Platform seperti Facebook mencatat lebih dari 120 juta pengguna aktif bulanan, sementara TikTok, yang terus melesat dalam popularitasnya di kalangan generasi muda, telah digunakan oleh lebih dari 106 juta orang Indonesia (Datareportal, 2024). Pengguna media sosial Indonesia sebagian besar adalah generasi muda: kelompok usia 18-34 tahun mendominasi dengan lebih dari 60 persen, menjadikan media sosial sebagai "ruang publik baru" yang sangat dipengaruhi oleh dinamika emosi, preferensi personal, dan algoritma.
Lebih memprihatinkan lagi, minat baca di Indonesia masih stagnan. Berdasarkan survei Perpustakaan Nasional tahun 2022, indeks kegemaran membaca Indonesia berada pada skor 63,9 (kategori sedang), namun kualitas bacaan masyarakat lebih banyak didominasi oleh konten ringan dan hiburan digital, bukan bacaan yang mendorong pemikiran reflektif atau kritis.
Kesenjangan ini menjadi akar subur bagi tumbuhnya fenomena post-truth: sebuah kondisi ketika fakta objektif kehilangan pengaruhnya dalam membentuk opini publik, digantikan oleh emosi, opini personal, dan bias kognitif. Kamus Oxford mendefinisikan post-truth sebagai keadaan “di mana fakta menjadi kurang berpengaruh dalam membentuk opini publik dibanding daya tarik emosi dan kepercayaan pribadi.” Istilah ini melonjak popularitasnya pada tahun 2016, menyusul dua peristiwa politik besar: kemenangan Donald Trump dalam Pilpres AS dan referendum Brexit di Inggris.
Fenomena post-truth bukan hanya milik negara-negara Barat. Di Indonesia, ia mengambil bentuk yang khas melalui banjir informasi yang tidak terverifikasi, teori konspirasi, dan berita palsu (hoaks) yang tersebar melalui media sosial. Dalam konteks ini, kebenaran bukan lagi soal fakta, tetapi soal "apa yang ingin diyakini". Narasi yang sesuai dengan keyakinan atau emosi seseorang akan lebih mudah diterima dan dibagikan, terlepas dari validitasnya. Ini diperparah oleh algoritma media sosial yang memang dirancang untuk memperkuat filter bubble dan echo chamber, di mana pengguna hanya terpapar pada pandangan yang serupa dengan keyakinannya sendiri.
Nezar Patria, mantan pemimpin redaksi The Jakarta Post dan kini menjabat sebagai Wakil Menteri Komunikasi dan Informatika, pernah menyatakan bahwa post-truth adalah bentuk paling manipulatif dari era digital. Kebohongan yang diulang dan diviralkan melalui media sosial bisa dengan cepat menjadi semacam “kebenaran emosional” dalam benak publik, mengalahkan narasi berbasis data dan logika.
Hal ini berbahaya terutama dalam ranah politik, di mana “politik pasca-fakta” (post-truth politics) mengabaikan kebenaran demi memenangkan persepsi. Figur publik atau elite politik tak lagi fokus pada fakta atau kebijakan berbasis data, melainkan pada citra, slogan, dan narasi sentimental yang menggerakkan emosi kolektif. Dalam konteks inilah kita menyaksikan bagaimana pemilu, kebijakan publik, bahkan konflik sosial dapat dipicu atau diperparah oleh informasi yang salah, dibumbui emosi, dan disebarkan tanpa kendali di media sosial.
Tantangan besar yang dihadapi Indonesia saat ini bukan sekadar membendung hoaks, tetapi membangun ekosistem literasi digital yang sehat. Tanpa upaya serius untuk meningkatkan kesadaran kritis, budaya membaca, dan kemampuan evaluatif masyarakat, maka demokrasi digital yang kita banggakan bisa dengan mudah tergelincir menjadi populisme digital yang manipulatif.
Seperti yang ditulis Karen Armstrong dalam esainya Berpaling Kembali, kita hidup di dunia yang semakin kehilangan ruang untuk memahami perspektif orang lain. “Jika kita tidak bisa mengakomodasi sudut pandang seorang teman tanpa bersikap tidak ramah,” tulis Armstrong, “bagaimana kita bisa berharap menyelesaikan persoalan besar di planet ini?” Dalam dunia pasca-kebenaran, toleransi, empati, dan rasionalitas bukan hanya nilai moral—tetapi juga benteng terakhir dari peradaban informasi yang sehat.
AOS
No comments:
Post a Comment