Monday, July 1, 2019

Hukum Alam

Masing-masing kita ada hanya sekejap saja, dan sepanjang keberadaan itu kita hanya menjelajahi sebagian mahakecil dari keseluruhan alam semesta. Namun manusia ialah spesies yang ingin tahu. Kita bertanya-tanya, kita mencari jawaban. Selagi hidup di dunia nan luas yang kadang asih kadang zalim, dan memandang angkasa raya di atas sana, manusia telah melontar selaksa tanya: Bagaimana kita bisa memahami dunia tempat kita mendapati diri kita ada? Bagaimana tingkah laku alam semesta? Apa hakikat kenyataan? Dari mana segalanya berasal? Apakah alam semesta memerlukan pencipta? Kebanyakan kita tak menghabiskan sepanjang waktu merenungkan segala pertanyaan itu, namun nyaris semua di antara kita pernah merenungkannya sekali-sekali.

Paragraf di atas adalah paragraf pembuka dari buku The Grand Design yang ditulis oleh Stephen Hawking bersama Leonard Mlodinow. Beruntunglah kita, karena bagi kita yang termasuk golongan yang tidak punya waktu untuk merenungkan hal-hal di atas, sudah ada orang-orang yang memikirkannya bagi kita. Beruntunglah saya, karna bisa membaca buku tersebut. Sepanjang sejarah, kita belum pernah sedekat ini dalam mencapai jawaban atas pertanyaan-pertanyaan di atas.

Sebelum era Thales of Miletus, manusia dikuasai cara berpikir mitologis dalam menjelaskan segala sesuatu. Manusia belum mengenal sains. Dewa-dewi diyakini terlibat dalam segala sesuatu, termasuk asal-usul alam semesta. Walau masih tergolong primitif, pemikiran Thales dianggap sebagai kegiatan berfilsafat pertama karena mencoba menjelaskan dunia dan gejala-gejala di dalamnya tanpa bersandar pada mitos melainkan pada rasio manusia. Menurut Aristoteles, Thales lah yang pertama kali mengembangkan gagasan bahwa dunia bisa dimengerti, bahwa kejadian-kejadian rumit di sekeliling kita bisa direduksi ke kaidah-kaidah sederhana dan dijelaskan tanpa perlu membawa penjelasan mitos atau teologis.

Thales berpendapat bahwa air adalah prinsip dasar dari segala sesuatu. Ia juga mengemukakan pandangan bahwa bumi terletak di atas air. Bumi dipandang sebagai bahan yang satu kali keluar dari laut dan kemudian terapung-apung di atasnya. Pandangan demikian tentu saja terasa konyol dan pasti akan ditertawakan di masa kini. Namun pandangan tersebut tidaklah salah. Model alam itu muncul karena keterbatasan manusia dalam mengobservasi di masa itu.

Pada tahun 148, seorang ahli geografi, astronom, dan astrolog yang bernama Ptolemy (Ptolemaeus), melalui karyanya Almagest, mengajukan sebuah model alam semesta yang berupa geosentris, dengan Planet Bumi yang menjadi pusat alam semesta. Bumi dianggap bulat, tak bergerak, terletak di pusat alam semesta, dan sangat kecil bila dibandingkan dengan bentang alam semesta. Model ini diakui sebagai kebenaran selama lebih dari seribu tahun di Arab dan masyarakat Eropa, bahkan dijadikan doktrin resmi Gereja Katolik, sebelum seorang astronom, matematikawan, dan ekonom berkebangsaan Polandia, Nicolaus Copernicus, mengembangkan teori heliosentris, yang menyatakan bahwa pusat alam alam semesta adalah Matahari. Teori heliosentris ini ditentang oleh banyak pihak karena tidak masuk akal. Sesuatu yang saat itu sangat wajar karna menurut pengamatan, matahari memang ‘terasa’ dikelilingi oleh matahari dan benda-benda langit lainnya.

Walaupun sejak era Thales manusia sudah mulai berpikir secara ‘ilmiah’, namun revolusi ilmiah dan dunia sains modern baru dimulai di abad 17. Menurut Stephen Hawking, Galileo Galilei dapat dianggap sebagai penyumbang terbesar bagi dunia sains modern. Ia juga sering disebut-sebut sebagai “bapak astronomi modern”, “bapak fisika modern”, dan “bapak sains”. Gereja Katolik yang punya kepentingan mempertahankan keyakinan bahwa bumi adalah pusat alam semesta menentang teori heliosentris, menganggapnya sebagai teori yang sesat, bahkan sampai menghukum Galileo yang saat itu mendukung teori Copernicus. Ia dihukum dengan pengucilan (tahanan rumah) sampai meninggalnya. Baru pada tahun 1992 Paus Yohanes Paulus II menyatakan secara resmi bahwa keputusan penghukuman itu adalah salah.

Galileo memang menemukan banyak hukum alam. Meski begitu, ia masih belum menggunakan istilah “hukum” secara umum. Orang pertama yang merumuskan konsep hukum alam secara tersurat adalah filsuf dan matematikawan berkebangsaan Perancis, RenĂ© Descartes. Descartes menegaskan bahwa hukum alam berlaku di semua tempat dan sepanjang waktu. Untuk menggunakan hukum fisika, keadaan awal sistem harus diketahui, atau setidaknya keadaan sistem itu pada waktu tertentu. Sekali keadaan sistemnya diketahui, misalnya kecepatannya, maka masa lalu dan masa depan sebuah sistem bisa diprediksi. Descartes juga percaya bahwa Tuhan bisa mengubah kebenaran atau kesalahan pernyataan etis atau teorema matematika, tapi tak bisa mengganggu gugat alam. Menurut Descartes, setelah Tuhan menciptakan dunia, Tuhan membiarkan dunia berjalan sendiri.

