi. Maka bisa jadi, kehendak bebas adalah ilusi biologis yang muncul karena kita hidup dalam arus waktu, tidak seperti Tuhan.

Kesimpulan: Jalan Buntu atau Awal Baru?

Masalah kehendak bebas dan determinisme tetap membingungkan. Mekanika kuantum telah meruntuhkan determinisme klasik, namun tidak serta-merta menjamin kebebasan. Justru, ia membuka persoalan baru, seperti realitas yang bergantung pada pengamatan dan dunia yang bercabang menjadi berbagai kemungkinan. Sementara itu, relativitas mengajukan waktu dan ruang sebagai satu kesatuan, tetapi tidak menghilangkan kemungkinan bahwa manusia masih memiliki ruang untuk bertindak.

Fisika modern mungkin belum mampu menjawab sepenuhnya teka-teki kehendak bebas, tetapi memberi harapan bahwa di masa depan, pemahaman baru tentang waktu, kesadaran, dan realitas akan membawa kita lebih dekat pada jawaban dari pertanyaan yang telah berumur ribuan tahun: Apakah kita benar-benar bebas?

(Disarikan dari God and the New Physics)



No comments:

Post a Comment