Tuesday, November 5, 2019

POST-TRUTH DAN MEDSOS

Menurut The Next Web (2018), Indonesia masuk dalam daftar pengguna media sosial paling banyak. Facebook 140 juta, nomor tiga di dunia; Instagram 56 Juta, nomor empat di dunia; Twitter 6.6 Juta, di peringkat duabelas.

Populasi penduduk Indonesia saat ini mencapai 262 juta orang. Lebih dari 50 persen atau sekitar 143 juta orang telah terhubung jaringan internet sepanjang 2017, setidaknya begitu menurut laporan teranyar Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia ( APJII).

Mayoritas pengguna internet sebanyak 72,41 persen masih dari kalangan masyarakat urban. Pemanfaatannya sudah lebih jauh, bukan hanya untuk berkomunikasi tetapi juga membeli barang, memesan transportasi, hingga berbisnis dan berkarya.

Berdasarkan wilayah geografisnya, masyarakat Jawa paling banyak terpapar internet yakni 57,70 persen. Selanjutnya Sumatera 19,09 persen, Kalimantan 7,97 persen, Sulawesi 6,73 persen, Bali-Nusa 5,63 persen, dan Maluku-Papua 2,49 persen.

Sebanyak 49,52 persen pengguna internet di Tanah Air adalah mereka yang berusia 19 hingga 34 tahun.

Di posisi kedua, sebanyak 29,55 persen pengguna internet Indonesia berusia 35 hingga 54 tahun. Remaja usia 13 hingga 18 tahun menempati posisi ketiga dengan porsi 16,68 persen. Terakhir, orang tua di atas 54 tahun hanya 4,24 persen yang memanfaatkan internet (Kompas.com - 22/02/2018).

Di sisi lain, berdasar data literasi menurut penelitian dari Programme for International Student Assessment (PISA) bahwa tingkat literasi di Indonesia sangat rendah yang menempati posisi 64 dari 65 negara yang disurvei pada tahun 2012.

Data terbaru Unesco, dari total 61 negara, Indonesia berada di peringkat 60. Botswana berada di peringkat terakhir. Sedangkan Finlandia berada di peringkat pertama, hampir mencapai 100%.
Selanjutnya, data statistik UNESCO tahun 2012 menyebutkan bahwa indeks minat baca di Indonesia baru mencapai 0,001 yang berarti bahwa, setiap 1.000 penduduk, hanya 1 orang saja yang memiliki minat baca.

UNDP menuliskan dalam laporannya bahwa, tingkat pendidikan berdasar indeks pembangunan manusia (IPM), Indonesia masih tergolong rendah, yaitu 14,6%. Prosentase ini jauh jika dibandingkan dengan Malaysia (28%) dan Singapura (33%).

Post-Truth

Kamus Oxford menjadikan post-truth sebagai “Word of the Year” tahun 2016. Berdasarkan keterangan editornya, jumlah penggunaan istilah tersebut di tahun 2016 meningkat 2000 persen bila dibandingkan 2015. Sebagian besar penggunaan istilah post-truth merujuk pada dua momen politik paling berpengaruh di tahun 2016: keluarnya Inggris Raya dari Uni Eropa (Brexit) dan terpilihnya Donald Trump sebagai presiden Amerika Serikat.

Kamus Oxford sendiri mendefinisikan istilah tersebut sebagai kondisi di mana fakta tidak terlalu berpengaruh dalam membentuk opini publik dibanding emosi dan keyakinan personal. Kondisi ini memang memuncak dalam dua momen politik tersebut yang digerakkan oleh sentimen emosi. Dalam situasi tersebut, informasi-informasi hoax punya pengaruh yang jauh lebih besar ketimbang fakta yang sebenarnya (Remotiv).

Oxford Dictionaries melacak asal muasal istilah 'post-truth' dan menemukan fakta bahwa seorang penulis keturunan Serbia bernama Steve Tesich memakainya pertama kali dalam sebuah esai di tahun 1992 tentang skandal Iran-Contra dan Perang Teluk. Secara sederhana, 'post-truth' digunakan ketika fakta-fakta tidak lagi relevan dalam politik.

Nezar Patria, editor-in-chief harian Jakarta Post sekaligus salah satu anggota Dewan Pers menyatakan bahwa post-truth adalah kondisi yang terjadi ketika informasi bohong atau palsu (hoax) dipakai untuk menyalakan bara emosi dan sentimen publik. Memanfaatkan sirkulasi media digital yang begitu kencang dan luas, informasi palsu menunggangi sekaligus mengelaborasi suatu peristiwa yang terjadi sehingga kesan “nyata” dari informasi tersebut begitu kuat.

Fenomena ini bukan saja terjadi di Indonesia. Juga menjadi fenomena dibelahan dunia lain - termasuk di negara-negara maju. Bedanya mereka relatif lebih baik dibanding Indonesia, karena mereka melek literasi dan tingkat literasi masyarakatnya yang tinggi.

Jadi fenomena post-truth itu orang cenderung tidak mencari kebenaran melainkan sesuatu yang cocok dengan keyakinan dan perasaannya meskipun itu salah.

Dalam konteks politik, post-truth politics adalah politik subyektif, lebih mengutamakan emosi, popularitas, tidak terlalu mementingkan kebenaran fakta, bahkan menempatkan kebenaran di posisi dua. Dalam mencapai tujuannya kebenaran informasi tidak menjadi penting. Yang penting dihadapan publik terlihat bertindak benar.

Politik pascafakta ini yang sedang membanjiri lanskap politik negeri ini dan ruang waktu medsos kita - di tengah rendahnya budaya literasi dan minat baca masyarakat. Sehingga sulit sekali berpikir kritis dan dengan mudah menelan mentah-mentah semua informasi yang ada termasuk dari media sosial - terutama informasi yang dianggap sesuai dengan perasaan dan keyakinan pribadinya.

Mengutip esai mengagumkan dari Karen Armstrong, "Berpaling Kembali", bahwa "Saya mencemaskan dunia kita yang di dalamnya, seperti dikatakan Marshall G.S. Hodgson, kita tidak bisa menemukan ruang buat orang lain dalam pikiran kita. Jika kita tidak bisa mengakomodasi sudut pandang seorang teman tanpa bersikap tidak ramah, bagaimana kita bisa berharap dapat menyembuhkan persoalan besar di planet kita ini? Saya kini berpendapat bahwa sebuah prinsip atau pendapat tidak memiliki nilai jika ia membuat anda tidak baik atau tidak toleran".

@AOS

No comments:

Post a Comment