Sebagian besar ilmuwan mengatakan bahwa suatu hukum alam adalah satu aturan yang didasarkan kepada keteraturan yang diamati dan memberi prediksi melampaui situasi langsung yang menjadi dasarnya. Contohnya, kita bisa mengamati bahwa Matahari selalu terbit di timur tiap pagi, dan merumuskan hukum “Matahari selalu terbit di timur”. Itu generalisasi yang melampaui pengamatan dan membuat prediksi masa depan yang bisa diuji. Pemahaman kita atas istilah “hukum alam” adalah perkara yang diperdebatkan panjang lebar oleh para filsuf. Dalam sains modern, hukum alam biasanya dirumuskan dengan matematika. Hukum alam bisa bersifat pasti atau mendekati, tapi harus diamati berlaku secara universal atau setidaknya dalam kondisi tertentu. Contohnya, Hukum Newton sangat akurat untuk menjelaskan pergerakan suatu benda. Namun saat sebuah benda mendekati kecepatan cahaya, Hukum Newton harus dimodifikasi.

Jika alam diatur hukum, maka muncul tiga pertanyaan:
  1. Apa yang menjadi asal-usul hukum?
  2. Adakah pengecualian terhadap hukum, yaitu mukjizat?
  3. Apakah hanya ada satu set hukum yang mungkin?
Jawaban tradisional untuk pertanyaan pertama adalah bahwa hukum alam adalah kehendak Tuhan. Namun menggunakan Tuhan sebagai jawaban pertanyaan pertama sama saja mengganti satu misteri dengan misteri lain. Apa yang menjadi asal-usul Tuhan? Kita tak akan membahasnya di sini.

Mengenai pertanyaan kedua, opini jawabannya terbelah. Menurut Plato, Aristoteles dan Descartes, tiada pengecualian dalam hukum alam. Tapi menurut Bibel, Tuhan tidak hanya menciptakan hukum, namun juga bisa dibujuk lewat doa untuk membuat pengecualian-pengecualian. Hampir semua pemikir Kristen berpendapat bahwa Tuhan bisa mengintervensi hukum alam untuk membuat mukjizat. Bahkan Newton percaya bahwa Tuhan harus terus mengatur orbit planet agar tak jatuh ke Matahari akibat tarikan gravitasi. Namun Pierre-Simon Laplace menganggap bahwa ‘gangguan’ itu bersifat berkala, artinya berupa siklus teratur. Maka sekiranya tidak diperlukan campur tangan ilahi di sana.

Laplace adalah orang yang diakui sebagai perumus pertama determinisme ilmiah. Berdasarkan keadaan alam semesta pada satu saat, maka satu set lengkap hukum dapat sepenuhnya menentukan masa depan dan masa lalu. Itu otomatis meniadakan kemungkinan terjadinya mukjizat atau peran aktif Tuhan. Determinisme ilmiah adalah jawaban ilmuwan modern bagi pertanyaan kedua. Suatu hukum sains bukanlah hukum sains jika hanya berlaku bila sosok supranatural memutuskan untuk tak campur tangan.

Misalkan jawaban pertanyaan pertama adalah bahwa tuhan menciptakan hukum alam, maka pertanyaan ketiga menanyakan, apa tuhan punya kebebasan ketika memilih hukum alam yang diciptakan? Karena percaya bahwa asal-usul hukum alam adalah logika, Aristoteles merasa bahwa hukum alam bisa “dirumuskan” tanpa perlu banyak memperhatikan seperti apa sebenarnya jalannya alam. Hal tersebut, dan fokusnya kepada alasan bahwa benda mengikuti aturan, bukan kepada rincian hukum, membuat Aristoteles menggagas banyak hukum kualitatif yang seringkali keliru dan kurang berguna, meski mendominasi pemikiran sains selama berabad-abad. Baru belakangan orang-orang seperti Galileo berani menantang Aristoteles dan mengamati apa yang benar-benar terjadi di alam, bukan menyatakan apa yang seharusnya terjadi berdasarkan ‘nalar’ murni.

Apa yang kita sering sebut dengan Hukum Alam ternyata tidak seperti yang selama ini kita bayangkan. Atau paling tidak yang orang-orang beragama bayangkan. Sejarah mencatat bahwa hukum alam diawali oleh sebuah pengamatan, yang berkembang menjadi hipotesis dan kemudian teori. Setelah melewati banyak verifikasi, falsifikasi, percobaan-percobaan dan memenuhi syarat-syarat, barulah bisa diambil kesimpulan dan diterima menjadi sebuah hukum. Hukum alam dapat dibuat atas dasar pemikiran yang kritis atau dengan keadaan coba-coba, bahkan mungkin atas suatu ketidaksengajaan atau kebetulan. Manusia yang membuat hukum alam, bukan Tuhan. Walaupun mungkin saja Tuhan membuat hukum alam, namun Ia tidak memiliki pilihan dalam membuatnya. Hukum alam yang dibuat-Nya haruslah seperti yang saat ini kita lihat, karena jika hukum yang dia buat berbeda, kita tidak akan pernah ada untuk mengamatinya. Tuhan bukanlah Tuhan jika Ia tidak mempunyai pilihan.

Sumber: Free Thinker

No comments:

Post a Comment